Max dan Freya rencananya akan membahas tentang kerja sama yang terjalin antar kedua perusahaan tesebut. Kerja sama Vista Ventures dan McKesson Group yang sudah berjalan satu bulan.Freya menyambut hangat kedatangan sang pria. Wanita itu bahkan berdiri menghampiri Max dan mengajaknya. "Ayo duduk, Max."Max hanya mengikuti apa yang diucapkan Freya tanpa berkata."Apa yang membuatmu datang lebih cepat, Max?" tanya Freya mengalihkan perhatian Max agar ia lupa dengan pertanyaannya tadi.Tetapi, berbeda dengan Max. Pria itu masih saja mengungkit pertanyaan yang belum ia ketahui jawabannya. "Tidak ada yang membuatku datang lebih cepat, Freya. Hanya saja tidak ada kemacetan di jalan, jadi aku tiba sebelum waktunya. Siapa yang kau katakan pria brengsek tadi? Apakah aku?""Bukan, Max! Aku tidak sedang membicarakanmu," kilah Freya dengan cepat. Kemudian ia mengubah ekspresi wajahnya, tersenyum. "Oohh ... karena tidak macet, ya. Jadi kau sekarang mau
Semua mata tertuju pada gambar video panggilan Alfonso, terutama Freya. Kemudian Jack berdecak. "Ck, siapa yang kau tunjuk! Itu hanya anak kecil, Bos! Orang yang kita cari bukan dia!" "Benar, kata Bos Jack. Target kita bukan anak kecil." Alfonso menimpali."Apa kau yakin informan itu?" ketus Freya bimbang. Tapi, dia sendiri juga yakin jika Grace menyembunyikan laki-laki lain di rumah sakit itu."Tentu saja informasi itu benar. Katanya, beberapa kali sebelum wanita itu kembali ke Italia, dia terlihat bolak balik ke rumah sakit ini. Aku yakin dia punya rahasia di sini.""Lalu, sekarang apa yang kalian dapatkan, hah?! Sudah satu minggu kalian tidak dapatkan hasil apapun! Memang kalian tidak becus!"Sementara di seberang sana, mata Brian melihat dua sosok yang sejak tadi ia khawatirkan, Stella sedang mendorong kursi roda Leon. "Om Brian, ada apa?" Leon bertanya saat melihat sang dokter merunduk dengan terengah di depannya.
Sekian detik berpikir bagaimana cara mengusir mereka, akhirnya Brian menyetujui ide Stella. Jika tidak, mereka tidak akan pergi dari area itu."Oke boleh juga idemu," ujar Brian sepakat.Stella sesaat mengambil ponsel, kemudian menghubungi sahabatnya yang berprofesi polisi. Ia mengatakan jika dirinya baru saja diikuti sebuah mobil dan mereka masih menunggu di depan rumah sakit itu.Dengan gaya khas Stella, wanita itu berhasil meyakinkan temannya tersebut. Sebagai seorang polisi, tentu saja sudah menjadi tugas Kevin melindungi warga negara di daerahnya."Baiklah, sebutkan jenis kendaraan dan plat yang kamu ketahui, Stella. Aku secepatnya tiba di sana," ucap Kevin."Aku tidak melihat pasti nomor mobil itu, tapi mereka memakai Jeep hitam, dan sekarang mereka masih berada di area rumah sakit.""Kenapa kamu tidak hubungi petugas keamanan di sana?""Kamu tau kan, apa yang aku inginkan. Aku tidak ingin mereka tau jika aku yang
Setelah mematikan sambungan telepon, Alfonso mencari keberadaan Carlos. Rupanya sejak tadi ia tidak melihat rekannya. Bergegas ia berkeliling area itu. Namun, tidak ketemu juga. Pria itu bahkan mengumpat sepanjang langkahnya. "Ke mana sih dia? Awas saja jika aku tau dia enak-enakan!"Setelah mencari di berbagai tempat tapi tidak ada hasil, Alfonso berdiri di area samping rumah sakit itu dengan kedua tangannya di pinggang. Wajahnya pun sudah memerah karena kesal.Akhirnya, Alfonso putuskan menunggu beberapa saat di sana, sembari matanya mencari sosok rekannya ke sana kemari. Pria itu lantas berjalan lagi dan bertemu Carlos di tikungan. Hampir saja keduanya bertabrakan. "Dari mana saja kau!" hardik Alfonso terkejut.Begitu pula Carlos. "Kau juga, bisa-bisanya mengagetkan!""Aku mencarimu?" balas Alfonso, kemudian melihat wajah Carlos. "Apa yang kau dapatkan?"Carlos menggeleng. "Tidak, aku belum menemukan pria itu. Kau
Sementara di negara Italia, setelah pulang dari kantor, Grace menyambut kedatangan Max yang hendak masuk. Ia berjalan dengan anggun dalam balutan dress selutut yang menjadi kebiasaan wanita itu di rumah. Senyumannya selalu merekah menghiasi di bibir tipis itu."Hai, Sayang ..." sapa Grace mengalungkan kedua tangannya pada leher sang suami.Max membalas dengan senyuman hangat. "Hmm ... Apa yang membuatmu ceria seperti ini?" herannya menyipitkan mata.Wanita itu berlagak manja. "Tidak ada, aku ya seperti biasanya," balas Grace terkekeh kecil."Kamu yakin tidak sedang menggodaku?" Max menarik pinggang wanita itu semakin rapat, hingga Grace terjingkat kaget."Aw, Max!" Grace terkesiap. Tatapan keduanya mulai beradu. Max merasakan hatinya penuh cinta. Kemudian menunduk, menciumi ceruk leher sang istri. "Awas, Christ melihatnya ...!" sambungnya terkikik."Christ tidak ada, jangan mengelabuiku, Sayang ..." Ucapan Max membuat Grace
Melihat Grace membaca pesan dengan tampak serius pada ponselnya, Max seketika menjadi ingin tahu, siapa yang mengirimi pesan sang istri?"Dari siapa?" Max mencari celah berusaha ikut membaca isinya."Dari Agatha, Max. Katanya diadakan pestanya akhir minggu besok.""Kau mau datang?" tanya Max menunggu jawaban yang diangguki wanita itu. "Serius kau datang?""Iya, Max. Apa salahnya aku datang juga? Toh, acaranya juga biasa saja.""Dengan siapa kau datang?"Grace terbeliak, tidak biasanya pria itu bersikap sangat posesif. "Kamu tidak sedang mencemburuiku, kan? Kamu ijinkan aku pergi kan, Max ..." pintanya mengatupkan kedua telapak tangan, seperti anak kecil meminta uang saku."Boleh, asalkan aku ikut?""Max! Ini hanya pesta wanita. Aku takut jika kamu ikut mereka tidak membawa pasangan. Bagaimana denganmu? Apa kau juga mau bergabung dengan kami para wanita?" cerocos Grace memberondong pertanyaan."Bukan masalah, aku bisa pesan meja sendiri. Dan kau ... berpestalah. Aku tidak akan mendeka
Tatapan Max semakin menajam saat melihat Grace justru semakin meliukkan badan di atas meja. Pria itu merasa geram karena banyaknya pasang mata yang melihat kemolekan sang wanita.Tanpa banyak kata, pria itu langsung menggapai kaki Grace dan menggantungkan tubuh wanita itu pada pundaknya, seolah pria itu sedang membawa karung beras. "Max, turunkan aku!" tolak Grace meronta.Max terus berjalan seraya mencengkram kuat kedua kaki Grace agar bisa diam. Meskipun semua sahabat sang istri melihatnya, ia tidak pedulikan. Nyatanya, Grace terus memberontak, memukul punggung sang suami dengan kakinya terus bergerak."Diam! Kau membuatku malu!" gertak Max. Tetapi, wanita itu tetap saja melawan."Max! Cepat turunkan aku! Pestanya belum selesai!" "Tidak! Sudah cukup kau bersenang-senang! Sekarang kau harus pulang!"Pasangan suami istri itu tidak hentinya saling beradu mulut. Akan tetapi, Max tetap memaksa Grace masuk ke dalam mobil.
Arthur menghentikan mobil sportnya tepat di depan kedua paruh baya itu. Victor dan Evelyn pun melihat seorang pria muda membuka pintu, lantas turun dari mobil mewah tersebut."Arthur?!"Pasangan suami istri itu terbelalak saat mengenal sosok pria yang menyapanya."Hai, Paman. Hai, Tante. Selamat Pagi! Wah ..., mau ke mana ini kalian sudah rapi sekali ...?" ucap Arthur tersenyum lebar. Pria itu bahkan menampakan deretan giginya."Tante kira siapa yang bawa mobil keren ini!" puji Evelyn dengan rasa kagum."Biasa Tan, anak muda ... Hahaha ...!" tawanya tergelak. "Omong-omong Paman dan Tante mau ke mana?" Arthur melihat keduanya dari atas hingga ujung kaki."Oh ... kami mau ke rumah Grace. Sudah lama tante belum ketemu dia lagi. Tante rindu, sekalian mau lihat keadaannya," balas Evelyn kemudian memberi tawaran. "Kamu mau ikut?"Arthur sejenak terdiam. Terakhir kali ia bertemu dengan sepupunya memang sudah lama. Saat ada orang yang mengintai Leon. "Boleh deh, Tan, kalau aku tidak ganggu ac