(POV RAIHAN)Pikiranku tak tenang. Aku ketakutan dalam bayang-bayang mengerikan. Membayangkan yang tidak-tidak tentang Aira. Jika dia naik kereta api, kenapa juga belum tiba? Atau dia tidak ke Surabaya? Lalu ke mana?Aku mondar-mandir di dalam kamar. Perasaanku berkecamuk dan lara. Aku menyesal karena sudah terlalu egois selama ini. Aku yang salah. Seharusnya jika aku tidak menerima pernikahan ini, kenapa tidak menjelaskan secara baik-baik kepada Ibu. Menjelaskan padanya jika aku mencintai orang lain. Bukan membawa Aira semakin jauh dalam kepura-puraan pernikahan."Tuhan. Aku menyesal. Sungguh! Masih bisakah aku meminta padamu untuk mempertemukanku lagi dengan Aira. Aku berjanji pada-Mu, tidak akan menyakitinya lagi seujung kuku."Malam semakin larut, aku sama sekalu belum bisa memejamkan mata. Kepala terasa berat. Dadaku sesak memikirkan Aira. Di mana dia? Mungkin sudah ratusan kali aku menghubungi ponselnya. Nomor telepon Aira sama sekali tak bisa dihubungi. Apa dia sangat marah dan
(POV RAIHAN)Seandainya waktu bisa diputar ulang, aku akan memutar masa lalu untuk memperbaiki semua kesalahanku padamu, Aira ....Puasa kali ini adalah ujian terberat yang kualami dalam hidup. Akulah penyebab semua kekacauan ini. Sikapku telah mencabik-cabik perasaan Aira. Seharusnya aku bisa menjaga perasaan seorang wanita yang selembut kapas."Kenapa dia pulang sendiri?" tanya Abah."Aku sedang ngga bisa antar, Bah.""Jadi kamu suruh naik kereta api?"Aku menggeleng. "Itu murni keinginannya sendiri." Terpaksa aku harus kembali berbohong.Aku menundukkan pandangan, tak berani menatap mata Abah yang kelam."Pak, itu mayatnya sudah datang," ucap Omar. Dadaku berdegup kencang. Rasanya aku tidak sanggup melihat wajah siapa yang terbaring kaku di atas bed dorong itu.Para keluarga korban tidak lagi ramai seperti tadi. Hanya tinggal beberapa orang lagi. Mereka mundur dan memberi jalan pada para perawat."Keluarga Aira Muthmainnah!" seru seorang perawat.Aku dan Abah maju hampir bersamaan,
(POV RAIHAN)Perbaiki diri, memulai lagi dari awal karena hidup akan terus berjalan. Tiada guna terpuruk dalam sesal yang mendalam, jika tidak dibarengi dengan kesungguh-sungguhan untuk memperbaiki diri dan memohon ampun kepada Tuhan.Rasa sesal yang tiba-tiba datang memang menyiksa dan ada kalanya rasa penyesalan itu begitu dalam sehingga aku tak mampu untuk tidak terus memikirkannya.Padahal tak pantas juga berlama-lama berkubang dalam jurang penyesalan, apalagi terus-terusan menyiksa diri, berharap semua yang telah terjadi bisa diperbaiki. Namun, apakah itu mungkin? Jelas tidak! Dengan bercerita pada ibu, aku berharap beban di dadaku bisa sedikit terkuras."Maafkan aku, Bu. Aku salah. Aku jahat.""Meminta maaf memang mudah, Raihan.""Aku sungguh-sungguh, Bu," ucapku meyakinkan ibu."Jangan berjanji pada ibu. Tapi berjanjilah pada dirimu sendiri."Ibu menyapu sudut matanya. Aku bisa melihat rasa kekecewaan yang begitu kentara dari pancaran matanya. Wajah itu tak lagi bernyawa sepert
(POV RAIHAN)Tak perlu mencari pasangan yang sempurna, akan tetapi mencintai pasangan dengan segenap kesempurnaan lebih mulia di mata Tuhan.Aku telah meminta para perawat untuk memindahkan Aira ke ruangan lain. Ruangan yang lebih besar dan nyaman. Aku hanya menginginkan masa recovery-nya menjadi lebih cepat. "Kenapa harus pindah, Mas. Kamar yang tadi kan juga bagus.""Biar kamu lebih nyaman. Cepat sembuh. Cepat pulang. Cepat temeni aku makan lagi."Aira mengangguk. Menurut dokter yang menangani istriku, perkembangan kesembuhan Aira begitu pesat. Kemungkinan sebelum lebaran tiba, Aira sudah bisa dibawa pulang.Sekarang aku sedang menungguinya. Ibu serta kedua mertuaku belum tiba. Aku sejak tadi malam menjaga Aira di sini. Awalnya dia melarang, tapi aku bersikeras dan meminta Mak serta Abah untuk pulang bersama Ibu."Mas, haus.""Iya ... iya. Sebentar."Aku bergegas bangkit dan meletakkan ponsel. Ada pesan dari Omar yang harus segera dibalas. Ia melaporkan kejadian di showroom. Seoran
Jangan menikah hanya karena jatuh cinta. Menikahlah karena kamu yakin surga Allah lebih dekat jika bersamanya."Aira, bangun, Sayang. Kamu kedinginan? Mas peluk, ya. Buka matamu. Jangan bikin Mas panik."Raihan sesenggukan di samping Aira."Mas, kenapa? Mas ... bangun. Aduh! Mas Raihan. Ya Allah. Istighfar, Mas!"Aira menggoyakan tubuh suaminya yang bermandikan peluh."Ini juga AC siapa yang matiin? Kasihan Mas Raihan sampai keringatan begini." Aira bangkit dan kembali menghidupkan pendingin ruangan. Mendengar Raihan kembali menggigau, Aira mendekat dan menyapu wajah suaminya. Raihan tersedu dalam tidurnya."Mas, ini aku. Mas bangun, dong."Aira menggoyang tubuh Raihan dengan kuat. Lelaki itu akhirnya membuka mata. Matanya merah dan sembab."Astaghfirullah," Raihan beristighfar sembari memeluk Aira. Wanita itu sampai kesulitan bernapas."Mas Raihan kenapa?""Mimpi buruk, Sayang. Ya Allah. Aira, Mas takut sekali.""Ya ampun, Mas. Mimpi buruk? Pasti Mas Raihan tadi tidur ngga baca doa,
Jangan menikah hanya karena jatuh cinta. Menikahlah karena kamu yakin surga Allah lebih dekat jika bersamanya."Aira, bangun, Sayang. Kamu kedinginan? Mas peluk, ya. Buka matamu. Jangan bikin Mas panik."Raihan sesenggukan di samping Aira."Mas, kenapa? Mas ... bangun. Aduh! Mas Raihan. Ya Allah. Istighfar, Mas!"Aira menggoyakan tubuh suaminya yang bermandikan peluh."Ini juga AC siapa yang matiin? Kasihan Mas Raihan sampai keringatan begini." Aira bangkit dan kembali menghidupkan pendingin ruangan. Mendengar Raihan kembali menggigau, Aira mendekat dan menyapu wajah suaminya. Raihan tersedu dalam tidurnya."Mas, ini aku. Mas bangun, dong."Aira menggoyang tubuh Raihan dengan kuat. Lelaki itu akhirnya membuka mata. Matanya merah dan sembab."Astaghfirullah," Raihan beristighfar sembari memeluk Aira. Wanita itu sampai kesulitan bernapas."Mas Raihan kenapa?""Mimpi buruk, Sayang. Ya Allah. Aira, Mas takut sekali.""Ya ampun, Mas. Mimpi buruk? Pasti Mas Raihan tadi tidur ngga baca doa,
Setelah hampir satu bulan menjalani masa pemulihan, akhirnya Aira telah benar-benar pulih. Kabar menggembirakan pun datang dari pasangan suami istri tersebut, Aira hamil. Perhatian dari Raihan semakin bertubi-tubi untuk sang istri. Berbagai macam bentuk aturan muncul setiap hari dari sang suami. "Makan ngga boleh telat, Sayang.""Iya, Mas. Aku juga baru siap makan, lho.""Itu kan cuma makan roti sama buah-buahan. Masih banyak yang harus dikonsumsi, Sayang. Ada sayuran, susu, dan lain-lain. Minta saja sama Mbak Ayu. Awas, ya, kalau ngga mau! ? Mas sudah pasang CCTV di seluruh sudut ruangan.""Iya iya. Kalau aku gendut jangan lari, ya.""Wah! Asik tuh gendut. Empuk buat dipeluk," ujar Raihan terbahak. "Guling kali, Mas!" Aira mendelikkan matanya. Berbagai keperluan sang istri dipenuhi oleh Raihan. Beruntungnya Aira tidak mengalami mual dan muntah. Dia sehat dan nafsu makannya pun meningkat.Bukan hanya Raihan dan Aira yang sedang menikmati kebahagiaannya. Begitu juga dengan para oran
Mas Raihan akhir-akhir ini sangat cerewet. Biasanya aku yang selalu cerewet, akan tetapi setelah aku masuk rumah sakit karena kecelakaan kereta api, aku merasa jika Mas Raihan berubah. Ditambah sekarang aku sedang hamil, perhatian dari lelaki itu bertubi-tubi kudapatkan. Kaget? Tentu saja! Biasanya dia hanya bersikap dingin seperti beruang kutub. Jika. Diajak bicara baru bicara, itu pun sekadarnya saja. Seakan-akan jika dia mengeluarkan banyak kata-kata maka akan jatuhlah harga dirinya. Namun, sekarang semuanya berbalik 180 derajat. "Aira, sudah makan belum? Ayo, buruan, sini Mas suapin!""Iya, bentar lagi, Mas. Aku masih kenyang." Dua jam lalu aku baru selesai makan siang. Ditambah roti juga buah yang tak henti masuk mulut."Ngga bisa, Sayang. Nanti kamu sama calon bayi kita lapar.""Ngga gitu juga kali, Mas. Aku sudah kenyang, beneran."Aku menolak ajakan lelaki tersebut secara halus. Bukannya mendengarkanku, Mas Raihan justru menggendongku dan mendudukkan pelan di atas sofa. "
"Menuruti emosi dan keras kepala hanya akan merugikan, dan penyesalan adalah hadiah yang tepat untuk diterima."***Aku duduk termenung di depan gundukan tanah Merah yang masih basah. Aroma khas dari tanah yang disiram rintik hujan menyapa lembut di indra penciuman. Para pelayat yang lain sudah meninggalkan tanah pekuburan. Hanya aku, Abah, Mak, Ibu serta beberapa tetangga dekat yang masih bertahan.Kami masih khusyu dengan doa masing-masing. Terutama aku, banyak hal yang masih kupertanyakan pada Tuhan, juga banyak hal yang akan kupinta pada-Nya. "Raihan, sudah. Kita pulang. Sebentar lagi hujan lebat," ujar Abah. Sebelah tangannya berada di pundakku. Aku bergeming. Hanya menggeleng saja tanpa menoleh ke arah Abah. "Besok dilanjut lagi, Nak Raihan. Kamu juga harus istirahat. Semalam kamu belum tidur." Kudengar suara Mak ikut menimpali. "Aku masih ingin ngobrol dengan Aira, Mak, Bah. Aku masih mau di sini.""Ya sudah. Kami pergi terlebih dahulu, ya. Ibu tunggu di rumah mertuamu."Aku
"Aira....!"Aku berteriak nyalang. Bungkusan rujak di dalam kantong lepas di tangan. Mak dan Abah berbalik badan. Tangis keduanya semakin menjadi saat melihatku masih berdiri di belakang mereka.Aku menubruk tubuh Aira dan segera mengangkatnya sambil berlari ke luar rumah. Darah segar masih saja tampak mengalir menyentuh telapak kaki wanita yang sudah sangat pucat ini. Panik dan bingung membuatku tak bisa berpikir jernih. Di belakangku Mak dan Abah masih menangis sambil ikut berlari mengikutiku. "Aira. Bangun, Sayang. Ini Mas datang. Mas bawa rujak pesananmu, Sayang."Aku menunggu Abah dan Mak masuk di bangku belakang. Kemudian aku meletakkan Aira perlahan di atas pangkuan mereka. "Raihan. Cepat, Nak. Aira sudah sangat lemah."Tanganku gemetar saat memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Tubuhku pun telah basah oleh keringat dingin. "Bah, ajak Aira bicara. Buat dia selalu sadar."Entah ilmu dari mana itu, yang ada di pikiranku adalah Aira harus sadar. Jangan sampai dia tertidur selama
POV RAIHAN***Setelah menghabiskan waktu satu jam menelepon Aira setelah subuh tadi, pagi ini aku berkemas dengan semangat. Tak sabar ingin menyelesaikan pekerjaan dan segera menjemput Aira di Surabaya. Aku ingin memeluknya dan bersimpuh di kaki wanita itu. Kesalahanku padanya sudah menggunung. Kuhadapi meja makan seorang diri. Biasanya selalu ada Aira menemani. Kali ini aku sarapan tanpa ditemani tatapan penuh cinta istriku. Aku sungguh menyesal telah menyia-nyiakannya beberapa hari ini. Mendiamkan Aira tanpa mempedulikannya sama sekali. Ponsel bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dan segera kubuka. Aku berharap itu adalah Aira. Benar saja, sebuah pesan masuk dari istriku. [Apa Mas masih menyimpan rasa untuk Safia?]Apakah dia masih belum percaya dengan penjelasanku kemarin? Yang dilihat oleh Aira di dekat lampu lalu lintas itu bukanlah sebuah kesengajaan. Lagi pula Safia telah menjadi istri orang. Dia adalah masa lalu yang sudah kukubur dalam-dalam. Jika pun sekarang aku be
"Pak, para klien sudah berkumpul di restoran, bapak di mana?" tanya Omar di seberang telepon. Aku menancap gas agar tak terlambat. Masih tersisa setengah jam lagi."Iya. 15 menit lagi. Minta mereka untuk menunggu sebentar lagi.""Bu Aira bagaimana?""Mereka sudah pergi. Kami selisih di jalan."Aku baru saja dari kafe yang disebutkan Aira tadi malam. Namun, setiba di sana, menurut karyawan kafe, mereka baru saja keluar dari tempat tersebut. Aku tidak menemukan siapa pun. Bermaksud menelepon Aira, ponselku pun tertinggal di dalam mobil. Begitu berada di dalam mobil, aku malah lupa menghubungi Aira karena panik mengejar waktu agar tak terlambat. Benar saja, ternyata para klien telah menunggu di restoran bersama Omar."Pak, saya boleh minta tolong? Safia di dalam taksi sekarang hendak menemuiku. Menurut Safia, sopir taksi tersebut sedang terburu-buru. Anaknya meninggal. Bisa Pak Raihan menunggu Safia sebentar. Posisinya ngga jauh dari posisi bapak sekarang.""Wah, kenapa dia ngga menumpa
Berulang kali Aira menghubungi suaminya, akan tetapi Raihan tidak memberikan respon apa-apa. Aira merasa khawatir, karena sebentar lagi mereka akan tiba di lokasi tempat yang telah ditentukan. Adit juga telah mengirim pesan di IG sejak tadi, lelaki itu memberitahukan pada Aira jika ia telah tiba sejak tadi dan sedang menunggu kedatangan Aira. "Lu yakin, Ai, mau jumpa Adit tanpa suami lu?" tanya Lita. Wanita itu telah melambankan laju mobilnya. Aira tak menjawab. Ia hanya menaikkan bahu pertanda bimbang. "Ngga pa-pa, deh! Kalau suami lu memang ngga bisa datang, kami saja yang akan menghandel semuanya," ucap Sania kemudian. Aira merasa tak mungkin membatalkan pertemuan dengan Adit. Ini adalah kesempatannya untuk berbicara dengan lelaki itu. Padahal sudah sejak tadi malam Aira memberitahukan pada Raihan, agar lelaki itu bisa meluangkan sedikit waktu untuk pertemuan yang telah direncanakan. Namun, dia malah tak bisa dihubungi. Aira memantapkan diri untuk keluar dan segera menemui Adi
POV AIRA***Mas Raihan meneleponku. Dia marah karena Lita serta Sania menghubunginya. Dua sahabatku itu memang keras kepala. Sudah kukatakan agar jangan menghubungi Mas Raihan, tapi mereka tetap melakukannya. Percuma menelepon Mas Raihan, apa lagi menjelaskan semuanya tanpa bukti yang akurat. Mas Raihan tidak akan percaya karena dia mengira jika aku dan kedua sahabatku pasti bersekongkol. Aku tetap menghubungi Adit dan menetapkan jadwal pertemuan kami besok. Dari cara-cara lelaki membalas pesanku, dia terlihat sangat antusias. [Wow! Akhirnya aku bisa melepaskan rindu bersamamu, Cantik!]Muak aku membaca pesan balasan dari Adit. Kita lihat saja besok apa yang akan terjadi. [Kamu memang jahat, Dit. Tega sekali mau merusak rumah tanggaku.]Aku membalas pesan lelaki itu. [Lho! Aku ngga suka lihat suamimu, Ai!]Terserah juga dia mau bilang apa, aku akan menyelesaikan semuanya besok. Mas Raihan juga telah kuajak untuk ikut serta. Lelah rasanya berlarut-larut dalam masalah ini. Ditambah
POV RAIHAN***Sebenarnya aku tidak tega bersikap terlalu keras pada Aira. Apalagi kondisinya sedang hamil. Melihat dia menangis saja, hatiku sudah ketar-ketir. Namun, entah dari mana saja datangnya, emosi kian tersulut saat foto-foto tak senonoh yang diperlihatkan oleh lelaki keparat itu bermain di pikiranku. Hati siapa yang sanggup menerima jika pasangannya pernah ditiduri oleh orang lain? Kurasa tidak ada yang mau menerima kenyataan itu. Apakah aku harus lebih mempercayai Aira dari pada Adit? Siapa di antara mereka yang berbohong? Aku meraih ponsel dan membuka galeri. Mencoba melihat lagi foto tersebut. Tampak wajah Aira tersenyum semringah, ia terlihat seperti sangat menikmati suasana. Berada di sisi sang lelaki yang sedang memeluknya. Emosiku kembali bergejolak. Bagaimana tidak, Aku merasa ditipu mentah-mentah. Aira telah membohongiku sejak awal. Dia tidak jujur dan terkesan menutup-nutupi kejadian yang telah dialami. Apakah ini adalah salah satu trik agar rencana pernikahan ta
"Lu tau ngga kalau gue dan istri lu saling mencintai?"Aku kaget saat mendengar penjelasan Adit. Lelaki yang tadi malam telah membuat Aira menangis. Kami tidak bertemu di kafe seperti yang kusampaikan pada Aira. Ya, aku membohonginya agar ia tidak khawatir. Aku mengajak lelaki itu bertemu di tempat kerjaku. Di ruanganku. Awalnya kukira ia akan menolak, ternyata dia datang dan menunjukkan keberaniannya. "Tapi istri gue ngga ngomong gitu, Bro! Ngarang lu!" Aku tidak setuju dengan ucapannya. Aira adalah orang yang jujur, aku yakin itu. "Wih! Cinta banget lu sama Aira? Sama! Gue apalagi!"Hatiku terbakar dibuatnya. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu di depanku, suami Aira. "Dia cantik, bukan?"Seringain Adit membuat tanganku mengepal. Dia seperti sengaja mempermainkan emosiku, tapi tetap kutahan dan mencoba tersenyum. Aku menebak jika lelaki yang duduk di depanku ini sedang berusaha membuatku cemburu. "Tentu, kalau tidak mana mungkin gue nikahin!""Sayangnya dia sudah tutup wajahn
POV AIRA***Sakit sekali rasanya ketika Mas Raihan tidak mempercayaiku sama sekali. Padahal aku tidak berbohong. Justru dialah yang sedang dibohongi oleh Adit, lelaki pecundang yang tak henti-hentinya mengangguku. Tidak ada cara lain untuk membuktikan kebenaran. Menghubungi Lita dan Sania adalah satu-satunya jalan keluar. Sudah beberapa bulan ini aku memang belum pernah menghubungi mereka berdua. Mereka harus segera tahu kejadian yang menimpaku. Membantuku mencari kebenaran informasi mengenao foto yang dipermasalahkan oleh Mas Raihan. Foto seperti apa yang telah diperlihatkan oleh Adit sehingga membuat Mas Raihan sangat murka? Pagi ini badanku terasa berat untuk diajak bangun cepat. Aku memilih kembali tiduran setelah mengerjakan salat subuh. Sedangkan Mas Raihan sudah bersiap-siap hendak pergi bekerja."Mas, aku ngga temenin sarapan, ya. Rasanya malas banget bangun."Tak ada jawaban.Hmm! Masih pagi, tapi suasana sudah panas. Mas Raihan masih tak menggubrisku, akan tetapi aku tak m