Chelsea mendapat kabar bila ibu Kenan meninggal dunia. Sehingga wanita itu memberi waktu Kenan untuk mengurus pemakaman orang tuanya hingga masa berkabung usai.Pagi ini, ia baru saja memastikan pada Grace untuk pergi dengannya malam nanti. Pasalnya, ia tidak akan pergi jika datang ke pesta itu sendiri."Kamu pasti menemaniku nanti malam kan, Grace?" tanya Chelsea melalui sambungan telepon."Tentu saja, Chelsea. Memangnya ada apa?""Uhm, bukan apa-apa sih. Hanya saja supirku sedang cuti, Mama-nya baru saja meninggal dunia.""Astaga?!" Grace terkejut. "Maksud kamu, Mamanya Kenan?""Yes.""Apa dia sakit? Kasihan sekali supirmu itu. Aku lihat dia sangat rajin," puji Grace tanpa sadar. "Dia juga tampak setia.""Tentu, aku bahkan berhutang nyawa padanya.""Hm, aku tau. Ya sudah, nanti aku jemput kamu," ucap Grace kemudian mengakhiri panggilan.Seusai menutup telepon, Grace langsung bersiap meng
Samuel terus mengikuti mobil yang Grace kendarai dari jarak aman, sesekali dirinya harus bermanuver, kala harus melewati belokan tajam. Hingga akhirnya mobil yang dikendarai sang majikan berhenti di salah satu tempat yang ia kenali. "Nyonya ke Seventeen?" gumam Samuel dengan kening berkerut heran. Ia lantas memutar setir kemudi, ikut masuk ke parkiran basement. Mobil mereka berjarak 5 buah. Samuel bahkan bisa melihat Grace dan Chelsea keluar beriringan dari dalam mobil. Keduanya terlihat sesekali tertawa kecil, tampak bercanda satu sama lain, sembari berjalan menyusuri tempat parkir menuju salah satu lift yang ada di dekat mereka. Samuel hanya melihat dari balik kemudi. Kaca mobil yang gelap membantunya agar tak terlihat. "Ada apa, Grace?" tanya Chelsea sembari menekan angka 3 pada tombol lift dekat pintu. Lalu, mengalihkan perhatian pada sang kakak ipar yang justru mengernyitkan dahi dengan pandangan lurus ke area par
Chelsea terus memberontak, kedua kakinya berusaha menendang apapun yang bisa ia jangkau. Namun, pergerakannya seketika terhenti, saat mendengar suara yang teramat ia kenali, sekaligus membuat matanya terbelalak lebar. "Sstttt, jangan bergerak terus, Sayang. Nanti Dia marah dan ingin merobek-robek dirimu, di sini, di tempat ini." Napasnya bahkan terdengar berburu di telinga kanan Chelsea, disusul sesuatu yang basah mengenai bagian tersebut, membuat Chelsea merinding ketakutan. Air mata Chelsea bahkan tanpa sadar jatuh membasahi pipi, kala benda basah itu mulai terasa di leher. "Kamu berkeringat, Sayang?" kekeh lelaki itu, "takut?" Sebuah kecupan mendarat di belakang kepala Chelsea, membuatnya semakin gemetar ketakutan. "Hmph!" Chelsea berusaha berteriak dan kembali memberontak. "Sstttt, Sayang. Jangan berontak terus! Jika tidak, aku akan menidurimu di sini, sekarang juga!"Chelsea tentu saja
Tak lama berselang, pintu kamar mandi di dorong dari luar. Samuel lantas memindai sekitar dan seketika terbelalak, kala menemukan sesosok wanita tengah berbaring di lantai. Bergegas dirinya mendekat. Lalu, membalikkan perlahan tubuh wanita itu. Alangkah terkejutnya dirinya, kala mengetahui siapa gerangan yang tengah berbaring dengan dahi yang memar dan mengucurkan cairan merah dari pelipisnya. Segera Samuel meraih Grace yang pingsan, meletakkan di atas paha. Tangannya merogoh cepat saku celana, mengambil ponsel miliknya dan melakukan panggilan telepon. "Halo, Christ!" Suaranya terdengar gugup dan sarat akan rasa khawatir. Christ yang sedang meminum segelas kopi panas di pantry setelah selesai meeting alot bersama Max beberapa saat yang lalu, segera meletakkan gelas kala mendengar ucapan Samuel dari balik sambungan telepon. "Apa?! Coba katakan sekali lagi?!" Meskipun gugup, Samuel berkata dengan tegas, "Ses
Setelah satu jam lebih menunggu, akhirnya pintu dibuka dari dalam, menampilkan seorang dokter berbaju biru, lengkap dengan kacamata bening dan masker medis. Sang dokter segera melepaskan masker yang ia kenakan. Lalu, menatap lurus pada wajah tegang Max. "Nyonya Grace telah melewati masa kritis." Hela napas berat terdengar, "hanya saja—" Ia tercekat. "Apa, Dokter Marthino?" desak Max tidak sabar. Kedua tangannya memegang pundak sang dokter dan sedikit menyentaknya. "Tulang hidung dan rahang Istri Anda mengalami sedikit pergeseran juga penyempitan saluran yang ada di rongga mulut, sehingga kemungkinan besar Dia—" Dokter Marthino kembali menghela napas berat, merasa sangat sedih dan menyesalkan kejadian ini. "Apa, Dokter?! Tolong jangan berbelit-belit!" desak Max, mengguncang lengan sang dokter dengan kuat. Ia benar-benar tidak sabar, sekaligus marah. "Kemungkinan besar Nyonya Grace akan kesusahan berkomunikasi. Tapi, Kami akan berusaha
Setelah melihat kejadian yang berada di diskotik saat acara ulang tahunnya. Kini, Freya berjalan mondar mandir di dalam kamar. Wanita itu memikirkan keadaan Chelsea karena Darren membawa adik Max. "Dasar bodoh Darren, bisa-bisanya dia menculik Chelsea!" umpat Freya mengingat tragedi itu. Ia pun tidak menduga bila Darren akan senekat itu pada Chelsea. Pasalnya, ia sengaja membuat pesta itu untuk mempertemukan Darren dengan Chelsea. Karena Freya terikat karena pinjaman dadakan yang ia pinjam tempo lalu. "Masa bodoh! Aku tidak ingin disalahkan Max!" gusar wanita itu bermonolog. "Tapi ... kejadian ini juga sangat menguntungkan aku! Aku harap Grace akan cacat dan Max cepat menceraikannya! Max benar-benar pria bodoh!" Wanita itu menyugar rambutnya ke belakang. Seakan meyakinkan diri, Max tidak akan menyangkut pautkan dirinya. "Bagaimana keadaan Grace sekarang?" Rasa penasaran Freya sangat tinggi hingga ia mencari t
Meskipun wanita itu berusaha berteriak sekencang mungkin. Tetap saja tidak akan ada yang menolongnya, sekalipun pelayan Villa tersebut. Dengan wajah berurai air mata, penutup mata itu sudah basah karena tangisan Chelsea. "Berhenti dengan ulah menjijikkanmu ini, Darren!" jeritnya.Tubuhnya semakin bergetar ketakutan saat Chelsea mulai merasakan kulitnya bersentuhan dengan pria itu."Sssttt ...! Diamlah ... Ini tidak akan sakit, Sayang. Justru akan aku buat kamu melayang terbang bersamaku ...!"Bibir Chelsea terkatup kuat. Ia tidak akan memberikan kebebasan Darren untuk mengeksplor ciuman.Cuih!Ludahan Chelsea seketika mengenai wajah Darren. Pria itu sontak mengalihkan wajah kemudian mengusapnya. Raut wajah Darren mengeras. Ia menatap Chelsea, langsung menarik rahang wanita itu sangat kuat."Argh ...!""Kamu sangat berani menentangku, Sayang! Aku tidak akan melepaskanmu! Ayo kita nikmati pesta ini
Namun, sesuatu tiba-tiba menghantam pundaknya dengan kuat hingga ia terjatuh ke samping kiri bersama pekik kesakitan, kala terbentur dengan lantai. "Oh, shit! Siapa yang su—" Dor!Suaranya tercekat, kala sesuatu yang panas terasa menembus paha sebelah kanannya."Argh! Fuck You!"Darren meneguk ludah kasar sembari meringis kesakitan melihat kakinya kini mengucurkan darah. Pria itu perlahan mengangkat pandangan, hingga ia bisa melihat siapa sosok yang tengah menodongkan senjata jenis revolver kepadanya. Wajahnya sedikit memucat bersama keringat dingin keluar dari pori-pori wajah, mengalir turun hingga leher. "YOU CRAZY, MAX!!"Sementara itu, seseorang segera menutupi tubuh Chelsea dengan sebuah selimut tebal. Dialah Kenan. Setelahnya, ia terlihat melepaskan satu persatu borgol yang terpasang, lantas membantu wanita itu duduk. "Ke-kenan ...?" Tubuh Chelsea bergetar hebat saat melihat sang supir yang ternyata da
Mendengar ungkapan Kenan, tentu saja membuat Chelsea penasaran, siapa yang mengajari suaminya itu. Kenan pura-pura berpikir sebentar, lalu tersenyum jahil. “YouTube.” Chelsea langsung memukul punggung sang pria, seraya mendengus geli. "Oh, pantas saja. Kukira kamu serius belajar dari chef terkenal atau gimana. Ternyata hasil tutorial."“Tapi yang penting hasilnya enak, kan?” Kenan membalas sambil menatap Chelsea yang sedang sibuk menyantap spaghetti buatannya. Chelsea mengangguk kecil sambil menyuapkan lagi spaghetti ke mulutnya lagi. “Enak sekali, Ken. Kalau gini pun aku tidak bingung kalau pelayan pulang kampung, hehehe ...” tawanya.“Ya, aku kan suami yang serba bisa,” jawab Kenan santai, tapi senyumnya tetap lebar. Chelsea hanya menggeleng-geleng pelan, mencoba menahan tawa. “Iya, iya. Suami serba bisa. Tidak salah aku nikah sama kamu.” Kenan tertawa kecil, tapi kemudian menatap Chelsea dengan lembut. “Aku c
Angin dingin khas pegunungan perlahan menyelinap di sela-sela kulit. Chelsea menarik syal yang melingkar di lehernya, mencoba menghangatkan diri. Di hadapan mereka, villa yang mereka sewa untuk beberapa hari ke depan berdiri megah. Bangunannya bergaya rustic modern, dengan dominasi kayu cokelat tua yang berpadu dengan kaca besar yang memantulkan pemandangan hijau di sekitarnya. Di belakang villa, pegunungan menjulang tinggi, membingkai lanskap alami yang seperti lukisan. “Ken, aku tidak tau kalau tempat ini akan seindah ini …” Chelsea berujar, suaranya pelan namun penuh kekaguman. Kedua mata tak henti-henti memindai setiap detail villa. Balkon kayu yang menghadap langsung ke lembah, kolam renang kecil yang airnya jernih seperti kaca, hingga taman kecil di samping villa yang dihiasi dengan bunga-bunga musim semi yang sedang mekar. Kenan terkekeh kecil. “Aku tau. Makanya aku tidak kasih lihat detail fotonya ke kamu waktu pesan.” Che
Chelsea menatap Kenan, bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin bicara. Tapi, seperti ada sesuatu yang membekukan lidahnya. Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya seakan berlomba-lomba keluar, tetapi tidak ada satu pun yang berhasil terucap. Mata Kenan yang tenang menatapnya dengan lembut. "Chelsea, ada sesuatu yang mau kamu ucapkan?" tanyanya lagi, suaranya rendah, penuh perhatian.Chelsea menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Tapi akhirnya, hanya sebuah senyuman kecil yang berhasil keluar. "Tidak, aku cuma ... cuma kepikiran saja," katanya pelan.Mengangguk lirih, meskipun demikian, Kenan terlihat tidak sepenuhnya percaya. Tapi, seperti kebiasaannya, dia tidak memaksa. "Kalau begitu, jangan pikirkan terlalu berat, ya. Kita harus saling berbagi." Kenan menepuk punggung tangan Chelsea dengan lembut, lalu berdiri, "Tidur yang nyenyak. Besok kita jalan pagi-pagi."Chelsea hanya mengangguk, meski hatinya tidak bena
Suara Kenan membuyarkan lamunan Chelsea. Nada bicara lembut, seperti biasa, tetapi cukup untuk membuat Chelsea menyadari bahwa ia sudah terlalu jauh tenggelam dalam pikiran.Chelsea mengerjap cepat, menoleh Kenan yang duduk di sampingnya dengan sorot mata penuh perhatian. "Aku tidak apa-apa," jawabnya cepat. Kenan menatapnya sejenak, jelas tahu ada sesuatu yang mengganjal. Tapi seperti biasa, dia tidak memaksa. "Kalau ada apa-apa, bilang saja. Aku di sini, oke?"Chelsea mengangguk pelan. Dia tahu Kenan tulus, namun ada sesuatu yang belum bisa dia ungkapkan. Belum sekarang, pikirnya.“Eh, ngomong-ngomong soal bulan madu, Kak Chelsea sudah ada ide mau ke mana?” Anna tiba-tiba menyela, memecahkan keheningan yang sempat tercipta. Gadis itu menatap mereka dengan mata berbinar, seperti anak kecil yang menunggu cerita dongeng. Chelsea menghela napas kecil. "Belum ada, Anna. Aku masih bingung."Anna langsung berseru, "Yah, ke
"Eh, Kak Chelsea, sudah bangun juga?" Suara ceria Anna menyambut Chelsea yang baru saja melangkah masuk ke ruang makan. Pagi itu, sinar matahari menerobos lembut melalui jendela besar di ruangan, memantulkan kilau di atas meja makan panjang yang sudah tertata lengkap. Aroma kopi bercampur roti panggang memenuhi udara, memberikan kehangatan yang sulit diabaikan. Tersenyum tipis, Chelsea lalu duduk di kursi. "Iya, sudah bangun dari tadi sih. Kamu semangat sekali pagi ini, Na?"Gadis cantik berusia 20 tahun, hanya terkikik kecil sambil menuangkan teh ke dalam cangkirnya. Kedua mata memancarkan kilatan jahil yang khas. "Ya iyalah, Kak. Aku kan, tidak sabar lihat Kak Kenan jadi suami. Aneh saja sih, rasanya baru kemarin lihat dia tidak punya pacar. Eh, sekarang justru jadi orang penting di hidup Kak Chelsea."Chelsea tersenyum kaku. Rasanya semua itu juga seperti mimpi, "Dih ... mulai deh," kekehnya.Suara langkah berat terdengar m
Setelah mengakhiri telepon dengan Diego, Freya berbalik badan menghadap Jack. Pria itu pun mengangkat kedua alis melihat gestur tubuh pada Freya yang seolah sedang merencanakan sesuatu. "Jangan katakan kau sedang membuat rencana, Freya ...?" tanya Jack memicing penasaran. Freya menarik sudut bibir, tatapan tajam namun menerawang jauh di sana. "Jika Grace langsung meninggalkan Max saat ini juga, berarti dia lebih mengutamakan anaknya dibandingkan pria itu .... Jadi semakin mudah kita menyingkirkannya tanpa pengawasan Max ...!" Jack mengernyit heran dengan ucapan ambigu Freya, "Maksudmu ... meski Grace sudah menjauhi Max, kau tetap akan mengincarnya?" Wanita ular semakin menyeringai, tertawa puas. "Yups, kau benar! Sangat benar, Jack! Setelah ini, Grace pasti akan melindungi anaknya dari siapapun, dan bila aku tidak melenyapkannya ... Itu tetap saja akan menjadi penghalangku di masa depan! Kau tau kan, itu bisa membahayakan jalanku menuju kejayaaann ...!!" Tawa Freya sangat ke
Setelah selesai mengurus semua masalah di Jerman. Kini, Max dan Christ duduk di dalam mobil, perjalanan kembali ke Italia setelah perjalanan bisnis yang melelahkan di Jerman. Pemandangan luar tampak berubah, jalanan yang semula asing kini mulai terasa lebih familiar. Pria berkacamata menatap jalan dengan kosong, sesekali memandang ke luar jendela. Ia merasa penglihatan itu sangat menganggu pikirannya. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Christ?" tanya Max yang merasa tak biasa pada asistennya. Hening sejenak, sebelum sang asisten tiba-tiba berbicara, suaranya lebih ringan dari biasanya, "Tuan, kemarin ... apa Anda ingat anak laki-laki yang hampir menabrak mobil kita?" "Hm, yang itu? Iya, aku ingat. Cuma anak kecil yang panik, kan?" "Ya ... tapi anehnya, aku merasa seperti ... dia mirip dengan ..." Christ menggantung ucapannya, seolah memberi kode pada sang CEO. "Maksudmu denganku?" Max menoleh ragu, kemudian menggeleng, "Christ, itu mungkin cuma kebetulan. Banyak anak kec
Setelah Edward, Brian dan Stella berhasil menemukan Leon dan juga Alika, ponsel sang bodyguard berdering sangat keras. Berulang kali nada dering itu memecah keheningan.Edward melirik sekilas ke arah Brian dan Stella yang kini berada di ruang kamar inap Leon, mengobati luka dan memar pada tubuh anak laki-laki itu."Dari Nyonya Grace ..." lirihnya. Brian dan Stella duduk berhadapan, saling bertukar pandang cemas. Sang dokter menghela napas panjang sebelum berbicara.Sementara Stella duduk dengan wajah serius, menatap Edward seolah menunggu keputusan penting. "Angkatlah ..." kata Stella menoleh sekilas.Edward terlihat agak cemas, lumayan lama merasa terjepit dalam dilema ini. Telepon dari Grace yang tertunda sejak kemarin mulai mengganggu pikirannya."Apa kamu yakin tidak mau terima telepon itu, Edward?" tanya Brian pelan, penuh harapan.Stella menambahkan, "Edward, kamu harus mengatakan yang sebenarnya pa
Malam telah semakin larut, namun udara dingin tak menghentikan langkah kecil Leon dan Alika yang berlari menyusuri jalanan sepi. Nafas mereka terengah-engah, tubuh kecil mereka gemetar bukan hanya karena udara malam, tetapi juga rasa takut yang terus menghantui benak mereka. "Alika, ayo lebih cepat," bisik Leon, menoleh ke belakang dengan wajah penuh kecemasan. "Aku ... aku lelah, Leon," sahut Alika sambil terisak. Matanya berkaca-kaca, namun ia tetap mengikuti langkah Leon. "Jangan menyerah, Lika!" teriak Leon sembari menggenggam tangan Alika erat. "Kita harus terus berlari. Paman Alfonso bilang jangan berhenti sampai kita menemukan tempat aman dan pertolongan!" "I-iya, Leon. Aku akan berusaha sekuat mungkin!" Alika mengangguk meski tubuhnya terasa lemah. Mereka berdua terus menyusuri jalan gelap, berharap menemukan pertolongan di tengah malam yang seakan enggan berpihak pada mereka. Sementara itu, di tempat lain, Max duduk di kursi belakang mobil dengan pandangan seriu