Sepeninggal Max dan Grace, Alex dan Felly sempat mencari pasangan suami istri itu. Namun, supir keluarga Dicaprio mengatakan, jika sang majikan yang dicari sudah pulang lebih dulu.
Tiba di rumah, Max dan Grace langsung ke kamar masing-masing. Pasangan suami istri itu tampak terlihat lebih akur. Max naik ke lantai dua, sementara Grace masih menempati di kamar tamu.Sebelum Grace benar-benar masuk ke dalam kamarnya, Max bertanya. "Kau mau makan malam, Sayang?"Grace menoleh kemudian menggeleng. "Tidak, Max. Aku rasa perutku bukan balon," kekehnya."Ya sudah, mandilah," balas Max tersenyum tipis.Pria itu kemudian melanjutkan langkah kakinya, meniti anak tangga menuju kamar sembari melonggarkan dasi, setelah Grace menutup pintu rapat."Hari yang melelahkan," gumam Max yang kemudian melepas jas serta kemejanya.Max sejenak termenung duduk di tepi ranjang, pria itu memikirkan suasana saat di pesta Chelsea."MengapaMax melangkah dengan tatapan semakin menajam, seolah harimau yang siap menerkam mangsa. Kedua tangannya pun terulur menarik kepala Grace, berada di tengkuk belakang wanita itu. Rasa cemburunya mengalahkan rasa takut, hingga membuat Max tidak lagi menghindari tatapan sang istri.Gelombang gairah bergelung dalam pasangan suami istri itu. Ia mengikuti nalurinya, Max menggunakan insting untuk memulai semuanya. Meskipun mereka pernah melakukan malam panas sebelumnya, tetapi masih tercipta rasa malu-malu di antara keduanya."Kau benar-benar sangat cantik," puji Max terdengar mendesis.Grace membalas tersenyum dengan tatapan menggoda.Embusan napas berat Max bisa dirasakan Grace hingga menembus kulit wajahnya. Wanita itu reflek memejamkan mata saat Max semakin mendekatkan muka. Pria tampan itu kemudian mengecup bibir tipis Grace dengan lembut. Ada rasa manis dan mint dalam kecupan hangat itu. Ciuman yang berawal pelan, semakin lama menjadi
Grace yang sedang berpose seksi membuat Max ingin segera menerkamnya. Max merangkak di atas tubuh wanita itu. Kemudian kedua bibir saling berciuman, Max melumat seluruh bibir sang istri hingga bagian terdalam."Oh, Max ..." Desahan lolos begitu saja setelah Max melepasnya ciuman.Puas dengan bagian atas, Max semakin turun hingga perut bagian bawah pun tak luput dari bibir maskulin sang suami."Kau suka ...?" tanya Max di sela-sela gelitikan.Grace hanya bisa merintih nikmat, bukan kesakitan, tapi nikmat tak tertahan.Max mulai menggelitik dengan lidah hingga wanita itu menggeliat, dan terus meliuk. Tak berhenti di situ, Max lantas membuka kedua kaki Grace yang terlihat putih tak tercela. Pria itu menggeleng pelan, mengungkapkan rasa kagumnya."Pantas saja semua pria terpesona padamu, Sayang," ucap Max.Pria itu duduk bertumpu pada kedua kakinya di depan kaki Grace yang terbuka. Ia semakin antusias dengan membungkukk
Setelah beradu peluh hampir semalaman. Max hanya membungkus Grace dan dirinya di bawah selimut, tanpa mengijinkan wanita itu memakai baju tidurnya.Pagi ini, Grace merasakan pegal-pegal di sekujur tubuhnya. "Urgh ..."Wanita itu menggeliat kecil dan baru sadar jika ia tidak tidur sendirian tadi malam. Grace bisa melihat paras tampan sang suami yang masih terpejam menghadapnya.Tanpa sadar, jemari telunjuknya menyentuh dari alis tebal, kemudian mengikuti alur ke hidung hingga turun ke bibir pria itu. "Kenapa dia tampan sekali?" Sungguh, Grace baru menyadari jika ketampanan anaknya ternyata dari Max semua. Mungkin ia hanya menyumbang beberapa persen saja untuk Leon.Sentuhan jemari lentik itu akhirnya membangunkan Max, tetapi ia berpura-pura terpejam, dan juga gumaman Grace membuat Max semakin besar kepala. Rasanya ia ingin membuka mata dan memeluk erat sang wanita."Sudah bangun, hm?" tanya Max pada akhirnya
Seorang pria berbadan tegap dan kekar duduk di sofa lobi gedung Phoenix Enterprises. Grace terpana saat karyawannya mengatakan, seseorang sedang menunggu kedatangannya. Wanita itu menghampiri pria tersebut yang sudah berdiri memberi hormat. "Selamat pagi, Nyonya Grace," sapa pria itu. Grace sedikit terkejut karena pria tersebut ternyata sudah mengetahui namanya. "Apa aku mengenalmu? Kenapa kamu tau namaku?" Pria itu tersenyum tipis. "Saya mengenal Anda, Nyonya. Perkenalkan, nama saya Edward." "Lalu?" Grace memiringkan kepalanya sedikit, masih bingung dengan ucapan pria itu. "Saya—" Belum selesai pria di depannya bicara, ponsel di dalam tas Grace berdering. "Sebentar ya," potong Grace menerima panggilan. "Hallo, Max," ucap Grace setelah menerima panggilan. "Kau ada di mana?" tanya Max tiba-tiba. "Bukannya aku tadi sudah pesan, jika aku ke kantor duluan. Apa bibi tidak bicara padamu?" "Dia sudah katakan padaku ..." "Lalu, kenapa kau menelponku?" Ya, Max hanya memastikan jika
Arthur yang baru saja selesai berenang, pria itu langsung membaca panggilan tak terjawab dari Grace. Ia bahkan menerima pesan agar segera menghubungi wanita itu."Hm, apa dia sudah bertemu dengan Edward?" gumam Arthur duduk pada bangku di tepi kolam. Sejenak menunggu panggilan itu terhubung, tangannya mengambil minuman jus jeruk yang sudah tersedia di sampingnya."Ada apa menelponku, Grace?" tanyanya langsung tanpa basa-basi. "Apa kau sudah bertemu dengan Edward?""Hum, seharusnya aku yang bertanya padamu. Kenapa kau tidak bicarakan dulu padaku?" "Bukannya kita sudah bahas sebelumnya. Lagi pula aku ingin membantumu," balas Arthur dengan tulus."Aku menghargai bantuan yang kau berikan. Tetapi, aku tidak bisa mempercayakan anakku kepada siapapun, sebelum aku mengetahui orang itu. Meskipun pengawal itu adalah orang kepercayaanmu!""Aku paham kau pasti sangat ingin melindungi Leon dari siapapun, Grace. Tapi jika kau terlalu lama bertindak, bisa-bisa mereka lebih dulu menemukan anakmu,"
Di gedung Vista Ventures, Freya baru saja mendengarkan sang sekretaris, dirinya memiliki jadwal pertemuan dengan CEO McKesson Group. Tentu saja hal ini membuat Freya bersemangat. Wanita itu bahkan akan tampil menor dengan riasan unggulannya.Freya saat ini berkaca di depan cermin dan berputar seakan dirinya paling cantik seantero Italia. "Aku lah yang paling cantik ...! Aku lah yang harus mendapatkan Max ...! La La La La ...!"Bahkan, jika orang yang mendengar racauannya saat ini, mungkin saja orang tersebut menganggapnya wanita gila. Ya, sangat pantas julukan itu untuknya!Seketika itu juga ponsel genggam Freya berdering. Wanita itu berhenti bernyanyi dan mengambil ponselnya di atas meja."Ada apa Jack?" tanya Freya ketus."Anda harus segera membayar sisa uang yang belum Anda selesaikan, Miss Freya!""Haaa ... Kenapa aku harus buru-buru membayarnya? Apa pekerjaanmu sudah ada hasil?" hardik sang wanita."Tentu saja
Setelah mendapatkan sisa pembayaran dari Freya, Jack langsung menghubungi anak buahnya untuk segera bertindak. Pria itu langsung bersikap profesional.Di Rumah Sakit Chartie, dua orang pria masih mengawasi di dalam mobil di area pelataran parkir rumah sakit tersebut. Alfonso dan Carlos mengamati dengan seksama, beberapa orang yang dicurigai berhubungan dengan Grace.Sementara Leon yang berada di ruang pemeriksaan. Anak itu sedang menunggu Stella yang hendak membawanya ke kamar. Tiba-tiba saja, ia merasakan sesuatu yang mengalir di dalam hidungnya, Leon mimisan. Sontak, tangan mungil itu menengadah di bawah dagu. "Aunty ...!"Teriakan Leon mengejutkan Stella yang baru saja mencuci tangannya. Wanita itu tercengang karena darah mengalir dari hidung sang anak."Leon ..." Dengan sigap, Stella mengambil tisu yang diberikan pada Leon. Kemudian mendudukkan anak itu dengan posisi kepala sedikit menunduk, untuk mencegah darah mengalir ke tenggorokan. Stella juga menjepit bagian depan hidung L
Max dan Freya rencananya akan membahas tentang kerja sama yang terjalin antar kedua perusahaan tesebut. Kerja sama Vista Ventures dan McKesson Group yang sudah berjalan satu bulan.Freya menyambut hangat kedatangan sang pria. Wanita itu bahkan berdiri menghampiri Max dan mengajaknya. "Ayo duduk, Max."Max hanya mengikuti apa yang diucapkan Freya tanpa berkata."Apa yang membuatmu datang lebih cepat, Max?" tanya Freya mengalihkan perhatian Max agar ia lupa dengan pertanyaannya tadi.Tetapi, berbeda dengan Max. Pria itu masih saja mengungkit pertanyaan yang belum ia ketahui jawabannya. "Tidak ada yang membuatku datang lebih cepat, Freya. Hanya saja tidak ada kemacetan di jalan, jadi aku tiba sebelum waktunya. Siapa yang kau katakan pria brengsek tadi? Apakah aku?""Bukan, Max! Aku tidak sedang membicarakanmu," kilah Freya dengan cepat. Kemudian ia mengubah ekspresi wajahnya, tersenyum. "Oohh ... karena tidak macet, ya. Jadi kau sekarang mau
Mendengar permintaan Freya di seberang panggilan, membuat Daren berdecak kesal. Pasalnya, belum saja keduanya bekerja sama, Freya sudah meminta pinjaman dana untuk perusahaan wanita itu. "Enak saja kamu belum apa-apa sudah pinjam dana!" geram Darren. "Buat aku bertemu Chelsea dulu, baru aku berikan suntikan dana!""Aku janji, Darren. Setelah ini aku pastikan kamu bertemu dengan istrimu lagi ...."Bujuk rayuan Freya kerahkan untuk menyelamatkan perusahaannya. Hanya Darren penolongnya saat ini."Kapan aku bisa bertemu dengannya?" tanya Darren memastikan. "Kalau kamu saja tidak yakin, bagiamana denganku? Sorry, aku tidak bisa memberimu pinjaman!"Merasakan gelagat Darren akan menutup telepon, Freya cepat memberi tanggapan atas pertanyaan pria itu. Wanita itu sontak berseru."Lusa, Darren! Aku pastikan lusa kamu bisa bertemu dengan Chelsea!" ucap Freya sangat percaya diri. Meski ia sendiri juga tidak yakin, yang terpenting adalah Vi
Di negara Turki, Steve dan Agatha sedang berada di Cappadocia. Salah satu tempat yang menawarkan pemandangan menakjubkan berupa lanskap berbatu dengan balon udara yang menghiasi langit, menciptakan pemandangan yang spektakuler.Pasangan yang berbulan madu di sini bisa menikmati sensasi terbang dengan balon udara sambil melihat keindahan alam Cappadocia dari ketinggian. "Apa kamu menyukainya?" tanya Steve.Wanita yang kini menjadi istrinya itu, bersandar pada dada bidang Steve, lalu mendongak, "Hm, aku sangat menyukainya. Tempat ini sangat menakjubkan!""Aku pun juga begitu. Meskipun aku sudah mengunjungi banyak negara, tapi ini lebih berbeda .... Beda karena ada kamu di sisiku," balasnya kemudian mengecup bibir sang wanita. "Kamu percaya aku begitu mencintaimu?"Dengan cepat Agatha mengangguk, "Aku sangat percaya padamu. Untuk apa aku menerima lamaranmu kalau aku tidak yakin dengan suamiku?"Pria itu tersenyum lembut dan se
Mendengar ucapan Freya, Darren berdecih. Bagaimana ia harus mempercayai wanita itu? Sementara sebelumnya, dirinya dan Freya sedang membuat janji bertemu di resto itu."Apa kamu tidak terlalu licik, Miss Freya? Kamu pikir bisa membohongiku lagi?" sarkas Darren. "Kenapa kamu tadi tidak datang? Huh, dasar wanita penipu!"Keduanya memang hendak bertemu di resto itu. Namun, saat Freya hampir menginjakkan kaki ke dalam, ia melihat kekacauan akibat Darren yang membuat onar. "Apa kamu gila Tuan Darren?! Kamu mau menunjukkan pada Grace jika kita menjalin kerja sama?" Nada suara Freya meninggi satu oktaf.Darren terbeliak, "Jadi kamu melihatnya?"Terdengar gelak tawa membahana dari Freya, "Apa yang tidak kuketahui, Tuan Darren?" sindirnya.Sejenak Darren memupuk dirinya untuk mempercayai ucapan wanita itu lagi. Sulit baginya untuk percaya wanita seperti Freya. Darren pun juga banyak mengetahui tentang sepak terjang Freya di dunia bisnis.
Semua mata tertuju pada sosok pria yang berjalan cepat dengan membawa pecahan botol di tangannya. Kedua mata dengan api dendam, membutakan Darren membunuh wanita yang menjadi target utama, adalah mantan kakak ipar. Namun, sepertinya Darren sudah melupakan itu. Grace melihat semua itu serasa detak jantungnya berhenti sepersekian detik, ketika melihat Darren hendak membunuhnya. "AAAA ...!!" Namun, tiba-tiba saja sebuah tendangan tepat sasaran mengenai tangan Darren sebelum aksi pria itu berjalan lancar, hingga pecahan botol dalam genggamannya terlempar jauh. TRANK! PYAR! "ARGH!! SIALAN!!" umpat Darren membungkuk, memegang pergelangan tangan, "Brengsek! Siapa berani menghalangiku!" Grace langsung berdiri dan menjauhi Darren. Ia melihat sosok pria yang samar-samar ia kenal mendekatinya. "Apa Nyonya terluka?" tanya Kenan. "Ak-aku tidak apa-apa." Grace masih
Setelah menghabiskan malam bergairah, dan obrolan sesaat sebelum keduanya terlelap. Max mengatakan jika saat Grace pergi, Chelsea berada di rumahnya. Pria itu juga mengatakan bila Darren bukan lagi suami sang adik. Sesaat Grace terkejut mendengarnya, tapi apa boleh buat. Semua keputusan ada di tangan Chelsea dan Max. Hingga pagi ini, Grace dibuat sakit kepala entah karena apa ia sendiri juga tidak tahu. "Ada apa dengan kepalamu, Baby?" tanya Max menghentikan pergerakan tangan. Max yang sudah bersiap dengan setelan jas dan kemeja berdiri merapikan dasi, tatapannya sontak terarah pada sang wanita dari pantulan cermin yang duduk di atas ranjang dengan memegang kepala. "Uhm, tidak tau, Max. Kepalaku berdenyut sekali." "Apa tidurmu tidak nyenyak? Atau ... ada yang menganggu pikiranmu?" "Tidak ada, aku tidak pikirkan apapun. Tapi ... tidak apa, nanti aku minum obat saja," ujar Grace segera mengalihkan perhatian sang suami. "Ya sudah, kalau begitu tidak perlu ke kantor." "Hm,
Grace kini sedang bermanja-manja, menghabiskan waktu dengan sang suami. Pasalnya sejak kepulangannya dari Jerman, pria itu tidak sedetik pun melepaskan pelukannya.Keduanya kini sedang berada di atas ranjang dalam kamar luas dengan interior mewah. Grace berusaha melonggarkan kedua tangan sang pria yang berada di tubuhnya."Max, lepas! Sudah berapa lama kamu seperti ini, hm?" geram Grace tidak bisa berkutik."Sebentar lagi, aku masih rindu dengan aroma tubuh ini ..." Max tak hentinya menciumi ceruk leher sang istri dan mengendus aroma shampo pada rambut kepala Grace."Ya ... tapi ini sudah sangat lama, Max. Aku tidak bisa bergerak. Ayolah geser sedikit ..." Sang wanita berusaha mendorong dada bidang suaminya. Namun apa daya, tenaganya jelas kalah dari pria itu."Hanya sebentar, Sayang. Sebentar saja ..." Lagi-lagi Grace tidak bisa menolak permintaan sang pria. "Ya sudah, waktumu hanya sepuluh menit saja, Max! Ingat! Sepuluh menit!"Max terkekeh mendengar celotehan sang istri yang sema
Freya segera menatap ke arah Darren, kemudian tersenyum tipis. "Sepertinya saya harus menerima panggilan telepon terlebih dahulu. Baru kita sambung pembicaraan ini." "Terserah. Karena sepertinya saya juga harus pergi dari sini!" sahut Darren dingin, "jadi saya tidak akan tertarik. Jika Anda berpikir saya akan menunggu Anda kembali." Ia bangkit berdiri, sambil merapikan kedua sisi jasnya dengan raut angkuh. Freya memandang pria yang kini berdiri di hadapannya. "Oleh karena itu, simpan saja pembicaraan omong kosong Anda atau pertanyaan konyol selanjutnya!" Darren berbalik. Lalu, pria itu melangkah tegap meninggalkan Freya yang ternganga lebar, tidak percaya dirinya ditinggalkan seperti sebuah benda tidak berharga. "What the—" Freya menggeram. Ia bahkan terlupa dengan ponselnya yang sedari tadi bergetar, hingga akhirnya berhenti dengan sendirinya. Saat baru tersadar, dirinya dengan cepat menoleh ke bawah, hanya untuk melihat layarnya berubah menjadi hitam. Freya berdeci
Keduanya sama-sama tersentak kaget. Namun, segera mengubah ekspresi wajah masing-masing dengan kikuk menjadi datar dan angkuh, membuat kedua petugas itu curiga, jika mereka saling mengenal. Di tengah kecanggungan, salah seorang petugas justru bersiap membuat kejadian buruk di masa depan, bakal terjadi. "Hey, kalian tidak bisa mendorongku seenaknya seperti ini?!" maki pria itu sambil memutar tubuhnya dan menodongkan jari telunjuk sedikit kasar pada wajah salah seorang petugas, yang berusaha ditepis oleh petugas yang lain. "Jaga sikap Anda, Tuan!""Kalian yang seharusnya jaga sikap!" Darren balas berteriak. Napasnya sedikit tersengal. Ia pun mengatur napas terlebih dulu agar tenang,sebelum meneruskan ucapan, "Aku tidak mengundang kalian untuk datang. Tapi, karena kalian telah lebih dulu datang dan justru mencegat diriku masuk. Maka—""Jangan banyak bicara, Tuan! Lebih baik, Anda segera pergi. Karena kehadiran Anda, tidak diterima di sini!" sahut salah seorang petugas keamanan denga
Grace tiba-tiba menghentikan langkah. Ia juga mengusap tengkuknya yang seketika meremang. Lalu, menoleh cepat ke belakang. Namun, tidak ada aktivitas mencurigakan di sana, membuatnya mengernyitkan dahi. "Sepertinya Aku terlalu berhalusinasi!" Kedua bahunya menggendik. Lalu, kembali berbalik dan meneruskan langkah.Grace mengangguk kecil pada Edward yang berdiri di depan pintu, saat lelaki itu mengangguk hormat padanya dan menyilakan masuk. "Di mana Stella?" "Ada di ruangannya, Nyonya. Mungkin sedang beristirahat. Apa perlu Saya panggilkan?""Tentu. Panggil dia, karena ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan, sebelum kepulangan nanti.""Baik, Nyonya!"Grace terus melangkah menuju sang putra, yang ternyata telah terlelap dalam buaian mimpi. Tuan Fufu bahkan tidak lepas dari pelukan, membuatnya sedikit tersenyum simpul, terlebih kala teringat pertanyaan anaknya itu beberapa waktu sebelumnya. Tentang alasan kenapa ia membelikan boneka, alih-alih robot ataupun mainan khas anak laki-lak