POV Nawang
Namun, aku belum bisa mencari tau lebih jauh lagi. Karena Tama belum bisa ditinggal, pastinya Mama takkan mengizinkan aku keluar rumah tanpa membawa Tama.
Ah, sudahlah. Nanti saja aku pikirkan caranya. Aku pun sudah mulai mengantuk lagi. Baru mataku akan terpejam, azan Subuh terdengar berkumandang. Suaranya tak begitu terdengar jelas, karena Mesjid agak jauh dari rumah ini.
Gegas aku membersihkan diri, dan menunaikan sholat Subuh. Aku berharap Rabbku mengampuni segala khilaf, dan membuka hati suamiku. Aku tetap mendoakannya, bagaimanapun dia tetap suamiku? Aku melawannya, untuk membuatnya sadar. Jangan sampai dia terus terlena, tanpa menyadari bahwa dia telah berbuat dzalim padaku.
Matah
POV Nawang"Ma, Nawang mau ambil makan. Mama juga mau diambilin?" tawarku. Aku dan Mama, biasa makan siang di teras belakang ini. Disini sejuk, ditambah banyak bunga-bunga yang Mama tanam. Menambah selera makan menjadi dua kali lipat."Bawain Mama biskuit aja, Mama belom laper," jawab Mama.Aku kembali membawa sepiring nasi lengkap dengan lauknya. Juga satu toples biskuit buat Mama.Kucek lagi gawaiku. Belom ada balasan juga. Mungkin, mbak Asih ketiduran atau sedang repot. Kulanjutkan makan siangku dengan lahap. Sambil mulai berpikir, bagaimana mencari cara untuk mengetahui tentang perubahan sikap mas Bayu. Apakah … mas Bayu mendua hati? Tidak tidak, kutepiskan pikiran itu dengan gelengan kepala."Ken
POV AsihNamaku Asih, kakak Nawang. Aku sama seperti Nawang, menikah karena dijodohkan. Aku menerima saja, waktu Ibu menjodohkanku dengan mas Pur, karena aku memang tidak sedang menjalin hubungan dengan seorang pria. Beda dengan Nawang, dia sudah cukup lama pacaran dengan Dimas. Aku pun sudah mengenal Dimas, meski hanya melalui jejaring sosial. Nawang sering bercerita tentangnya. Terkadang kalau aku dan Nawang sedang video call, Dimas ikut nimbrung kalau sedang bersama Nawang.Kembali lagi ke ceritaku. Mas Pur, suamiku merupakan adik dari teman Ibu. Dia lebih tua tujuh tahun dariku, tapi tak masalah buatku. Rumah tangga kami pun baik-baik saja selama enam tahun. Hingga setahun lalu, aku dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita di rumahku.Dia membawa seorang an
POV AsihAku tak tau kepada siapa akan mengadu. Iparku tak perduli tentang perasaanku. Bagi mereka, selama mas Pur tak mengabaikan nafkah lahirku juga Fatin, itu semua tak jadi masalah. Begitu juga dengan Kakak iparku yang juga teman Ibu.Awalnya dia berang dengan perlakuan mas Pur. Tapi begitu mas Pur, membagi sebagian harta warisan bagiannya untuk Kakak ipar. Dia langsung bungkam. Mas Pur sebagai anak laki-laki semata wayang, juga paling bungsu mendapat warisan lebih banyak dari kedua kakak iparku yang perempuan.Tadi siang, aku mencoba menghubungi Nawang, ingin berbagi cerita dengannya. Siapa tau Nawang bisa memberi solusi atas masalahku. Sepertinya rumah tangga Nawang dengan Bayu, baik-baik saja.Tapi, disaa
POV Nawang"Buat apa kamu uang sebanyak itu?!" tanya Papa dengan ketus ke mas Bayu. Aku melihat mas Bayu hanya terdiam.Aku belum mengerti kenapa Papa marah dengan mas Bayu. Uang … uang apa yang dimaksud Papa? Mama pun hanya diam, memandang mas Bayu dengan iba. Mungkin Mama merasa kasihan dan sedih, anak semata wayangnya dimarahi. Baru kali ini, aku melihat Papa marah dengan mas Bayu."Kalau memang kamu perlu uang, kenapa tak bilang?! Kalau memang jelas kemana uang itu kau gunakan! Papa pasti kasih!" tegas Papa, raut wajahnya terlihat sangat kesal."Bayu, pakai buat investasi Pa," jawab mas Bayu tanpa berani menatap Papa."Investasi? Inve
"Enak saja kau tidur!" kata mas Bayu, dengan gigi gemeletuk, matanya melotot tajam."Apa-apaan kamu Mas! Lepas! Apa salahku?!" Aku berusaha melepaskan tangannya dari rambutku. Dia malah menarik lebih kuat."Salah?! Kau tanya salahmu apa, HAH!" sengitnya."Kau tau! Semua ini salahmu! Kau yang membuatku jadi begini!" Aku sangat tak mengerti maksud perkataannya."Lepas Mas! Sakit." Aku tetap berusaha melepaskan tangannya yang mencengkeram rambutku."Sakit HAH!"PLAAKKDia menamparku.
"Fatin, ayo dong Nak. Nanti terlambat loh sekolahnya." Aku berusaha membujuk Fatin, yang tak mau pergi sekolah. Dia masih sedih karena kejadian semalam."Fatin gak mau sekolah!" Dia berbicara ketus dengan muka yang cemberut."Fatin kok gitu, emang Fatin mau jadi anak bodoh kalau gak sekolah." Aku tetap berusaha membujuknya.Padahal aku berencana akan mencari kerja, saat Fatin di sekolah nanti. Kalau Fatin tak sekolah, apa alasanku keluar rumah? Pasti Ira, akan memberiku banyak tugas rumah.Ira, nama istri pertama mas Pur. Entahlah, aku pun tak mengerti, secara hukum, jelas aku istri pertama mas Pur. Berarti dia maduku. Tapi mas Pur terlebih dahulu menikah secara siri dengannya. Berarti aku lah yang
"Baik budi ya sayang. Jangan keluar dari sekolah, kalau Bunda belum jemput," pesanku ke Fatin, dia mengangguk tanda mengerti."Umi, kalau saya agak terlambat jemput Fatin. Tolong, Fatin jangan boleh keluar dulu ya." Aku pun berpesan ke Umi Endah, gurunya Fatin.Aku sengaja berpesan seperti itu, karena takut agak lama menjemput Fatin kembali. Setelah agak berbasa-basi sebentar dengan umi Endah, aku segera pergi membawa asa. Mudah-mudahan aku bisa mendapat pekerjaan yang bisa dikerjakan paruh waktu.Aku agak bingung, kemana tujuanku. Bismillah aku lajukan motorku, ke perusahaan terdekat dengan sekolah Fatin. Berbekal surat lamaran dan predikat sarjana akuntansi, aku beranikan diri mengajukan lamaran.
Hari ini aku harus tau, aku masih memikirkan kemungkinan, status mas Dimas ada kaitan dengan perubahan mas Bayu.Tapi bagaimana caraku menyelidikinya?Lamat-lamat terdengar azan Subuh berkumandang, aku segera menunaikan kewajibanku. Selepas sholat, aku tak mampu lagi menahan kantuk. Tidur sebentar, berharap bisa mendapat energi baru untuk menghadapi hari ini.★★★KARTIKA DEKA★★★Aku terbangun di kala mendengar celotehan Tama. Mataku masih terasa berat, semalaman tak tidur. Mas Bayu sudah tak ada di sebelahku. Aku bangkit, kulihat Tama bermain di dalam boxnya.Box tidur Tama lumayan tinggi, jadi cukup aman saat dia sedang sendirian. Dia belum mampu memanjatnya. Tama tersenyum di kala melihatku. Syukurlah, k