" Untuk apa kamu ke sana, Din? Nanti malah bikin orang yang mengejarmu itu menemukanmu lagi." Astri merasa keberatan."Saya merasa bersalah belum bisa menjadi pembelanya, Bu. Tolonglah."Astri masih ragu."Dia butuh keadilan, Bu. Dia butuh saya agar tenang di sana." Nampak suara Dini bergetar. Matanya mengaca.Fahmi yang berdiri menepuk pundak ibunya pelan."Baiklah, Dhuk, kalau itu bisa membuatmu sedikit tenang," suara wanita itu kemudian berbisik pelan, "Aku hanya ingin kamu menyadari, Aziel tidak ada lagi. Sedangkan kamu memiliki Dilan, Dhuk. Bagaimanapun juga kamu harus menyadari itu."Sekilas kilatan aneh terpancar dari mata Dini. "Tapi, Bu,.. dia telah mengambil keuntungan dari aku yang tidak sadar akan diriku.""Dini, Dilan bukanlah orang yang seperti itu. Dia sahabat Mas sejak duluh. Dan Mas bukannya membela dia, tapi begitulah Dilan, dia orang yang baik, Din." Sejenak Fahmi menatap pemuda itu dengan tak enak hati."Tapi, Mas,..""Kalau kamu masih ragu padanya, baiklah, Dhuk.
Dini yang pura-pura berdo'a di makam di depannya tanpa meihat makam siapa, merasakan hal yang aneh. Ada rasa seperti saat kapan hari saat dia bertabrakan dengan Dilan di cafenya Erka. Rasa yang selama dia bersama Dilan itu tak pernah ada selain perasaan benci melihat wajahnya, apalagi saat dia tertawa ngakak."Permisi, Mas, Mbak,!" ujar Ajeng saat mereka harus melewati jalan di belakang Dini.Debar-debar yang terasa membuat Dini berusaha melihat wajah Dilan yang kebetulan tak melihatnya. Dilan saat ini memang tidak melihat Dini, namun saat dia datang tadi, masuk ke pemakaman keluarga pesantren, dia sudah melihat gadis yang bercadar yang tengah menundukkan wajahnya. Rasa yang aneh yang melingkupi hatinya, membuat dia berusaha menelisik wanita itu, namun karena dia terus menunduk, dipikir Dilan karena khusu' berdo'a, dia tak lagi melihatnya."Kenapa Bian dikubur di pemakaman keluarga Pak Kyai, Mi?" tanya Dilan."Sebagai pengormatan, kata pak Kyai." Yang menjawab malah Ibra."Maafkan kam
Astri masih menunduk. Berbohong bainya seolah lebih sulit dari apapun. Dia tak sanggup menatap Ajeng, Ibra, terlebih Dilan.“Maafkan saya, Bu. Bukannya saya tak ingin mengabari. Saya hanya takut Ibu cemas. Sedangkan saya belum menemukannya,” ucap Dilan kembali.Astri memang menyayangi Dilan dari duluh, namun setelah kejadian yang menimpa putrinya dan Dilan tak mengabarinya, membuatnya merasa kecewa. Hanya saja alasan Dilan yang tak mengabarinya, membuat Astri melemah. Ternyata Dini salah jika Dilan tak mencarinya, bathinnya kemudian.Satu hal yang menggayut di benaknya, apa betul Dilan memiliki tunangan seperti yang diceritakan Dini dari kata-kata mamanya yang membuat Dini mundur seketika tanpa mempertimbangkan perasaan Dilan yang dia rasakan Dilan amat menyayang dirinya.. Inginnnya Astri bertanya tentang itu. Namun itu berarti dia akan membongkar kalau Dini telah ke rumahnya. Dan dia telah berjanji untuk tidak mengatakan kedatangan Dini ke siapapun."Sekali lagi saya minta maaf, dan
"Itu tidak benar, Fahmi. Mama memang menginginkan aku dengan seorang gadis anak koleganya. Tapi aku tidak pernah memikirkannya. Dia hanya gadis sebatas kemauan Mama," ucap Dilan dengan menatap Astri, "maafkan saya, Bu. Dilema besar bagi saya untuk tidak menghormati Mama yang tidak menyukai Dini. Sementara saya amat mencintai Dini dan tidak akan pernah meninggalkannya. Maafkan Mama saya. Saya berjanji melindungi Dini dari Mama. Bahkan untuk itu kami sudah tinggal di rumah Profesor, jauh dari Mama.""Aku percaya kamu, Dilan. Kita bersahabat sudah begitu dekat. Aku mengenalmu dalam segalanya.""Berarti benar Dini telah kemari? Bagaimana keadaannya, Bu?""Dia baik-baik saja, Le." Astri mengusap airmata yang sudah membasahi pipi tuanya. "Seharusnya kami tak mengatakan ini kepadamu. Dini sepertinya ingin menjahuimu. Bukan karena apa-apa, tapi dia memikirkan keselamatanmu. Barata masih mengejarnya. Saat dia mau pulang kemari setelah diusir ibumu, dia bahkan akan dibunuh kembali oleh orang su
"Ini makananmu, Mel. Kenapa kamu tak mau aku ajak makan?" tanya Haidar dengan membawakan bingkisan makanan untuk Dini yang dia panggil dengan Mela.Dini menegakkan punggungnya yang terasa kaku. "Lagi males, Kak," jawab Dini sekenanya. Padahal di hatinya timbul ketakutan, dia takut ketemu Dilan lagi. Pertemuannya kapan hari di cafe itu sempat membuat Dini, jantungan. Terlebih dengan rasa aneh yang kini menghinggapinya setelah lama dia tak bertemu dengan Dilan. rasa berdebar yang membuatnya menjadi tak nyaman."Kamu sebenarnya berharap dia ke kehidupanmu, Mel?" tanya Haidar yang sudah di depan meja Dini.Dini yang lagi makan, mendongakkan wajahnya. "Entahlah, Kak," jawabnya singkat, namun cukup membuat hati Haidar jatuh ke lembah yang terdasar. Keraguan itu seolah mengatakan iya. Selama ini Haidar memang tak berani mengungkapkan perasaannya. Dia hanya merasakan getaran itu setelah sekian lama dia tinggal dengan Dini dan setiap hari juga sering bersama Dini. Walau kadang ditepisnya pera
"Duduk sana, yuk!" ajaknya ke Sisil.Sisil tersenyum dan menuruti kata-kata Dilan. Sengaja Dilan mencari tempat duduk yang tak jauh dengan jendela agar dia bisa dekat dengan sepasang orang yang duduk di sana. Dilan berusaha melenggang di dekatnya sebelum memutuskan duduk sambil mengucap kata permisi. Pemilik iris coklat itu menatapnya dengan pandangan kikuk di balik cadarnya dan tingkahnya. Sementara sang pemuda menatap Dilan dengan benci."Maaf, Mas, soal yang tadi," kata Dilan. Masih berusaha mencuri pandang ke gadis di meja sebelahnya.Dilan yang duduk begitu dekat dengan Sisil, dan sesekali berbincang dengan hangat, membuat merah padam gadis itu."Kamu ghak apa-apa, Mel?" tanya Haidar melihat kegugupan Dini.Dini hanya menggeleng. Sementara Haidar yang kemudian sudah mengingat siapa pemuda di meja sebelahnya itu, menjadi tak nyaman hatinya. Dia marasa cemburu melihat Dini yang sepertinya terpengaruh dengan kedatangan Dilan."Kamu ghak nyanyi lagi? Suaramu bagus, lho,.. aku suka ka
Dini langsung menatap wanita di depannya tak percaya. Sebagaimana juga Firdaus, Dini juga merasakan kenyamanan dengan tinggal bersama mereka. Dia merasa seperti layaknya di rumahnya yang ada Ibu dan Fahmi. Namun kenyataannya berbeda. mereka bukanlah siapa-siapa Dini."Ummi ghak salah milih Dini sebagai menantu Ummi? Dini sudah pernah menikah, Mi. Dini bukanlah gadis suci lagi yang pantas untuk Haidar. Dini sudah tak suci lagi. Dini sudah,.."Firdaus mengatupkan telunjuknya ke mulut Dini. "Kamu ngomong apa, Sayang? Bagi Ummi kamu masih utuh, tak terjamah. Lagipula kalau memang seperti yang kamu katakan, apa salah jika kamu memulai hidup kembali?""Tapi, Mi.""Kamu justru tidak tau kebenarannya. Bukankah kamu ghak sadar saat menikah?""Tapi begitulah kenyataannya, Mi. Mana mungkin dia tidak menyentuh Dini?" Dini terlihat sedih dengan pandangannya yang menunduk."Bahkan pernikahan Dini bukanlah pernikahan biasa. Sampai sekarang pun, Dini ghak tau status Dini. Bahkan kehidupan Dini saja ha
Firdaus menatap Haidar. "Bicara apa?" tanyanya dengan melihat Haidar seolah aneh."Ya, tentang Mela, dong, Mi. tentang apa lagi?" Haidar duduk di meja tempat umminya masih menyelesaikan makanan ringannya."Memangnya kenapa dengan Mela?" Haidar menarik nafas berat. "Kenapa bicara tentang niat Ummi ke Mela? Haidar jadi serba salah, nih. Tak seharusnya Ummi mengtakan semua itu, biarlah sang waktu yang akan menjawab mau ke mana hubungan Haidar dan Mela, MI. Toh Haidar sudah menganggap Mela seperti adik buat Haidar."Firdaus mendengus, lalu emnyunggingkan senyum tipisnya. "Kamu angan bohongi Ummi, Haidar. Ummi iin orang yang mengandungmu, melahirkanmu, juga merawatmu.""Maksud Ummi?""Ummi tau kamu menyimpan asa kepada Mela. Kamu jangan pungkiri itu dari Ummi.""Tapi asa ini tidak benar, Mi.""Apanya yang salah?""Dia milik orang, Mi.""Itu hanya di atas kertas, Haidar, yang kapan-kapan bisa diganti kata-katanya.""Tidak Mi, itu sama artinya kita tak baik pada Mela.""Ghak apa. Mudah-muda
"Selamat malam, Pak. Maaf mengganggu tidur Anda." Salah satu dari dua orang itu membuka ucapannya. Lalu mengangsurkan sebuah amplop. Dilan mengambilnya ddan ememgangnya dengan hati-hati dengan sesekali menatap kedua orang itu dengan tatapan selidik. Yang satunya berambut biasa, yang satunya berambut sebahu."Bapak bisa baca, itu surat dari kepolisian. Mulai hari ini kami harus menjaga Nyonya Dini. Walau kami tak terus terang seperti duluh. Bagaimanapun juga kasus Nyonya Dini kini makin serius, jadi kami harus lebih berhati-hati.""Kok cepat sekali, Pak kami mendapat eprlindungan. Kami bahkan belum memasukkan gugatan atas kasus meninggalnya Bian."Yang berambut panjang tersenyum, berusaha menetralkan kecurigaan Dilan. "Pak Danu kemarin menyerahkan diri. Satu-satunya saksi hidup hanyalah Nyonya Dini. Setelah kejadian penculikan sebulan yang lalu, kami harus lebih hati-hati untuk menjaganya. Bagaimanapun juga orang tua Pak Danu memiliki kekuasaan dan kedatangan Pak Danu untuk menyerahka
Dilan masih mendekap Dini yang terisak dalam pelukannya. Dilan memang tak habis pikir, apa yang terjadi dengan Dini. "Apa kamu takut dengan menjadi saksi ini?"Dilan mencoba menerka. Dini menggeleng. Kembali mendongak ke wajah Dilan yang kini telah mendaratkan kecupan di keningnya. "Kamu jangan takut, Din, aku akan selalu ada di sampingmu. aku akan terus mendampingimu, apapun masalah yang kauhadapi."Aku tidak takut soal itu," jawab Dini pelan."Lalu apa?"Dini masih diam dan sesenggukan."Apa ini ada hubungannya dengan ucapanmu di meja makan tadi?" Dilan mendaratkan ciumannya di ubun-ubun Dini. Bau segar rambut Dini membuatnya lebih lama dengan memejamkan matanya. "jika sampai rumah ini sudah tidak boleh kita tempati lagi, aku janji akan membelikanmu rumah dengan menyicil KPR, atau mungkin beli tanah kapling duluh. Aku ada tabungan kalau hanya untuk tanah satu kapling. Kita akan bangun rumah, walau rumah kecil ghak apa-apa, asal kita selalu bersama. Yang penting tamannya aja banyak b
"Din, kamu kenapa, aku perhatikan sejak kamu dari kamar atas tadi kok diemi aku?" tanya Dilan, namun Dini hanya diam dengan terus menjalankan sholat Maghrib tanpa mengajak Dilan jamaah."Ghak nunggu aku dari kamar mandi, Din? Kita jamaah Maghrib."Dini langsung mengangkat tangannya dengan memulai takbir.Dilan lalu meninggalkannya dengan bergegas mengambil mandi sekalian. Saat dia keluar dari kamar mandi, dia hanya mengenakan handuk dengan dililitkan di pinggangnya. Rambutnya yang tampak basah indah terjuntai di wajahnya, sekilas membuat debar di hati Dini yang memandangnya, terlebih saat melihat tubuh Dilan. Dini lalu meninggalkan kamarnya menuju dapur. Kenapa pikiranku jadi ngeres begini saat melihatnya? rutuk Dini."Masak apa, Bu? Harum sambal terasinya kok sudah tercium?" Dini mendekati Ima yang tengah sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Ima hanya tersenyum. Dini lalu membuat teh hangat. Menyiapkan semuanya di meja makan dekat mini bar.Ajeng dan Ibra menuruni tangga. Tampak ju
"Dasar wanita gila!" umpat Giani yang takut siapa Dini bagi Dilan, diketahui Sisil. Dia memang sama sekali tidak menyangka gadis itu akan kembali ke rumah ini. Bahkan dengan sikap yang kini jauh dari yang dia duga. Saat kapan hari Sisil yang menunggu Dilan dari siang di rumahnya, sampai mendekati malam, dia hanya berfikir untuk membawanya ke rumah ini. Dia sendiri juga khawatir akan keadaan Dilan yang dari kemarin tak aktif handphone-nya, setelah terjadi pertengkaran dengannya kapan hari. Terlebih saat dia dibilangi Sisil, kalau Sisil sendiri tak bisa menghubungi Dilan.Dini yang mengurung dirinya di kamar atas, merasakan hatinya amat suntuk. Dia bahkan tidak keluara sampai terdengar bunyi mobil yang beranjak pergi dari halaman rumahnya.Dari balkom dia mencoba melihat, ternyata sedan mewah yang dikendarai gadis itu telah pergi. Dini menghela nafas panjang. Syukurlah mereka telah pergi, guman Dini sambil merebahkan dirinya ke tempat tidur. Dini baru menggulir handphone-nya saat terden
Giani, orang yang pertama turun dari sedan itu segera menghampiri Dini. Pandangan matanya menelisik tajam ke Dini. Dalam hati dia memang mengakui betapa cantik gadis tinggi semampai yang kini tubuhnya terlihat lebih berisi dan segar. Wajahnya pun nampak makin ayu dengan bedak ringan dan goresan tipis lipstik warna nude. Namun kebencian yang memuncak sampai ke ubun-ubun, mengalahlan kekagumannya."Kenapa kamu kembali? Siapa yang menyuruhmu? Bukankah aku telah menyuruhmu pergi dari kehidupan anakku?" tanyanya bertubi-tubi tanpa jeda.Dini menatap tajam wanita di depannya. Cukup sudah selama ini dia menginjak harga diriku, bahkan saat itu mengusirku dengan semena-mena, bathin Dini."Kenapa kamu kembali? Budeg ya, kamu?" Giani tidak sabar dengan kediaman Dini. Kembali dia mengeluarkan kata-kata kasarnya."Biasanya orang yang suka teriak-teriak yang budek, Tante." Dini berjalan mendekatinya, meninggalkan bunga anggreknya. "benar kan saya harus memanggil Tante, seperti keinginan Anda?"Gian
"Hentikan, Danu, apa yang akan kaulakulan dengan pisau buah itu. Kamu mau bunuh papamu?" Tantri ketakutan melihat putra tunggalnya mengacungkan pisau."Itu keenakan untuk Papa jika aku membunuhnya. Aku hanya ingin menghabisi diriku sendiri. Biar Papa sama Mama akan menekuri hari tua sendirian. Bukankah itu lebih menyakitkan?" Danu kemudian tertawa."Dasar anak tidak tau diuntung!" Barata memegangi dadanya setelah Danu meletakkan pisaunya."Sekali lagi Danu tegaskan,... jangan kembali mengusik hidup Dini." Danu pun pergi dengan menyambar kunci mobilnya yang sempat terjatuh.Tantri mendekati suaminya. "Papa tidak apa-apa?" Dia lalu mengambil air minum untuk suaminya.Barata meminum hingga tandas air di gelasnya.Tantri duduk di samping Barata, mencoba menenangkan dirinya meski tangannya masih gemetar. "Kita harus bicara lagi dengan Danu, Pa. Dia semakin sulit dikendalikan," katanya dengan suara rendah. "Setip kita membicarakan tentang Dini, dia akan cepat menanggapi, kita harus hati-hat
"Assalamualaikum, Kak!" Dini memulai telponnya dengan salam."Waalaikum salam, Mel. Gimana, jadi dijemput kapan? kamu sudah selesai liburannya?" tanya seorang pemuda di sebarang sana."E, begini, Kak. Ada persoalan baru yang membuat aku harus kembali ke rumah kami. " Dini menjeda ucapannya merasa tak enak ke Haidar setelah apa yang telah diungkapkan umminya kapan hari. "aku harus menyelesaikan persoalanku duluh, Kak. Aku tak boleh lari dari kenyataan.""Maksudnya apa, Mel?""saya harus memberi Aziel keadilan dengan menjadi saksi atas kematian Aziel.""Kamu ghak apa-apa? Kamu siap?""InsyAllah, Kak. Doaian ya," ucap Dini."Baiklah, Mel. Memang harus itu yang kamu hadapi.""Tapi aku tidak bisa sebebas dulu untuk kerja di tempat Kakak. Setelah aku bersedia menjadi saksi, otomatis hari-hariku harus selalu waspada. Dan sepertinya aku hanya bisa tinggal di rumah kami, utitu pun kayaknya kau harus pakai penjaga.""Rumah kami?" Tak sengaja Haidar mengulang kata Dini soal rumah."E, maksudku r
"Kamu suadh lama di situ, Din?" tanya wanita itu dengan sudah menatap Dini dengan senyumnya yang menyejukkan.Sapaan itu membuat Dini reflek menoleh. Sisa air matanya segera dia habus dengan menunduk. Alisnya bertaut, berusaha mengingat siapa wanita yang kini telah di depannya. Diingatnya wajah itu seperti pernah dia lihat." Aku Ajeng, umminya Aziel, Dini." Wanita yang paham dengan kebingungan Dini itu menjelaskan.Selintas kembali Dini teringat wanita itu pernah menyuruhnya memanggil 'ummi'. Dini berdiri dan menyalaminya. Lalu mengatupkan kedua tangannya ke dada untuk Ibra yang juga tengah memamerkan senyumnya untk Dini.Dini bergeser. Mereka lalu duduk di depan makam Aziel. Sejenak mereka kemudian membisu, khususnya kedua orang tua Aziel yang sibuk melantunkan do'a untuk Aziel."Jangan kautangisi Aziel, Din. Dia telah bahagia di sana,' ucap Ibra."Tapi Dini belum bias membantu Aziel mendapatkan keadilan."Ajeng menatap Dini setelah menyelesaikan do'anya. "Kamu berhak bahagia bersama
Dilan mendekat dengan menyingkirkan bantalnya. Dini memejamkan mata. Dilan sudah merasa tak sabar dengan mendekatkan wajahnya hendak mencium Dini. Namun,.."Aww,..Dini!" pekik Dilan kesakitan, sambil memegangi pantatnya karena terjatuh dari springbad yang mereka tiduri. Dilan memang tak menyangka dengan reaksi Dini yang tiba-tiba menyibakkan tangannya. "Jahat bener kamu, ya. Aku ajak kamu ke surga, kamu memberiku neraka.""Rasain!" Dini malah terkekeh melihat Dilan yang kesakitan'Jangan jahat sama suami sendiri. Kamu diajak sudah menolak itu dapat laknak dari malaikat. Tadi denger ghak kata Pak Kyai, kalau semalaman malaikat juga akan menjahuimu.""Biarin dijahui malaikat, daripada didekati malaikat Izrail.'" Kausamakan aku dengan Izrail? Kebangetan kamu ya,.! Sini,.." Dilan sudah tak sabar dengan makin menggoda Dini dengan mendekatiya dan memeluknya. Dini yang meronta seperti anak kecil membuat Dilan malah gemas dengan menciumnya. Lagi-lagi Dini menendangnya."Auww!" Dilan memegang