"Bukan siapa-siapa, Ma." Grace menyembunyikan ponsel. "Ah, sudahlah, aku mau keluar dulu. Sepertinya sudah banyak perubahan dengan kota ini."
Grace bangkit dari duduknya kemudian langsung membawa langkahnya keluar dari kamar, meninggalkan Evelyn dengan penuh rasa penasaran.
"Hati-hati, Grace, hubungi mama jika kau perlu bantuan," seru Evelyn.
Sementara Grace pergi dari kediaman Malay, di gedung bertingkat McKesson Group, Maxime baru saja tiba setelah dirinya dibuat pusing dengan dua wanita yang berdebat di rumahnya.
Pria itu langsung duduk dibalik meja kerjanya dan mengurut pelipis.
Ada yang tidak biasa pemandangan pagi ini, Christian, sang asisten pun bertanya. "Ada masalah, Tuan? Apa yang menyulitkan Anda?"
"Tidak, Christ, bukan di sini," jawab Max dengan nada malas.
"Lalu?"
"Dua makhluk paling menyusahkan sedang cek-cok di rumah," ujar Max tampak lesu.
Christ semakin tidak mengerti arah pembicaraan Max. Dia menduga ibu dan adik Max yang berkelahi. "Maksud Tuan ... Nyonya Felly dan Nona Chelsea?"
"Bukan mereka!"
"Lalu siapa?" Christ semakin bingung.
"Dia Freya dan Grace!" jelas Max.
Christ ternganga tidak percaya. "Ma-maksud Anda ..., Nyonya Grace istri Tuan?"
Max melebarkan mata, gemas. "Iya! Grace siapa lagi?"
"Sejak kapan Nyonya Grace kembali? Apa saya ketinggalan berita?"
"Semalam dia tiba-tiba datang, dan pagi ini aku sudah dibuatnya pusing," keluh Max. "Ah sudahlah, biarkan saja. Semakin aku pikirkan, semakin gila aku jadinya."
Christ mengangguk kecil. "Baiklah."
"Apa jadwalku hari ini?" tanya Max sembari melihat ke layar laptop. Pria itu berusaha memfokuskan diri dengan pekerjaan.
"Anda ada meeting jam 10 dengan Vista Ventures, Tuan."
Lagi-lagi, Max memegang dahinya. "Hanya itu?"
"Tidak, jam tiga Anda bertemu dengan tamu dari Swedia," jawab Christ seraya melihat iPad di tangan. "Setelah itu Anda free."
Max mengangguk paham. "Oke, sebentar lagi kita pergi."
"Baik Tuan, kalau begitu saya permisi," pamit Christ meninggalkan ruangan Max.
Sementara Max masih berpikir tentang Grace. Wanita yang datang kembali setelah meninggalkannya delapan tahun lalu.
"Apa rencanamu Grace?" gumam Max menerka. "Kau pergi dan datang sesuka hati, lalu ingin aku menidurimu ..."
Tepat jam sepuluh kurang, Max dan Christ dalam perjalanan menuju gedung pertemuan untuk mengadakan rapat antara McKesson Group dengan Vista Ventures.
Rapat itu sengaja di tempatkan oleh Vista Ventures di luar gedung perusahaan. Jamuan mewah itu tentu sudah diatur sekretaris Vista, agar partner yang akan bekerja sama dengannya merasa nyaman.
"Kenapa arah mobil ini tidak menuju gedung Vista?" tanya Max mengamati rute yang berbeda tujuan.
"Ya benar Tuan, kita bukan mau ke perusahaan Vista, melainkan ke gedung pertemuan." Christ menyahut, melihat kaca spion tengah.
"Perjamuan penting?"
Christ menggeleng. "Tidak ada, Tuan. Sekretarisnya hanya mengatakan jika waktunya mendekati makan siang. Jadi, ya ... sekalian saja," kekehnya meneruskan ucapan.
Max tidak lagi merespon, baginya itu bukan masalah besar.
Sesaat kemudian, mobil yang ditumpangi keduanya berhenti pada gedung bertingkat yang menjulang tinggi. Gedung yang terlihat kokoh dan bernuansa modern, sering kali digunakan untuk pertemuan sekaligus tempat makan untuk kalangan orang kaya.
Christ membuka pintu belakang. "Silahkan, Tuan."
Max turun dari mobil itu dan langsung masuk ke dalam yang diikuti Christ. Keduanya langsung menuju lantai tempat pertemuan.
Seorang pelayan membantu membuka pintu saat keduanya tiba. "Selamat datang, Tuan," sapanya.
Max dan Christ langsung di sambut oleh sekretaris Vista. "Mari, silahkan duduk."
Max menggeleng kecut, melihat ruang rapat yang hanya beberapa orang saja, tetapi ruangan yang digunakan sangat luas. "Kalian terlalu berlebihan," sarkasnya.
"Ini perintah Miss Freya, Tuan. Katanya ingin menjamu sekalian makan siang."
Maxime mengabaikan alasan klise yang dibuat Freya, lantas menduduki bangku. Christ pun mengikuti sang CEO di sampingnya.
Siapa yang tidak mengenal Max? Pria berbakat dalam bisnis dengan usia yang masih muda. Max mampu menguasai bisnis pasar Eropa dan Amerika. Sehingga, wajar saja jika kekayaan keluarga Dicaprio tidak diragukan.
Sesaat kemudian pintu terbuka lebar, menampakkan Freya yang datang sendirian. Seperti biasa, penampilan wanita itu sangat seksi dan glamour. Wanita itu menebar senyuman.
"Sudah lama, Max?" sapa Freya sembari menyerahkan long coat pada sekretarisnya.
"Tidak, aku juga baru saja datang. Ayo, langsung saja kita mulai!" sahut Max membuka berkas yang ada di hadapannya.
"Tidak perlu terburu-buru, Max. Waktu kita masih panjang," balas Freya dengan mendayu.
Wanita itu bahkan tidak malu dengan banyaknya karyawan yang terus mengamatinya.
**
Setelah keluar dari rumah orang tuanya, Grace langsung mengemudikan mobilnya menuju sebuah resto. Tempat yang sering dia datangi saat masih muda, berkumpul dengan para gadis.
Tiba di tempat tersebut, Grace mengamati sekelilingnya dari balik kaca. "Hm .... Sama seperti dulu. Tidak banyak berubah," gumamnya.
Grace menyerahkan kunci mobilnya pada parking valet, lalu ia segera masuk dan mencari meja favorite. Sembari menunggu pesanannya datang, jemarinya terus bergulir pada internet.
"Apa yang membuat Max menjadi mandul?" monolognya tetap fokus menatap ponsel.
Matanya tampak menyusuri website dan mengetik nama Maxime pada kolom pencarian. Bola matanya hampir keluar ketika melihat website yang menerangkan berita kecelakaan Maxime delapan tahun silam.
"Apa?!" Grace menutup mulutnya, hampir saja dirinya berteriak. "Max kecelakan dan terluka parah?"
Wanita itu memindai kembali ingatannya tepat saat dia melarikan diri, mencocokkan tanggal kecelakaan. "Ini satu bulan setelah aku pergi."
Grace hampir tidak percaya jika Max pernah mengalami kecelakaan dalam waktu singkat. Ia penasaran terus mencari informasi seakurat dan selengkap mungkin, hingga Grace tidak sadar jika dirinya sedang diamati seseorang.
Seseorang yang sangat mengenalinya menyipitkan mata, meyakinkan jika yang dilihatnya tidaklah salah. Wanita itu terus berjalan menghampiri Grace yang kini fokus pada ponselnya.
"Grace!"
***
Mendengar namanya disebut, Grace seketika mendongak melihat siapa yang memanggilnya. Matanya terbelalak tidak percaya, jika dia akan secepat itu bertemu dengan sahabatnya."Kau?" Grace melihat sekeliling Agatha, mencari orang lain. "Kau dengan siapa? Kenapa kau ada di sini?"Agatha justru terheran dengan pertanyaan Grace. "Nah, kau juga kenapa tiba-tiba muncul di sini? Bukannya kau menghilang selama ini? Aku saja bahkan tidak tau kau ada dimana? Aku jadi ragu dengan persahabatan kita?" cerocosnya.Grace berdecak, lalu terkekeh mendengar celotehan Agatha. "Jawaban macam apa ini? Pertanyaan dibalas pertanyaan?"Keduanya lantas terbahak bersama. "Kenapa kau ada di negara ini lagi? Aku kira kau sudah lupa ..." tawa Agatha.Grace masih terkikik hingga harus menutup mulutnya, berusaha menahan tawa. "Aku tentu saja tidak melupakanmu!""Benarkah? Aku ingin tau apa yang membuatmu kembali, Grace? Jangan katakan kau ingin kembali pada Max!"Tepat! Dugaan Agatha sangat tepat yang diangguki Grace,
"Berani sekali kau kembali ke sini! Dasar wanita murahan!”Grace yang semula sedang termenung di tepi ranjang, tersentak saat mendengar suara bariton nan dominan dari Maxime Rudolf Dicaprio.Kemarahan pria itu sudah menjadi hal yang Grace duga. Pria mana yang tidak akan marah ketika ditinggalkan oleh sang istri, persis setelah mereka mereguk panasnya malam pertama?Namun, Grace tidak mencoba menjelaskan ataupun membela diri pada Max. Dia lebih memilih fokus pada tujuannya kembali kali ini.Kalau bukan karena Leon, dia juga mungkin enggan untuk memijakkan kakinya lagi ke negara ini. Leon, anaknya dengan Max dulu, yang masih dia rahasiakan keberadaannya, tengah butuh bantuan. Dan hanya Max lah pria yang bisa mewujudkan bantuan itu. "Ayolah Sayang, lupakan masa lalu.” Alih-alih ciut karena aura kemarahan sang suami, Grace justru semakin berani. Dia melangkah mendekati Max dengan gaya yang begitu memesona. “Apa kau tidak ingin menyentuhku?”Pakaian minim nan menggoda yang dikenakan Grac
“Itulah faktanya, Grace!” Memanfaatkan keterkejutan Grace, Max mendorong tubuh sang istri menjauh. “Cepat pergi dari sini!” tunjuknya pada pintu kamar.Beribu pertanyaan bersarang di dalam kepala Grace. Berbagai pertanyaan ingin dia ketahui jawabannya. Mengapa Max tiba-tiba mandul? Lalu, bagaimana nasib Leon, jika Max kini dinyatakan mandul?Namun, semua pertanyaan itu masih tertahan. Grace yang begitu shock memutuskan untuk mundur sejenak, dia tidak lagi memaksa Max untuk menyentuhnya.Wanita itu keluar tanpa kata dari kamar Max, menuju salah satu kamar tamu di rumah itu.Niat dia menenangkan pikiran pun berakhir gagal, sebab pikirannya yang buntu justru membuatnya sulit tidur. Hingga pagi ini, Grace dibuat sakit kepala karena terus memikirkan kenyataan ini."Argh ...!" Grace menarik kuat rambutnya karena merasa kesal. Dia bahkan tidak bisa berpikir saat ini. "Aku harus lakukan apa? Bagaimana dengan Leon?"Di dalam kamar luas dengan interior mewah, wanita itu mondar mandir. Di saat k
Setelah adu mulut dengan wanita gila yang datang tiba-tiba, kini Grace tengah melaju menuju rumah keluarga Malay, keluarganya.Begitu sampai di sana, Grace melepas kacamata, menyapa kedua orang tuanya seraya mendudukkan dirinya pada sofa. “Hai, Ma! Hai, Pa!”Kedua orang tuanya, Victor Addison Malay dan Evelyn Malay terkejut luar biasa. "Grace?!"Keluarga Malay termasuk keluarga konglomerat yang sebanding dengan Dicaprio. Tidak heran, meski Grace mengasingkan diri di luar negeri, dia tetap bisa bertahan hidup, dan bahkan mendirikan bisnisnya sendiri.“Kenapa kau kembali?!” Evelyn berdecak kesal mengingat kaburnya Grace saat itu membuat hubungan antara keluarga Malay dan Dicaprio menjadi tidak akur. "Seharusnya kau tidak perlu kembali, bukan?"Sementara Evelyn melontarkan kata-kata sarkas, Victor hanya menoleh sekilas, kemudian melanjutkan membaca koran. Pria itu tidak lagi peduli dengan Grace.Grace tersenyum tipis menanggapinya. "Apa kalian tidak merindukanku? Sepertinya tidak ada sa