l"Haha! Idemu bagus juga," sahut Jack seraya terkekeh. Lalu ia pun segera mengeluarkan ponselnya dan mulai merekam. Freya mendekati Leon dan Alika, lalu dengan kejam melepas ikatan Leon dan mencengkeram lengan bocah itu, membuatnya meringis kesakitan."Berhenti menangis!" bentak Freya saat Alika mulai terisak. Ia menyentakkan tangan Leon dengan kasar, membuat bocah itu jatuh tersungkur ke lantai.Bruk!"Urgh! Tante ... sakit!" erang Leon."Bangun!" bentak Freya. Namun, saat Leon hendak berdiri, Freya lantas menendang tubuh mungil bocah itu sehingga ia kembali tersungkur di atas lantai. Freya pun tertawa puas saat melihat pemandangan itu."Leon!" teriak Alika. "Dasar wanita jahat!" umpat Alika semakin emosi. "Hoo ... apa yang dikatakan gadis kecil ini. Bukannya itu tidak sopan, Nak?" cibir Freya seraya menampar wajah Alika.Plak!"Argh! S-sakit!" teriak Alika sembari menahan rasa pa
Di ruangan tertutup yang berada di dalam gudang, Freya mulai menyiksa Leon dan Alika dengan kejam. Jack terlihat menikmati pemandangan itu. Di sisi lain, Alfonso dan Carlos malah berpaling muka tak ingin melihat hal tersebut. Mereka begitu tak tega saat dua bocah yang mereka kenal itu disiksa tepat di depan mata mereka. Namun, ketegangan mereka tiba-tiba memuncak tatkala Alika dan Leon meminta pertolongan. Hal itu membuat Freya terkejut sekaligus curiga."Tunggu! Bagaimana mereka bisa mengenal kalian?" tanya Freya dengan sinis penuh kecurigaan.Alfonso dan Carlos terdiam, wajah mereka pucat. "Kami ... kami tidak tahu apa maksud mereka, Bos!" jawab Carlos dengan gugup.Namun, Leon kembali berseru. Kali ini dengan lebih tegas meski suaranya bergetar. "Paman Alfonso dan Paman Carlos adalah teman kami. Mereka berdua orang baik dan sering makan bersama kami!"Sontak saja, Freya melangkah cepat mendekati Alfonso dan Carlos, matanya menyipit pe
Di ruang lain yang terpencil dan remang-remang, Freya dan Jack duduk di depan layar komputer. Suara ketikan cepat mengisi keheningan, sementara sebuah video berputar di layar. Video itu menunjukkan Leon, tampak terikat dan terluka, wajahnya pucat dan penuh ketakutan. Freya memperhatikan layar dengan dingin, tangan kirinya memegang ponsel untuk mengirimkan rekaman tersebut kepada Grace. "Sepertinya ini sudah cukup bagus untuk mengancamnya, Jack," ujar Freya menatap yakin. "Hm, aku rasa juga begitu. Kalau kau setuju, aku langsung kirim padanya." Jack duduk di sampingnya, kedua mata menatap tajam, memperhatikan setiap detil gerakan Leon di video itu. Tangan Freya berhenti sejenak, memandangi rekaman dengan penuh kepuasan, sebelum akhirnya dia menambahkan pesan ancaman yang jelas dan "GRACE, KAU PASTI TAU KAN, SIAPA DALAM VIDEO ITU ...? KALAU KAU INGIN ANAKMU SELAMAT, CEPAT ENYAH DARI SISI MAX SELAM
Saat pintu tertutup dan langkah mereka menghilang di kejauhan, Alfonso dan Carlos bergerak cepat.Mereka membuka pintu ruangan itu dengan perlahan. Leon dan Alika, yang duduk dengan tubuh terikat di sudut, langsung menatap mereka dengan mata penuh harap."Paman Alfonso! Paman Carlos!" seru Leon, suaranya pelan namun penuh antusias."Sst! Diam!" bisik Alfonso, mendekat dan berlutut di depan Leon. "Kita ada di sini untuk membebaskan kalian.""B-benarkah, Paman?" "Iya, kamu diam saja dulu."Alfonso dengan cepat melepaskan ikatan di tangan Leon, sementara Carlos membantu Alika. Kedua anak itu terisak pelan, namun senyuman muncul di wajah mereka."Terima kasih, Paman," bisik Alika, memeluk Carlos erat setelah ikatannya terlepas.Alfonso mengangkat Leon dan menatapnya serius. "Leon, dengarkan baik-baik. Kamu harus segera kabur dari sini. Jangan pernah menoleh ke belakang.""Tapi bagaimana dengan Paman?" tany
Malam telah semakin larut, namun udara dingin tak menghentikan langkah kecil Leon dan Alika yang berlari menyusuri jalanan sepi. Nafas mereka terengah-engah, tubuh kecil mereka gemetar bukan hanya karena udara malam, tetapi juga rasa takut yang terus menghantui benak mereka. "Alika, ayo lebih cepat," bisik Leon, menoleh ke belakang dengan wajah penuh kecemasan. "Aku ... aku lelah, Leon," sahut Alika sambil terisak. Matanya berkaca-kaca, namun ia tetap mengikuti langkah Leon. "Jangan menyerah, Lika!" teriak Leon sembari menggenggam tangan Alika erat. "Kita harus terus berlari. Paman Alfonso bilang jangan berhenti sampai kita menemukan tempat aman dan pertolongan!" "I-iya, Leon. Aku akan berusaha sekuat mungkin!" Alika mengangguk meski tubuhnya terasa lemah. Mereka berdua terus menyusuri jalan gelap, berharap menemukan pertolongan di tengah malam yang seakan enggan berpihak pada mereka. Sementara itu, di tempat lain, Max duduk di kursi belakang mobil dengan pandangan seriu
Setelah Edward, Brian dan Stella berhasil menemukan Leon dan juga Alika, ponsel sang bodyguard berdering sangat keras. Berulang kali nada dering itu memecah keheningan.Edward melirik sekilas ke arah Brian dan Stella yang kini berada di ruang kamar inap Leon, mengobati luka dan memar pada tubuh anak laki-laki itu."Dari Nyonya Grace ..." lirihnya. Brian dan Stella duduk berhadapan, saling bertukar pandang cemas. Sang dokter menghela napas panjang sebelum berbicara.Sementara Stella duduk dengan wajah serius, menatap Edward seolah menunggu keputusan penting. "Angkatlah ..." kata Stella menoleh sekilas.Edward terlihat agak cemas, lumayan lama merasa terjepit dalam dilema ini. Telepon dari Grace yang tertunda sejak kemarin mulai mengganggu pikirannya."Apa kamu yakin tidak mau terima telepon itu, Edward?" tanya Brian pelan, penuh harapan.Stella menambahkan, "Edward, kamu harus mengatakan yang sebenarnya pa
Setelah selesai mengurus semua masalah di Jerman. Kini, Max dan Christ duduk di dalam mobil, perjalanan kembali ke Italia setelah perjalanan bisnis yang melelahkan di Jerman. Pemandangan luar tampak berubah, jalanan yang semula asing kini mulai terasa lebih familiar. Pria berkacamata menatap jalan dengan kosong, sesekali memandang ke luar jendela. Ia merasa penglihatan itu sangat menganggu pikirannya. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Christ?" tanya Max yang merasa tak biasa pada asistennya. Hening sejenak, sebelum sang asisten tiba-tiba berbicara, suaranya lebih ringan dari biasanya, "Tuan, kemarin ... apa Anda ingat anak laki-laki yang hampir menabrak mobil kita?" "Hm, yang itu? Iya, aku ingat. Cuma anak kecil yang panik, kan?" "Ya ... tapi anehnya, aku merasa seperti ... dia mirip dengan ..." Christ menggantung ucapannya, seolah memberi kode pada sang CEO. "Maksudmu denganku?" Max menoleh ragu, kemudian menggeleng, "Christ, itu mungkin cuma kebetulan. Banyak anak kec
Setelah mengakhiri telepon dengan Diego, Freya berbalik badan menghadap Jack. Pria itu pun mengangkat kedua alis melihat gestur tubuh pada Freya yang seolah sedang merencanakan sesuatu. "Jangan katakan kau sedang membuat rencana, Freya ...?" tanya Jack memicing penasaran. Freya menarik sudut bibir, tatapan tajam namun menerawang jauh di sana. "Jika Grace langsung meninggalkan Max saat ini juga, berarti dia lebih mengutamakan anaknya dibandingkan pria itu .... Jadi semakin mudah kita menyingkirkannya tanpa pengawasan Max ...!" Jack mengernyit heran dengan ucapan ambigu Freya, "Maksudmu ... meski Grace sudah menjauhi Max, kau tetap akan mengincarnya?" Wanita ular semakin menyeringai, tertawa puas. "Yups, kau benar! Sangat benar, Jack! Setelah ini, Grace pasti akan melindungi anaknya dari siapapun, dan bila aku tidak melenyapkannya ... Itu tetap saja akan menjadi penghalangku di masa depan! Kau tau kan, itu bisa membahayakan jalanku menuju kejayaaann ...!!" Tawa Freya sangat ke
Sudah hampir satu bulan sejak Chelsea mulai melakukan pencarian terhadap suaminya secara mandiri. Meskipun pihak kepolisian Jerman sudah menutup kasus kecelakaan ini. Pencarian polisi berakhir, bersamaan dengan ditutupnya kasus itu dan menyatakan dua orang sebagai korban. "Kenapa harus berakhir dengan begini, Ken ..." Chelsea meratapi di tempat kejadian sebelum mobil Kenan masuk ke jurang. "Kembalikan suamiku wahai alam. Kembalikan dia meskipun itu hanya abu atau tulang belulangnya ... Ijinkan aku memeluknya sekali lagi. Aku tidak akan marah padamu. Bagaimana aku bisa marah, kalau kau adalah rumah suamiku sekarang, selamanya ...." Wanita itu bahkan tidak kuasa menahan isak tangis. Setiap hari, ia tak kenal lelah, menyerahkan segalanya untuk mencari keberadaan Kenan. "Maaf, Nyonya." Suara Christ yang tiba-tiba pun tidak menghentikan isakan Chelsea. Sang asisten yang telah setia membantu, bersama dengan beberapa orang yang dikerahkan untuk mencari, sudah melakukan segala cara
Kelopak bulu mata lentik membuka matanya perlahan, samar-samar cahaya matahari menembus tirai jendela.Pusingnya pun masih terasa, dan tubuhnya juga masih lemah, namun Grace mencoba mengingat apa yang terjadi. Semua kenangan tentang operasi dan masa koma itu kabur, tapi ada satu hal yang sangat jelas di pikirannya. Anak laki-lakinya, Leon."Ergghhh ..." Grace memegangi kepalanya yang masih berdenyut.Dengan susah payah, ia mengangkat tubuhnya dan menoleh ke sekeliling ruangan. Namun, tak ada siapapun di sana. Kosong!"Apa aku masih hidup?" Grace sendiri hampir tidak percaya dirinya masih bernyawa. Kemudian mengusap perutnya yang seakan tidak ada apa-apa. "Ke mana bayiku?" tanyanya kebingungan, entah pada siapa.Wanita itu lantas menoleh. Di sana, di ranjang yang terpisah, Leon sedang tertidur pulas. Wajah kecilnya tampak damai, meskipun di hati Grace, ada kekhawatiran yang menggantung."Leon, Mommy b
Reaksi Brian membuat Max menarik paksa hasil tes kesehatannya. Pria itu dinyatakan cocok menjadi pendonor tulang sumsum untuk Leon.Dengan wajah binar, Max langsung bangkit dari duduknya. "Ayo cepat, ke mana aku harus pergi, Brian!" "Ayo! Aku juga sudah tidak sabar menunggu waktu ini!" Brian langsung bangkit dari duduknya, kemudian melangkah keluar yang diikuti Max.Setelah kurang lebih satu jam proses pengambilan sel tulang sumsum Max, petugas Laboratorium mulai memprosesnya.Max keluar dari ruang periksa dengan langkah yang sedikit terhuyung. Udara dingin di ruang rumah sakit tak bisa mengurangi rasa lega yang perlahan merayap dalam dirinya. "Apapun yang terjadi, Daddy akan berusaha segala cara Leon," tekad Max lirih.Meski perasaan berat masih menggantung, setidaknya ia tahu bahwa tulang sumsum yang baru saja didonorkan untuk Leon, memiliki peluang besar untuk menyelamatkan hidupnya. Hasil tes genetik men
Kelopak mata dengan bulu mata lentik itu bergerak pelan. Aroma desinfektan membuat Chelsea sadar seketika. Kepala terasa berat, tubuhnya lelah, dan rasa sakit mulai merayapi seluruh tubuhnya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba mengingat apa yang terjadi. "Kenaann ..." Ia berharap semua yang baru saja ia lihat adalah sebuah mimpi. Namun, sayangnya itu adalah hal nyata yang baru saja dialaminya. Chelsea melihat bekas tanah yang terdapat di sela-sela pada kuku-kuku. "Ini bukan mimpi ..." ratapnya menahan isak. Melihat sang Nyonya sudah sadar, Christ mendekati Chelsea yang terbaring di atas brankar rumah sakit. "Apa yang Anda rasakan, Nyonya?" tanyanya. Chelsea menatap asisten sang kakak, "Katakan kalau semua ini hanya mimpi kan, Christ?" Chelsea berharap asisten itu menggeleng, namun nyatanya Christ menggangguk, hatinya tahu bahwa ini semua kenyataan.
Kegelapan langit malam berubah merah menyala karena ledakan mobil Kenan yang masuk ke jurang. Serpihan body mobil pun berterbangan hingga menjadi bagian terkecil. Semua orang mengalihkan wajah, menutup mata dengan lengan masing-masing. "Tidak Keennn ..." Chelsea meratapi terduduk di atas tanah. Tatapannya kosong pada nyala api di angkasa. Arthur memegang pundak Chelsea, menguatkan wanita itu, "Semua akan baik-baik saja, Chel. Kenan pasti selamat ..." Meski sejujurnya Arthur juga ragu akan ucapannya. Jurang dan ledakan sebesar itu mana mungkin tidak menghancurkan tubuh seseorang. Christ berlari ke tepian jurang, lalu menatap ke bawah. Namun, tak ada siapapun di sana. Hanya ada pecahan puing yang berserakan dan masih menyisakan bara api yang berkobar. Kemudian ia berbalik badan lalu menggeleng lirih. Isyarat Christ semakin membuat Chelsea semakin histeris. "Tidak! Kembali padaku Kenaannn ...!" Tangisan Chelsea yang terdengar pilu makin tak terkendali, hingga tiba-tiba semu
Setibanya di basecamp yang tersembunyi, Chelsea merasa ada sesuatu yang sangat salah. Tempat itu sangat kacau dan suasana mencekam memenuhi udara. "Apa ini tempatnya, Arthur?" tanya Chelsea penuh keraguan. "Hm, benar ini tempatnya." Belum juga kedua mata Chelsea memindai tempat itu, tiba-tiba ... Brak! Freya dan Kenan keluar dari bangunan sepi dengan pencahayaan minim. Meski demikian, sorot mata Chelsea mampu menangkap siluet bayangan sang suami. "Kenan ...?!" Chelsea hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seruan Chelsea ternyata mampu mengalihkan perhatian kedua orang itu, terutama Kenan. Ia lebih terkejut saat melihat Chelsea juga berada di sekitar tempat itu. Area yang tidak sebaiknya dituju. Namun, di balik semua rasa takut dan kecemasan Chelsea, hatinya semakin teriris saat kenyataan yang lebih pahit terbuka di hadapannya. Di sana, di tengah kekacauan, dia melihat Kenan—dengan jelas berdiri di sisi Freya. Sekarang tampak seperti musuh yang berdiri di samp
Grace dengan suara penuh amarah, "Kenan! Kau datang kemari hanya untuk jadi pengkhianat! Tidak tahu malu!" Berdiri tegak, Kenan menatap Grace dengan dingin, "Aku memilih sisi yang benar, Grace. Ini bukan tentang kamu atau aku lagi, ini tentang apa yang seharusnya terjadi." Grace tertawa sinis, "Cih! Sisi yang benar? Kau menjual dirimu kepada Freya, itu yang kamu sebut benar? Jangan lebih rendah dari itu, Ken!" "Aku tidak membutuhkan pembenaran darimu, Grace. Semua ini sudah berjalan terlalu jauh. Tidak ada yang bisa menghentikanku sekarang." Freya, yang sejak tadi diam dan menyaksikan percakapan itu, akhirnya berbicara dengan suara penuh kebencian. Grace tertawa remeh pada Freya, seolah mengejek wanita ular itu. "Apapun yang kau lakukan, kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku. Karena kau tidak pernah dicintai sampai mati! Kau tak akan pernah tau apa itu cinta!" ucapnya penuh penekanan, "kasihan sekali!" Suasana di antara kedua wanita itu semakin mencekam. Freya ingin seka
Max tampak berjalan mondar-mandir di ruang kantor yang gelap, ekspresinya tegang dan penuh amarah. Matanya yang tajam menatap beberapa anak buah Christ yang berdiri cemas di hadapannya."Bagaimana bisa kalian belum menemukan lokasi Freya?!" bentaknya, suaranya keras dan penuh amarah. "Kalian cuma membuang-buang waktu! Ini sudah terlalu lama, aku ingin jawaban sekarang!"Anak buah Christ, yang satu bernama Markus dan yang satunya lagi disebut Simon saling pandang, tampak bingung dan tertekan."Ma-Maaf, Tuan ... kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi kami belum menemukan petunjuk pasti," jawab Markus, suaranya terbata-bata.Max menggeram, berjalan mendekat dan berdiri tepat di depan mereka. "Berusaha? Itu bukan jawaban yang aku cari! Jika kalian tidak bisa melaksanakan perintah sederhana ini, lebih baik aku cari orang lain yang bisa!"Simon mencoba menenangkan situasi. "Kami benar-benar sudah berusaha, Tuan. Kami akan terus menca
Kenan terlihat tegang, tapi mencoba menurunkan egonya. "Freya, aku tahu aku salah. Aku tidak mencari pembenaran. Aku hanya ingin tahu di mana basecamp-mu. Aku punya rencana ... rencana untuk melancarkan keinginanmu." Namun, diam-diam, tanpa melibatkan siapa pun. Kenan akan pastikan akan membebaskan Grace. Ini adalah kesempatan terakhirnya untuk menebus semua kesalahan." Mendengar ketulusan Kenan, dan betapa pria itu juga memenuhi keinginannya mendapatkan lokasi Grace, Freya terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-katanya. "Kau tidak akan menjadi pengkhianat di dalam basecamp-ku, kan?" "Kau bisa percaya padaku, Freya. Aku akan lakukan apa saja untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Kau akan dapatkan semua yang kau inginkan." Dalam hati Freya melewati banyak perdebatan. Kemudian suara Freya berubah, sedikit lebih lembut. "Baiklah, aku beri kau satu kesempatan lagi. Basecamp-ku ada di kawasan Charlottenburg, dekat Stasiun Zoologischer Garten. Tapi ingat, Kenan. Satu langkah s