Astri masih menunduk. Berbohong bainya seolah lebih sulit dari apapun. Dia tak sanggup menatap Ajeng, Ibra, terlebih Dilan.“Maafkan saya, Bu. Bukannya saya tak ingin mengabari. Saya hanya takut Ibu cemas. Sedangkan saya belum menemukannya,” ucap Dilan kembali.Astri memang menyayangi Dilan dari duluh, namun setelah kejadian yang menimpa putrinya dan Dilan tak mengabarinya, membuatnya merasa kecewa. Hanya saja alasan Dilan yang tak mengabarinya, membuat Astri melemah. Ternyata Dini salah jika Dilan tak mencarinya, bathinnya kemudian.Satu hal yang menggayut di benaknya, apa betul Dilan memiliki tunangan seperti yang diceritakan Dini dari kata-kata mamanya yang membuat Dini mundur seketika tanpa mempertimbangkan perasaan Dilan yang dia rasakan Dilan amat menyayang dirinya.. Inginnnya Astri bertanya tentang itu. Namun itu berarti dia akan membongkar kalau Dini telah ke rumahnya. Dan dia telah berjanji untuk tidak mengatakan kedatangan Dini ke siapapun."Sekali lagi saya minta maaf, dan
"Itu tidak benar, Fahmi. Mama memang menginginkan aku dengan seorang gadis anak koleganya. Tapi aku tidak pernah memikirkannya. Dia hanya gadis sebatas kemauan Mama," ucap Dilan dengan menatap Astri, "maafkan saya, Bu. Dilema besar bagi saya untuk tidak menghormati Mama yang tidak menyukai Dini. Sementara saya amat mencintai Dini dan tidak akan pernah meninggalkannya. Maafkan Mama saya. Saya berjanji melindungi Dini dari Mama. Bahkan untuk itu kami sudah tinggal di rumah Profesor, jauh dari Mama.""Aku percaya kamu, Dilan. Kita bersahabat sudah begitu dekat. Aku mengenalmu dalam segalanya.""Berarti benar Dini telah kemari? Bagaimana keadaannya, Bu?""Dia baik-baik saja, Le." Astri mengusap airmata yang sudah membasahi pipi tuanya. "Seharusnya kami tak mengatakan ini kepadamu. Dini sepertinya ingin menjahuimu. Bukan karena apa-apa, tapi dia memikirkan keselamatanmu. Barata masih mengejarnya. Saat dia mau pulang kemari setelah diusir ibumu, dia bahkan akan dibunuh kembali oleh orang su
"Ini makananmu, Mel. Kenapa kamu tak mau aku ajak makan?" tanya Haidar dengan membawakan bingkisan makanan untuk Dini yang dia panggil dengan Mela.Dini menegakkan punggungnya yang terasa kaku. "Lagi males, Kak," jawab Dini sekenanya. Padahal di hatinya timbul ketakutan, dia takut ketemu Dilan lagi. Pertemuannya kapan hari di cafe itu sempat membuat Dini, jantungan. Terlebih dengan rasa aneh yang kini menghinggapinya setelah lama dia tak bertemu dengan Dilan. rasa berdebar yang membuatnya menjadi tak nyaman."Kamu sebenarnya berharap dia ke kehidupanmu, Mel?" tanya Haidar yang sudah di depan meja Dini.Dini yang lagi makan, mendongakkan wajahnya. "Entahlah, Kak," jawabnya singkat, namun cukup membuat hati Haidar jatuh ke lembah yang terdasar. Keraguan itu seolah mengatakan iya. Selama ini Haidar memang tak berani mengungkapkan perasaannya. Dia hanya merasakan getaran itu setelah sekian lama dia tinggal dengan Dini dan setiap hari juga sering bersama Dini. Walau kadang ditepisnya pera
"Duduk sana, yuk!" ajaknya ke Sisil.Sisil tersenyum dan menuruti kata-kata Dilan. Sengaja Dilan mencari tempat duduk yang tak jauh dengan jendela agar dia bisa dekat dengan sepasang orang yang duduk di sana. Dilan berusaha melenggang di dekatnya sebelum memutuskan duduk sambil mengucap kata permisi. Pemilik iris coklat itu menatapnya dengan pandangan kikuk di balik cadarnya dan tingkahnya. Sementara sang pemuda menatap Dilan dengan benci."Maaf, Mas, soal yang tadi," kata Dilan. Masih berusaha mencuri pandang ke gadis di meja sebelahnya.Dilan yang duduk begitu dekat dengan Sisil, dan sesekali berbincang dengan hangat, membuat merah padam gadis itu."Kamu ghak apa-apa, Mel?" tanya Haidar melihat kegugupan Dini.Dini hanya menggeleng. Sementara Haidar yang kemudian sudah mengingat siapa pemuda di meja sebelahnya itu, menjadi tak nyaman hatinya. Dia marasa cemburu melihat Dini yang sepertinya terpengaruh dengan kedatangan Dilan."Kamu ghak nyanyi lagi? Suaramu bagus, lho,.. aku suka ka
Dini langsung menatap wanita di depannya tak percaya. Sebagaimana juga Firdaus, Dini juga merasakan kenyamanan dengan tinggal bersama mereka. Dia merasa seperti layaknya di rumahnya yang ada Ibu dan Fahmi. Namun kenyataannya berbeda. mereka bukanlah siapa-siapa Dini."Ummi ghak salah milih Dini sebagai menantu Ummi? Dini sudah pernah menikah, Mi. Dini bukanlah gadis suci lagi yang pantas untuk Haidar. Dini sudah tak suci lagi. Dini sudah,.."Firdaus mengatupkan telunjuknya ke mulut Dini. "Kamu ngomong apa, Sayang? Bagi Ummi kamu masih utuh, tak terjamah. Lagipula kalau memang seperti yang kamu katakan, apa salah jika kamu memulai hidup kembali?""Tapi, Mi.""Kamu justru tidak tau kebenarannya. Bukankah kamu ghak sadar saat menikah?""Tapi begitulah kenyataannya, Mi. Mana mungkin dia tidak menyentuh Dini?" Dini terlihat sedih dengan pandangannya yang menunduk."Bahkan pernikahan Dini bukanlah pernikahan biasa. Sampai sekarang pun, Dini ghak tau status Dini. Bahkan kehidupan Dini saja ha
Firdaus menatap Haidar. "Bicara apa?" tanyanya dengan melihat Haidar seolah aneh."Ya, tentang Mela, dong, Mi. tentang apa lagi?" Haidar duduk di meja tempat umminya masih menyelesaikan makanan ringannya."Memangnya kenapa dengan Mela?" Haidar menarik nafas berat. "Kenapa bicara tentang niat Ummi ke Mela? Haidar jadi serba salah, nih. Tak seharusnya Ummi mengtakan semua itu, biarlah sang waktu yang akan menjawab mau ke mana hubungan Haidar dan Mela, MI. Toh Haidar sudah menganggap Mela seperti adik buat Haidar."Firdaus mendengus, lalu emnyunggingkan senyum tipisnya. "Kamu angan bohongi Ummi, Haidar. Ummi iin orang yang mengandungmu, melahirkanmu, juga merawatmu.""Maksud Ummi?""Ummi tau kamu menyimpan asa kepada Mela. Kamu jangan pungkiri itu dari Ummi.""Tapi asa ini tidak benar, Mi.""Apanya yang salah?""Dia milik orang, Mi.""Itu hanya di atas kertas, Haidar, yang kapan-kapan bisa diganti kata-katanya.""Tidak Mi, itu sama artinya kita tak baik pada Mela.""Ghak apa. Mudah-muda
Sekelompok wartawan segera datang menyerbu setelah melihat sedan mewah yang telah mereka kenal datang. Seorang pria bertubuh tambun berdasi dan memakai jas dongker keluar, lalu disusul dengan perempuan tinggi cantik berkebaya dengan warna senada dipadu dengan kain tenun bahan berkualitas."Selamat, Pak, Bu. Akhirnya putra Anda wisuda juga." Seorang wartawan memulai percakapan."Terimakasih, semua itu berkat kalian juga," ucap perempuan cantik itudngan memamerkan senyum cantiknya."Bagaimana perasaan Bapak yang selama ini ini adalah harapan Anda?""Tentu saja senang. Terimakasih atas ucapan slamatnya. Semoga ilmu yang dia dapat bisa bermanfaat untuk orang-orang sekitar, agama juga bangsanya." Pria itu tersenyum bangga. Bagaimana tidak, apa yang diharapkan selama ini telah terkabul, Danu hari ini telah wisuda."Saya dengar juga, usaha yang baru dibangunnya maju pesat, Pak. Beliau sudah menangani proyek besar." Memang Danu bisa dikatakan bergerak cepat dengan proyek yang dia dapat jauh s
"Sebentar, Kak. Suara itu aku sepertimengenalnya." Dini menajamkan telinganya."Ada apa?" tanya Haidar dengan penuh perhatian."Aku seperti mendengar suara orang yang aku kenal di sound itu." Gadis itu menyimak dengan baik apa yang didengarnya."Di sana sepertinya ada wisuda." Haidasr menimpali dengan mengatrahkan pandangan Dini melihat ke aula di depan kampus daerah itu."Iya, Kak. Dan orang yang pidato itu, adalah Barata.""Orangtunya Danu?" tanya Danu dnegan terkejut.Kedua alisnya sampai bertaut."Heem." Dini masih memperhatikan pemandangan di depan meeka. Lalu kembali mendengar apa yang pria itu unfkapkan di pidatonya. "Sepertinya dia menyindirmu di pidatonya."Dini mengeryitkan dahinya. Bagaimanapun dia paham pengaruh Barata di lingkungannya, hinggah dari zaman dia masih ingusan sampai sekarang, orang itu tak pernah turun dari kedudukannya sebagai anggota legislatif. Banyak orang yang selalu mendukung dirinya dan mengagungkan namanya. Orang yang dikenal bijak dalam bertutur dan s
"Selamat siang, adik-adik!" Dua orang lelaki menghadang sekelompok pemuda dan pemudi yang sedang menunggu bis yang lewat."Selamat siang, Pak! Ada yang bisa kami bantu?" tanya Mashad, ketua kelompok pecinta alam yang terdiri dari beberapa Mahasiswa dan mahasiswi PTN itu."Aku bisa minta sesuatuke kalian? tanya salah seorang diantara mereka yang lebih mendekat."Apa itu, Pak?""Sebelumnya perkenalkan, saya dari pihak terdakwa yang besuk lusa kalian akan menjadi saksinya."Sekelompok pemuda pemudi itu bersitatap. Mereka baru menyadari perkataan Pramono dan pesannya tadi agar mereka berhati-hati. Pramono bahkan menawarkan sebuah tempat tinggal untuk mereka tempati bersama, namun mereka menolak karena kesibukan mereka yang tak memungkinkan untuk diam di satu tempat dengan bersama."Lalu tujuan Bapak mencegat kami, mau apa?""Kami menawarkan sesuatu agar kalian bisa berbuat banyak hal dengan uang yang akan kami beri.""Lalu yang bapak inginkan apa?""Begini," Lelaki itu kemudian mengungka
Dini yang menghampiri Danu, segera meneluarkan unek-uneknya. "Aku memaafkanmu, aku pikir kamu udah bener-bener insaf, Kak. Kenyataannya, kamu hanya ingin menjebakku."Danu yang tak menyukai Dilan di samping Dini, sebenar-sebentar menatap pegangan tangan mereka. "Aku tidak menjebakmu, Din. Mulanya aku justru yang ingin mengakuinya dengan ihlas. Namun melihat sikapmu yang sdelah tak perduli dengan perasaanku, aku tak bisa membuatmu melenggang begitu saja, sementara aku yang akan merasakan dinginnya jeruji besi.""Memang itu kesalahanmu, kenapa duluh kamu ghak nyadar kalau itu resikonya?""Aku ghak sengaja, Din. Kamu tau itu. itu hanya karena didorng rasa inginnnya aku memilikimu.""Aku sudah bilang mengenai hal itu kan? Aku tak bisa bersamamu.""Itu bukan alasan, Din. kalau kita bersama, rasa itu akan tumbuh, karena aku tulus mencintaimu."Dini menggelengkan kepalanya."Belum terlambat, Din. Tinggalkan lelaki itu. Aku akan mengakui kesalahanku. Aku mungkin hanya setahun dua tahun di pen
Sekelompok pemuda dan pemudi datang. Model mereka yang laki-laki kebanyakan rambutnya panjang, membuat banyak mata memperhatikan. Terlebih cara berpakaian mereka yang nyentrik."Siapa kalian? Semua ada prosedurnya. Ikuti duluh prosedurnya. Dan sidang hari ini ditunda sampai di sini duluh. Dilanjutkan besuk kembali." Pak Hakim Ketua menginstruksikan."Kami hanyalah sekelompok orang yang ingin menegakkan keadilan Pak.""Baiklah, saya hargai usaha kalian. Besuk, kalian bisa kembali ke sini lagi. Sementara itu kalian harus berhati-hati untuk menjaga diri."Seorang gadis mendekat ke Hakim Ketua. "Terimakasih banyak, Pak."Gemuruh pengunjung sidang merasa kecewa karena sidang harus dilanjutkan besuk. Mereka penasaran dengan sekelompok pemuda pemudi yang datang ingin menjadi saksi.Sementara Pramono dan pengacaranya mendekati sekelompok pemuda dan pemudi yang datang hendak menjadi saksi. Kanaya yang selalu di dekat papanya ikut mendekat. Perbincangan pun terjadi diantara mereka."Kalian sia
Setelah waktu rehat, kembali Dini maju ke depan untuk menghadapi pertanyaan Pembela Danu."Saudari Dini,.. tolong dijawab iya dan tidak saja." Pembela mendekati Dini. Menatapnya dengan tatapan tajam."Apa Anda mengenal saudara Danu?" Dia memulai pertanyaannya."Iya.""Anda mengidolainya kan seperti yang tadi Anda katakan?""Maaf itu duluh. Setelah,..""Dijawab dengan iya atau tidak," bentak Pembela.Dilan yang melihatnya mengepalkan tangannya. Sesak dirasakan pria tinggi itu, demikian juga dengan Astri dan lainnya dari keluarga Dini, selain Giani dan Ajeng."Tidak, sekarang.""Anda plin plan. Tadi mengatakan sendiri mengidolai, sekarang tidak." Pembela itu mencibir. Seringai licik terpancar dari wajahnya."Pertanyaan Anda yang tak bisa hanya dijawab iya dan tidak," bantah Dini dengan hati yang panas."Apakah Anda tau Danu mencintai Anda?""Iya.""Bahkan sangat mencintai Anda?"Dini mendongak dengan sekilas menatap Danu yang juga menatapnya. "Iya!" Dini mulai jengkel dengan menjawab se
Di meja makan sederhana itu, suasana tampak tegang meski suara piring dan sendok beradu sesekali mengisi kekosongan. Astri, seorang ibu yang selalu tahu gelagat anaknya, memandang Dini dengan cemas. Dini hanya memutar sendok di atas nasi tanpa benar-benar memakannya. Wajahnya pucat, jelas dia sedang menghadapi beban berat."Makanlah, Dhuk," ujar Astri lembut, mencoba membangkitkan selera makan Dini. Suaranya penuh kasih, seperti ingin menyelimuti hati putrinya yang rapuh.Dini hanya tersenyum tipis, tetapi matanya tetap tertunduk. Sesaat kemudian, Dilan mendekat, membawa ketenangan yang Dini butuhkan. Wajahnya tenang, gerak-geriknya tegas, tetapi kelembutan terlihat dari caranya memperhatikan Dini."Dek, ayo makan." Dilan mengambil sendok, menyendokkan nasi ke piring Dini, lalu menyuapinya. Tatapan matanya penuh cinta, namun kini dibalut kekhawatiran. Dini tidak menolak, tetapi air matanya mulai menetes tanpa bisa ditahan.Melihat itu, Dilan menghentikan gerakannya. Dengan hati-hati,
Aziel...Namanya masih terngiang di kepalaku, berputar seperti gema dalam ruangan kosong. Semua terjadi begitu cepat. Suaranya yang menyebut Allah menjadi kalimat terakhir yang kudengar darinya. Seakan dunia berhenti bersuara ketika tubuhnya terkulai. Perawat yang berdiri di sisinya hanya memandangiku dengan sorot mata penuh iba, lalu mengucapkan kalimat itu:"Maaf, Mbak, dia sudah pergi selamanya."Aku tidak bisa merespons. Tubuhku kaku, seperti terikat oleh ribuan tali yang tak terlihat. Seorang mbak di kemah itu yang menemani sejak tadi kini merangkulku, tubuhku gemetar di pelukannya. "Yang sabar, ya, Dik. Dia pasti bahagia di sana. Tolong ikhlaskan."Ikhlaskan? Kata itu seperti pisau yang menusuk pelan, tapi berulang-ulang. Aku mencoba membuka mulut, memanggil namanya, Aziel. Kata itu keluar lirih, disertai air mata yang sudah tak bisa kubendung."Jangan pergi... Kita pasti akan menikah. Kita akan sekolah bersama..." ucapku di antara isak tangis. Tapi kalimatku menggantung. Dunia
Dini mengusap airmata yang tiba-tiba saja mengalir. Ingatan dia pada Aziel membuatnya menangis. Salahkah aku jika aku masih menangisinya, sementara ada suamiku yang begitu menyayangiku? Bathin Dini dengan kembali menitikkan airmata saat dia meras tak adil pada Dilan karena hatinya masih terbagi."Tolong diteruskan," perintah Pak Hakim saat melihat Dini menunduk.Aku dan Aziel menatap ke arah datangnya suara yang ternyata ada di belakang kami. Aziel terperanjak dengan tangan mengepal. Kata-kata tak senonoh itu bahkan tak pantas untuk didengar seekor jangkrik yang kebetulan lewat."Danu?" ucapku spontan manakala seseorang yang di belakang kedua orang itu, menampakkan wajahnya."Kamu pikir kamu bisa dimiliki orang lain, sebelum aku mencicipimu?" ucapnya dengan wajah merah padam. Aku bahkan seolah tak mengenalinya lagi. Sosok yang duluh amat kuhormati bahkan kuidolai, kini bisa mengatakan semua itu."Jaga ucapanmu!" bentak Aziel."Kamu telah menolakku, Dini. Aku datang dengan baik-baik me
"Ibu sehat?" tanya Dilan. Lalu mencium punggung tangan wanita di depannya."Sehat, Nak. Lihat, nih," ucap Astri tersenyum."Ibu sudah tidak sabar pingin ketemu Dini, Dilan, sampai pas aku telpon kamu semalam, Ibu pingin ngomong sama Dini."Kapan Mas telpon?" tanya Dini pada Fahmi."Tadi malam," jawab Fahmi. yang segera membuat mata Dini membelalak menatap Dilan yang hanya cengingisan di depannya."Jadi Mas Fahmi yang telpon, Mas? Yang kamu sembunyikan itu?""He,he, he,.. kejutan, Dek.""Ih, bisa-bisanya ya, kamu,.." Dini sudah menimpuk Dilan dengan tas kecil yang dibawanya."Dini,..apa-apaan sih kamu, sama suami kamu ghak sopan begitu?" tegur Astri."Ya, begitu itu, Bu, anak Ibu. Ghak sopan sama suami."Dini makin menggertakkan giginya. Dilan hanya ngakak tertawa."Ibu,..!" Dini segera memeluk Astri. "Aku kangen sekal sama Ibu,""Ibu juga, Nak. Kamu baik-baik saja, kan?"Dini hampir saja bercerita tentang kejadian semalam, tapi Dilan memegang tangannya, "Kami baik-baik saja, Bu. Aku
Pria itu mengulurkan air mineral untuk Dini dan Dilan. "Mas, nggak kenapa-napa?" suara beratnya terdengar.Dilan menoleh dan tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Pak. Saya cuma kaget aja.""Maaf, Mas. Saya tadi telat datang karena ada keperluan mendadak," ujar pria itu.Dini memandang pria itu dengan tatapan bingung. "Mas, ini siapa?"Dilan membantu Dini bangkit, kemudian beralih menatap pria tersebut. "Dia? suruan Papa, Din.""Suruan Papa?" Dini mengerutkan dahi, bingung dengan istilah yang baru saja keluar dari mulut suaminya.Dilan tertawa kecil, mencoba menenangkan istrinya. "Maksudnya dia ini yang jaga kita, Din. Nggak usah khawatir. Sekarang kita masuk ke dalam aja, ya."Dini masih ingin bertanya lebih banyak, tapi melihat tatapan serius Dilan, ia memilih untuk menurut. Mereka berjalan menuju kamar resort dengan pria tadi mengikuti di belakang, memastikan semuanya aman."Terimakasih, Pak. Bapak bisa pergi sekarang. Insyaallah ghak ada apa-apa."Setelah masuk ke kamar, Dilan mengun