Pasangan suami istri baru saja tiba di rumah setelah menghadiri pesta pernikahan Chelsea dan Kenan. Keduanya tampak lelah, namun ada senyum kepuasan yang masih tersisa di wajah mereka, setelah merayakan hari bahagia tersebut. Max membuka pintu kamar dengan perlahan dan menoleh ke arah Grace, yang tampaknya sudah siap untuk beristirahat setelah hari yang panjang.“Sayang, kamu baik-baik saja?” tanya Max dengan lembut, merasa betapa beratnya hari itu bagi sang wanita.Grace mengangguk ragu. Jika di tempat pesta ia bisa mengelabui Max, maka di rumah ia pun juga harus demikian. "Gimana kalau dia tau penyebab tidak stabilnya tubuhku! Tidak, Max tidak boleh tau hal ini ...!" batinnya bergejolak.Berdiri dengan mengangkat kedua alis, Max menunggu jawaban sang wanita, "Ada apa? Sepertinya ada yang kamu pikirkan?""Ah tidak, Max. Aku hanya kelelahan ..." ungkap Grace, melangkah semakin ke dalam mendekati sang suami. "Aku cuma butuh tidur seb
Matahari pagi menyinari taman kecil di halaman belakang rumah sakit Chartie dan memberikan kehangatan yang lembut. Burung-burung berkicau riang, mengiringi langkah kecil Alika yang mendorong kursi roda Leon dengan penuh keceriaan.Di belakang mereka, Edward berjalan sejenak lalu duduk di bangku taman, asyik dengan ponselnya. Stella, dengan seragam perawatnya yang rapi, berjalan santai mendampingi Alika dan Leon."Leon, lihat itu! Bunga kuningnya cantik sekali," ujar Alika sambil menunjuk rumpun bunga matahari di sudut taman.Leon menoleh lalu tersenyum, menatap wajah ceria Alika yang tampak seperti matahari kecil baginya. "Cantik, ya. Sama cantiknya dengan semangatmu hari ini, Alika.""Kamu lucu, Leon! Tapi aku lebih cantik daripada bunga matahari, kan?" tanya Alika seraya terkikik, mendorong kursi roda Leon sedikit lebih cepat.Bocah tampan yang duduk di kursi roda itu tertawa kecil, suara tawanya terdengar ringan. "Tentu saja, Lika
Edward menatap Leon lama. "Seperti katamu, Leon. Kadang orang bisa sangat mirip tanpa kita sadari," katanya pelan, berusaha menenangkan suasana. Tetap saja, di dalam hatinya, rasa curiga mulai tumbuh. Ada yang tidak beres dengan cerita ini. "Tapi, jika apa yang Lika katakan benar, ini bisa jadi petunjuk yang cukup penting."Namun, berbeda di dalam hati Edward, keraguan semakin menguat. "Tunggu sebentar ... apa benar ada seseorang yang mirip Leon? Atau, ini hanya kebetulan saja? Mungkin ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini. Aku akan cari tahu lebih banyak," bisik Edward dalam hati.Alika yang melihat perubahan ekspresi Edward, menyadari ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh pria itu. "Om Edward, ada apa?" tanya Alika dengan nada khawatir.Edward menatapnya, mencoba menyembunyikan keraguannya. "Tidak ada apa-apa, Lika. Aku hanya berpikir tentang apa yang kamu katakan."Percakapan itu berlanjut dengan sedikit keheningan, namun di da
Christ mengangguk, memahami dilema yang dihadapi tuannya. "Semoga perjalanan ini berjalan lancar, Tuan. Mungkin setelah urusan ini selesai, Anda bisa meluangkan lebih banyak waktu untuk Nyonya Grace.""Benar katamu, Christ ... aku harus melakukan itu."Setelah perjalanan sekitar setengah jam, mereka tiba di bandara internasional Milan. Seorang staf bandara sudah menunggu di pintu keberangkatan untuk mengarahkan mereka ke ruang VIP.Di dalam ruang tunggu eksklusif, Max dan Christ duduk bersebelahan. Christ menyerahkan tiket dan jadwal penerbangan kepada Max. "Penerbangan kita dijadwalkan tepat pukul sembilan malam, Tuan. Waktu tiba di Jerman kurang lebih sekitar pukul sebelas."Max menerima dokumen itu dan membacanya sekilas. "Bagaimana dengan yang di sana? Hotel dan transportasi sudah diurus?""Semua sudah siap, Tuan. Kita akan dijemput oleh staf Anthony di bandara Jerman," jawab Christ dengan penuh percaya diri.Max me
Di sebuah gudang tua yang tersembunyi di pinggiran kota, Freya duduk di kursi besar. Cahaya lampu redup menggantung di atas, menampakkan nuansa menyeramkan pada ruangan itu. Alfonso dan Carlos berdiri di sudut, saling berbisik, sementara Jack mondar-mandir dengan ekspresi serius. Keduanya berhasil mengawasi kegiatan di dalam rumah sakit itu, pagi maupun malam. Kini, kedua anak buah Freya menemukan cara. Freya mengetukkan jemarinya di meja, nada suaranya tajam ketika ia berkata, "Kalian berdua berhenti bermain-main. Kita di sini untuk merencanakan sesuatu yang besar, bukan berbisik-bisik seperti seperti sekumpulan jangkrik!" Jack menghentikan langkahnya dan menatap Freya. "Aku hanya memastikan semuanya berjalan lancar. Dan, jangan sampai gagal!" "Itu sebabnya aku memilih kalian. Jangan kecewakan aku!" dengus Freya dengan nada dingin. "Bos, aku masih tidak ya
Mereka berlari ke arah van hitam yang telah diparkir di luar. Alfonso dan Carlos segera memasukkan Leon dan Alika ke dalam mobil dengan hati-hati, memastikan tidak ada suara keras yang mencurigakan. Sementara Jack masuk terakhir, menutup pintu dengan suara keras sebelum memerintahkan sopir untuk segera pergi.Di dalam mobil, Alfonso dan Carlos saling menatap dengan ekspresi penuh rasa bersalah."Apa kau yakin kita melakukan hal yang benar?" bisik Alfonso.Carlos menghela napas berat. "Aku tidak tau. Tapi kalau kita tidak melakukannya, Freya akan menghancurkan kita."Sementara itu, Jack duduk dengan tenang di kursinya, tatapannya penuh kepuasan. "Kerja bagus, kalian. Sekarang kita tinggal menunggu langkah berikutnya dari Freya."Mobil melaju menjauh, membawa Leon dan Alika ke arah yang tidak mereka ketahui. Malam yang tenang berubah menjadi awal dari mimpi buruk bagi mereka yang menyayangi kedua anak itu."Leon, Ali
Seluruh ruangan terasa sunyi, hanya tersisa kekacauan. Peralatan medis yang berantakan, beberapa kursi terbalik, dan noda kecil di lantai seperti obat yang jatuh dan pecah. "Astaga! Leon? Alika?!" seru Stella dengan suara parau, matanya melebar penuh ketakutan. Ia menutupi mulutnya, mencoba menahan rasa panik yang mulai menyerang. Edward segera berdiri, matanya menyapu seluruh ruangan. "Argh! Sialan! Pasti Leon dan Alika diculik!" geramnya memukul angin. "Diculik?! Tapi ... siapa?" Stella bangkit dengan gemetar, tangannya mencengkeram lengan Edward. "Kita harus menemukannya! Sekarang juga, Edward!" "Aku akan menyusul jejak mereka," Edward berkata sambil menyerahkan ponselnya. "Kamu hubungi Brian dulu. Katakan padanya apa yang terjadi, dan minta bantuannya untuk melacak ke mana mereka dibawa!" "Baiklah, Edward!" Stella mengangguk, bergegas mengambil ponselnya dan menelepon Brian. Sementara itu, Edward keluar dari ruangan, berlari menyusuri lorong rumah sakit yang sepi. Ia m
l"Haha! Idemu bagus juga," sahut Jack seraya terkekeh. Lalu ia pun segera mengeluarkan ponselnya dan mulai merekam. Freya mendekati Leon dan Alika, lalu dengan kejam melepas ikatan Leon dan mencengkeram lengan bocah itu, membuatnya meringis kesakitan."Berhenti menangis!" bentak Freya saat Alika mulai terisak. Ia menyentakkan tangan Leon dengan kasar, membuat bocah itu jatuh tersungkur ke lantai.Bruk!"Urgh! Tante ... sakit!" erang Leon."Bangun!" bentak Freya. Namun, saat Leon hendak berdiri, Freya lantas menendang tubuh mungil bocah itu sehingga ia kembali tersungkur di atas lantai. Freya pun tertawa puas saat melihat pemandangan itu."Leon!" teriak Alika. "Dasar wanita jahat!" umpat Alika semakin emosi. "Hoo ... apa yang dikatakan gadis kecil ini. Bukannya itu tidak sopan, Nak?" cibir Freya seraya menampar wajah Alika.Plak!"Argh! S-sakit!" teriak Alika sembari menahan rasa pa
Sudah hampir satu bulan sejak Chelsea mulai melakukan pencarian terhadap suaminya secara mandiri. Meskipun pihak kepolisian Jerman sudah menutup kasus kecelakaan ini. Pencarian polisi berakhir, bersamaan dengan ditutupnya kasus itu dan menyatakan dua orang sebagai korban. "Kenapa harus berakhir dengan begini, Ken ..." Chelsea meratapi di tempat kejadian sebelum mobil Kenan masuk ke jurang. "Kembalikan suamiku wahai alam. Kembalikan dia meskipun itu hanya abu atau tulang belulangnya ... Ijinkan aku memeluknya sekali lagi. Aku tidak akan marah padamu. Bagaimana aku bisa marah, kalau kau adalah rumah suamiku sekarang, selamanya ...." Wanita itu bahkan tidak kuasa menahan isak tangis. Setiap hari, ia tak kenal lelah, menyerahkan segalanya untuk mencari keberadaan Kenan. "Maaf, Nyonya." Suara Christ yang tiba-tiba pun tidak menghentikan isakan Chelsea. Sang asisten yang telah setia membantu, bersama dengan beberapa orang yang dikerahkan untuk mencari, sudah melakukan segala cara
Kelopak bulu mata lentik membuka matanya perlahan, samar-samar cahaya matahari menembus tirai jendela.Pusingnya pun masih terasa, dan tubuhnya juga masih lemah, namun Grace mencoba mengingat apa yang terjadi. Semua kenangan tentang operasi dan masa koma itu kabur, tapi ada satu hal yang sangat jelas di pikirannya. Anak laki-lakinya, Leon."Ergghhh ..." Grace memegangi kepalanya yang masih berdenyut.Dengan susah payah, ia mengangkat tubuhnya dan menoleh ke sekeliling ruangan. Namun, tak ada siapapun di sana. Kosong!"Apa aku masih hidup?" Grace sendiri hampir tidak percaya dirinya masih bernyawa. Kemudian mengusap perutnya yang seakan tidak ada apa-apa. "Ke mana bayiku?" tanyanya kebingungan, entah pada siapa.Wanita itu lantas menoleh. Di sana, di ranjang yang terpisah, Leon sedang tertidur pulas. Wajah kecilnya tampak damai, meskipun di hati Grace, ada kekhawatiran yang menggantung."Leon, Mommy b
Reaksi Brian membuat Max menarik paksa hasil tes kesehatannya. Pria itu dinyatakan cocok menjadi pendonor tulang sumsum untuk Leon.Dengan wajah binar, Max langsung bangkit dari duduknya. "Ayo cepat, ke mana aku harus pergi, Brian!" "Ayo! Aku juga sudah tidak sabar menunggu waktu ini!" Brian langsung bangkit dari duduknya, kemudian melangkah keluar yang diikuti Max.Setelah kurang lebih satu jam proses pengambilan sel tulang sumsum Max, petugas Laboratorium mulai memprosesnya.Max keluar dari ruang periksa dengan langkah yang sedikit terhuyung. Udara dingin di ruang rumah sakit tak bisa mengurangi rasa lega yang perlahan merayap dalam dirinya. "Apapun yang terjadi, Daddy akan berusaha segala cara Leon," tekad Max lirih.Meski perasaan berat masih menggantung, setidaknya ia tahu bahwa tulang sumsum yang baru saja didonorkan untuk Leon, memiliki peluang besar untuk menyelamatkan hidupnya. Hasil tes genetik men
Kelopak mata dengan bulu mata lentik itu bergerak pelan. Aroma desinfektan membuat Chelsea sadar seketika. Kepala terasa berat, tubuhnya lelah, dan rasa sakit mulai merayapi seluruh tubuhnya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba mengingat apa yang terjadi. "Kenaann ..." Ia berharap semua yang baru saja ia lihat adalah sebuah mimpi. Namun, sayangnya itu adalah hal nyata yang baru saja dialaminya. Chelsea melihat bekas tanah yang terdapat di sela-sela pada kuku-kuku. "Ini bukan mimpi ..." ratapnya menahan isak. Melihat sang Nyonya sudah sadar, Christ mendekati Chelsea yang terbaring di atas brankar rumah sakit. "Apa yang Anda rasakan, Nyonya?" tanyanya. Chelsea menatap asisten sang kakak, "Katakan kalau semua ini hanya mimpi kan, Christ?" Chelsea berharap asisten itu menggeleng, namun nyatanya Christ menggangguk, hatinya tahu bahwa ini semua kenyataan.
Kegelapan langit malam berubah merah menyala karena ledakan mobil Kenan yang masuk ke jurang. Serpihan body mobil pun berterbangan hingga menjadi bagian terkecil. Semua orang mengalihkan wajah, menutup mata dengan lengan masing-masing. "Tidak Keennn ..." Chelsea meratapi terduduk di atas tanah. Tatapannya kosong pada nyala api di angkasa. Arthur memegang pundak Chelsea, menguatkan wanita itu, "Semua akan baik-baik saja, Chel. Kenan pasti selamat ..." Meski sejujurnya Arthur juga ragu akan ucapannya. Jurang dan ledakan sebesar itu mana mungkin tidak menghancurkan tubuh seseorang. Christ berlari ke tepian jurang, lalu menatap ke bawah. Namun, tak ada siapapun di sana. Hanya ada pecahan puing yang berserakan dan masih menyisakan bara api yang berkobar. Kemudian ia berbalik badan lalu menggeleng lirih. Isyarat Christ semakin membuat Chelsea semakin histeris. "Tidak! Kembali padaku Kenaannn ...!" Tangisan Chelsea yang terdengar pilu makin tak terkendali, hingga tiba-tiba semu
Setibanya di basecamp yang tersembunyi, Chelsea merasa ada sesuatu yang sangat salah. Tempat itu sangat kacau dan suasana mencekam memenuhi udara. "Apa ini tempatnya, Arthur?" tanya Chelsea penuh keraguan. "Hm, benar ini tempatnya." Belum juga kedua mata Chelsea memindai tempat itu, tiba-tiba ... Brak! Freya dan Kenan keluar dari bangunan sepi dengan pencahayaan minim. Meski demikian, sorot mata Chelsea mampu menangkap siluet bayangan sang suami. "Kenan ...?!" Chelsea hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seruan Chelsea ternyata mampu mengalihkan perhatian kedua orang itu, terutama Kenan. Ia lebih terkejut saat melihat Chelsea juga berada di sekitar tempat itu. Area yang tidak sebaiknya dituju. Namun, di balik semua rasa takut dan kecemasan Chelsea, hatinya semakin teriris saat kenyataan yang lebih pahit terbuka di hadapannya. Di sana, di tengah kekacauan, dia melihat Kenan—dengan jelas berdiri di sisi Freya. Sekarang tampak seperti musuh yang berdiri di samp
Grace dengan suara penuh amarah, "Kenan! Kau datang kemari hanya untuk jadi pengkhianat! Tidak tahu malu!" Berdiri tegak, Kenan menatap Grace dengan dingin, "Aku memilih sisi yang benar, Grace. Ini bukan tentang kamu atau aku lagi, ini tentang apa yang seharusnya terjadi." Grace tertawa sinis, "Cih! Sisi yang benar? Kau menjual dirimu kepada Freya, itu yang kamu sebut benar? Jangan lebih rendah dari itu, Ken!" "Aku tidak membutuhkan pembenaran darimu, Grace. Semua ini sudah berjalan terlalu jauh. Tidak ada yang bisa menghentikanku sekarang." Freya, yang sejak tadi diam dan menyaksikan percakapan itu, akhirnya berbicara dengan suara penuh kebencian. Grace tertawa remeh pada Freya, seolah mengejek wanita ular itu. "Apapun yang kau lakukan, kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku. Karena kau tidak pernah dicintai sampai mati! Kau tak akan pernah tau apa itu cinta!" ucapnya penuh penekanan, "kasihan sekali!" Suasana di antara kedua wanita itu semakin mencekam. Freya ingin seka
Max tampak berjalan mondar-mandir di ruang kantor yang gelap, ekspresinya tegang dan penuh amarah. Matanya yang tajam menatap beberapa anak buah Christ yang berdiri cemas di hadapannya."Bagaimana bisa kalian belum menemukan lokasi Freya?!" bentaknya, suaranya keras dan penuh amarah. "Kalian cuma membuang-buang waktu! Ini sudah terlalu lama, aku ingin jawaban sekarang!"Anak buah Christ, yang satu bernama Markus dan yang satunya lagi disebut Simon saling pandang, tampak bingung dan tertekan."Ma-Maaf, Tuan ... kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi kami belum menemukan petunjuk pasti," jawab Markus, suaranya terbata-bata.Max menggeram, berjalan mendekat dan berdiri tepat di depan mereka. "Berusaha? Itu bukan jawaban yang aku cari! Jika kalian tidak bisa melaksanakan perintah sederhana ini, lebih baik aku cari orang lain yang bisa!"Simon mencoba menenangkan situasi. "Kami benar-benar sudah berusaha, Tuan. Kami akan terus menca
Kenan terlihat tegang, tapi mencoba menurunkan egonya. "Freya, aku tahu aku salah. Aku tidak mencari pembenaran. Aku hanya ingin tahu di mana basecamp-mu. Aku punya rencana ... rencana untuk melancarkan keinginanmu." Namun, diam-diam, tanpa melibatkan siapa pun. Kenan akan pastikan akan membebaskan Grace. Ini adalah kesempatan terakhirnya untuk menebus semua kesalahan." Mendengar ketulusan Kenan, dan betapa pria itu juga memenuhi keinginannya mendapatkan lokasi Grace, Freya terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-katanya. "Kau tidak akan menjadi pengkhianat di dalam basecamp-ku, kan?" "Kau bisa percaya padaku, Freya. Aku akan lakukan apa saja untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Kau akan dapatkan semua yang kau inginkan." Dalam hati Freya melewati banyak perdebatan. Kemudian suara Freya berubah, sedikit lebih lembut. "Baiklah, aku beri kau satu kesempatan lagi. Basecamp-ku ada di kawasan Charlottenburg, dekat Stasiun Zoologischer Garten. Tapi ingat, Kenan. Satu langkah s