Pernikahan Wisnu dan Kalina akhirnya resmi disahkan, diikuti resepsi megah yang dihadiri banyak orang penting dari kalangan elite, diiringi berbagai cibiran dari barisan patah hati yang menatap iri betapa serasinya pasangan ini bersanding di kursi pelaminan. Meskipun tak ada kebahagian yang terpancar dari kedua belah pihak mempelai, tapi keduanya begitu pandai menyembunyikan perasaan dan bersikap profesional tak ubahnya pasangan yang saling mencintai. Skinship yang natural dan tidak terkesan dipaksakan, senyum yang mereka tebar pada khalayak ramai. Sebelah tangan Wisnu yang tak pernah lepas melingkar di pinggang Kalina, membuat orang-orang nyaris tak percaya bahwa pernikahan mereka terjalin atas dasar perjodohan.Tengah malam menjelang, menandakan berakhirnya serangkaian acara yang melelahkan. Kamar pengantin yang seharusnya menjadi saksi bisu menyatuan dua insan yang baru saja disahkan, malah menjadi tempat menguji iman pasangan. Bagaimana tidak demikian, ketika seorang lelaki dan pe
Tahun berganti, benih yang telah dipupuk dan disirami akhirnya bersemi. Tumbuh subur dan berbuah lagi. Ternyata waktu satu tahun tak sia-sia Wisnu dan Kalina lewati untuk saling mengerti, percaya, dan sama-sama membuka hati. Tak ada upaya yang sia-sia selama setiap insan bersedia mencoba. Cinta yang muncul karena terbiasa ternyata memang bukan isapan jempol semata selagi percaya pada takdir yang terjadi. Komunikasi dan keterbukaan diri adalah kunci bagaimana setahun yang mereka lewati berhasil merobohkan dinding ego masing-masing hingga keduanya benar-benar siap menjalani komitmen dan ikatan yang sebelumnya tidak dikehendaki.Kalina membuktikannya, tujuan dari kesepakatan pra nikah yang sudah mereka sepakati. Karena Kalina cukup percaya bahwa perjodohan yang keduanya jalani tak seburuk apa yang tersugesti. Meskipun tak suka berbasa-basi dan lebih sering berbicara langsung ke inti, Wisnu adalah tipe lelaki yang sangat peduli, sabar, dan benar-benar mengerti. Dia mampu membuat bongkahan
Suara pintu yang terbuka membuat Pak Dahlan kelimpungan dan buru-buru mengenakan kembali celananya. Di ambang pintu dia melihat Bu Dahlia mematung dan membelalak lebar melihat tubuh Kalina sudah terkulai lemah dengan mulut tersumpal. "Sa-sayang aku bisa menjelaskannya. Ini hanya sa--""Cepat buka penutup mulutnya!" pekik Bu Dahlia. "Wisnu sebentar lagi pulang!""Ta-tapi.""Cepat, Sialan! Aku tak bisa membiarkan kehormatan keluarga Wijaya tercemar hanya karena nafsu binatangmu!"Pak Dahlan menurut, buru-buru dia melepas penyumpal mulut Kalina, lalu mendudukkan tubuh perempuan yang terkulai lemah itu. Suara mobil sudah terdengar di pelataran. Bu Dahlia semakin panik. Dia membantu Kalina yang tak berdaya merapikan pakaiannya."Maaf. Maafkan saya, Kalina." Kemudian menarik kasar pergelangan tangan Kalina yang berjalan sempoyongan menuruni tangga. "Hendri! Indra!" Dua bersaudara itu keluar dari kamar masing-masing. Bu Dahlia memberi isyarat dengan gelengan kepala pada kedua anaknya yan
"Kalina nggak amnesia, dia yang ada di balik semua teror yang terjadi. Gue nggak bekerja sendiri, ada mata-mata lain di rumah itu. Dia nggak berniat memperalat lo, Mil. Kalina melibatkan lo, karena dia pikir bakal mati dalam kecelakaan itu." Kamila dan Galih menatap saksama lelaki yang bercerita dengan menggebu itu, di sebuah warung kopi pinggir jalan masih di daerah Tanah Abang. Dia adalah Feri Irawan, sohib Kamila dan Galih sejak SMA dulu. Mereka juga pernah sama-sama berjuang untuk masuk STIN, walaupun cuma Kamila yang lulus. Sejak saat itu ketiganya berpisah. Meniti karir di bidang yang berbeda. Diketahui Feri sempat menjadi petinju sebelum direkrut Kalina sebagai orang kepercayaanya. Tak menyangka mereka bisa bertemu dan reuni dengan cara seperti ini. "Semua udah Kalina persiapkan dengan matang-matang, Mil. Dia bahkan sudah bersiap memberikan semua yang dia punya buat lo nanti."Kamila tertegun cukup lama. Dia mencoba percaya dengan segala yang dikatakan Feri, walaupun keragua
Plak! "Jadi, begini sambutanmu pada saudara kembar yang sudah begitu lama tak bertemu?" Kalina tersenyum kecil, sembari mengusap pipinya yang terkena tamparan Kamila. "Cukup basa-basinya, Kal. Aku cuma mau tahu apa tujuanmu? Apa rencana besar di balik semua ini, dan apa alasanmu melibatkanku!" pekik Kamila menggebu-gebu. "Tak ada alasan lain, selain menghancurkan Keluarga Iblis itu," balas Kalina tak kalah sengit. "Tapi semua ini terlalu berlebihan kalau hanya untuk membalas perlakuan mereka yang nggak menyenangkan. Berhenti mempermainkan nyawa seseorang, berhenti mengumbar aib sesama. Nggak semua yang kamu anggap benar, itu benar, Kal.""Berlebihan? Hanya perlakuan nggak menyenangkan? Mempermainkan nyawa? Mengumbar aib?" Kalina mengulang perkataan Kamila dengan nada cibiran sembari terkekeh ringan. "Asal kamu tahu, Mil. Yang mereka lakukan padaku lebih jahat dari yang bisa kamu bayangkan!"Deg! "Mereka membuatku mati berkali-kali, kemudian bangkit berkali-kali. Satu hari kejam y
Jakarta, Maret 2003"Psst, oi, Bang! Telat, ye?" Seorang gadis remaja berambut bob yang menenteng kotak berisi kue dagangan, mencolek punggung pemuda yang tampak kebingungan di depan gerbang sekolah swasta elite tingkat akhir di zamannya. Pemuda berkacamata dengan dengan rambut klimis berponi itu menoleh ke arahnya. "Iya, baru pertama kali telat," jawabnya kikuk. "Pantesan baru keliatan. Soalnya yang biasa telat itu anak bandel yang sering kelayapan malem, makanya kesiangan," tuturnya, kemudian merapatkan tubuh ke arah pemuda itu. "Btw, mau nggak aku kasih tahu jalan alternatif biar bisa masuk tanpa ketahuan?"Pemuda itu terdiam, lekat dia memerhatikan gadis di hadapan. Melihat gelagatnya, dia sudah bisa menyimpulkan bahwa gadis yang bisa ditaksir berusia empat belasan ini sudah biasa memanfaatkan situasi anak-anak yang telat masuk kelas. "Hmm ... boleh." Meskipun sudah tahu motifnya, pemuda itu tetap menerima usulan si gadis. "Ceban dulu tapi." Gadis itu menaik turunkan alis, la
"Kurang dari dua bulan lagi, Bang Nunu bakal lulus, kan? Begitu juga aku." Percakapan Kamila dan Wisnu terdengar lebih intens di warung depan sekolah tersebut. Sudah setahun sejak mereka berteman dekat. Tak jarang keduanya menghabiskan waktu bersama sepulang sekolah hanya untuk sekadar berjalan-jalan atau membaca buku. "Ya, aku akan melanjutkan kuliah di luar negeri.""Jadi, pertemanan kita cuma sampe di sini?" Kamila menunduk. Terlihat murung dengan fakta yang terjadi. "Aku juga bakal pindah ke Bekasi.""Tunggu aku empat sampai lima tahun lagi di sini!" ucap Wisnu tiba-tiba sembari menggenggam tangan Kamila. "Ngapain? Kelamaan lagi. Aku nggak yakin setelah 4-5 tahun masih inget jalan ke sini," tukasnya putus asa. "Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu saat itu.""Mau bilang apa? Pasti ngasih surat undangan, kan? Terus minta aku buat jadi bride's maid-nya? Nyaksiin abang bersanding dengan wanita sederajat, sama-sama anak konglowewe, eh konglomerat."Wisnu tertawa kecil. Lalu meng
Masih di tempatnya Kalina melihat suaminya diringkus polisi. Diseret untuk diadili sebab tindakan yang bahkan belum pasti. Luka di hatinya benar-benar sudah menjalar menggerogoti diri hingga tak ada lagi toleransi. Kabut pekat itu telat menutup satu-satu jalan nurani, di mana tak ada lagi tersisa sedikit ruang hanya untuk sekadar berkompromi. "Wisnu belum tentu melakukan hal sekeji itu," ucap Revan yang masuk ke ruangan, setelah para polisi membawa Wisnu pergi."Kita tak bisa menyimbulkan kalau tidak ada bukti," sahut Kalina datar, "Selama Kamila belum sadar, dia tetap tersangka bagiku." Dia memutar tubuh menatap lurus saudara kembarnya yang masih terbaring tak sadarkan diri."Apa ini berhubungan dengan perasaan pribadi?" tanya Revan hati-hati. Kamila menoleh ke arahnya. Kedua mata kecokelatan itu menatap nyalang menembus ulu hati. "Tidak sama sekali. Perasaan semacam itu tak akan mungkin menghalangi. Ini bahkan belum ada seperempatnya dari penderitaan yang sudah kualami selama ini