Share

Hampir Saja Ketahuan

Setelah adu mulut dengan wanita gila yang datang tiba-tiba, kini Grace tengah melaju menuju rumah keluarga Malay, keluarganya.

Begitu sampai di sana, Grace melepas kacamata, menyapa kedua orang tuanya seraya mendudukkan dirinya pada sofa. “Hai, Ma! Hai, Pa!”

Kedua orang tuanya, Victor Addison Malay dan Evelyn Malay terkejut luar biasa. 

"Grace?!"

Keluarga Malay termasuk keluarga konglomerat yang sebanding dengan Dicaprio. Tidak heran, meski Grace mengasingkan diri di luar negeri, dia tetap bisa bertahan hidup, dan bahkan mendirikan bisnisnya sendiri.

“Kenapa kau kembali?!” Evelyn berdecak kesal mengingat kaburnya Grace saat itu membuat hubungan antara keluarga Malay dan Dicaprio menjadi tidak akur. "Seharusnya kau tidak perlu kembali, bukan?"

Sementara Evelyn melontarkan kata-kata sarkas, Victor hanya menoleh sekilas, kemudian melanjutkan membaca koran. Pria itu tidak lagi peduli dengan Grace.

Grace tersenyum tipis menanggapinya. "Apa kalian tidak merindukanku? Sepertinya tidak ada sambutan hangat untukku?"

Wanita cantik itu tidak masalah jika dua orang tuanya tidak mengharapkannya lagi. Dia ke sini pun hanya untuk mengabarkan kalau anak tunggal keluarga Malay masih hidup.

"Ya sudah, jika kalian tidak menerimaku, aku akan pergi lagi."

Grace bersiap bangkit, tapi tiba-tiba Victor berseru. "Berhenti!"

Dua wanita beda generasi itu menoleh bersamaan. Baru kali ini Evelyn mendengar Victor meninggikan suaranya pada Grace. Keduanya terdiam seketika.

"Dari mana saja kau?!" tanya Victor dengan tegas. "Puas kau, sudah membuat kericuhan lalu sekarang datang tiba-tiba!"

"Ayolah, Pa. Jangan marah-marah terus, nanti cepat tua ...!" tawa lirih Grace merayu agar sang ayah tidak bermuka masam.

Wanita itu tahu kelemahan sang ayah jika dirinya sudah merengek. Meskipun sudah ada Leon, Grace tetap memiliki sikap manja.

Grace mendekati sang ayah, memeluknya dari samping. "Pa, Grace akan tinggal dan tidak pergi lagi."

Itulah alasan yang bisa Grace gunakan untuk meredam kemarahan Victor, setidaknya dirinya bisa tenang sejenak hingga dia bisa mendapatkan benih Max.

Victor hanya menggeleng lirih kemudian berjalan menuju meja makan, yang diikuti Grace dan sang ibu. Di meja itu sudah tersedia makanan yang sajikan ART.

"Lalu apa rencanamu sekarang?" tanya Victor di sela-sela makan.

Grace mendongak melihat sang ibu kemudian ke ayahnya. "Grace tidak ada rencana, hanya ... Grace akan tinggal di rumah Max."

Pernyataan Grace hampir saja membuat Victor tersedak. "Papa tidak salah dengar?"

Wanita muda itu menaikkan dua alisnya seraya mengangguk. "Benar, Pa. Grace akan kembali padanya."

"Kau yakin?" sahut Evelyn memastikan. Wanita paruh baya itu tidak yakin jika semua akan berjalan lancar. Dia sangat mengenal Max.

"Max tidak marah padamu, setelah apa yang kau lakukan padanya?" Victor jauh lebih penasaran.

Grace mengangguk pasti. "Papa dan mama, tenang saja, Grace bisa atasi itu."

Dia yakin dengan keputusannya, dan dia berusaha menghilangkan keraguan kedua orangtuanya tersebut.

Setelah makan, Grace langsung berpamitan meninggalkan meja makan lebih dulu. "Grace ke kamar dulu, Ma. Capek."

Victor hanya mengamati sang anak dengan rasa yang sulit diungkapkan. Bagaimanapun Grace tetaplah anaknya.

"Mama setuju, Pa, jika Grace mau kembali dengan suaminya. Itu juga bukan ide yang buruk, kan?" ucap Evelyn mengembalikan kesadaran Victor.

"Tapi, apa Mama yakin Max mau menerima Grace lagi?" Victor nampaknya tidak yakin.

"Kita lihat saja nanti, kita serahkan semuanya pada Grace. Mama yakin dia bisa memperbaiki hubungannya dengan Max."

Tiba di lantai atas, Grace membuka pintu kamar yang sudah lama dia tinggalkan. Meski tidak ditempati, tapi kamarnya tetap bersih dan harum. Seketika ingatan Grace kembali ke masa sebelum dia terikat perjodohan dengan Max.

Dulu, Grace begitu kecewa dengan keputusan papanya yang menjodohkan dia dengan Max. Tidak bisa lari dari pernikahan itu, Grace pun nekat merencanakan hal gila.

Dalam rencananya, Grace seharusnya bisa kabur dengan statusnya yang masih perawan. Sayang, karena Max sempat memergokinya, Grace jadi harus putar otak. Dia mengelabui pria itu, hingga malam panas pun tak terhindari.

Barulah, setelah merasa aman karena Max tertidur pulas, Grace pergi. Wanita itu langsung pergi tanpa meninggalkan pesan apapun pada suaminya. Kemudian, selang satu bulan pelariannya, Grace dinyatakan hamil oleh dokter kandungan di Jerman. 

Grace ingat betul, masa kehamilan itu adalah masa yang sulit bagi Grace, sebab dia hanya seorang diri di negeri orang.

Mengingat hal itu, Grace jadi ingat jika dia harus segera menghubungi sang anak. Wanita itu lantas duduk di tepi ranjang. Jemarinya mulai menekan deretan angka dan melakukan panggilan video.

"Hai, Sayang ..." sapa Grace ketika wajah Leon terpampang pada layar ponsel.

Grace bisa melihat wajah tampan nan pucat tersenyum cemberut.

"Mommy kapan kembali? Leon rindu Mommy."

Wanita itu tersenyum lembut, berusaha menghibur sang anak. "Leon tunggu ya, mommy pasti segera kembali setelah semua urusan mommy selesai. Leon mau mommy belikan apa?"

Leon menggeleng. "Leon tidak mau apapun. Leon cuma mau ditemani Mommy."

"Di sana ada Om Brian dan Aunty Stella, 'kan?"

"Ya, tapi Leon disuruh tidur terus. Leon bosan, Mom. Leon ingin bermain," keluh sang anak.

"Tunggu ya, sekarang Leon memang harus istirahat. Leon tidak boleh terlalu capek, atau nanti bisa sesak ... Leon harus sembuh ya, Sayang. Mommy sayang Leon ..."

Tidak terasa buliran bening ingin menerobos keluar pada sudut mata Grace. Namun, dia menghapusnya cepat, tidak ingin memperlihatkan di hadapan sang anak.

Leon tersenyum tipis.

"Ya sudah, Leon istirahat ya .... Bye, Sayang."

Grace mengakhiri panggilan itu dengan terkejut. Sebab, di ambang pintu kamarnya, Evelyn sedang berdiri.

"Siapa Leon?"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status