“Itulah faktanya, Grace!” Memanfaatkan keterkejutan Grace, Max mendorong tubuh sang istri menjauh. “Cepat pergi dari sini!” tunjuknya pada pintu kamar.
Beribu pertanyaan bersarang di dalam kepala Grace. Berbagai pertanyaan ingin dia ketahui jawabannya. Mengapa Max tiba-tiba mandul? Lalu, bagaimana nasib Leon, jika Max kini dinyatakan mandul? Namun, semua pertanyaan itu masih tertahan. Grace yang begitu shock memutuskan untuk mundur sejenak, dia tidak lagi memaksa Max untuk menyentuhnya. Wanita itu keluar tanpa kata dari kamar Max, menuju salah satu kamar tamu di rumah itu. Niat dia menenangkan pikiran pun berakhir gagal, sebab pikirannya yang buntu justru membuatnya sulit tidur. Hingga pagi ini, Grace dibuat sakit kepala karena terus memikirkan kenyataan ini. "Argh ...!" Grace menarik kuat rambutnya karena merasa kesal. Dia bahkan tidak bisa berpikir saat ini. "Aku harus lakukan apa? Bagaimana dengan Leon?" Di dalam kamar luas dengan interior mewah, wanita itu mondar mandir. Di saat kebingungan melandanya, telepon Grace berbunyi hingga menampakkan nama Brian pada layar datar itu. "Brian ...?" Grace bertanya pada diri sendiri. Mengapa Brian menghubunginya pagi sekali. "Hallo," sapanya setelah menerima panggilan. "Anda sudah berhasil, Nyonya?" tanya Brian langsung pada inti penuh dengan harapan. "Uhm, belum. Kenapa tanya itu?" Brian terdiam di ujung panggilan, hingga membuat Grace penasaran. Grace tahu jika Brian menghubunginya pasti terjadi sesuatu pada sang anak. "Cepat bicara, Brian!" "Ehm ... begini Nyonya, Tuan Muda Leon mengalami sesak napas semalam. Saya ingin menghubungi Anda, tapi ... saya takut menganggu waktu Anda," ungkap Brian. "Mengapa Leon bisa sesak? Apa dia kecapekan?" "Tidak, Nyonya. Tuan Muda sepertinya merindukan Anda. Kemarin siang pun mudah marah, meski perawat tidak lakukan salah." Grace mengangguk paham, meski tidak terlihat Brian. "Hm, tapi aku tidak bisa menghubungi Leon sekarang. Aku tidak ingin Max tau anak itu." "Saya pikir Anda sudah mendapatkannya, sehingga kita bisa melakukan tes kehamilan minggu depan," sahut Brian. "Kamu tahu, Brian…." Grace memberi pernyataan menggantung, kemudian melanjutkannya lagi, "Kata Max, dirinya mandul!" "Apa?!" Brian ternganga mendengar pernyataan Grace. "Mengapa bisa mandul? Tapi ..." Brian menggantung ucapannya, seolah meragukan Grace. "Apa kau menuduhku selingkuh?!" Grace berdecih. Dia bisa membaca ke arah mana Brian berpikir. Untuk satu hal itu, Grace jamin, dia hanya pernah sekali disentuh begitu intim oleh seorang pria. Dialah Max, suaminya hasil dari pernikahan perjodohan kedua orang tua. "Tidak, Nyonya, bukan maksud saya seperti itu." Brian pun tidak kalah terkejut. Mengapa Max mengatakan dirinya mandul, padahal dia bisa menghasilkan Leon. "Anda tidak tau mengapa dia mengatakan itu? Atau ... ini hanya alasannya saja agar Anda menjauhinya." Grace menggeleng lemah. "Aku tidak tahu. Tapi yang jelas aku harus mencari info. Apa yang terjadi padanya," tekadnya. "Baiklah, Nyonya, kabari saya jika Anda sudah siap." "Katakan pada Leon, aku akan menelponnya nanti. Sampaikan peluk ciumku untuknya." Setelah mengakhiri telepon dari Brian, Grace bergegas mengambil tas kemudian melangkah keluar kamar. Akan tetapi, langkah Grace terhenti oleh seorang wanita yang baru saja masuk dari pintu utama ke dalam rumah Max. ‘Freya Houston?’ batin Grace bertanya, sembari memindai penampilan wanita itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Freya Houston, wanita yang selalu berada di sisi Max dan sangat terobsesi pada pria itu, Grace tahu sebab dia sempat mencaritau kabar terkini sang suami sebelum memutuskan kembali. Wanita bergaun merah merah ketat dengan potongan belahan dada terbuka, disertai belahan pada bagian paha. Wanita itu melangkah dengan percaya diri dalam sepatu heels tinggi yang mencolok, melengak lenggok menenteng tas yang bernilai jutaan Dollar. Grace bisa menilai harga tas itu, sebab dia pun pebisnis luar negeri yang tentu saja bisa menilai berapa nominal yang dikeluarkan wanita itu untuk membayar satu buah tas. "Aku tidak yakin dia bisa membelinya sendiri," gumam Grace mengamati Freya. Begitu pula dengan Freya, wanita itu juga terkejut saat kedatangannya disambut oleh wanita yang belum pernah dia temui, terlebih di dalam rumah Max. "Max ...!" Freya berseru manja mencari keberadaan pria itu. Matanya melihat kesana-kemari, menelisik hampir di sekeliling ruangan. Namun, dia tidak juga menemukannya. "Ke mana sih dia?" Grace yang terus bergeming seraya memandangnya membuat Freya merasa kesal. "Heh, siapa kamu berani melihatku seperti itu!" bentak Freya. Namun, Grace tidak menjawab. Freya menghampiri Grace dengan penuh selidik, melihat dari atas hingga ujung kakinya. "Kamu ... pasti sepupu Max, 'kan?" Grace tetap bungkam, wanita itu tidak memedulikan yang dilakukan Freya padanya. "Tapi ... kalian tidak mirip?" Lagi, Freya masih menggali keterangan. Sementara di dalam kamar, Max baru saja selesai setelah mengunakan pakaian rapi. Dia hendak ke kantor. Akan tetapi, suara kegaduhan di lantai bawah sangat menarik perhatiannya. Samar-samar dia mengenali dua suara wanita. "Freya? Grace? Ada apa dengan mereka?" gumam Max. Pria itu membawa langkahnya menuruni tangga. Dia melihat kedua wanita saling cek-cok, atau lebih tepatnya, Freya terlihat mencecar Grace yang terus menutup mulut. Merasa waktunya terbuang sia-sia untuk meladeni wanita yang tidak penting, Grace hendak melangkah meninggalkan Freya. Namun tangannya dicekal oleh wanita itu. "Hei, tunggu! Kurang ajar kamu tidak menjawabku!" Hal itu tentu saja memicu amarah Grace. Dia menghentikan langkah, sorot matanya menjadi murka. "Aku tidak peduli siapa kamu! Minggir!" Freya menjadi naik pitam atas ucapan Grace, dia pun mengangkat tangannya ke atas hendak melayangkan tamparan. Grace dalam keadaan terdesak. Wanita itu reflek menahan, dan salah satu tangan lainnya siap membalas. Saat itulah, Max muncul. "Grace?! Hentikan!" gertak Max dengan tatapan tajam. Grace seketika menurunkan tangannya dan Freya langsung menghampiri Max, mencari perlindungan seolah dirinya yang dianiaya. "Siapa dia, Max? Mengapa dia kasar padaku?" adu Freya memutar balik fakta. Grace tercengang dengan ucapan Freya yang menuduhnya. "Bohong, Max! Dia yang justru ingin menamparku!" Freya semakin menjadi, mencari perhatian Max. "Tidak, Max, mana mungkin aku bohong. Bukankah tadi kau melihatnya?" Max semakin menatap benci pada Grace. "Max, siapa dia?" tanya Freya lagi bersikap manja. Rasa ingin tahunya lebih banyak saat ini. "Dia ..." Max menyipitkan mata, menyorot tajam. "Dia wanita yang berani mencampakkanku!" Freya terbelalak. Tentu saja dia tahu siapa wanita yang sudah membuat Max hancur saat itu. Max banyak bercerita tentang Grace, namun Freya tidak pernah bertemu dengannya. "D-dia, istrimu?!"***
Setelah adu mulut dengan wanita gila yang datang tiba-tiba, kini Grace tengah melaju menuju rumah keluarga Malay, keluarganya.Begitu sampai di sana, Grace melepas kacamata, menyapa kedua orang tuanya seraya mendudukkan dirinya pada sofa. “Hai, Ma! Hai, Pa!”Kedua orang tuanya, Victor Addison Malay dan Evelyn Malay terkejut luar biasa. "Grace?!"Keluarga Malay termasuk keluarga konglomerat yang sebanding dengan Dicaprio. Tidak heran, meski Grace mengasingkan diri di luar negeri, dia tetap bisa bertahan hidup, dan bahkan mendirikan bisnisnya sendiri.“Kenapa kau kembali?!” Evelyn berdecak kesal mengingat kaburnya Grace saat itu membuat hubungan antara keluarga Malay dan Dicaprio menjadi tidak akur. "Seharusnya kau tidak perlu kembali, bukan?"Sementara Evelyn melontarkan kata-kata sarkas, Victor hanya menoleh sekilas, kemudian melanjutkan membaca koran. Pria itu tidak lagi peduli dengan Grace.Grace tersenyum tipis menanggapinya. "Apa kalian tidak merindukanku? Sepertinya tidak ada sa
"Bukan siapa-siapa, Ma." Grace menyembunyikan ponsel. "Ah, sudahlah, aku mau keluar dulu. Sepertinya sudah banyak perubahan dengan kota ini."Grace bangkit dari duduknya kemudian langsung membawa langkahnya keluar dari kamar, meninggalkan Evelyn dengan penuh rasa penasaran."Hati-hati, Grace, hubungi mama jika kau perlu bantuan," seru Evelyn.Sementara Grace pergi dari kediaman Malay, di gedung bertingkat McKesson Group, Maxime baru saja tiba setelah dirinya dibuat pusing dengan dua wanita yang berdebat di rumahnya. Pria itu langsung duduk dibalik meja kerjanya dan mengurut pelipis.Ada yang tidak biasa pemandangan pagi ini, Christian, sang asisten pun bertanya. "Ada masalah, Tuan? Apa yang menyulitkan Anda?""Tidak, Christ, bukan di sini," jawab Max dengan nada malas."Lalu?""Dua makhluk paling menyusahkan sedang cek-cok di rumah," ujar Max tampak lesu.Christ semakin tidak mengerti arah pembicaraan Max. Dia menduga ibu dan adik Max yang berkelahi. "Maksud Tuan ... Nyonya Felly dan
Mendengar namanya disebut, Grace seketika mendongak melihat siapa yang memanggilnya. Matanya terbelalak tidak percaya, jika dia akan secepat itu bertemu dengan sahabatnya."Kau?" Grace melihat sekeliling Agatha, mencari orang lain. "Kau dengan siapa? Kenapa kau ada di sini?"Agatha justru terheran dengan pertanyaan Grace. "Nah, kau juga kenapa tiba-tiba muncul di sini? Bukannya kau menghilang selama ini? Aku saja bahkan tidak tau kau ada dimana? Aku jadi ragu dengan persahabatan kita?" cerocosnya.Grace berdecak, lalu terkekeh mendengar celotehan Agatha. "Jawaban macam apa ini? Pertanyaan dibalas pertanyaan?"Keduanya lantas terbahak bersama. "Kenapa kau ada di negara ini lagi? Aku kira kau sudah lupa ..." tawa Agatha.Grace masih terkikik hingga harus menutup mulutnya, berusaha menahan tawa. "Aku tentu saja tidak melupakanmu!""Benarkah? Aku ingin tau apa yang membuatmu kembali, Grace? Jangan katakan kau ingin kembali pada Max!"Tepat! Dugaan Agatha sangat tepat yang diangguki Grace,
"Berani sekali kau kembali ke sini! Dasar wanita murahan!”Grace yang semula sedang termenung di tepi ranjang, tersentak saat mendengar suara bariton nan dominan dari Maxime Rudolf Dicaprio.Kemarahan pria itu sudah menjadi hal yang Grace duga. Pria mana yang tidak akan marah ketika ditinggalkan oleh sang istri, persis setelah mereka mereguk panasnya malam pertama?Namun, Grace tidak mencoba menjelaskan ataupun membela diri pada Max. Dia lebih memilih fokus pada tujuannya kembali kali ini.Kalau bukan karena Leon, dia juga mungkin enggan untuk memijakkan kakinya lagi ke negara ini. Leon, anaknya dengan Max dulu, yang masih dia rahasiakan keberadaannya, tengah butuh bantuan. Dan hanya Max lah pria yang bisa mewujudkan bantuan itu. "Ayolah Sayang, lupakan masa lalu.” Alih-alih ciut karena aura kemarahan sang suami, Grace justru semakin berani. Dia melangkah mendekati Max dengan gaya yang begitu memesona. “Apa kau tidak ingin menyentuhku?”Pakaian minim nan menggoda yang dikenakan Grac