Mereka berlari ke arah van hitam yang telah diparkir di luar. Alfonso dan Carlos segera memasukkan Leon dan Alika ke dalam mobil dengan hati-hati, memastikan tidak ada suara keras yang mencurigakan. Sementara Jack masuk terakhir, menutup pintu dengan suara keras sebelum memerintahkan sopir untuk segera pergi.Di dalam mobil, Alfonso dan Carlos saling menatap dengan ekspresi penuh rasa bersalah."Apa kau yakin kita melakukan hal yang benar?" bisik Alfonso.Carlos menghela napas berat. "Aku tidak tau. Tapi kalau kita tidak melakukannya, Freya akan menghancurkan kita."Sementara itu, Jack duduk dengan tenang di kursinya, tatapannya penuh kepuasan. "Kerja bagus, kalian. Sekarang kita tinggal menunggu langkah berikutnya dari Freya."Mobil melaju menjauh, membawa Leon dan Alika ke arah yang tidak mereka ketahui. Malam yang tenang berubah menjadi awal dari mimpi buruk bagi mereka yang menyayangi kedua anak itu."Leon, Ali
Seluruh ruangan terasa sunyi, hanya tersisa kekacauan. Peralatan medis yang berantakan, beberapa kursi terbalik, dan noda kecil di lantai seperti obat yang jatuh dan pecah. "Astaga! Leon? Alika?!" seru Stella dengan suara parau, matanya melebar penuh ketakutan. Ia menutupi mulutnya, mencoba menahan rasa panik yang mulai menyerang. Edward segera berdiri, matanya menyapu seluruh ruangan. "Argh! Sialan! Pasti Leon dan Alika diculik!" geramnya memukul angin. "Diculik?! Tapi ... siapa?" Stella bangkit dengan gemetar, tangannya mencengkeram lengan Edward. "Kita harus menemukannya! Sekarang juga, Edward!" "Aku akan menyusul jejak mereka," Edward berkata sambil menyerahkan ponselnya. "Kamu hubungi Brian dulu. Katakan padanya apa yang terjadi, dan minta bantuannya untuk melacak ke mana mereka dibawa!" "Baiklah, Edward!" Stella mengangguk, bergegas mengambil ponselnya dan menelepon Brian. Sementara itu, Edward keluar dari ruangan, berlari menyusuri lorong rumah sakit yang sepi. Ia m
l"Haha! Idemu bagus juga," sahut Jack seraya terkekeh. Lalu ia pun segera mengeluarkan ponselnya dan mulai merekam. Freya mendekati Leon dan Alika, lalu dengan kejam melepas ikatan Leon dan mencengkeram lengan bocah itu, membuatnya meringis kesakitan."Berhenti menangis!" bentak Freya saat Alika mulai terisak. Ia menyentakkan tangan Leon dengan kasar, membuat bocah itu jatuh tersungkur ke lantai.Bruk!"Urgh! Tante ... sakit!" erang Leon."Bangun!" bentak Freya. Namun, saat Leon hendak berdiri, Freya lantas menendang tubuh mungil bocah itu sehingga ia kembali tersungkur di atas lantai. Freya pun tertawa puas saat melihat pemandangan itu."Leon!" teriak Alika. "Dasar wanita jahat!" umpat Alika semakin emosi. "Hoo ... apa yang dikatakan gadis kecil ini. Bukannya itu tidak sopan, Nak?" cibir Freya seraya menampar wajah Alika.Plak!"Argh! S-sakit!" teriak Alika sembari menahan rasa pa
Di ruangan tertutup yang berada di dalam gudang, Freya mulai menyiksa Leon dan Alika dengan kejam. Jack terlihat menikmati pemandangan itu. Di sisi lain, Alfonso dan Carlos malah berpaling muka tak ingin melihat hal tersebut. Mereka begitu tak tega saat dua bocah yang mereka kenal itu disiksa tepat di depan mata mereka. Namun, ketegangan mereka tiba-tiba memuncak tatkala Alika dan Leon meminta pertolongan. Hal itu membuat Freya terkejut sekaligus curiga."Tunggu! Bagaimana mereka bisa mengenal kalian?" tanya Freya dengan sinis penuh kecurigaan.Alfonso dan Carlos terdiam, wajah mereka pucat. "Kami ... kami tidak tahu apa maksud mereka, Bos!" jawab Carlos dengan gugup.Namun, Leon kembali berseru. Kali ini dengan lebih tegas meski suaranya bergetar. "Paman Alfonso dan Paman Carlos adalah teman kami. Mereka berdua orang baik dan sering makan bersama kami!"Sontak saja, Freya melangkah cepat mendekati Alfonso dan Carlos, matanya menyipit pe
Di ruang lain yang terpencil dan remang-remang, Freya dan Jack duduk di depan layar komputer. Suara ketikan cepat mengisi keheningan, sementara sebuah video berputar di layar. Video itu menunjukkan Leon, tampak terikat dan terluka, wajahnya pucat dan penuh ketakutan. Freya memperhatikan layar dengan dingin, tangan kirinya memegang ponsel untuk mengirimkan rekaman tersebut kepada Grace. "Sepertinya ini sudah cukup bagus untuk mengancamnya, Jack," ujar Freya menatap yakin. "Hm, aku rasa juga begitu. Kalau kau setuju, aku langsung kirim padanya." Jack duduk di sampingnya, kedua mata menatap tajam, memperhatikan setiap detil gerakan Leon di video itu. Tangan Freya berhenti sejenak, memandangi rekaman dengan penuh kepuasan, sebelum akhirnya dia menambahkan pesan ancaman yang jelas dan "GRACE, KAU PASTI TAU KAN, SIAPA DALAM VIDEO ITU ...? KALAU KAU INGIN ANAKMU SELAMAT, CEPAT ENYAH DARI SISI MAX SELAM
Saat pintu tertutup dan langkah mereka menghilang di kejauhan, Alfonso dan Carlos bergerak cepat.Mereka membuka pintu ruangan itu dengan perlahan. Leon dan Alika, yang duduk dengan tubuh terikat di sudut, langsung menatap mereka dengan mata penuh harap."Paman Alfonso! Paman Carlos!" seru Leon, suaranya pelan namun penuh antusias."Sst! Diam!" bisik Alfonso, mendekat dan berlutut di depan Leon. "Kita ada di sini untuk membebaskan kalian.""B-benarkah, Paman?" "Iya, kamu diam saja dulu."Alfonso dengan cepat melepaskan ikatan di tangan Leon, sementara Carlos membantu Alika. Kedua anak itu terisak pelan, namun senyuman muncul di wajah mereka."Terima kasih, Paman," bisik Alika, memeluk Carlos erat setelah ikatannya terlepas.Alfonso mengangkat Leon dan menatapnya serius. "Leon, dengarkan baik-baik. Kamu harus segera kabur dari sini. Jangan pernah menoleh ke belakang.""Tapi bagaimana dengan Paman?" tany
Malam telah semakin larut, namun udara dingin tak menghentikan langkah kecil Leon dan Alika yang berlari menyusuri jalanan sepi. Nafas mereka terengah-engah, tubuh kecil mereka gemetar bukan hanya karena udara malam, tetapi juga rasa takut yang terus menghantui benak mereka. "Alika, ayo lebih cepat," bisik Leon, menoleh ke belakang dengan wajah penuh kecemasan. "Aku ... aku lelah, Leon," sahut Alika sambil terisak. Matanya berkaca-kaca, namun ia tetap mengikuti langkah Leon. "Jangan menyerah, Lika!" teriak Leon sembari menggenggam tangan Alika erat. "Kita harus terus berlari. Paman Alfonso bilang jangan berhenti sampai kita menemukan tempat aman dan pertolongan!" "I-iya, Leon. Aku akan berusaha sekuat mungkin!" Alika mengangguk meski tubuhnya terasa lemah. Mereka berdua terus menyusuri jalan gelap, berharap menemukan pertolongan di tengah malam yang seakan enggan berpihak pada mereka. Sementara itu, di tempat lain, Max duduk di kursi belakang mobil dengan pandangan seriu
Setelah Edward, Brian dan Stella berhasil menemukan Leon dan juga Alika, ponsel sang bodyguard berdering sangat keras. Berulang kali nada dering itu memecah keheningan.Edward melirik sekilas ke arah Brian dan Stella yang kini berada di ruang kamar inap Leon, mengobati luka dan memar pada tubuh anak laki-laki itu."Dari Nyonya Grace ..." lirihnya. Brian dan Stella duduk berhadapan, saling bertukar pandang cemas. Sang dokter menghela napas panjang sebelum berbicara.Sementara Stella duduk dengan wajah serius, menatap Edward seolah menunggu keputusan penting. "Angkatlah ..." kata Stella menoleh sekilas.Edward terlihat agak cemas, lumayan lama merasa terjepit dalam dilema ini. Telepon dari Grace yang tertunda sejak kemarin mulai mengganggu pikirannya."Apa kamu yakin tidak mau terima telepon itu, Edward?" tanya Brian pelan, penuh harapan.Stella menambahkan, "Edward, kamu harus mengatakan yang sebenarnya pa
Setelah membaca pesan misterius yang ia terima, Grace berusaha menghilangkan keresahan di hati.Ia langsung bangkit, melangkah keluar ruangan. Grace berencana langsung pulang ke rumah dan memberesi barang penting yang akan ia bawa, termasuk visa dan pasport.Setelah perjalanan beberapa menit, Grace sedikit terkejut saat melihat mobil Max ada di rumah, pasalnya saat dia ke kantor, Max memang belum berangkat. "Apa dia libur?" gumamnya mulai tak tenang.Langkah kakinya terhenti saat suara bariton yang ia kenali, menyapa, "Baby, kenapa kembali? Kamu tidak jadi ke kantor?"Grace melepas sepatu hak tingginya dan berjalan ke arah suara itu. Max sedang duduk di sofa, mengenakan kemeja santai dan celana panjang. Wajahnya tampak penasaran, tetapi ia tersenyum ketika melihat Grace. "Hei, sayang," sapanya lembut. Grace mendekat dan duduk di sampingnya. "Aku hanya mampir sebentar tadi. Rasanya aku ingin istirahat." Max menggeleng pelan.
Persiapan Grace benar-benar matang, mulai dari berpamitan kepada dua orang meskipun secara tidak langsung. Namun, setidaknya ia bisa meredakan rasa sesak dalam hatinya.Pagi ini, Grace melangkah masuk ke kantor, sepatu hak tingginya mengeluarkan bunyi ketukan teratur di lantai marmer. Wajahnya terlihat tegas, meskipun matanya menyimpan kelelahan yang sulit disembunyikan. Di meja resepsionis, Vio—sekretaris pribadinya—sudah menunggu. Satu jam yang lalu, Grace sudah mengirim pesan padanya. Wanita itu selalu siap kapan pun Grace membutuhkan. "Vio, kamu sudah cek semua dokumen yang aku minta tadi?" tanya Grace langsung, tanpa basa-basi. Sang sekretaris berdiri dan mengangguk. "Sudah, Nyonya. Semuanya sudah siap di meja Anda. Apa ada tambahan yang perlu saya urus lagi?" Grace mengangguk kecil, lalu melangkah menuju ruang kerjanya. Vio mengikuti di belakangnya, membawa tablet dan sejumlah dokumen penting. Ketika mereka tiba di
Setelah beberapa saat pertemuannya dengan Arthur, mobilnya melaju perlahan di sepanjang jalan yang lengang. Grace menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu ke mana tujuannya malam ini—ke rumah orang tuanya, Victor dan Evelyn. Ketika mobilnya berhenti di depan pagar, Grace mematikan mesin dan duduk diam selama beberapa detik. Ia menatap rumah itu, mengingat momen-momen masa kecilnya. "Maaf, Ma... Pa..." bisiknya pelan. Air mata hampir saja mengalir, tapi ia buru-buru menghapusnya. "Aku tidak punya pilihan." Setelah menarik napas panjang, Grace keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu depan. Ia mengetuk pintu beberapa kali sebelum akhirnya Evelyn membukanya. “Grace?” Evelyn memandang putrinya dengan sedikit terkejut. “Kamu tidak bilang mau datang.” Grace tersenyum kecil. “Ma, aku cuma ingin mampir. Sudah lama kan, aku tidak ngobrol sama Mama sama Papa.”
Bab227#Setelah menghabiskan waktu untuk berbulan madu. Keduanya kini mengakhiri masa libur mereka.Chelsea tersenyum kecil, memandangi wajah suaminya yang tetap fokus mengemudi. Meski ia tahu perjalanan mereka menuju rumah masih panjang, hatinya terasa ringan. Ada rasa nyaman yang tak terjelaskan, seolah semua percakapan mereka sepanjang perjalanan ini menjadi semacam pengikat. Mobil terus melaju melewati jalan-jalan yang mulai ramai. Chelsea bersandar di kursinya, menyandarkan kepala ke bahu Kenan. “Aku tidak sangka perjalanan ini cepat usai, Ken.” Kenan menoleh sedikit, menatapnya lembut. “Aku juga merasa begitu. Tapi kan, kita sudah sepakat. Ini bukan yang terakhir.” “Janji, ya?” Chelsea mendongak, menatap suaminya dengan mata berbinar. Kenan tersenyum kecil, lalu mengecup keningnya. “Janji. Nanti kita buat rencana lagi.” Chelsea tersenyum puas. Ia memejamkan mata, mencoba menikmati perjalanan pulang mereka
Chelsea menahan senyumnya, lalu melipat kedua kakinya di atas ranjang. “Tentang kamu. Masa lalumu. Kamu jarang bahkan tidak pernah cerita, Ken. Aku tahu kamu tidak suka bicara soal itu, tapi aku mau tau. Apa kamu pernah merasa ... ya, kesepian?” Kenan menghela napas perlahan, lalu menoleh ke arah jendela yang masih memperlihatkan sedikit kilauan bintang. Udara malam dari celah jendela terasa dingin, tapi juga menenangkan. Ia menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, mencoba mengatur kata-kata dalam pikirannya. “Masa kecilku, ya?” Kenan akhirnya membuka suara. “Itu tidak pernah jadi sesuatu yang aku banggakan, Chelsea. Aku tidak pernah punya keluarga yang utuh. Mama meninggal beberapa waktu yang lalu. Beliau mungkin masih menyisakan luka yang dalam akibat papaku. Aku bahkan hampir tidak ingat wajahnya. Papa ..."Kenan berhenti sejenak, menelan ludah. “Papa pergi sejak Anna bayi. Ia lebih pilih hidup dengan wanita lain yang dianggapnya lebi
Mendengar ungkapan Kenan, tentu saja membuat Chelsea penasaran, siapa yang mengajari suaminya itu. Kenan pura-pura berpikir sebentar, lalu tersenyum jahil. “YouTube.” Chelsea langsung memukul punggung sang pria, seraya mendengus geli. "Oh, pantas saja. Kukira kamu serius belajar dari chef terkenal atau gimana. Ternyata hasil tutorial."“Tapi yang penting hasilnya enak, kan?” Kenan membalas sambil menatap Chelsea yang sedang sibuk menyantap spaghetti buatannya. Chelsea mengangguk kecil sambil menyuapkan lagi spaghetti ke mulutnya lagi. “Enak sekali, Ken. Kalau gini pun aku tidak bingung kalau pelayan pulang kampung, hehehe ...” tawanya.“Ya, aku kan suami yang serba bisa,” jawab Kenan santai, tapi senyumnya tetap lebar. Chelsea hanya menggeleng-geleng pelan, mencoba menahan tawa. “Iya, iya. Suami serba bisa. Tidak salah aku nikah sama kamu.” Kenan tertawa kecil, tapi kemudian menatap Chelsea dengan lembut. “Aku c
Angin dingin khas pegunungan perlahan menyelinap di sela-sela kulit. Chelsea menarik syal yang melingkar di lehernya, mencoba menghangatkan diri. Di hadapan mereka, villa yang mereka sewa untuk beberapa hari ke depan berdiri megah. Bangunannya bergaya rustic modern, dengan dominasi kayu cokelat tua yang berpadu dengan kaca besar yang memantulkan pemandangan hijau di sekitarnya. Di belakang villa, pegunungan menjulang tinggi, membingkai lanskap alami yang seperti lukisan. “Ken, aku tidak tau kalau tempat ini akan seindah ini …” Chelsea berujar, suaranya pelan namun penuh kekaguman. Kedua mata tak henti-henti memindai setiap detail villa. Balkon kayu yang menghadap langsung ke lembah, kolam renang kecil yang airnya jernih seperti kaca, hingga taman kecil di samping villa yang dihiasi dengan bunga-bunga musim semi yang sedang mekar. Kenan terkekeh kecil. “Aku tau. Makanya aku tidak kasih lihat detail fotonya ke kamu waktu pesan.” Che
Chelsea menatap Kenan, bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin bicara. Tapi, seperti ada sesuatu yang membekukan lidahnya. Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya seakan berlomba-lomba keluar, tetapi tidak ada satu pun yang berhasil terucap. Mata Kenan yang tenang menatapnya dengan lembut. "Chelsea, ada sesuatu yang mau kamu ucapkan?" tanyanya lagi, suaranya rendah, penuh perhatian.Chelsea menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Tapi akhirnya, hanya sebuah senyuman kecil yang berhasil keluar. "Tidak, aku cuma ... cuma kepikiran saja," katanya pelan.Mengangguk lirih, meskipun demikian, Kenan terlihat tidak sepenuhnya percaya. Tapi, seperti kebiasaannya, dia tidak memaksa. "Kalau begitu, jangan pikirkan terlalu berat, ya. Kita harus saling berbagi." Kenan menepuk punggung tangan Chelsea dengan lembut, lalu berdiri, "Tidur yang nyenyak. Besok kita jalan pagi-pagi."Chelsea hanya mengangguk, meski hatinya tidak bena
Suara Kenan membuyarkan lamunan Chelsea. Nada bicara lembut, seperti biasa, tetapi cukup untuk membuat Chelsea menyadari bahwa ia sudah terlalu jauh tenggelam dalam pikiran.Chelsea mengerjap cepat, menoleh Kenan yang duduk di sampingnya dengan sorot mata penuh perhatian. "Aku tidak apa-apa," jawabnya cepat. Kenan menatapnya sejenak, jelas tahu ada sesuatu yang mengganjal. Tapi seperti biasa, dia tidak memaksa. "Kalau ada apa-apa, bilang saja. Aku di sini, oke?"Chelsea mengangguk pelan. Dia tahu Kenan tulus, namun ada sesuatu yang belum bisa dia ungkapkan. Belum sekarang, pikirnya.“Eh, ngomong-ngomong soal bulan madu, Kak Chelsea sudah ada ide mau ke mana?” Anna tiba-tiba menyela, memecahkan keheningan yang sempat tercipta. Gadis itu menatap mereka dengan mata berbinar, seperti anak kecil yang menunggu cerita dongeng. Chelsea menghela napas kecil. "Belum ada, Anna. Aku masih bingung."Anna langsung berseru, "Yah, ke