Kediaman Chelsea tampak sunyi, hanya suara jarum jam di dinding yang terdengar berirama, memecah keheningan malam. Di dalam kamar Chelsea, lampu tidur yang redup menerangi ruangan dengan cahaya lembut. Chelsea duduk di tepi ranjangnya, memegang bantal kecil sambil memeluknya erat. Ia merasa gelisah, pikirannya dipenuhi oleh satu nama yakni Kenan, bodyguard yang selalu menemaninya."Astaga ... kenapa aku tidak bisa tidur?" Chelsea bertanya pelan pada dirinya sendiri. Ia mendongak menatap langit-langit kamar, berharap menemukan jawaban di sana. Namun, pikirannya tetap berputar tanpa henti."Apa yang sebenarnya terjadi padaku?"Ia bangkit dari ranjang dan berjalan ke arah jendela. Tirai tipis melambai lembut karena angin malam yang masuk dari celah jendela. Chelsea memandang keluar, matanya menatap kosong ke kegelapan malam yang dipenuhi gemerlap lampu kota."Kenan," ia berbisik, namanya terasa asing tapi begitu akrab di bibirnya. "Kenapa a
Restoran itu dipenuhi nuansa mewah dan dekorasi elegan membuat suasana romantis yang menenangkan. Para pelayan berseragam hitam putih bergerak dengan lihai, melayani tamu-tamu yang berbincang santai. Chelsea masuk lebih dulu, mengenakan senyum percaya diri yang menutupi kegugupan yang menggerogoti hatinya."Di sini, Nyonya?" tanya Kenan seraya memandangi sekeliling.Chelsea menoleh lalu tersenyum. "Iya, Kenan. Kenapa?"Kenan menggeleng. "Ah, tidak apa-apa." Namun, pikiran Kenan berputar sesaat. "Kesannya ... restoran ini seperti tempat untuk berkencan ... apa nyonya Ingin bertemu dengan seorang pria?" batinnya.Kenan mengikutinya dari belakang, merasa sedikit tak nyaman berada di tempat seperti ini. Sebagai seorang bodyguard, ia terbiasa bertindak sebagai pelindung, memastikan keamanan majikannya, bukan duduk sebagai tamu di tempat mewah seperti ini.Chelsea berhenti di sebuah meja dekat jendela besar yang menawarkan pemandangan kota
Langit kota sore itu dipenuhi awan kelabu, seperti suasana hati Freya yang gelisah. Duduk di kursi berlapis kulit di ruang kerjanya, ia menekan pelipisnya dengan keras, mencoba mengusir rasa sakit kepala yang tak kunjung reda. Pikiran tentang Grace, Ruben, dan Diego terus berkecamuk di benaknya, membuatnya semakin frustrasi."Sial!" Freya mengumpat sambil memukul meja. "Akhir-akhir kepalaku terus-menerus sakit! Pasti gara-gara aku terlalu banyak pikiran! Belum lagi punya dua anak buah yang bodoh dan menyebalkan!"Freya tahu sesuatu tidak beres. Ia sudah memberi perintah yang jelas kepada kedua anak buahnya. Tapi mengapa semuanya terasa salah? Seolah kedua anak buahnya memang tak begitu kompeten untuk urusan seperti ini. "Ah, yang penting mereka berdua sudah menyekap Grace. Untuk sekarang aku bisa sedikit santai dan ... aku harus ke dokter dulu untuk memeriksa kepalaku."Ia akhirnya memutuskan untuk berkonsultasi ke dokter langganannya. Freya
Pagi itu, Max sedang berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Jas berwarna abu-abu tua yang elegan melekat sempurna pada tubuhnya. Wajahnya yang tampan terlihat tenang, namun pikirannya sibuk mempersiapkan strategi yang akan disampaikan dalam rapat hari ini. "Aku harus fokus! Aku tak mau acara penting seperti ini terganggu oleh pikiran-pikiran yang sedari kemarin mengusikku!" batin Max segera menarik nafas panjang lalu mengembuskannya."Ah, sudah jam segini ternyata." Jam di dinding menunjukkan pukul 07:55 ketika ketukan di pintu kamar terdengar."Masuk," ujar Max singkat.Christ membuka pintu, mengenakan setelan formal dengan raut wajah profesional seperti biasa. "Tuan, kata sopir, mobilnya sudah siap. Kita bisa berangkat sekarang," katanya sembari melirik arloji."Oke, ayo kita berangkat."Max mengangguk kecil, mengambil berkas-berkas yang telah disiapkannya di meja, lalu berjalan keluar kamar. Keduanya menuju lift, lal
"Berani sekali kau kembali ke sini! Dasar wanita murahan!” Grace yang semula sedang termenung di tepi ranjang, tersentak saat mendengar suara bariton nan dominan dari Maxime Rudolf Dicaprio. Kemarahan pria itu sudah menjadi hal yang Grace duga. Pria mana yang tidak akan marah ketika ditinggalkan oleh sang istri, persis setelah mereka mereguk panasnya malam pertama? Namun, Grace tidak mencoba menjelaskan ataupun membela diri pada Max. Dia lebih memilih fokus pada tujuannya kembali kali ini. Kalau bukan karena Leon, dia juga mungkin enggan untuk memijakkan kakinya lagi ke negara ini. Leon, anaknya dengan Max dulu, yang masih dia rahasiakan keberadaannya, tengah butuh bantuan. Dan hanya Max lah pria yang bisa mewujudkan bantuan itu. "Ayolah Sayang, lupakan masa lalu.” Alih-alih ciut karena aura kemarahan sang suami, Grace justru semakin berani. Dia melangkah mendekati Max dengan gaya yang begitu memesona. “Apa kau tidak ingin menyentuhku?” Pakaian minim nan menggoda yang d
“Itulah faktanya, Grace!” Memanfaatkan keterkejutan Grace, Max mendorong tubuh sang istri menjauh. “Cepat pergi dari sini!” tunjuknya pada pintu kamar. Beribu pertanyaan bersarang di dalam kepala Grace. Berbagai pertanyaan ingin dia ketahui jawabannya. Mengapa Max tiba-tiba mandul? Lalu, bagaimana nasib Leon, jika Max kini dinyatakan mandul? Namun, semua pertanyaan itu masih tertahan. Grace yang begitu shock memutuskan untuk mundur sejenak, dia tidak lagi memaksa Max untuk menyentuhnya. Wanita itu keluar tanpa kata dari kamar Max, menuju salah satu kamar tamu di rumah itu. Niat dia menenangkan pikiran pun berakhir gagal, sebab pikirannya yang buntu justru membuatnya sulit tidur. Hingga pagi ini, Grace dibuat sakit kepala karena terus memikirkan kenyataan ini. "Argh ...!" Grace menarik kuat rambutnya karena merasa kesal. Dia bahkan tidak bisa berpikir saat ini. "Aku harus lakukan apa? Bagaimana dengan Leon?" Di dalam kamar luas dengan interior mewah, wanita itu mondar mandir
Setelah adu mulut dengan wanita gila yang datang tiba-tiba, kini Grace tengah melaju menuju rumah keluarga Malay, keluarganya. Begitu sampai di sana, Grace melepas kacamata, menyapa kedua orang tuanya seraya mendudukkan dirinya pada sofa. “Hai, Ma! Hai, Pa!” Kedua orang tuanya, Victor Addison Malay dan Evelyn Malay terkejut luar biasa. "Grace?!" Keluarga Malay termasuk keluarga konglomerat yang sebanding dengan Dicaprio. Tidak heran, meski Grace mengasingkan diri di luar negeri, dia tetap bisa bertahan hidup, dan bahkan mendirikan bisnisnya sendiri. “Kenapa kau kembali?!” Evelyn berdecak kesal mengingat kaburnya Grace saat itu membuat hubungan antara keluarga Malay dan Dicaprio menjadi tidak akur. "Seharusnya kau tidak perlu kembali, bukan?" Sementara Evelyn melontarkan kata-kata sarkas, Victor hanya menoleh sekilas, kemudian melanjutkan membaca koran. Pria itu tidak lagi peduli dengan Grace. Grace tersenyum tipis menanggapinya. "Apa kalian tidak merindukanku? Sepertinya
"Bukan siapa-siapa, Ma." Grace menyembunyikan ponsel. "Ah, sudahlah, aku mau keluar dulu. Sepertinya sudah banyak perubahan dengan kota ini." Grace bangkit dari duduknya kemudian langsung membawa langkahnya keluar dari kamar, meninggalkan Evelyn dengan penuh rasa penasaran. "Hati-hati, Grace, hubungi mama jika kau perlu bantuan," seru Evelyn. Sementara Grace pergi dari kediaman Malay, di gedung bertingkat McKesson Group, Maxime baru saja tiba setelah dirinya dibuat pusing dengan dua wanita yang berdebat di rumahnya. Pria itu langsung duduk dibalik meja kerjanya dan mengurut pelipis. Ada yang tidak biasa pemandangan pagi ini, Christian, sang asisten pun bertanya. "Ada masalah, Tuan? Apa yang menyulitkan Anda?" "Tidak, Christ, bukan di sini," jawab Max dengan nada malas. "Lalu?" "Dua makhluk paling menyusahkan sedang cek-cok di rumah," ujar Max tampak lesu. Christ semakin tidak mengerti arah pembicaraan Max. Dia menduga ibu dan adik Max yang berkelahi. "Maksud Tuan ...
Pagi itu, Max sedang berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Jas berwarna abu-abu tua yang elegan melekat sempurna pada tubuhnya. Wajahnya yang tampan terlihat tenang, namun pikirannya sibuk mempersiapkan strategi yang akan disampaikan dalam rapat hari ini. "Aku harus fokus! Aku tak mau acara penting seperti ini terganggu oleh pikiran-pikiran yang sedari kemarin mengusikku!" batin Max segera menarik nafas panjang lalu mengembuskannya."Ah, sudah jam segini ternyata." Jam di dinding menunjukkan pukul 07:55 ketika ketukan di pintu kamar terdengar."Masuk," ujar Max singkat.Christ membuka pintu, mengenakan setelan formal dengan raut wajah profesional seperti biasa. "Tuan, kata sopir, mobilnya sudah siap. Kita bisa berangkat sekarang," katanya sembari melirik arloji."Oke, ayo kita berangkat."Max mengangguk kecil, mengambil berkas-berkas yang telah disiapkannya di meja, lalu berjalan keluar kamar. Keduanya menuju lift, lal
Langit kota sore itu dipenuhi awan kelabu, seperti suasana hati Freya yang gelisah. Duduk di kursi berlapis kulit di ruang kerjanya, ia menekan pelipisnya dengan keras, mencoba mengusir rasa sakit kepala yang tak kunjung reda. Pikiran tentang Grace, Ruben, dan Diego terus berkecamuk di benaknya, membuatnya semakin frustrasi."Sial!" Freya mengumpat sambil memukul meja. "Akhir-akhir kepalaku terus-menerus sakit! Pasti gara-gara aku terlalu banyak pikiran! Belum lagi punya dua anak buah yang bodoh dan menyebalkan!"Freya tahu sesuatu tidak beres. Ia sudah memberi perintah yang jelas kepada kedua anak buahnya. Tapi mengapa semuanya terasa salah? Seolah kedua anak buahnya memang tak begitu kompeten untuk urusan seperti ini. "Ah, yang penting mereka berdua sudah menyekap Grace. Untuk sekarang aku bisa sedikit santai dan ... aku harus ke dokter dulu untuk memeriksa kepalaku."Ia akhirnya memutuskan untuk berkonsultasi ke dokter langganannya. Freya
Restoran itu dipenuhi nuansa mewah dan dekorasi elegan membuat suasana romantis yang menenangkan. Para pelayan berseragam hitam putih bergerak dengan lihai, melayani tamu-tamu yang berbincang santai. Chelsea masuk lebih dulu, mengenakan senyum percaya diri yang menutupi kegugupan yang menggerogoti hatinya."Di sini, Nyonya?" tanya Kenan seraya memandangi sekeliling.Chelsea menoleh lalu tersenyum. "Iya, Kenan. Kenapa?"Kenan menggeleng. "Ah, tidak apa-apa." Namun, pikiran Kenan berputar sesaat. "Kesannya ... restoran ini seperti tempat untuk berkencan ... apa nyonya Ingin bertemu dengan seorang pria?" batinnya.Kenan mengikutinya dari belakang, merasa sedikit tak nyaman berada di tempat seperti ini. Sebagai seorang bodyguard, ia terbiasa bertindak sebagai pelindung, memastikan keamanan majikannya, bukan duduk sebagai tamu di tempat mewah seperti ini.Chelsea berhenti di sebuah meja dekat jendela besar yang menawarkan pemandangan kota
Kediaman Chelsea tampak sunyi, hanya suara jarum jam di dinding yang terdengar berirama, memecah keheningan malam. Di dalam kamar Chelsea, lampu tidur yang redup menerangi ruangan dengan cahaya lembut. Chelsea duduk di tepi ranjangnya, memegang bantal kecil sambil memeluknya erat. Ia merasa gelisah, pikirannya dipenuhi oleh satu nama yakni Kenan, bodyguard yang selalu menemaninya."Astaga ... kenapa aku tidak bisa tidur?" Chelsea bertanya pelan pada dirinya sendiri. Ia mendongak menatap langit-langit kamar, berharap menemukan jawaban di sana. Namun, pikirannya tetap berputar tanpa henti."Apa yang sebenarnya terjadi padaku?"Ia bangkit dari ranjang dan berjalan ke arah jendela. Tirai tipis melambai lembut karena angin malam yang masuk dari celah jendela. Chelsea memandang keluar, matanya menatap kosong ke kegelapan malam yang dipenuhi gemerlap lampu kota."Kenan," ia berbisik, namanya terasa asing tapi begitu akrab di bibirnya. "Kenapa a
Di Rumah sakit Chartie, Brian menatap bingung dengan ponselnya yang menghitam kembali. Ia tidak bisa menelpon Grace meskipun Brian sudah melakukannya berulang kali.Brian melangkah lebih dekat ke ruang ICU, melihat Alika menatap nanar pada sosok yang sedang terbaring di dalam sana. Pria itu menghela napas berat, "Sudah. Alika paham kan, kenapa Om melarang Leon pergi keluar?" tanya Brian penuh ketegasan.Tatapan Alika kosong, melihat sahabatnya dengan kedua mata berkaca-kaca. Gadis itu tidak mampu menjawab bahkan bersuara. Sejujurnya Bryan pun merasakan kesedihan melihat Alika yang terlihat syok saat mengetahui Leon keadaan yang seperti itu namun hal itu perlu ia lakukan agar kedua anak itu bisa mengambil makna dari kejadian yang sudah terjadi. Terkadang anak-anak memang perlu untuk pendidikan yang lebih keras untuk mendisiplinkan. Bukan karena orang tuh orang dewasa kejam namun mengingatkan bahwa keselamatan lebih utama dan t
Malam semakin larut, langit gelap menyelimuti kawasan kota, dan angin dingin bertiup menusuk tulang. Di sebuah jalan sepi yang dikelilingi oleh pepohonan rindang, Diego dan Ruben berdiri di samping hamparan ilalang setinggi pinggang, terlihat gelisah dan frustrasi. Wajah Diego memerah, matanya menyala penuh amarah."Lari ke mana dia?!" bentak Ruben, suaranya menggema di malam yang sunyi. Ia berkacak pinggang seraya mengatur nafasnya.Diego mengangkat bahu dengan ekspresi tak peduli. "Mana aku tahu? Kita mengejarnya bersama-sama tadi!"Ruben berjalan mondar-mandir, menendang kerikil di depannya dengan kesal. "Seharusnya kau lebih teliti memperhatikan arah larinya.""Bagaimana mungkin dia bisa berlari dalam kondisi seperti itu?" tanya Diego mengalihkan "Bukan persoalan larinya, dasar bodoh! Tapi, kau seharusnya memperhatikan!" sanggah Ruben dengan ekspresi marah, seolah semua ini kesalahan Diego.Diego mendengus sambil melipa
Arthur melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, matanya terus melirik Grace yang terbaring lemah di kursi penumpang. Nafasnya berat, tubuhnya berkeringat, dan wajahnya pucat. Arthur menekan gas lebih dalam, mempercepat laju menuju rumah sakit kenalannya."Grace ... bertahanlah! Sebentar lagi kita akan sampai. Tahan dulu ...," ucap Arthur sesekali melirik ke arah spion mobilnya."I-iya ... urgh," rintihnya sembari menekan perutnya yang terasa semakin nyeri.Tak berselang lama mereka berdua tiba juga di depan rumah sakit. Arthur segera keluar dari mobil, menggendong Grace dengan hati-hati. "Tolong! Ada pasien darurat!" serunya kepada petugas medis "Iya, Pak. Tunggu sebentar!" sahut salah satu petugas medis sembari membawa sebuah ranjang beroda untuk pasien.Setelah itu, Grace dibaringkan dibantu oleh Arthur, dan mereka segera mendorongnya ke ruang IGD. Arthur mengikuti di belakang, wajahnya tegang. Tak lama kemudian, seorang wanita
Grace terengah-engah, keringat mengalir deras di dahinya saat ia berlari menembus kegelapan malam. Suara deru mobil semakin mendekat, menandakan bahwa ada seseorang yang dekat dengan dirinya. Sementara Ruben dan Diego tidak akan membiarkan Grace pergi begitu saja. "Grace! Kamu tidak bisa lari selamanya!" teriak Diego di dalam mobil. Tatapannya seakan pembunuh yang sedang memburu mangsa. Jeritan alam, bisikan angin, dan desahan napas Grace menyatu dalam kegelisahan yang hampir mematikan. Setiap detik adalah perjuangan hidup dan mati. Ia tahu, jika mereka menangkapnya, segalanya akan berakhir. Wanita itu terus berlari lebih cepat, melirik ke belakang sejenak. Wajah pucat itu diliputi ketakutan. "Aku ... tidak bisa ... berhenti sekarang. Aku harus keluar dari sini!" tekad Grace terengah-engah. Suara deru mesin mobil semakin dekat. Grace seolah bisa mendengar Diego yang tertawa sinis di belakangnya. "Tidak! Aku tidak akan menyerah!" Grace hampir putus asa. Di negara lain, Br
Mobil SUV hitam melaju kencang di jalanan kota yang agak lengang sore itu. Nampak jalanan penuh daun kering yang berguguran dan berhamburan saat roda mobil yang membawa Grace menerpanya. Di dalam mobil, dua pria tengah memasang wajah tegang seraya sesekali melirik ke kursi belakang tempat Grace berada."Tambah kecepatannya!" titah Ruben dengan dahi yang berkerut."Ini sudah paling cepat, Ruben!" sergah Diego sedikit kesal.Grace mencoba mengingat-ingat apa yang sudah ia lakukan di masa lampau. "Apa aku pernah berurusan dengan orang lain? Atau apa aku pernah menyakiti hati orang terdekat sehingga orang itu ingin membalas dendam kepadaku? Ataukah ini penculikan biasa yang hanya menginginkan uang tebusan?" batinnya.Dengan hati-hati, Grace mencoba meraih ponsel di saku bajunya, mencoba menekan tombol untuk mengirimkan lokasinya ke Arthur meskipun kedua tangannya terikat. Namun, nampaknya itu semua sia-sia. Diego tiba-tib