"Emang cemen mereka semua, beraninya cuma ngomongin di belakang. Pas disamperin, langsung pada ngilang." Kalina melempar ponselnya ke ranjang saat menyadari kalau anggota yang tersisa di grup W* hanya tinggal dia dan Wisnu.
Beberapa menit hanyut dalam lamunan sembari menatap langit-langit kamar, tiba-tiba pintu dibuka oleh seseorang.Kalina melotot dan langsung meloncat ke ranjang saat menyadari ternyata Wisnu yang ada di hadapan sekarang, sementara tubuhnya hanya terbungkus dalaman. Tepat sepeninggal Hendri dia memang langsung menanggalkan semua pakaian, mengingat dress pas badan yang dikenakan serasa tak nyaman."Nggak sopan. Ketok pintu dulu bisa, kan?" sungut Kalina sembari berusaha menutupi tubuhnya dengan bedcover tebal."Memangnya apa yang mau kamu tutupi? Lagipula aku sudah melihat semuanya," cetus Wisnu datar. Dia berjalan santai mencabut charger pada ponselnya."Ng ... tapi, kan ... itu--tau, ah. Keluar sana!" Tiba-tiba Kalina gelagapan dengan wajah merah padam.Namun, bukannya segera berlalu, Wisnu malah membuat Kalina kikuk saat dia sengaja mendekatkan diri."Ternyata bukan cuma sikapmu yang berubah, penampilanmu juga sedikit membuatku gerah. Rambutmu dipotong, kan?"Dahi Kalina bertaut. "Gerah? Maksudnya?" Lelaki tampan dengan kulit tan itu menarik diri dan mengedikkan bahu. "Sebentar? Sejak kapan kamu peduli dengan penampilanku?"Wisnu menatap Kalina sekilas, lalu memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celananya. "Kadang kalau bosan sesekali aku memang memperhatikan. Lagi pula perubahan gaya rambut itu cukup mencolok setelah sepuluh tahun kamu membiarkannya panjang tergerai.""So, what?" Kalina tersenyum miring."Nothing." Wisnu berbalik dan berjalan keluar. Namun, sebelum sempat langkahnya mencapai ambang pintu, ucapan Kalina berhasil membuatnya berdiri geming."Gimana dua bulan ini? Lebih bebas bercumbu dengan selingkuhanmu?"Lelaki itu berbalik, dan menatap Kalina sama tajam dan menantang. "Menurutmu?"Kalina terdiam sejenak."Kutunggu kabar kehamilan Yuna segera. Mungkin cepat atau lambat pelakor itu akan menjadi maduku," cibir Kalina sarkastis."Bukannya sudah kubilang, pantang bagiku untuk menikahi dua wanita, atau menghamili wanita yang bukan istriku.""Jadi, cepat atau lambat kamu akan menceraikanku, lalu menikahinya, begitu?" terka Kalina cepat.Wisnu tak menjawab. Bersamaan dengan itu pintu diketuk, dan suara seseorang terdengar dari luar."Mobil sudah saya siapkan, meeting akan berlangsung setengah jam dari sekarang!"Pintu terbuka. Dari baliknya Kalina bisa melihat seorang lelaki seumuran Wisnu, berperawakan tinggi tegap dengan setelah formal menunduk di hadapan lelaki itu."Kita berangkat sekarang!""Hai, Revan. Gimana kabarmu? Udah sarapan? Hati-hati di jalan, pastikan kamu selamat sampai tujuan. Sampai ketemu nanti sore." Asisten pribadi Wisnu bernama Revan itu nampak terganggu melihat Kalina dengan heboh melambaikan tangan ke arahnya, padahal Wisnu yang notabennya sang suami tengah berada tepat di hadapan sekarang."Abaikan dia! Setelah kembali otaknya memang sedikit terganggu," cetus Wisnu sembari menarik tangan Revan agar segera berlalu dari kamar itu.***"Kenapa, sih, Ci?" Kalina terlihat risi melihat Cici memindai tubuhnya dengan saksama dan dalam tempo yang lama."Nyonya berubah," imbuh Cici."Berubah apanya? Kamu kira Power Rangers.""Tuh, kan.""Oke, mungkin ada yang sedikit berubah. Tapi, aku masih Kalina, Kalina Fathira!""Kok, saya nggak yakin, ya?" Cici memicingkan mata penuh selidik."Sejak kapan Nyonya suka pake kaos oblong sama celana training?""Ya ampun. Di kamar doang, Ci. Nanti pas keluar juga aku ganti pake lingerie.""Nggak lingerie juga kali.""Makanya."Cici mengerucutkan bibir. "Saya nyaris putus asa selama dua bulan ini, Nya. Mereka bener-bener dakjal dalam bentuk yang berbeda-beda. Selama lebih dari enam puluh hari, sama sekali nggak ada polisi yang dilibatkan dalam pencarian Nyonya. Mereka juga berusaha keras menutupi tentang kecelakaan ini dari keluarga Nyonya di Surabaya."Kalina tertegun, senyum getir tersungging di bibir. "Aku tahu, Ci. Makanya aku memutuskan kembali dalam keadaan seperti ini. Sebenarnya banyak yang ingin kuceritakan padamu, tapi aku butuh lebih banyak waktu."Cici meraih tangan Kalina dan menggenggamnya erat. "Nggak apa-apa, Nya. Pelan-pelan aja. Sekarang mending Nyonya ganti baju dan siap-siap turun! Kepala koki udah prepare untuk makan siang nanti."Kalina menghela napas pasrah. "Nasib menantu rasa pembantu."***Di balik tembok pembatas antara dapur dan ruang makan, Kalina berpangku tangan memperhatikan ibu mertua, dan dua istri iparnya.Tatapan perempuan berambut sebahu itu terlihat sulit diartikan, ketika dia mengingat masa-masa sulit selama dua bulan ke belakang."Aku tahu di balik wajah-wajah tenang itu ada perasaan gelisah yang mati-matian kalian sembunyikan. Seberapa kuat pun keinginan kalian untuk menyingkirkan, faktanya kehadiranku masih sangat dibutuhkan demi kepentingan bisnis yang sudah kalian jalin sejak sepuluh tahun terakhir," gumam Kalina pelan."Nya!" Tepukan di bahu diiringi suara nyaring Cici menginterupsi Kalina. Dia menoleh sembari menenggakkan proporsi tubuhnya yang semula sedikit bungkuk."Ya, Ci.""Di belakang ada yang nyari. Mobil Alphard warna hitam."Mengetahui siapa orang bersangkutan yang tengah menunggunya sekarang, Kalina bergegas melepas apron dan pamit pada Cici."Kalau ada yang tanya bilang aja aku mampir ke butik, ya.""Siap, Nya."Sesaat setelah pamit pada Cici, Kalina langsung berlari kecil ke belakang rumah seluas 3000m² itu. Mengenakan kaca mata hitam sembari menjingjing tas tangan kulit asli yang mengkilat, lalu mengambil tempat di depan, samping pengemudi."Seharusnya kamu nggak perlu bertindak berlebihan begitu, mereka mungkin saja mulai curiga! Apalagi setelah Wisnu melihat bagaimana caramu menyapaku tadi," ujar suara berat itu."Kenapa? Ada masalah? Emangnya dia ngedumel sepanjang waktu?" balas Kalina santai."Bukan begitu, aku cuma takut dia curiga tentang hubungan kita.""Hubungan kita? Mungkin maksudnya hubunganmu dan Kalina," ejek perempuan itu."Kamila!""Oh, c'mon, Revan. Orang telmi juga bisa tahu kalau kamu menyukainya. Kalau enggak mana mungkin kamu berusaha sekeras ini merencanakan segala cara untuk menukar saudara kembar yang sudah terpisah sejak lama."Revan membeku."Meskipun secara fisik kita identik, cara pikirku dan Kalina jelas berbeda. Jadi, selagi Kalina terbaring koma, biarkan aku yang memberi pelajaran pada keluarga dakjal yang sudah memperlakukan saudaraku bak sampah tak berguna!"...Bersambung."Apa?" sungut Kamila, saat melihat Revan menatapnya dengan penuh kecurigaan sekembalinya dia dari restoran. "Sumpah aku cuma nyapa si Wisnu sama si gundik doang, abis itu pamitan," dalihnya sembari meletakkan tas tangannya di atas dasbord, lalu melembar heels ke bangku belakang. "Yakin?" Revan menaikkan sebelah alis. "Yakinlah.""Terus itu apa?"Tok! Tok! Tok! "Kalina ... buka pintunya! Hapus foto itu sekarang!" Wisnu sudah berdiri di luar mobil yang dinaiki Kalina dan Revan, lelaki dengan setelan formal itu menggedor-gedor kaca satu arah yang melapisi kendaraan, lalu memanggil istrinya dengan suara tinggi. "Kamu beneran nggak ngapa-ngapain, kan, Mil?" desak Revan yang membuat Kamila memutar bola mata kesal."Nggak. Udahlah, buruan cabut sekarang! Sebelum si Della sama Yayang koar-koar.""Oke."Revan akhirnya menyerah mendebat. Karena bagaimana pun identiknya fisik mereka, tak akan mengubah kenyataan bahwa Kamila dan Kalina adalah dua orang yang berbeda.Mesin mobil pun dinyalakan
Arisan sosialita kali ini melingkupi para wanita dengan status sosial tinggi yang diketahui sebagai para istri dari crazy rich Surabaya. Wanita-wanita yang ber-atribut barang-barang mahal keluaran merk terkenal itu terdiri dari lima belas orang. Lima di antaranya berumur dua puluhan dan sisanya berusia 32-70 tahun. Keluarga Wijaya diwakili Yayang, Hendri, Della, Indra, dan Bu Dahlia. Mereka memang sengaja meluangkan waktu untuk acara bergengsi yang biasa diadakan tiap tiga bulan sekali, dengan arisan bernilai milyaran dalam bentuk beragam. Mulai dari tas, saham, tiket liburan, mobil, dan perhiasan.Di depan stan menu penutup terlihat Cici kelimpungan mencari keberadaan Kamila yang tiba-tiba menghilang setelah acara dimulai. "Kamu yakin nggak liat Nyonya Kalina setelah dia selesai ngupas buah tadi?" tanya Cici pada pelayan lain yang lalu-lalang menyiapkan jamuan. "Nggak, tuh. Mungkin nyonya kecapean makanya dia langsung tepar. Coba cek aja ke kamar!"Cici tertegun sejenak. "Bener j
Di dalam Mobil Alphard berwarna hitam yang terparkir di depan gerbang, Kamila duduk santai dengan bertumpang kaki. Sesekali dia menyeruput soda sembari menyaksikan satu per satu mobil mewah yang berlalu meninggalkan pelataran kediaman Keluarga Wijaya di jam 11 siang ini."Ternyata acara pamer berkedok arisan selesai lebih cepet daripada waktu yang dijadwalkan. Bisa jadi yang punya hajat kena mental duluan, atau para tamu undangan insecure setelah mengetahui menantu yang selama ini diremehkan ternyata meresahkan." Kamila menegakkan tubuhnya, dan membusungkan dada dengan bangga. "Lagian Kamila Anindira dilawan."Beberapa saat kemudian dia melihat Revan yang berjalan cepat ke arahnya."Mau apa lagi si ganteng? Mana tuh muka tegang banget kayak yang nunggu giliran suntik vaksin."Pintu mobil yang memang tidak terkunci langsung dibuka olehnya. Revan melongokan kepala ke dalam."Ikut aku!" Lelaki bermata sipit itu menarik tangan Kamila."Ke mana? Kalau mau muji yang tadi di sini aja!" Kamil
"Gile, kukira ukuran si Kalina cup B, ternyata cup C, jauh banget sama ukurannya si Yayang, yang emang Kutilangdara.""Siapa yang kamu bilang kutilangdara?" Yayang yang baru saja tiba langsung melotot pada Hendri."Ta-tapi, di mataku kamu tetep yang paling perfek, kok, Yang. Sumpah," tambahnya.Yayang memutar bola mata, lalu mendengkus keras sebelum mengambil tempat di samping Della yang matanya terlihat membengkak setelah dipermalukan tadi."Mana si penyihir?" tanya Della beberapa saat setelah Yayang duduk di sebelahnya."Tuh!" tunjuk Yayang dengan dagu ke arah pintu."Excusme, can i help you?" tanya Kamila setelah dia melangkahkan kaki."Duduk!" pinta Bu Dahlia sembari menunjuk kursi di hadapannya."Oke." Kamila mengedikkan bahu, lalu mendarahkan bokong di atas kursi."Pertama-tama mama mau minta maaf kalau selama ini kamu merasa nggak dianggap.""Ma, tadi yang kita bahas bukan in--""Diam, Yayang!"Sanggahan Yayang langsung dipatahkan oleh Bu Dahlia. Akhirnya perempuan bertumbuh ti
"Ngapain Bang Wisnu belain, si Lina, sih?!" gerutu Della saat semua anggota keluarga berkumpul di ruang tengah, tanpa Kamila tentu saja. "Aku memang pergi ke Paris setahun lalu," balas Wisnu sedatar biasanya. "Aku tahu. Tapi, kan nggak pergi sama si Lina, melainkan sama si Yuna!" tambah Della dengan suara tinggi. "Kita bertemu di PFW.""Bohong! Aku nggak liat, tuh si Yuna posting tentang kalian datang ke PFW," sanggah Della yang membuat Wisnu semakin terdesak. "Memangnya semua kegiatan yang kita lakukan, harus kamu tahu?" Suara Wisnu mulai meninggi. Kesal dengan Della yang terus-menerus mencecarnya. "Kalau memang kalian ketemu, kamu pasti tahu siapa yang pergi dengannya saat itu!" timpal Yayang yang sejak tadi diam memerhatikan dengan pikiran berputar mencoba mencari alasan masuk akal yang membuat Wisnu tiba-tiba berpihak pada Kalina.Wisnu mengepalkan tangan habis kesabaran. Dia bangkit dari posisi duduk dan menatap tajam Della dan Yayang. "Dengan siapa dan bagaimana kami berte
Di kamar bernuasan gold dan putih itu Kamila menatap barang-barang branded milik Kalina yang tertata di dalam etalase kaca dalam ruangan khusus di balik rak buku. Dia mondar-mandir memerhatikan satu per satu barang bernilai jutaan itu. "Kira-kira Kalina dapet semua barang ini dari mana, ya? Belanja jarang, terus tiga tahun hampir nggak pernah keluar kota apalagi keluar negeri. Mengherankan." Kamila mengusap dagu, sembari memicingkan mata penuh curiga. "Kalau dipikir-pikir ternyata ukuran sepatu kita beda satu angka. Punya Kalina agak kebesaran makanya harus kuganjal dengan tisu. Mana hampir nggak ada sneakers lagi."Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu menginterupsi. Kamila beranjak tadi tempatnya, lalu menekan tombol untuk memutar dinding yang juga rak buku dari ruang barang, menuju ruang kamar. "Astaga naga srigala!" Dia terlonjak saat melihat Della sudah berdiri di hadapan dengan keadaan yang begitu mengkhawatirkan. Rambutnya acak-acaknya dengan eyeliner berantakan di kelopak dan
"Sebenarnya apa yang nggak kamu tahu tentang Kalina, sih, Van?" Pertanyaan Kamila di tengah perjalanan sukses membuat Revan tertegun. "Kalau boleh tahu, sedekat apa kamu sama dia?" Keheningan pekat menyelimuti keduanya. Sudah dua bulan sejak mengenal lelaki berdarah chinese ini, Kamila selalu bertanya-tanya tentang hubungan macam apa yang dimiliki saudara kembarnya dan asisten pribadi Wisnu."Kita dekat, tapi hanya sebatas sahabat," aku Revan akhirnya. "Aku sudah mengenal Kalina sejak kita duduk di sekolah menengah, mengingat Papa yang sudah lama mengabdi sebagai dokter pribadi keluarga ayahmu. Pekerjaan yang kulakukan sekarang juga semata-mata karena tugas yang diberikan beliau. Tidak ada alasan lain, just money." Tatapan lelaki berkulit putih itu terpaku pada jalanan di depan. Tak ada yang aneh dengan nada suara dan bagaimana cara dia menjelaskan.Kamila mangut-mangut tanda mengerti. "Kirain." Perempuan itu mengedikkan bahu, lalu kembali terpaku pada ponsel di genggaman tangan.Keh
Pagi-pagi sekali kediaman Wijaya sudah dihebohkan dengan suara nyaring wajan dan panci yang beradu. Kebisingan yang disebabkan salah satu menantu yang akhir-akhir ini berubah meresahkan itu menyebabkan para anggota keluarga lain yang masih menikmati hangatnya bergelung dalam selimut tebal, terganggu. Akhir pekan yang harusnya mereka manfaatkan dengan istirahat panjang, berujung keributan yang tak terelakkan."Perhatian!"Prang!"Perhatian!"Prang!Suara toa dan bisingnya alat-alat dapur membuat satu per satu penghuni rumah berdatangan dengan piama dan muka bantal."Si Lina ngapain, sih?" Della yang kebetulan kamarnya di lantai dasar, lebih dulu tiba sembari menggerutu. Sedangkan Indra yang masih setengah sadar menyandarkan dahi di daun pintu. "Sialan, jalang ini maunya apa, sih?" Yayang menyusul dari lantai dua sembari, menyeret Hendri yang masih memeluk bantal polkadotnya."Ada apa ini?" Dahlan dan Dahlia Wijaya turun dari lift. Sedangkan Wisnu menyusul di belakang Yayang dan Hendri
"Loh, Papa." "Papa?""Uncle?""Wisnu, sejak kapan kamu berdiri di sana?"Barra yang lebih dulu sadar, berjalan mengampiri, diikuti Thea, Terra, dan terakhir Bu Dahlia. Kamila yang mendengar itu semua sontak langsung menendang Revan, lalu bangkit dan membenahi penampilan yang sejujurnya sudah tak bisa lagi terselamatkan."Wi-Wisnu.""Ma-maaf aku datang tanpa kabar. Soalnya sejak tadi ponselmu tak bisa dihubungi dan aku dengar dari Mama sedang ada acara di sini.""Ng, anu, nggak apa-apa, kok. Silakan duduk, ngobrol-ngobrol sama yang lain dulu. Aku ke atas sebentar, ya." Tanpa menunggu persetujuan dengan gerakan seribu bayangan, Kamila langsung berlari menuju kamar. Dan mengurung diri di sana.***Tok! Tok! Tok!"Mil, boleh aku masuk?" Di depan pintu kamar Kamila, Kalina berdiri. Sudah satu jam sejak pamit ke atas, dia masih belum kembali, hingga Kalina inisiatif menghampiri."Masuk aja, Kal. Nggak dikunci." Teriakan Kamila terdengar dari dalam, perlahan Kalina membuka pintu, lalu meng
"Hatchiiim."Dari arah kamar terdengar suara bersin keras, hingga membuat orang-orang yang akhir pekan ini sedang berkumpul di rumah besar itu terlonjak kaget."Kak, are you, okay?" Kepala Cici menyembul dari arah pintu."Ya, aku nggak apa-apa. Biasanya kalau tiba-tiba bersin kayak gini, pasti ada yang ngomongin," tuturnya sembari melempar selembar tisu yang sudah digunakan ke tempat sampah.Cici manggut-manggut, lalu berjalan menghampiri ke kamar. "Btw tumben rapi banget hari ini, nggak mungkin kalau cuma sekedar reuni keluarga Kak Mila sampai dandan cantik begini. Rambut digerai, pake dress tanpa lengan, heels lima senti.""Sshhh ... hari ini aku ada janji, jadi tolong wakilin jamu aja semua tamu, ya.""Ta--""Mil-- oh my God. Setan apa yang merasukimu hari ini, Mila?" Feri yang baru saja muncul terlihat membekap mulut melihat penampilan Kamila."Diem, lu, Fer. Komen sekali lagi gue gebok.""Nggak, nggak mungkin. Ini pasti bukan Kamila, ini pasti Kamile--hmmpt." Buru-buru Kamila mem
"Bagaimana kabarmu?"Pertanyaan itu Wisnu ajukan sesaat setelah Kamila dan Barra duduk di hadapannya, di ruang Head Teachers."Ba-baik." Entah kenapa afmosfer yang tercipta di antara keduanya terasa kikuk dan canggung. Sementara Barra yang duduk di tengah-tengah mereka malah sibuk memindai ekspresi dari tante dan ayah kandungnya itu."Jantung berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya, telapak tangan dingin, wajah pucat, bicara terbata-bata, terdeteksi salting. Reaksi ini biasa juga disebut dengan gugup." Barra meletakkan tangan di dada Kamila."Astaga Barra." Kamila memelotot sembari menepis tangan bocah tujuh tahun itu.Wisnu terkekeh pelan. "Maaf kalau aku membuat kalian tak nyaman." Lelaki itu sesekali menyentuh hidung dan menggaruk dahi."Gelagat itu menunjukkan kalau Papa yang justru nggak nyaman.""Hei, berhenti sembarangan baca emosi orang!" sentak Kamila kembali mengingatkan."Tapi kakek bilang mengenali ekspresi wajah merupakan cara penting untuk meraba apa yang dirasakan
Tujuh tahun kemudian ...."Bangun, Barra. Ini hari pertama kamu masuk sekolah! Seragam sama semua perlengkapan udah Mimi siapin. Jangan lupa sarapan juga. Ada nasi goreng di atas meja!"Kamila mengguncang tubuh bocah yang menggeliat panjang dalam selimut tebal, di atas ranjang berbentuk mobil-mobilan."Bentar lagi, Mi. Biasa juga sekolah internasional masuknya agak siang. Ini baru jam enam pagi, ya Tuhan.""Buset nih bocah. Siapa juga yang bilang kamu bakal masuk ke sekolah international? Yang ada kamu masuk swasta!"Mendengar kata sekolah swasta bocah berumur tujuh tahun itu langsung terlonjak dari tempatnya."Swasta? Seriously? Kita jauh-jauh pindah ke Jakarta cuma buat daftar di sekolah swasta!""Ya ampun, nih bocah nggak ada bersyukurnya. Udah untung kamu masuk sekolah swasta yang elite. Coba Mimi dulu, udah mah masuk negeri yang ikut program pemerintah, masih kudu bikin surat keterangan tidak mampu, biar nggak perlu bayar SPP lagi. Dah, ah. Buruan mandi! Atau mau langsung Mimi lu
Orang bilang, level tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan. Entah itu mengikhlaskan dengan yang lain, atau yang lebih menyakitkan mengikhlaskannya pergi ke pangkuan Tuhan. Entah itu cinta antar pasangan, cinta antara anak dan orangtua, maupun cinta antar saudara.Tak ada rencana yang lebih sempurna selain takdir yang telah Tuhan gariskan. Bagaimana dua orang saudara kembar yang sudah berpisah selama lebih dari tiga puluh tahun kembali dipersatukan untuk membalas satu keluarga zalim yang merasa kekuasaan yang dimiliki mampu menutupi seberapa busuknya tingkah laku mereka, sampai lupa bahwa roda kehidupan itu berputar, dan dalam beberapa keyakinan karma itu nyata adanya.Kurang dari setahun, tepatnya delapan bulan, saudara kembar Kamila dan Kalina mampu mengantar kehancuran untuk Keluarga Wijaya. Keluarga konglomerat yang dikenal publik dengan berbagai prestasi, keluarga yang dikenal memiliki toleransi tinggi, serta kerukunan yang patut diacungi. Namun, siapa yang tahu di balik im
Welcome Kalina Fathira Hartono dan Kamila Anindira Hartono.Tulisan besar dari karangan bunga yang khusus dipesan tergantung di lantai dua kediaman keluarga yang bisa dibilang terkaya di Kota Surabaya.Kamila membekap mulut sembari memeluk Dahiyang di pangkuan tangan.Tak pernah terpikir dalam benak Kamila sekalipun bahwa akhirnya dia sampai di posisi ini. Posisi yang selalu ibunya katakan suatu saat akan bisa dia daki. Roda yang selama ini berhenti berputar akhirnya menempatkan dia di sini. Ternyata masa depan yang selalu dia harapkan ekspekstasinya lebih dari yang mampu dia impikan.Orang-orang dengan setelan serba-hitam yang diketahui staf dan beberapa karyawan PT. Poltaris Jaya menyambut mereka. Berjejer di antara kolam pancuran yang membentang sepanjang pelataran. Bu Hilma terlihat berjalan mendorong kursi roda Pak Hari untuk menghampiri mereka. Dua buket bunga terlihat di pangkuannya.Kamila langsung berlari dan berhambur dalam pelukan ayahnya. Di belakang Kalina menyusul dengan
Kalina terkekeh sesekali saat melihat Kamila yang terlihat begitu bersemangat pagi ini. Di dalam kamar tadi bahkan dia membongkar seisi lemari hanya untuk mencari pakaian terbaik yang bisa digunakan untuk acara hari ini. Menjadi bisnis women atau mengelola bisnis mungkin memang bukan passion Kamila. Namun, penegak hukum, aparat, serta badan inteligen adalah pekerjaan dan kecintaannya.alina tahu, meski tak mengatakannya Kamila pasti sangat ingin kembali. Walapun mustahil untuk kembali menjadi bagian dari BIN, setidaknya dia berharap bisa menjadi salah satu anggota kepolisian tak peduli apa pun tingkatnya."Mil?" Kalina meletakkan tangan di bahu Kamila yang nampak duduk tenang di kursinya menunggu panggilan."Ya?" Kamila menoleh antara gugup dan senang yang membuat Kalina agak tak tega untuk mengungkap kebenarannya. "Sebenarnya ...." Kalina sengaja mengulur-ulur waktu yang membuat dada saudaranya semakin berdegup kencang."Sebenarnya apa, sih, Kal? Buruan deg-degan el--""Kompol Warma
Di atas pusara dengan nisan bertuliskan Zahira P. Putri itu, Kamila dan Kalina duduk bersimpuh. Meletakkan buket bunga di atas gundukan tanah yang sudah lama mengering dan dilindungi tembok marmer berpondasi kokoh.Kamila terlihat menuntun tangan saudara kembarnya untuk menyiram nisan dan sebagian tanah yang terlihat."Halo, Bu. Apa kabar? Sekarang Kamila nggak datang lagi sendiri, ada Kalina juga. Akhirnya, Bu. Kita bisa tumbuh jadi anak kebanggaan ibu. Baik-baik di Surga sana, ya. Salam sayang dan peluk cium dari kami." Kamila tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Merengkuh tubuh Kalina yang sudah lebih dulu terisak di sampingnya."Nggak apa, Kal. Yang penting ibu udah liat semuanya dari atas sana." Kamila meyakinkan saudaranya sembari menyeka air mata Kalina."Bagaimana rasanya pelukan ibu, Mil?" tanya Kalina lirih."Tentu saja lebih hangat dari pelukan ayah dan lebih berkesan daripada pelukan mantan.""Kamila." Kalina mengerucutkan bibir sembari mencubit pelan perut saudaranya."Dah
"Apa-apaan ini? Masa merayakan kemenangan di Rumah Makan Padang?" Kamila menggerutu, sembari berkacak pinggang di depan sebuah rumah makan yang cukup besar di daerah setempat."Dah, terima kenyataan, Nya! Nyonya Kalina sama Pak Revan dah keseringan makan di resto bintang lima." Cici menepuk pundak Kamila, kemudian berlalu ke dalam."Tap-tapi aku juga dah keseringan makan di rumah Makan Padang. Bahkan sampe kolesterol dan mencret-mencret!" Kamila mengerucutkan bibir, menoleh menatap saudara kembarnya dan Revan yang baru saja turun dari dalam mobil."Aku janji, makan malam nanti kamu yang tentukan," sahut Kalina sembari tersenyum simpul."Seriously?" Bola mata bulat itu berbinar penuh harap."Iya. Harus berapa kali kubilang milikku, milikmu juga," tukas Kalina sembari merangkul bahu saudaranya."Resto Lavender, boleh? Ruang VIP yang view-nya macam di pelem-pelem bucin? Aku pernah ke sana, tapi cuma buat denger umpatan sampah para Wijaya Family." Kamila kembali mengerucutkan bibir."Iya