Bogor, Februari 2010Sebuah Vila mewah milik pribadi di bilangan Sentul, Bogor, menjadi saksi bisu pertemuan empat keluarga kaya yang menjalankan bebagai perusahaan terkemuka di tanah air. Pertemuan bisnis yang melibatkan anak-anak tertua dari keempat pengusaha tersebut sudah cukup menjelaskan tujuan mereka yang sebenarnya. Perjodohan antara sesama kaum elite mungkin sudah tak asing lagi di telinga, pernikahan yang terjalin atas dasar bisnis semata agar bisa mengikat mesra dua perusahaan yang sebelumnya tak pernah bekerja sama. Keegoisan orangtua dalam melebarkan sayap kekuasaan, menjadikan anak sendiri korban yang terpaksa menjalani pernikahan tanpa cinta. Mungkin tak semua demikian, tapi beberapa di antaranya memang tertekan menjalani kehidupan rumah tangga yang ditentukan orangtua.Tiga orang putri sulung keluarga konglomerat berkumpul di satu tempat yang sama bersama pewaris pertama PT. Wijaya Sejahtera. Wisnu Adiwijaya, Nama lelaki berusia dua puluh lima tahun yang tak asing di
Hari yang ditentukan Kalina akhirnya tiba, sebuah pertemuan dua keluarga diadakan di perumahan elite kediaman Hartono di bilangan Jakarta Barat. Pak Dahlan bersama sang istri datang menemani putra tertua mereka Wisnu Adiwijaya. Terlihat pula Pak Hari dan Bu Hilma yang menjamu bakal besan dan menantu mereka. Dari lantai dua Kalina turun menenteng sebuah map bersampul kuning. Berbeda dengan penampilan di pertemuan pertama, kali ini gadis itu terlihat begitu cantik dan anggun dengan dress dan make up tipis, rambut hitam legamnya terurai panjang. Selalu seperti itu sejak dulu. Dia duduk di samping Pak Hari, tepat berhadapan dengan Wisnu yang terpesona melihat penampilannya malam ini."Ini adalah berkas penjanjian pra nikah yang sudah saya buat. Dibawahnya sudah tertera materai yang harus ditanda-tangani kedua belah pihak yang menjalani. Jadi, saya harap apa pun yang tertulis di sini, orangtua sama sekali tak boleh menginterupsi."Semua orang terdiam, lalu berpandangan. Pak Dahlan dan Bu D
Pernikahan Wisnu dan Kalina akhirnya resmi disahkan, diikuti resepsi megah yang dihadiri banyak orang penting dari kalangan elite, diiringi berbagai cibiran dari barisan patah hati yang menatap iri betapa serasinya pasangan ini bersanding di kursi pelaminan. Meskipun tak ada kebahagian yang terpancar dari kedua belah pihak mempelai, tapi keduanya begitu pandai menyembunyikan perasaan dan bersikap profesional tak ubahnya pasangan yang saling mencintai. Skinship yang natural dan tidak terkesan dipaksakan, senyum yang mereka tebar pada khalayak ramai. Sebelah tangan Wisnu yang tak pernah lepas melingkar di pinggang Kalina, membuat orang-orang nyaris tak percaya bahwa pernikahan mereka terjalin atas dasar perjodohan.Tengah malam menjelang, menandakan berakhirnya serangkaian acara yang melelahkan. Kamar pengantin yang seharusnya menjadi saksi bisu menyatuan dua insan yang baru saja disahkan, malah menjadi tempat menguji iman pasangan. Bagaimana tidak demikian, ketika seorang lelaki dan pe
Tahun berganti, benih yang telah dipupuk dan disirami akhirnya bersemi. Tumbuh subur dan berbuah lagi. Ternyata waktu satu tahun tak sia-sia Wisnu dan Kalina lewati untuk saling mengerti, percaya, dan sama-sama membuka hati. Tak ada upaya yang sia-sia selama setiap insan bersedia mencoba. Cinta yang muncul karena terbiasa ternyata memang bukan isapan jempol semata selagi percaya pada takdir yang terjadi. Komunikasi dan keterbukaan diri adalah kunci bagaimana setahun yang mereka lewati berhasil merobohkan dinding ego masing-masing hingga keduanya benar-benar siap menjalani komitmen dan ikatan yang sebelumnya tidak dikehendaki.Kalina membuktikannya, tujuan dari kesepakatan pra nikah yang sudah mereka sepakati. Karena Kalina cukup percaya bahwa perjodohan yang keduanya jalani tak seburuk apa yang tersugesti. Meskipun tak suka berbasa-basi dan lebih sering berbicara langsung ke inti, Wisnu adalah tipe lelaki yang sangat peduli, sabar, dan benar-benar mengerti. Dia mampu membuat bongkahan
Suara pintu yang terbuka membuat Pak Dahlan kelimpungan dan buru-buru mengenakan kembali celananya. Di ambang pintu dia melihat Bu Dahlia mematung dan membelalak lebar melihat tubuh Kalina sudah terkulai lemah dengan mulut tersumpal. "Sa-sayang aku bisa menjelaskannya. Ini hanya sa--""Cepat buka penutup mulutnya!" pekik Bu Dahlia. "Wisnu sebentar lagi pulang!""Ta-tapi.""Cepat, Sialan! Aku tak bisa membiarkan kehormatan keluarga Wijaya tercemar hanya karena nafsu binatangmu!"Pak Dahlan menurut, buru-buru dia melepas penyumpal mulut Kalina, lalu mendudukkan tubuh perempuan yang terkulai lemah itu. Suara mobil sudah terdengar di pelataran. Bu Dahlia semakin panik. Dia membantu Kalina yang tak berdaya merapikan pakaiannya."Maaf. Maafkan saya, Kalina." Kemudian menarik kasar pergelangan tangan Kalina yang berjalan sempoyongan menuruni tangga. "Hendri! Indra!" Dua bersaudara itu keluar dari kamar masing-masing. Bu Dahlia memberi isyarat dengan gelengan kepala pada kedua anaknya yan
"Kalina nggak amnesia, dia yang ada di balik semua teror yang terjadi. Gue nggak bekerja sendiri, ada mata-mata lain di rumah itu. Dia nggak berniat memperalat lo, Mil. Kalina melibatkan lo, karena dia pikir bakal mati dalam kecelakaan itu." Kamila dan Galih menatap saksama lelaki yang bercerita dengan menggebu itu, di sebuah warung kopi pinggir jalan masih di daerah Tanah Abang. Dia adalah Feri Irawan, sohib Kamila dan Galih sejak SMA dulu. Mereka juga pernah sama-sama berjuang untuk masuk STIN, walaupun cuma Kamila yang lulus. Sejak saat itu ketiganya berpisah. Meniti karir di bidang yang berbeda. Diketahui Feri sempat menjadi petinju sebelum direkrut Kalina sebagai orang kepercayaanya. Tak menyangka mereka bisa bertemu dan reuni dengan cara seperti ini. "Semua udah Kalina persiapkan dengan matang-matang, Mil. Dia bahkan sudah bersiap memberikan semua yang dia punya buat lo nanti."Kamila tertegun cukup lama. Dia mencoba percaya dengan segala yang dikatakan Feri, walaupun keragua
Plak! "Jadi, begini sambutanmu pada saudara kembar yang sudah begitu lama tak bertemu?" Kalina tersenyum kecil, sembari mengusap pipinya yang terkena tamparan Kamila. "Cukup basa-basinya, Kal. Aku cuma mau tahu apa tujuanmu? Apa rencana besar di balik semua ini, dan apa alasanmu melibatkanku!" pekik Kamila menggebu-gebu. "Tak ada alasan lain, selain menghancurkan Keluarga Iblis itu," balas Kalina tak kalah sengit. "Tapi semua ini terlalu berlebihan kalau hanya untuk membalas perlakuan mereka yang nggak menyenangkan. Berhenti mempermainkan nyawa seseorang, berhenti mengumbar aib sesama. Nggak semua yang kamu anggap benar, itu benar, Kal.""Berlebihan? Hanya perlakuan nggak menyenangkan? Mempermainkan nyawa? Mengumbar aib?" Kalina mengulang perkataan Kamila dengan nada cibiran sembari terkekeh ringan. "Asal kamu tahu, Mil. Yang mereka lakukan padaku lebih jahat dari yang bisa kamu bayangkan!"Deg! "Mereka membuatku mati berkali-kali, kemudian bangkit berkali-kali. Satu hari kejam y
Jakarta, Maret 2003"Psst, oi, Bang! Telat, ye?" Seorang gadis remaja berambut bob yang menenteng kotak berisi kue dagangan, mencolek punggung pemuda yang tampak kebingungan di depan gerbang sekolah swasta elite tingkat akhir di zamannya. Pemuda berkacamata dengan dengan rambut klimis berponi itu menoleh ke arahnya. "Iya, baru pertama kali telat," jawabnya kikuk. "Pantesan baru keliatan. Soalnya yang biasa telat itu anak bandel yang sering kelayapan malem, makanya kesiangan," tuturnya, kemudian merapatkan tubuh ke arah pemuda itu. "Btw, mau nggak aku kasih tahu jalan alternatif biar bisa masuk tanpa ketahuan?"Pemuda itu terdiam, lekat dia memerhatikan gadis di hadapan. Melihat gelagatnya, dia sudah bisa menyimpulkan bahwa gadis yang bisa ditaksir berusia empat belasan ini sudah biasa memanfaatkan situasi anak-anak yang telat masuk kelas. "Hmm ... boleh." Meskipun sudah tahu motifnya, pemuda itu tetap menerima usulan si gadis. "Ceban dulu tapi." Gadis itu menaik turunkan alis, la