(POV RAIHAN)Pagi ini adalah hari pertama puasa. Sahur tadi Aira membangunkanku dan kami makan sahur bersama. Ibu telah menyiapkan semuanya dibantu Aira. Semakin aku sering memperhatikan gadis itu, semakin banyak keistimewaan yang kulihat dari dalam dirinya. Gadis sederhana dan tak banyak tingkah itu terlihat semakin bertambah dewasa saja. Setelah melaksanakan salat Shubuh, aku mengajak Aira berjalan kaki menikmati suasana pagi di kompleks perumahan yang kami tempati. Dulu sewaktu kecil, aku beserta teman-teman kecilku hampir setiap malam menjelang sahur berkeliling kompleks membangunkan warga. Setelah itu dilanjut jamaah di masjid dan diakhiri dengan asmara subuh bersama. Masa-masa kecil yang penuh warna."Ra, dulu kamu kenapa, sih, suka sekali pinjam sepedaku pada Ibu?"Aira kecil hampir saban hari berkunjung ke rumahku bersama ibunya. Jika dia di rumah, maka Ibu akan meminjamkan sepedaku padanya. Aira kecil akan berkeliling kompleks menggunakan sepeda tersebut. Tak peduli teriknya
(POV RAIHAN)Aku menepuk jidat. Malah mau dikerokin, terkadang Aira ada juga aneh-anehnya. "Di kamar aja, Ra. Ngga enak dilihat Ibu."Gadis itu mengangguk. Aku berjalan ke kamar, sedangkan Aira berbelok ke arah dapur. Tak lama ia pun masuk kamar sambil memegang sebuah piring kecil di tanganya."Apa itu, Ra?" tanyaku penasaran."Minyak urut.""Minyak urut?""Iya. Minyak goreng dicampur bawang.""Apa? Kamu itu mau ngerokin atau mau bikin aku jadi dendeng?""Bikin dendeng pakai minyak bawang rupanya, Mas?""Ah! Aira ...! Yang bener, dong, Sayang.""Iya. Ini udah bener. Sini punggungnya."Kubalikkan punggungku dengan ragu. Masa iya pakai minyak goreng plus bawang? Kenapa tidak sekalian pecahin telur dan potongan cabai merahnya, biar jadi telur dadar.Ah! Aira!***Tiga hari sudah kami menghabiskan waktu di rumah Ibu. Sesuai janji, aku dan Aira akan berkunjung ke rumah Mak dan Abah. Namun, hari ini pula Safia tiba di Surabaya. Otomatis aku harus mengundur waktu ke rumah Abah agar bisa ber
(POV RAIHAN)Istri yang baik itu, apabila diberi ia akan bersyukur. Apabila tidak diberi maka ia akan bersabar.***Kembali ke Malang setelah menghabiskan waktu selama dua minggu lebih di Surabaya. Kedekatan di antara kami semakin terbangun selama berada di sana. Ditambah lagi karena adanya perjanjian satu bulan yang sedang kami jalani, maka hubungan kami pun tampak seperti pasangan suami-istri normal pada umumnya.Aira tetap melayaniku dengan baik. Segala keperluanku dia yang mengurusnya. Ditambah Mbak Ayu sedang cuti selama bulan puasa, otomatis, Aira-lah yang menghandel semua pekerjaan rumah. Dia terlihat gesit dan senang melakukan semuanya.Pagi ini seperti biasa, aku harus mengunjungi tempat kerja. Sebenarnya hal yang paling penting adalah ingin bertemu dengan Safia. Sudah kuputuskan jika aku akan mengungkapkan perasaanku padanya. Semakin lama dipendam kurasa semakin tidak baik. Pun sebentar lagi aku dan Aira akan berpisah.Aku telah menghubungi Safia tadi malam. Kami akan bertem
(POV AIRA)Sengaja aku meminta kunci ruang kerja Mas Raihan. Aku ingin tahu apa yang ia simpan di sana. Menurut informasi dari Mbak Ayu, aku bisa menemukan sesuatu di kamar itu. Saat kutanyakan lebih jelas, Mbak Ayu malah menyuruhku untuk melihatnya sendiri.Setelah mengunci pintu depan, aku bergegas menaiki tangga menuju ruang kerja Mas Raihan. Setiba di depan pintu ruangan tersebut, dengan tangan gemetar dan perasaan berkecamuk, aku memutar kunci dan segera menekan handel pintu.Kondisi ruangan remang-remang. Gorden lebar masih tertutup rapat. Aku menacari saklar lampu dan segera menghidupkannya. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Ruangan terlihat bersih. Begitu juga meja kerjanya. Ada beberapa bundelan kertas yang tersusun rapi di atasnya.Aku mendekat saat mataku melihat sebuah foto di dalam bingkai berukuran sedang."Wanita itu."Aku tercekat. Betapa istimewanya Safia, fotonya saja terpajang rapi di atas meja kerja Mas Raihan. Sementara aku? Jangankan fotoku sendiri, foto perni
(POV SAFIA)Aku mencintai Omar sudah sangat lama. Dia adalah abang kelas sekaligus tetangga baru di kompleks perumahan yang kami tempati dulu. Pembawaannya seperti kulkas dua pintu, cool dan jarang senyum. Walaupun begitu, aku sudah menyukainya sejak pertama kali melihatnya tiba di kompleks perumahan kami.Siapa sangka, selain bertetangga, ternyata aku dan Omar juga bersekolah di sekolah yang sama. Dan yang lebih mengejutkan, rupanya bukan aku saja yang mengharapkan cinta darinya. Para kaum hawa di sekolah pun juga sibuk mencuri-curi perhatian lelaki yang gantengnya selangit tersebut. Tiada hari tanpa memikirkan Omar. Lelaki tampan juga terkenal shaleh itu membuatku tak bisa tidur siang malam. Aku sibuk mencari tahu informasi tentangnya. Perlahan mencoba berubah sesuai apa yang ia sukai. Termasuk memakai jilbab. Aku memutuskan untuk hijrah karena lelaki itu."Mar. Demi lu, nih, gue pakai jilbab. Masa lu masih ngga mau sama gue," serangku padanya dulu saat ia menolak mentah-mentah ung
Raihan terlihat sangat kesal. Bahkan ia tidak lagi memedulikan Safia saat keluar dari ruangannya."Permisi, Mas. Assalamu'alaikum."Alih-alih menjawab salam dari Safia, Raihan malah membalikkan badan. Napasnya menderu dan dadanya naik turun dengan cepat."Omar, Omar, Omar. Dia lagi, dia lagi."Raihan mengepalkan tangannya. Ada perasaan malu dan kecewa karena penolakan Safia, juga tak suka pada orang yang selama ini sudah menjadi kaki tangannya.Raihan menekan nomor di telepon seluler di atas meja. Menghubungi Omar agar segera menjumpainya.Tanpa menunggu lama, lelaki bernetra cokelat itu sudah berdiri di depan pintu ruangan Raihan. Ada perasaan was- was di dalam hatinya. Omar sudah bisa menebak kenapa dia dipanggil oleh atasannya."Assalamu'alaikum," ucap Omar.Tak ada jawaban, akan tetapi Omar tetap melangkah masuk."Kenapa beberapa hari lalu berniat melamar Aira, lalu sekarang melamar Safia?" Tanpa basa-basi, Raihan memberondong Omar dengan pertanyaan.Omar tampak tenang. Dia sudah
(POV RAIHAN)Di parkiran, aku menunggu Mas Budi--satpam kafe--yang sedang bergantian shift dengan temannya. Dia mengajakku berbuka puasa di rumahnya. Ada hal yang ingin ia perlihatkan, begitu katanya tadi. Sebenarnya aku hendak menjemput ponsel yang tertinggal, mengingat waktu berbuka tidak lama lagi, maka aku membatalkannya. Dari arah pintu masuk kafe, kulihat Mas Budi melambaikan tangan. Dia sudah menanggalkan baju dinas dan mengganti dengan kaos serta celana jeans. Aku segera masuk ke mobil. Kemudian melaju pelan ke arah Mas Budi."Kasian sekali para korban kecelakaan kereta api, ya, Pak. Semoga yang meninggal husnul khatimah. Yang luka-luka pun segera pulih seperti sedia kala," ujar Mas Budi begitu ia duduk di bangku sampingku. Aku mengangguk dan mengaminkan dalam hati. Pikiranku masih bercabang, belum bisa memikirkan hal lain terlebih dahulu. Urusanku sendiri saja masih terkatung-katung."Istri Mas Budi ngga keberatan saya datang? Datang-datang makan pula.""Ya, ngga, kok, Pak.
(POV RAIHAN)Aku sudah tak sabar lagi ingin bertemu Aira. Bersimpuh dan memohon maaf padanya. Di bulan suci ini, semoga Allah mengampuni dosa-dosaku. Semoga Aira memaafkan kesalahanku.Setiba di showroom, setengah berlari aku menjemput ponsel di ruangan kerjaku. Kemudian kemnali ke mobil dan segera menancap gas menuju rumah. Perasaan khawatir mulai menyelimuti hati. Apakah Aira sedang kesusahan memikirkanku?Aku menghentikan mobil di depan pintu pagar. Tak ada penjaga rumah seperti biasanya, jadi aku terpaksa keluar dari mobil untuk membuka pintu pagar.Setelah pintu pagar terbuka, aku segera memasukkan mobil dan memarkirkannya. Buru-buru aku menuju teras dan memencet bel."Aira. Aku pulang."Tak ada tanda-tanda Aira muncul di depan pintu. Aku pun mengetuk berulang kali. Sama! Rumah terlihat sepi. Aku memegang handel pintu bermaksud menggedornya. Namun, pintu terbuka tiba-tiba."Kenapa ngga terkunci?"Kondisi rumah pun sedikit gelap. Hanya mengandalkan pencahayaan dari lampu ruang ta
"Menuruti emosi dan keras kepala hanya akan merugikan, dan penyesalan adalah hadiah yang tepat untuk diterima."***Aku duduk termenung di depan gundukan tanah Merah yang masih basah. Aroma khas dari tanah yang disiram rintik hujan menyapa lembut di indra penciuman. Para pelayat yang lain sudah meninggalkan tanah pekuburan. Hanya aku, Abah, Mak, Ibu serta beberapa tetangga dekat yang masih bertahan.Kami masih khusyu dengan doa masing-masing. Terutama aku, banyak hal yang masih kupertanyakan pada Tuhan, juga banyak hal yang akan kupinta pada-Nya. "Raihan, sudah. Kita pulang. Sebentar lagi hujan lebat," ujar Abah. Sebelah tangannya berada di pundakku. Aku bergeming. Hanya menggeleng saja tanpa menoleh ke arah Abah. "Besok dilanjut lagi, Nak Raihan. Kamu juga harus istirahat. Semalam kamu belum tidur." Kudengar suara Mak ikut menimpali. "Aku masih ingin ngobrol dengan Aira, Mak, Bah. Aku masih mau di sini.""Ya sudah. Kami pergi terlebih dahulu, ya. Ibu tunggu di rumah mertuamu."Aku
"Aira....!"Aku berteriak nyalang. Bungkusan rujak di dalam kantong lepas di tangan. Mak dan Abah berbalik badan. Tangis keduanya semakin menjadi saat melihatku masih berdiri di belakang mereka.Aku menubruk tubuh Aira dan segera mengangkatnya sambil berlari ke luar rumah. Darah segar masih saja tampak mengalir menyentuh telapak kaki wanita yang sudah sangat pucat ini. Panik dan bingung membuatku tak bisa berpikir jernih. Di belakangku Mak dan Abah masih menangis sambil ikut berlari mengikutiku. "Aira. Bangun, Sayang. Ini Mas datang. Mas bawa rujak pesananmu, Sayang."Aku menunggu Abah dan Mak masuk di bangku belakang. Kemudian aku meletakkan Aira perlahan di atas pangkuan mereka. "Raihan. Cepat, Nak. Aira sudah sangat lemah."Tanganku gemetar saat memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Tubuhku pun telah basah oleh keringat dingin. "Bah, ajak Aira bicara. Buat dia selalu sadar."Entah ilmu dari mana itu, yang ada di pikiranku adalah Aira harus sadar. Jangan sampai dia tertidur selama
POV RAIHAN***Setelah menghabiskan waktu satu jam menelepon Aira setelah subuh tadi, pagi ini aku berkemas dengan semangat. Tak sabar ingin menyelesaikan pekerjaan dan segera menjemput Aira di Surabaya. Aku ingin memeluknya dan bersimpuh di kaki wanita itu. Kesalahanku padanya sudah menggunung. Kuhadapi meja makan seorang diri. Biasanya selalu ada Aira menemani. Kali ini aku sarapan tanpa ditemani tatapan penuh cinta istriku. Aku sungguh menyesal telah menyia-nyiakannya beberapa hari ini. Mendiamkan Aira tanpa mempedulikannya sama sekali. Ponsel bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dan segera kubuka. Aku berharap itu adalah Aira. Benar saja, sebuah pesan masuk dari istriku. [Apa Mas masih menyimpan rasa untuk Safia?]Apakah dia masih belum percaya dengan penjelasanku kemarin? Yang dilihat oleh Aira di dekat lampu lalu lintas itu bukanlah sebuah kesengajaan. Lagi pula Safia telah menjadi istri orang. Dia adalah masa lalu yang sudah kukubur dalam-dalam. Jika pun sekarang aku be
"Pak, para klien sudah berkumpul di restoran, bapak di mana?" tanya Omar di seberang telepon. Aku menancap gas agar tak terlambat. Masih tersisa setengah jam lagi."Iya. 15 menit lagi. Minta mereka untuk menunggu sebentar lagi.""Bu Aira bagaimana?""Mereka sudah pergi. Kami selisih di jalan."Aku baru saja dari kafe yang disebutkan Aira tadi malam. Namun, setiba di sana, menurut karyawan kafe, mereka baru saja keluar dari tempat tersebut. Aku tidak menemukan siapa pun. Bermaksud menelepon Aira, ponselku pun tertinggal di dalam mobil. Begitu berada di dalam mobil, aku malah lupa menghubungi Aira karena panik mengejar waktu agar tak terlambat. Benar saja, ternyata para klien telah menunggu di restoran bersama Omar."Pak, saya boleh minta tolong? Safia di dalam taksi sekarang hendak menemuiku. Menurut Safia, sopir taksi tersebut sedang terburu-buru. Anaknya meninggal. Bisa Pak Raihan menunggu Safia sebentar. Posisinya ngga jauh dari posisi bapak sekarang.""Wah, kenapa dia ngga menumpa
Berulang kali Aira menghubungi suaminya, akan tetapi Raihan tidak memberikan respon apa-apa. Aira merasa khawatir, karena sebentar lagi mereka akan tiba di lokasi tempat yang telah ditentukan. Adit juga telah mengirim pesan di IG sejak tadi, lelaki itu memberitahukan pada Aira jika ia telah tiba sejak tadi dan sedang menunggu kedatangan Aira. "Lu yakin, Ai, mau jumpa Adit tanpa suami lu?" tanya Lita. Wanita itu telah melambankan laju mobilnya. Aira tak menjawab. Ia hanya menaikkan bahu pertanda bimbang. "Ngga pa-pa, deh! Kalau suami lu memang ngga bisa datang, kami saja yang akan menghandel semuanya," ucap Sania kemudian. Aira merasa tak mungkin membatalkan pertemuan dengan Adit. Ini adalah kesempatannya untuk berbicara dengan lelaki itu. Padahal sudah sejak tadi malam Aira memberitahukan pada Raihan, agar lelaki itu bisa meluangkan sedikit waktu untuk pertemuan yang telah direncanakan. Namun, dia malah tak bisa dihubungi. Aira memantapkan diri untuk keluar dan segera menemui Adi
POV AIRA***Mas Raihan meneleponku. Dia marah karena Lita serta Sania menghubunginya. Dua sahabatku itu memang keras kepala. Sudah kukatakan agar jangan menghubungi Mas Raihan, tapi mereka tetap melakukannya. Percuma menelepon Mas Raihan, apa lagi menjelaskan semuanya tanpa bukti yang akurat. Mas Raihan tidak akan percaya karena dia mengira jika aku dan kedua sahabatku pasti bersekongkol. Aku tetap menghubungi Adit dan menetapkan jadwal pertemuan kami besok. Dari cara-cara lelaki membalas pesanku, dia terlihat sangat antusias. [Wow! Akhirnya aku bisa melepaskan rindu bersamamu, Cantik!]Muak aku membaca pesan balasan dari Adit. Kita lihat saja besok apa yang akan terjadi. [Kamu memang jahat, Dit. Tega sekali mau merusak rumah tanggaku.]Aku membalas pesan lelaki itu. [Lho! Aku ngga suka lihat suamimu, Ai!]Terserah juga dia mau bilang apa, aku akan menyelesaikan semuanya besok. Mas Raihan juga telah kuajak untuk ikut serta. Lelah rasanya berlarut-larut dalam masalah ini. Ditambah
POV RAIHAN***Sebenarnya aku tidak tega bersikap terlalu keras pada Aira. Apalagi kondisinya sedang hamil. Melihat dia menangis saja, hatiku sudah ketar-ketir. Namun, entah dari mana saja datangnya, emosi kian tersulut saat foto-foto tak senonoh yang diperlihatkan oleh lelaki keparat itu bermain di pikiranku. Hati siapa yang sanggup menerima jika pasangannya pernah ditiduri oleh orang lain? Kurasa tidak ada yang mau menerima kenyataan itu. Apakah aku harus lebih mempercayai Aira dari pada Adit? Siapa di antara mereka yang berbohong? Aku meraih ponsel dan membuka galeri. Mencoba melihat lagi foto tersebut. Tampak wajah Aira tersenyum semringah, ia terlihat seperti sangat menikmati suasana. Berada di sisi sang lelaki yang sedang memeluknya. Emosiku kembali bergejolak. Bagaimana tidak, Aku merasa ditipu mentah-mentah. Aira telah membohongiku sejak awal. Dia tidak jujur dan terkesan menutup-nutupi kejadian yang telah dialami. Apakah ini adalah salah satu trik agar rencana pernikahan ta
"Lu tau ngga kalau gue dan istri lu saling mencintai?"Aku kaget saat mendengar penjelasan Adit. Lelaki yang tadi malam telah membuat Aira menangis. Kami tidak bertemu di kafe seperti yang kusampaikan pada Aira. Ya, aku membohonginya agar ia tidak khawatir. Aku mengajak lelaki itu bertemu di tempat kerjaku. Di ruanganku. Awalnya kukira ia akan menolak, ternyata dia datang dan menunjukkan keberaniannya. "Tapi istri gue ngga ngomong gitu, Bro! Ngarang lu!" Aku tidak setuju dengan ucapannya. Aira adalah orang yang jujur, aku yakin itu. "Wih! Cinta banget lu sama Aira? Sama! Gue apalagi!"Hatiku terbakar dibuatnya. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu di depanku, suami Aira. "Dia cantik, bukan?"Seringain Adit membuat tanganku mengepal. Dia seperti sengaja mempermainkan emosiku, tapi tetap kutahan dan mencoba tersenyum. Aku menebak jika lelaki yang duduk di depanku ini sedang berusaha membuatku cemburu. "Tentu, kalau tidak mana mungkin gue nikahin!""Sayangnya dia sudah tutup wajahn
POV AIRA***Sakit sekali rasanya ketika Mas Raihan tidak mempercayaiku sama sekali. Padahal aku tidak berbohong. Justru dialah yang sedang dibohongi oleh Adit, lelaki pecundang yang tak henti-hentinya mengangguku. Tidak ada cara lain untuk membuktikan kebenaran. Menghubungi Lita dan Sania adalah satu-satunya jalan keluar. Sudah beberapa bulan ini aku memang belum pernah menghubungi mereka berdua. Mereka harus segera tahu kejadian yang menimpaku. Membantuku mencari kebenaran informasi mengenao foto yang dipermasalahkan oleh Mas Raihan. Foto seperti apa yang telah diperlihatkan oleh Adit sehingga membuat Mas Raihan sangat murka? Pagi ini badanku terasa berat untuk diajak bangun cepat. Aku memilih kembali tiduran setelah mengerjakan salat subuh. Sedangkan Mas Raihan sudah bersiap-siap hendak pergi bekerja."Mas, aku ngga temenin sarapan, ya. Rasanya malas banget bangun."Tak ada jawaban.Hmm! Masih pagi, tapi suasana sudah panas. Mas Raihan masih tak menggubrisku, akan tetapi aku tak m