Satu jam sebelumnya .... Mobil Range Rover biru mengkilat itu terparkir di pelataran kediaman Wijaya. Kalina keluar dari dalam dengan kacamata yang bertengger di hidung bangirnya. Menutupi betapa dingin dan kosong tatapan yang tersembunyi di baliknya. Ternyata rumah masih dalam keadaan sepi. Mungkin sebagian anggota keluarga masih ada yang bekerja atau menemani Indra di rumah sakit. Perempuan itu berjalan memasuki kediaman, di tengah jalan tiba-tiba dia berpapasan dengan Cici. "Nya ...?" Cici memicingkan mata, memastikan. Kalina menoleh, dia melepas kacamatanya, lalu tersenyum begitu tipis. "Ini saya."Mata Cici langsung melebar. "Nyonya udah kembali?""Ya, terima kasih atas kerjasamanya selama ini. Dokumen yang kamu kirim pada Kamila di Surabaya juga sudah sampai di tangannya hari itu. Boleh saya minta semua rekaman CCTV yang sudah kamu pasang di rumah ini?""Ah, iya. Ini, Nya." Cici merogoh saku seragamnya, lalu menyodorkan USB pada Kalina. "Di luar prediksi, kemarin rekaman P
Bogor, Februari 2010Sebuah Vila mewah milik pribadi di bilangan Sentul, Bogor, menjadi saksi bisu pertemuan empat keluarga kaya yang menjalankan bebagai perusahaan terkemuka di tanah air. Pertemuan bisnis yang melibatkan anak-anak tertua dari keempat pengusaha tersebut sudah cukup menjelaskan tujuan mereka yang sebenarnya. Perjodohan antara sesama kaum elite mungkin sudah tak asing lagi di telinga, pernikahan yang terjalin atas dasar bisnis semata agar bisa mengikat mesra dua perusahaan yang sebelumnya tak pernah bekerja sama. Keegoisan orangtua dalam melebarkan sayap kekuasaan, menjadikan anak sendiri korban yang terpaksa menjalani pernikahan tanpa cinta. Mungkin tak semua demikian, tapi beberapa di antaranya memang tertekan menjalani kehidupan rumah tangga yang ditentukan orangtua.Tiga orang putri sulung keluarga konglomerat berkumpul di satu tempat yang sama bersama pewaris pertama PT. Wijaya Sejahtera. Wisnu Adiwijaya, Nama lelaki berusia dua puluh lima tahun yang tak asing di
Hari yang ditentukan Kalina akhirnya tiba, sebuah pertemuan dua keluarga diadakan di perumahan elite kediaman Hartono di bilangan Jakarta Barat. Pak Dahlan bersama sang istri datang menemani putra tertua mereka Wisnu Adiwijaya. Terlihat pula Pak Hari dan Bu Hilma yang menjamu bakal besan dan menantu mereka. Dari lantai dua Kalina turun menenteng sebuah map bersampul kuning. Berbeda dengan penampilan di pertemuan pertama, kali ini gadis itu terlihat begitu cantik dan anggun dengan dress dan make up tipis, rambut hitam legamnya terurai panjang. Selalu seperti itu sejak dulu. Dia duduk di samping Pak Hari, tepat berhadapan dengan Wisnu yang terpesona melihat penampilannya malam ini."Ini adalah berkas penjanjian pra nikah yang sudah saya buat. Dibawahnya sudah tertera materai yang harus ditanda-tangani kedua belah pihak yang menjalani. Jadi, saya harap apa pun yang tertulis di sini, orangtua sama sekali tak boleh menginterupsi."Semua orang terdiam, lalu berpandangan. Pak Dahlan dan Bu D
Pernikahan Wisnu dan Kalina akhirnya resmi disahkan, diikuti resepsi megah yang dihadiri banyak orang penting dari kalangan elite, diiringi berbagai cibiran dari barisan patah hati yang menatap iri betapa serasinya pasangan ini bersanding di kursi pelaminan. Meskipun tak ada kebahagian yang terpancar dari kedua belah pihak mempelai, tapi keduanya begitu pandai menyembunyikan perasaan dan bersikap profesional tak ubahnya pasangan yang saling mencintai. Skinship yang natural dan tidak terkesan dipaksakan, senyum yang mereka tebar pada khalayak ramai. Sebelah tangan Wisnu yang tak pernah lepas melingkar di pinggang Kalina, membuat orang-orang nyaris tak percaya bahwa pernikahan mereka terjalin atas dasar perjodohan.Tengah malam menjelang, menandakan berakhirnya serangkaian acara yang melelahkan. Kamar pengantin yang seharusnya menjadi saksi bisu menyatuan dua insan yang baru saja disahkan, malah menjadi tempat menguji iman pasangan. Bagaimana tidak demikian, ketika seorang lelaki dan pe
Tahun berganti, benih yang telah dipupuk dan disirami akhirnya bersemi. Tumbuh subur dan berbuah lagi. Ternyata waktu satu tahun tak sia-sia Wisnu dan Kalina lewati untuk saling mengerti, percaya, dan sama-sama membuka hati. Tak ada upaya yang sia-sia selama setiap insan bersedia mencoba. Cinta yang muncul karena terbiasa ternyata memang bukan isapan jempol semata selagi percaya pada takdir yang terjadi. Komunikasi dan keterbukaan diri adalah kunci bagaimana setahun yang mereka lewati berhasil merobohkan dinding ego masing-masing hingga keduanya benar-benar siap menjalani komitmen dan ikatan yang sebelumnya tidak dikehendaki.Kalina membuktikannya, tujuan dari kesepakatan pra nikah yang sudah mereka sepakati. Karena Kalina cukup percaya bahwa perjodohan yang keduanya jalani tak seburuk apa yang tersugesti. Meskipun tak suka berbasa-basi dan lebih sering berbicara langsung ke inti, Wisnu adalah tipe lelaki yang sangat peduli, sabar, dan benar-benar mengerti. Dia mampu membuat bongkahan
Suara pintu yang terbuka membuat Pak Dahlan kelimpungan dan buru-buru mengenakan kembali celananya. Di ambang pintu dia melihat Bu Dahlia mematung dan membelalak lebar melihat tubuh Kalina sudah terkulai lemah dengan mulut tersumpal. "Sa-sayang aku bisa menjelaskannya. Ini hanya sa--""Cepat buka penutup mulutnya!" pekik Bu Dahlia. "Wisnu sebentar lagi pulang!""Ta-tapi.""Cepat, Sialan! Aku tak bisa membiarkan kehormatan keluarga Wijaya tercemar hanya karena nafsu binatangmu!"Pak Dahlan menurut, buru-buru dia melepas penyumpal mulut Kalina, lalu mendudukkan tubuh perempuan yang terkulai lemah itu. Suara mobil sudah terdengar di pelataran. Bu Dahlia semakin panik. Dia membantu Kalina yang tak berdaya merapikan pakaiannya."Maaf. Maafkan saya, Kalina." Kemudian menarik kasar pergelangan tangan Kalina yang berjalan sempoyongan menuruni tangga. "Hendri! Indra!" Dua bersaudara itu keluar dari kamar masing-masing. Bu Dahlia memberi isyarat dengan gelengan kepala pada kedua anaknya yan
"Kalina nggak amnesia, dia yang ada di balik semua teror yang terjadi. Gue nggak bekerja sendiri, ada mata-mata lain di rumah itu. Dia nggak berniat memperalat lo, Mil. Kalina melibatkan lo, karena dia pikir bakal mati dalam kecelakaan itu." Kamila dan Galih menatap saksama lelaki yang bercerita dengan menggebu itu, di sebuah warung kopi pinggir jalan masih di daerah Tanah Abang. Dia adalah Feri Irawan, sohib Kamila dan Galih sejak SMA dulu. Mereka juga pernah sama-sama berjuang untuk masuk STIN, walaupun cuma Kamila yang lulus. Sejak saat itu ketiganya berpisah. Meniti karir di bidang yang berbeda. Diketahui Feri sempat menjadi petinju sebelum direkrut Kalina sebagai orang kepercayaanya. Tak menyangka mereka bisa bertemu dan reuni dengan cara seperti ini. "Semua udah Kalina persiapkan dengan matang-matang, Mil. Dia bahkan sudah bersiap memberikan semua yang dia punya buat lo nanti."Kamila tertegun cukup lama. Dia mencoba percaya dengan segala yang dikatakan Feri, walaupun keragua
Plak! "Jadi, begini sambutanmu pada saudara kembar yang sudah begitu lama tak bertemu?" Kalina tersenyum kecil, sembari mengusap pipinya yang terkena tamparan Kamila. "Cukup basa-basinya, Kal. Aku cuma mau tahu apa tujuanmu? Apa rencana besar di balik semua ini, dan apa alasanmu melibatkanku!" pekik Kamila menggebu-gebu. "Tak ada alasan lain, selain menghancurkan Keluarga Iblis itu," balas Kalina tak kalah sengit. "Tapi semua ini terlalu berlebihan kalau hanya untuk membalas perlakuan mereka yang nggak menyenangkan. Berhenti mempermainkan nyawa seseorang, berhenti mengumbar aib sesama. Nggak semua yang kamu anggap benar, itu benar, Kal.""Berlebihan? Hanya perlakuan nggak menyenangkan? Mempermainkan nyawa? Mengumbar aib?" Kalina mengulang perkataan Kamila dengan nada cibiran sembari terkekeh ringan. "Asal kamu tahu, Mil. Yang mereka lakukan padaku lebih jahat dari yang bisa kamu bayangkan!"Deg! "Mereka membuatku mati berkali-kali, kemudian bangkit berkali-kali. Satu hari kejam y
"Loh, Papa." "Papa?""Uncle?""Wisnu, sejak kapan kamu berdiri di sana?"Barra yang lebih dulu sadar, berjalan mengampiri, diikuti Thea, Terra, dan terakhir Bu Dahlia. Kamila yang mendengar itu semua sontak langsung menendang Revan, lalu bangkit dan membenahi penampilan yang sejujurnya sudah tak bisa lagi terselamatkan."Wi-Wisnu.""Ma-maaf aku datang tanpa kabar. Soalnya sejak tadi ponselmu tak bisa dihubungi dan aku dengar dari Mama sedang ada acara di sini.""Ng, anu, nggak apa-apa, kok. Silakan duduk, ngobrol-ngobrol sama yang lain dulu. Aku ke atas sebentar, ya." Tanpa menunggu persetujuan dengan gerakan seribu bayangan, Kamila langsung berlari menuju kamar. Dan mengurung diri di sana.***Tok! Tok! Tok!"Mil, boleh aku masuk?" Di depan pintu kamar Kamila, Kalina berdiri. Sudah satu jam sejak pamit ke atas, dia masih belum kembali, hingga Kalina inisiatif menghampiri."Masuk aja, Kal. Nggak dikunci." Teriakan Kamila terdengar dari dalam, perlahan Kalina membuka pintu, lalu meng
"Hatchiiim."Dari arah kamar terdengar suara bersin keras, hingga membuat orang-orang yang akhir pekan ini sedang berkumpul di rumah besar itu terlonjak kaget."Kak, are you, okay?" Kepala Cici menyembul dari arah pintu."Ya, aku nggak apa-apa. Biasanya kalau tiba-tiba bersin kayak gini, pasti ada yang ngomongin," tuturnya sembari melempar selembar tisu yang sudah digunakan ke tempat sampah.Cici manggut-manggut, lalu berjalan menghampiri ke kamar. "Btw tumben rapi banget hari ini, nggak mungkin kalau cuma sekedar reuni keluarga Kak Mila sampai dandan cantik begini. Rambut digerai, pake dress tanpa lengan, heels lima senti.""Sshhh ... hari ini aku ada janji, jadi tolong wakilin jamu aja semua tamu, ya.""Ta--""Mil-- oh my God. Setan apa yang merasukimu hari ini, Mila?" Feri yang baru saja muncul terlihat membekap mulut melihat penampilan Kamila."Diem, lu, Fer. Komen sekali lagi gue gebok.""Nggak, nggak mungkin. Ini pasti bukan Kamila, ini pasti Kamile--hmmpt." Buru-buru Kamila mem
"Bagaimana kabarmu?"Pertanyaan itu Wisnu ajukan sesaat setelah Kamila dan Barra duduk di hadapannya, di ruang Head Teachers."Ba-baik." Entah kenapa afmosfer yang tercipta di antara keduanya terasa kikuk dan canggung. Sementara Barra yang duduk di tengah-tengah mereka malah sibuk memindai ekspresi dari tante dan ayah kandungnya itu."Jantung berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya, telapak tangan dingin, wajah pucat, bicara terbata-bata, terdeteksi salting. Reaksi ini biasa juga disebut dengan gugup." Barra meletakkan tangan di dada Kamila."Astaga Barra." Kamila memelotot sembari menepis tangan bocah tujuh tahun itu.Wisnu terkekeh pelan. "Maaf kalau aku membuat kalian tak nyaman." Lelaki itu sesekali menyentuh hidung dan menggaruk dahi."Gelagat itu menunjukkan kalau Papa yang justru nggak nyaman.""Hei, berhenti sembarangan baca emosi orang!" sentak Kamila kembali mengingatkan."Tapi kakek bilang mengenali ekspresi wajah merupakan cara penting untuk meraba apa yang dirasakan
Tujuh tahun kemudian ...."Bangun, Barra. Ini hari pertama kamu masuk sekolah! Seragam sama semua perlengkapan udah Mimi siapin. Jangan lupa sarapan juga. Ada nasi goreng di atas meja!"Kamila mengguncang tubuh bocah yang menggeliat panjang dalam selimut tebal, di atas ranjang berbentuk mobil-mobilan."Bentar lagi, Mi. Biasa juga sekolah internasional masuknya agak siang. Ini baru jam enam pagi, ya Tuhan.""Buset nih bocah. Siapa juga yang bilang kamu bakal masuk ke sekolah international? Yang ada kamu masuk swasta!"Mendengar kata sekolah swasta bocah berumur tujuh tahun itu langsung terlonjak dari tempatnya."Swasta? Seriously? Kita jauh-jauh pindah ke Jakarta cuma buat daftar di sekolah swasta!""Ya ampun, nih bocah nggak ada bersyukurnya. Udah untung kamu masuk sekolah swasta yang elite. Coba Mimi dulu, udah mah masuk negeri yang ikut program pemerintah, masih kudu bikin surat keterangan tidak mampu, biar nggak perlu bayar SPP lagi. Dah, ah. Buruan mandi! Atau mau langsung Mimi lu
Orang bilang, level tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan. Entah itu mengikhlaskan dengan yang lain, atau yang lebih menyakitkan mengikhlaskannya pergi ke pangkuan Tuhan. Entah itu cinta antar pasangan, cinta antara anak dan orangtua, maupun cinta antar saudara.Tak ada rencana yang lebih sempurna selain takdir yang telah Tuhan gariskan. Bagaimana dua orang saudara kembar yang sudah berpisah selama lebih dari tiga puluh tahun kembali dipersatukan untuk membalas satu keluarga zalim yang merasa kekuasaan yang dimiliki mampu menutupi seberapa busuknya tingkah laku mereka, sampai lupa bahwa roda kehidupan itu berputar, dan dalam beberapa keyakinan karma itu nyata adanya.Kurang dari setahun, tepatnya delapan bulan, saudara kembar Kamila dan Kalina mampu mengantar kehancuran untuk Keluarga Wijaya. Keluarga konglomerat yang dikenal publik dengan berbagai prestasi, keluarga yang dikenal memiliki toleransi tinggi, serta kerukunan yang patut diacungi. Namun, siapa yang tahu di balik im
Welcome Kalina Fathira Hartono dan Kamila Anindira Hartono.Tulisan besar dari karangan bunga yang khusus dipesan tergantung di lantai dua kediaman keluarga yang bisa dibilang terkaya di Kota Surabaya.Kamila membekap mulut sembari memeluk Dahiyang di pangkuan tangan.Tak pernah terpikir dalam benak Kamila sekalipun bahwa akhirnya dia sampai di posisi ini. Posisi yang selalu ibunya katakan suatu saat akan bisa dia daki. Roda yang selama ini berhenti berputar akhirnya menempatkan dia di sini. Ternyata masa depan yang selalu dia harapkan ekspekstasinya lebih dari yang mampu dia impikan.Orang-orang dengan setelan serba-hitam yang diketahui staf dan beberapa karyawan PT. Poltaris Jaya menyambut mereka. Berjejer di antara kolam pancuran yang membentang sepanjang pelataran. Bu Hilma terlihat berjalan mendorong kursi roda Pak Hari untuk menghampiri mereka. Dua buket bunga terlihat di pangkuannya.Kamila langsung berlari dan berhambur dalam pelukan ayahnya. Di belakang Kalina menyusul dengan
Kalina terkekeh sesekali saat melihat Kamila yang terlihat begitu bersemangat pagi ini. Di dalam kamar tadi bahkan dia membongkar seisi lemari hanya untuk mencari pakaian terbaik yang bisa digunakan untuk acara hari ini. Menjadi bisnis women atau mengelola bisnis mungkin memang bukan passion Kamila. Namun, penegak hukum, aparat, serta badan inteligen adalah pekerjaan dan kecintaannya.alina tahu, meski tak mengatakannya Kamila pasti sangat ingin kembali. Walapun mustahil untuk kembali menjadi bagian dari BIN, setidaknya dia berharap bisa menjadi salah satu anggota kepolisian tak peduli apa pun tingkatnya."Mil?" Kalina meletakkan tangan di bahu Kamila yang nampak duduk tenang di kursinya menunggu panggilan."Ya?" Kamila menoleh antara gugup dan senang yang membuat Kalina agak tak tega untuk mengungkap kebenarannya. "Sebenarnya ...." Kalina sengaja mengulur-ulur waktu yang membuat dada saudaranya semakin berdegup kencang."Sebenarnya apa, sih, Kal? Buruan deg-degan el--""Kompol Warma
Di atas pusara dengan nisan bertuliskan Zahira P. Putri itu, Kamila dan Kalina duduk bersimpuh. Meletakkan buket bunga di atas gundukan tanah yang sudah lama mengering dan dilindungi tembok marmer berpondasi kokoh.Kamila terlihat menuntun tangan saudara kembarnya untuk menyiram nisan dan sebagian tanah yang terlihat."Halo, Bu. Apa kabar? Sekarang Kamila nggak datang lagi sendiri, ada Kalina juga. Akhirnya, Bu. Kita bisa tumbuh jadi anak kebanggaan ibu. Baik-baik di Surga sana, ya. Salam sayang dan peluk cium dari kami." Kamila tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Merengkuh tubuh Kalina yang sudah lebih dulu terisak di sampingnya."Nggak apa, Kal. Yang penting ibu udah liat semuanya dari atas sana." Kamila meyakinkan saudaranya sembari menyeka air mata Kalina."Bagaimana rasanya pelukan ibu, Mil?" tanya Kalina lirih."Tentu saja lebih hangat dari pelukan ayah dan lebih berkesan daripada pelukan mantan.""Kamila." Kalina mengerucutkan bibir sembari mencubit pelan perut saudaranya."Dah
"Apa-apaan ini? Masa merayakan kemenangan di Rumah Makan Padang?" Kamila menggerutu, sembari berkacak pinggang di depan sebuah rumah makan yang cukup besar di daerah setempat."Dah, terima kenyataan, Nya! Nyonya Kalina sama Pak Revan dah keseringan makan di resto bintang lima." Cici menepuk pundak Kamila, kemudian berlalu ke dalam."Tap-tapi aku juga dah keseringan makan di rumah Makan Padang. Bahkan sampe kolesterol dan mencret-mencret!" Kamila mengerucutkan bibir, menoleh menatap saudara kembarnya dan Revan yang baru saja turun dari dalam mobil."Aku janji, makan malam nanti kamu yang tentukan," sahut Kalina sembari tersenyum simpul."Seriously?" Bola mata bulat itu berbinar penuh harap."Iya. Harus berapa kali kubilang milikku, milikmu juga," tukas Kalina sembari merangkul bahu saudaranya."Resto Lavender, boleh? Ruang VIP yang view-nya macam di pelem-pelem bucin? Aku pernah ke sana, tapi cuma buat denger umpatan sampah para Wijaya Family." Kamila kembali mengerucutkan bibir."Iya