Sekian detik berpikir bagaimana cara mengusir mereka, akhirnya Brian menyetujui ide Stella. Jika tidak, mereka tidak akan pergi dari area itu.
"Oke boleh juga idemu," ujar Brian sepakat.Stella sesaat mengambil ponsel, kemudian menghubungi sahabatnya yang berprofesi polisi. Ia mengatakan jika dirinya baru saja diikuti sebuah mobil dan mereka masih menunggu di depan rumah sakit itu.Dengan gaya khas Stella, wanita itu berhasil meyakinkan temannya tersebut. Sebagai seorang polisi, tentu saja sudah menjadi tugas Kevin melindungi warga negara di daerahnya."Baiklah, sebutkan jenis kendaraan dan plat yang kamu ketahui, Stella. Aku secepatnya tiba di sana," ucap Kevin."Aku tidak melihat pasti nomor mobil itu, tapi mereka memakai Jeep hitam, dan sekarang mereka masih berada di area rumah sakit.""Kenapa kamu tidak hubungi petugas keamanan di sana?""Kamu tau kan, apa yang aku inginkan. Aku tidak ingin mereka tau jika aku yangSetelah mematikan sambungan telepon, Alfonso mencari keberadaan Carlos. Rupanya sejak tadi ia tidak melihat rekannya. Bergegas ia berkeliling area itu. Namun, tidak ketemu juga. Pria itu bahkan mengumpat sepanjang langkahnya. "Ke mana sih dia? Awas saja jika aku tau dia enak-enakan!"Setelah mencari di berbagai tempat tapi tidak ada hasil, Alfonso berdiri di area samping rumah sakit itu dengan kedua tangannya di pinggang. Wajahnya pun sudah memerah karena kesal.Akhirnya, Alfonso putuskan menunggu beberapa saat di sana, sembari matanya mencari sosok rekannya ke sana kemari. Pria itu lantas berjalan lagi dan bertemu Carlos di tikungan. Hampir saja keduanya bertabrakan. "Dari mana saja kau!" hardik Alfonso terkejut.Begitu pula Carlos. "Kau juga, bisa-bisanya mengagetkan!""Aku mencarimu?" balas Alfonso, kemudian melihat wajah Carlos. "Apa yang kau dapatkan?"Carlos menggeleng. "Tidak, aku belum menemukan pria itu. Kau
Sementara di negara Italia, setelah pulang dari kantor, Grace menyambut kedatangan Max yang hendak masuk. Ia berjalan dengan anggun dalam balutan dress selutut yang menjadi kebiasaan wanita itu di rumah. Senyumannya selalu merekah menghiasi di bibir tipis itu."Hai, Sayang ..." sapa Grace mengalungkan kedua tangannya pada leher sang suami.Max membalas dengan senyuman hangat. "Hmm ... Apa yang membuatmu ceria seperti ini?" herannya menyipitkan mata.Wanita itu berlagak manja. "Tidak ada, aku ya seperti biasanya," balas Grace terkekeh kecil."Kamu yakin tidak sedang menggodaku?" Max menarik pinggang wanita itu semakin rapat, hingga Grace terjingkat kaget."Aw, Max!" Grace terkesiap. Tatapan keduanya mulai beradu. Max merasakan hatinya penuh cinta. Kemudian menunduk, menciumi ceruk leher sang istri. "Awas, Christ melihatnya ...!" sambungnya terkikik."Christ tidak ada, jangan mengelabuiku, Sayang ..." Ucapan Max membuat Grace
Melihat Grace membaca pesan dengan tampak serius pada ponselnya, Max seketika menjadi ingin tahu, siapa yang mengirimi pesan sang istri?"Dari siapa?" Max mencari celah berusaha ikut membaca isinya."Dari Agatha, Max. Katanya diadakan pestanya akhir minggu besok.""Kau mau datang?" tanya Max menunggu jawaban yang diangguki wanita itu. "Serius kau datang?""Iya, Max. Apa salahnya aku datang juga? Toh, acaranya juga biasa saja.""Dengan siapa kau datang?"Grace terbeliak, tidak biasanya pria itu bersikap sangat posesif. "Kamu tidak sedang mencemburuiku, kan? Kamu ijinkan aku pergi kan, Max ..." pintanya mengatupkan kedua telapak tangan, seperti anak kecil meminta uang saku."Boleh, asalkan aku ikut?""Max! Ini hanya pesta wanita. Aku takut jika kamu ikut mereka tidak membawa pasangan. Bagaimana denganmu? Apa kau juga mau bergabung dengan kami para wanita?" cerocos Grace memberondong pertanyaan."Bukan masalah, aku bisa pesan meja sendiri. Dan kau ... berpestalah. Aku tidak akan mendeka
Tatapan Max semakin menajam saat melihat Grace justru semakin meliukkan badan di atas meja. Pria itu merasa geram karena banyaknya pasang mata yang melihat kemolekan sang wanita.Tanpa banyak kata, pria itu langsung menggapai kaki Grace dan menggantungkan tubuh wanita itu pada pundaknya, seolah pria itu sedang membawa karung beras. "Max, turunkan aku!" tolak Grace meronta.Max terus berjalan seraya mencengkram kuat kedua kaki Grace agar bisa diam. Meskipun semua sahabat sang istri melihatnya, ia tidak pedulikan. Nyatanya, Grace terus memberontak, memukul punggung sang suami dengan kakinya terus bergerak."Diam! Kau membuatku malu!" gertak Max. Tetapi, wanita itu tetap saja melawan."Max! Cepat turunkan aku! Pestanya belum selesai!" "Tidak! Sudah cukup kau bersenang-senang! Sekarang kau harus pulang!"Pasangan suami istri itu tidak hentinya saling beradu mulut. Akan tetapi, Max tetap memaksa Grace masuk ke dalam mobil.
Arthur menghentikan mobil sportnya tepat di depan kedua paruh baya itu. Victor dan Evelyn pun melihat seorang pria muda membuka pintu, lantas turun dari mobil mewah tersebut."Arthur?!"Pasangan suami istri itu terbelalak saat mengenal sosok pria yang menyapanya."Hai, Paman. Hai, Tante. Selamat Pagi! Wah ..., mau ke mana ini kalian sudah rapi sekali ...?" ucap Arthur tersenyum lebar. Pria itu bahkan menampakan deretan giginya."Tante kira siapa yang bawa mobil keren ini!" puji Evelyn dengan rasa kagum."Biasa Tan, anak muda ... Hahaha ...!" tawanya tergelak. "Omong-omong Paman dan Tante mau ke mana?" Arthur melihat keduanya dari atas hingga ujung kaki."Oh ... kami mau ke rumah Grace. Sudah lama tante belum ketemu dia lagi. Tante rindu, sekalian mau lihat keadaannya," balas Evelyn kemudian memberi tawaran. "Kamu mau ikut?"Arthur sejenak terdiam. Terakhir kali ia bertemu dengan sepupunya memang sudah lama. Saat ada orang yang mengintai Leon. "Boleh deh, Tan, kalau aku tidak ganggu ac
Grace tidak menduga jika di saat dirinya tidak ada di rumah, kedua orang tuanya beserta Arthur datang ke rumahnya pagi-pagi sekali. Padahal, sejak kemarin ia berencana memeriksa darahnya di rumah sakit. Wanita itu ingin segera mengetahui hasil setelah dirinya melakukan penyatuan dengan Max sebelumnya. Mendengar pertanyaan sang mama, Grace seketika tergugu. "A-ku ..." Grace bingung hendak menjawab di mana dirinya saat ini. Tidak mungkin ia beralasan berada di kantor. Apalagi jika sang ayah datang ke kantornya jika ia beralasan bekerja. "Bagaimana ini?" batinnya kebingungan."Kamu di mana, Grace?" tanya Evelyn mengulang."Maaf, Ma. Aku ada keperluan mendadak yang harus kulakukan," jawabnya memberi alasan.Evelyn mengerutkan kening seakan ragu, "Sepagi ini?" "Ya, Ma. Karena mereka akan kembali secepatnya."Sedikit keraguan Evelyn mendengar alasan Grace, tapi ia sendiri juga tidak bisa pungkiri jika sang anak memang penggila bisnis. "Kapan kita bisa bertemu?"Victor dan Arthur saling b
Dengan penuh rasa penasaran yang semakin kuat, Freya menyelinap mendekati Grace yang sedang berada di kafetaria. Tentu saja wanita itu ingin tahu lebih, tentang apa yang dilakukan Grace di rumah sakit itu.Langkah hati-hatinya, membawa Freya semakin dekat pada istri Max. Di lain sisi, Freya juga tidak ingin jika Grace mengetahui dirinya akan menjemput sang ibu. Terlebih mengetahui tentang semua yang terjadi di dalam keluarganya, serta jati dirinya."Terima kasih," ucap Grace sambil menerima satu cup minuman berisi vanilla latte.Freya memundurkan langkahnya di balik pilar besar, agar dirinya tidak terlihat oleh Grace yang berjalan ke arahnya. "Mau ke mana dia?" gumamnya.Wanita itu terus saja mengikuti langkah Grace yang akan menuju ruang laboratorium guna mengambil hasil penelitian.Di saat menyusuri koridor-koridor rumah sakit, Grace sambil merencanakan apa yang harus ia lakukan lebih dulu agar Max tidak mencurigainya. "Semoga saja hasilnya positif," lirih wanita itu penuh harap. "
Tiidak kuat menahan rasa marah. Tanpa aba-aba Grace langsung menerjang Freya, merampas kembali kertas miliknya, kemudian mendorong wanita jahanam itu."Sekali lagi kau ikut campur urusanku, aku tidak akan segan mengotori tanganku!" gertak Grace penuh kilatan amarah pada sorot matanya.Freya terbelalak hampir saja terhuyung ke belakang andai ia tidak bisa menjaga keseimbangan. Beruntungnya, Freya melakukan itu dengan cepat sekaligus mengembalikan ekspresi keterkejutannya. Ia tidak menduga jika Grace bisa berbuat kasar dan nekat seperti itu.Freya lantas menarik sudut bibirnya. "Hah, kau pikir aku akan tinggal diam! Aku juga akan terus menghalanginya. Aku pasti bisa menyingkirkanmu dari sisi Max! Tunggu saja setelah aku dapat bukti-bukti itu, Grace! Kau pasti menyembunyikan rahasia ...! Hahaha ..." Setelah puas mengancam Grace, Freya meninggalkan wanita itu sendiri. Grace terpaku menatap hasil Lab yang sudah kusut tak beraturan. Perlahan tanganny
Mendengar permintaan Freya di seberang panggilan, membuat Daren berdecak kesal. Pasalnya, belum saja keduanya bekerja sama, Freya sudah meminta pinjaman dana untuk perusahaan wanita itu. "Enak saja kamu belum apa-apa sudah pinjam dana!" geram Darren. "Buat aku bertemu Chelsea dulu, baru aku berikan suntikan dana!""Aku janji, Darren. Setelah ini aku pastikan kamu bertemu dengan istrimu lagi ...."Bujuk rayuan Freya kerahkan untuk menyelamatkan perusahaannya. Hanya Darren penolongnya saat ini."Kapan aku bisa bertemu dengannya?" tanya Darren memastikan. "Kalau kamu saja tidak yakin, bagiamana denganku? Sorry, aku tidak bisa memberimu pinjaman!"Merasakan gelagat Darren akan menutup telepon, Freya cepat memberi tanggapan atas pertanyaan pria itu. Wanita itu sontak berseru."Lusa, Darren! Aku pastikan lusa kamu bisa bertemu dengan Chelsea!" ucap Freya sangat percaya diri. Meski ia sendiri juga tidak yakin, yang terpenting adalah Vi
Di negara Turki, Steve dan Agatha sedang berada di Cappadocia. Salah satu tempat yang menawarkan pemandangan menakjubkan berupa lanskap berbatu dengan balon udara yang menghiasi langit, menciptakan pemandangan yang spektakuler.Pasangan yang berbulan madu di sini bisa menikmati sensasi terbang dengan balon udara sambil melihat keindahan alam Cappadocia dari ketinggian. "Apa kamu menyukainya?" tanya Steve.Wanita yang kini menjadi istrinya itu, bersandar pada dada bidang Steve, lalu mendongak, "Hm, aku sangat menyukainya. Tempat ini sangat menakjubkan!""Aku pun juga begitu. Meskipun aku sudah mengunjungi banyak negara, tapi ini lebih berbeda .... Beda karena ada kamu di sisiku," balasnya kemudian mengecup bibir sang wanita. "Kamu percaya aku begitu mencintaimu?"Dengan cepat Agatha mengangguk, "Aku sangat percaya padamu. Untuk apa aku menerima lamaranmu kalau aku tidak yakin dengan suamiku?"Pria itu tersenyum lembut dan se
Mendengar ucapan Freya, Darren berdecih. Bagaimana ia harus mempercayai wanita itu? Sementara sebelumnya, dirinya dan Freya sedang membuat janji bertemu di resto itu."Apa kamu tidak terlalu licik, Miss Freya? Kamu pikir bisa membohongiku lagi?" sarkas Darren. "Kenapa kamu tadi tidak datang? Huh, dasar wanita penipu!"Keduanya memang hendak bertemu di resto itu. Namun, saat Freya hampir menginjakkan kaki ke dalam, ia melihat kekacauan akibat Darren yang membuat onar. "Apa kamu gila Tuan Darren?! Kamu mau menunjukkan pada Grace jika kita menjalin kerja sama?" Nada suara Freya meninggi satu oktaf.Darren terbeliak, "Jadi kamu melihatnya?"Terdengar gelak tawa membahana dari Freya, "Apa yang tidak kuketahui, Tuan Darren?" sindirnya.Sejenak Darren memupuk dirinya untuk mempercayai ucapan wanita itu lagi. Sulit baginya untuk percaya wanita seperti Freya. Darren pun juga banyak mengetahui tentang sepak terjang Freya di dunia bisnis.
Semua mata tertuju pada sosok pria yang berjalan cepat dengan membawa pecahan botol di tangannya. Kedua mata dengan api dendam, membutakan Darren membunuh wanita yang menjadi target utama, adalah mantan kakak ipar. Namun, sepertinya Darren sudah melupakan itu. Grace melihat semua itu serasa detak jantungnya berhenti sepersekian detik, ketika melihat Darren hendak membunuhnya. "AAAA ...!!" Namun, tiba-tiba saja sebuah tendangan tepat sasaran mengenai tangan Darren sebelum aksi pria itu berjalan lancar, hingga pecahan botol dalam genggamannya terlempar jauh. TRANK! PYAR! "ARGH!! SIALAN!!" umpat Darren membungkuk, memegang pergelangan tangan, "Brengsek! Siapa berani menghalangiku!" Grace langsung berdiri dan menjauhi Darren. Ia melihat sosok pria yang samar-samar ia kenal mendekatinya. "Apa Nyonya terluka?" tanya Kenan. "Ak-aku tidak apa-apa." Grace masih
Setelah menghabiskan malam bergairah, dan obrolan sesaat sebelum keduanya terlelap. Max mengatakan jika saat Grace pergi, Chelsea berada di rumahnya. Pria itu juga mengatakan bila Darren bukan lagi suami sang adik. Sesaat Grace terkejut mendengarnya, tapi apa boleh buat. Semua keputusan ada di tangan Chelsea dan Max. Hingga pagi ini, Grace dibuat sakit kepala entah karena apa ia sendiri juga tidak tahu. "Ada apa dengan kepalamu, Baby?" tanya Max menghentikan pergerakan tangan. Max yang sudah bersiap dengan setelan jas dan kemeja berdiri merapikan dasi, tatapannya sontak terarah pada sang wanita dari pantulan cermin yang duduk di atas ranjang dengan memegang kepala. "Uhm, tidak tau, Max. Kepalaku berdenyut sekali." "Apa tidurmu tidak nyenyak? Atau ... ada yang menganggu pikiranmu?" "Tidak ada, aku tidak pikirkan apapun. Tapi ... tidak apa, nanti aku minum obat saja," ujar Grace segera mengalihkan perhatian sang suami. "Ya sudah, kalau begitu tidak perlu ke kantor." "Hm,
Grace kini sedang bermanja-manja, menghabiskan waktu dengan sang suami. Pasalnya sejak kepulangannya dari Jerman, pria itu tidak sedetik pun melepaskan pelukannya.Keduanya kini sedang berada di atas ranjang dalam kamar luas dengan interior mewah. Grace berusaha melonggarkan kedua tangan sang pria yang berada di tubuhnya."Max, lepas! Sudah berapa lama kamu seperti ini, hm?" geram Grace tidak bisa berkutik."Sebentar lagi, aku masih rindu dengan aroma tubuh ini ..." Max tak hentinya menciumi ceruk leher sang istri dan mengendus aroma shampo pada rambut kepala Grace."Ya ... tapi ini sudah sangat lama, Max. Aku tidak bisa bergerak. Ayolah geser sedikit ..." Sang wanita berusaha mendorong dada bidang suaminya. Namun apa daya, tenaganya jelas kalah dari pria itu."Hanya sebentar, Sayang. Sebentar saja ..." Lagi-lagi Grace tidak bisa menolak permintaan sang pria. "Ya sudah, waktumu hanya sepuluh menit saja, Max! Ingat! Sepuluh menit!"Max terkekeh mendengar celotehan sang istri yang sema
Freya segera menatap ke arah Darren, kemudian tersenyum tipis. "Sepertinya saya harus menerima panggilan telepon terlebih dahulu. Baru kita sambung pembicaraan ini." "Terserah. Karena sepertinya saya juga harus pergi dari sini!" sahut Darren dingin, "jadi saya tidak akan tertarik. Jika Anda berpikir saya akan menunggu Anda kembali." Ia bangkit berdiri, sambil merapikan kedua sisi jasnya dengan raut angkuh. Freya memandang pria yang kini berdiri di hadapannya. "Oleh karena itu, simpan saja pembicaraan omong kosong Anda atau pertanyaan konyol selanjutnya!" Darren berbalik. Lalu, pria itu melangkah tegap meninggalkan Freya yang ternganga lebar, tidak percaya dirinya ditinggalkan seperti sebuah benda tidak berharga. "What the—" Freya menggeram. Ia bahkan terlupa dengan ponselnya yang sedari tadi bergetar, hingga akhirnya berhenti dengan sendirinya. Saat baru tersadar, dirinya dengan cepat menoleh ke bawah, hanya untuk melihat layarnya berubah menjadi hitam. Freya berdeci
Keduanya sama-sama tersentak kaget. Namun, segera mengubah ekspresi wajah masing-masing dengan kikuk menjadi datar dan angkuh, membuat kedua petugas itu curiga, jika mereka saling mengenal. Di tengah kecanggungan, salah seorang petugas justru bersiap membuat kejadian buruk di masa depan, bakal terjadi. "Hey, kalian tidak bisa mendorongku seenaknya seperti ini?!" maki pria itu sambil memutar tubuhnya dan menodongkan jari telunjuk sedikit kasar pada wajah salah seorang petugas, yang berusaha ditepis oleh petugas yang lain. "Jaga sikap Anda, Tuan!""Kalian yang seharusnya jaga sikap!" Darren balas berteriak. Napasnya sedikit tersengal. Ia pun mengatur napas terlebih dulu agar tenang,sebelum meneruskan ucapan, "Aku tidak mengundang kalian untuk datang. Tapi, karena kalian telah lebih dulu datang dan justru mencegat diriku masuk. Maka—""Jangan banyak bicara, Tuan! Lebih baik, Anda segera pergi. Karena kehadiran Anda, tidak diterima di sini!" sahut salah seorang petugas keamanan denga
Grace tiba-tiba menghentikan langkah. Ia juga mengusap tengkuknya yang seketika meremang. Lalu, menoleh cepat ke belakang. Namun, tidak ada aktivitas mencurigakan di sana, membuatnya mengernyitkan dahi. "Sepertinya Aku terlalu berhalusinasi!" Kedua bahunya menggendik. Lalu, kembali berbalik dan meneruskan langkah.Grace mengangguk kecil pada Edward yang berdiri di depan pintu, saat lelaki itu mengangguk hormat padanya dan menyilakan masuk. "Di mana Stella?" "Ada di ruangannya, Nyonya. Mungkin sedang beristirahat. Apa perlu Saya panggilkan?""Tentu. Panggil dia, karena ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan, sebelum kepulangan nanti.""Baik, Nyonya!"Grace terus melangkah menuju sang putra, yang ternyata telah terlelap dalam buaian mimpi. Tuan Fufu bahkan tidak lepas dari pelukan, membuatnya sedikit tersenyum simpul, terlebih kala teringat pertanyaan anaknya itu beberapa waktu sebelumnya. Tentang alasan kenapa ia membelikan boneka, alih-alih robot ataupun mainan khas anak laki-lak