Share

MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI
MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI
Author: El Furinji

AWAL

Author: El Furinji
last update Last Updated: 2023-02-06 18:53:53

Ojek yang mengantarku berhenti di depan sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas. Aku turun lalu membayar sesuai nominal yang kami sepakati. Setelah itu, Bapak tukang ojek pergi. 

Dalam temaram cahaya subuh, sekali lagi aku mengamati bangunan di depanku. Sebuah rumah berdinding beton dengan cat warna hijau itu tampak paling besar dibanding kanan kirinya. 

Aku menarik nafas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan berusaha menata hati dan pikiran. Lalu, mengayunkan langkah semakin mendekati rumah itu. 

“Assalamu alaikum,” ucapku sembari mengetuk daun pintu. 

Hening. Tak ada sahutan dari dalam. 

Sekali lagi aku mengucap salam. Kali ini sengaja lebih keras berharap penghuni rumah mendengar suaraku. 

Benar saja. Tak berselang lama terdengar salamku dijawab. Seorang perempuan paruh baya menyembul dari balik pintu sambil menatap heran ke arahku. 

“Cari siapa ya?” Netra perempuan itu menyipit.

“Maaf, Bu! Apa benar ini kediaman Bapak Slamet Raharjo?” tanyaku hati-hati. 

Si pemilik rumah itu mengernyit. Pandangannya menyapu wajah, lalu berganti mengamati seluruh tubuh hingga aku merasa risi. 

“Kamu siapa?” tanyanya balik. 

“Namaku Lintang, Bu! Anak dari Bu Ayu Wulandari. Apa benar ini kediaman Bapak Slamet Raharjo?” Aku mengulang pertanyaan. 

Paras perempuan itu seketika berubah saat aku memperkenalkan diri. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi yang jelas gurat wajahnya memperlihatkan rasa tidak suka terhadapku. 

“Maaf! Anda salah alamat!” ketus perempuan itu. 

Perubahan sikap pemilik rumah membuatku merasa janggal. Jangan-jangan dia tahu sesuatu tapi ingin menyembunyikan dariku. 

“Tapi tukang ojek bilang ini rumahnya Bapak Slamet Raharjo,” jelasku. 

Ya. Saat mencari tukang ojek, aku sengaja memilih yang tahu alamat rumah Papa. Jadi tak perlu repot tanya sana sini. 

“Sudah kubilang kamu salah alamat! Ngeyel banget sih!” Perempuan di depanku memasang wajah kesal. 

Aku mematung berusaha menata pikiran. Apa jangan-jangan tukang ojek tadi membohongiku? Ah ... sepertinya enggak mungkin. 

“Sudah sana pergi!” usir perempuan itu. 

Sebelum sempat aku berpaling, perempuan itu lebih dulu masuk ke dalam. Ditutupnya pintu dengan kasar hingga menimbulkan suara yang cukup mengagetkan. 

Terpaksa aku menjauh dari rumah ini. Kuayunkan langkah menyusuri jalanan yang mulai menunjukkan aktivitas. Beberapa kendaraan melintas, meski tak seramai di tempat tinggalku. 

Ternyata mencari jejak Papa tak seperti yang kubayangkan. Aku pikir aku akan dengan mudah menemukan alamat Bapak dan langsung mendapat sambutan hangat dari lelaki yang belum kukenali wajahnya. Namun, rupanya salah. 

*** 

Hampir 15 menit aku berjalan kaki tanpa tujuan pasti. Sampai akhirnya dahaga memaksaku berhenti di depan sebuah toko kecil di pinggir jalan. 

“Air mineral satu, Bu!” ucapku pada penjaga warung. 

Perempuan itu lekas mengambil sebotol air mineral berukuran sedang dan memberikannya padaku. Tanpa menunggu lama, langsung kubuka penutup lalu meneguk isinya. 

“Berapa, Bu?” tanyaku kemudian. 

“Tujuh ribu.” Perempuan itu melempar senyum ramah. 

Aku membuka sling bag lalu mengambil selembar uang merah dan menyerahkan pada Ibu penjaga warung. 

“Uang pas aja, Dek!” tolak perempuan itu. 

Kembali aku membuka sling bag, mencari pecahan uang kecil. Namun aku tak menemukannya. 

“Waduh ..., enggak ada, Bu!” keluhku. 

Kami sama-sama bingung. Namun akhirnya si penjaga toko mengambil keputusan mengejutkan. 

“Ya sudah, enggak usah bayar saja, Dek!” ucapnya. 

Aku mengernyit menatap wajah perempuan paruh baya di depanku. Baru kali ini aku menemukan orang sebaik dia. Padahal, kami tak saling kenal. 

“Jangan dong, Bu! Nanti Ibu rugi.” 

Lagi. Perempuan itu kembali tersenyum. 

“Enggak apa-apa sesekali membantu orang. Lagian sepertinya kamu bukan orang sini,” 

Ya. Logat bahasaku memang berbeda dari orang-orang yang kutemui di kota ini. Mungkin inilah yang membuatnya menebak. 

“Iya, Bu! Aku memang orang jauh. Ke sini saja baru sekarang.” 

“Memangnya kamu mau ke mana? Kok jalan kaki sendirian?”  cecarnya. 

Akhirnya aku memberitahu bahwa tujuan ke kota ini untuk mencari orang tua kandungku. Barangkali Ibu ini bisa membantu.

“Siapa nama Bapakmu?” tanyanya.

“Slamet Raharjo. Ibu kenal? ” Aku balik tanya.

Netra perempuan di depanku menyipit. Lalu, sorotnya memindai wajah, seperti ada yang aneh denganku. 

“Apa kamu pernah bertemu Bapakmu?” 

Lagi. Perempuan di depanku kembali mencecar seperti sedang menyelidik. 

“Belum.” Aku menggeleng lemah. 

Lalu, kuceritakan bahwa Papa telah meninggalkan Mama sejak aku masih dalam kandungan.

Kesedihan jelas sekali terlukis di paras perempuan paruh baya ini. Barangkali dia merasa Iba mendengar kisahku, atau ada hal yang lain?

“Di sini memang ada yang namanya Slamet Raharjo. Ibu kenal dia. Nanti aku antar ke sana,” ucapnya. 

Seketika hati berjingkrak girang mendengar ucapannya. Harapan untuk bertemu Papa kembali terbuka lebar. Gegas kuraih tangan perempuan di depanku lalu menggenggam erat.

“Terima kasih banyak, Bu!” ucapku kemudian. 

Setelah itu, kembali kami terlihat obrolan hangat. Darinya aku tahu bahwa dia biasa dipanggil Bu Endah oleh warga sekitar. 

Obrolan kami terhenti saat seorang ibu-ibu datang berbelanja. Sementara Bu Endah melayani pembeli, aku mengedarkan pandangan menikmati suasana yang masih lumayan asri. 

**** 

Selesai dengan pembeli, Bu Endah mengajakku pergi. Dia bilang akan mengantarku menemui lelaki bernama Slamet Raharjo. 

Tak sampai lima menit berkendara, kami berhenti di depan rumah yang tadi pagi kudatangi. Kontan saja aku kaget karena diantar ke tempat yang sama. 

“Ini rumah siapa, Bu?” tanyaku penasaran. 

“Rumah Slamet Raharjo. Barang kali dia orang yang kamu cari,” sahutnya. 

“Tadi aku sudah ke sini, tapi pemilik rumah bilang aku salah alamat,” jelasku hati-hati. 

Bu Endah menatapku dengan alis hampir bertautan. Detik berikutnya dia tersenyum lalu mengajakku naik ke teras. 

Setelah mengetuk pintu beberapa kali, perempuan yang tadi pagi kutemui muncul dari dalam. Dia terkejut saat melihatku ada bersama Bu Endah. 

“Sri, mana suamimu?” tanya Bu Endah. 

“Lagi pergi, Mbak! Ngapain kamu ke sini?” tanya si pemilik rumah dengan muka masam. 

“Ada perlu. Pergi ke mana?” 

“Enggak tahu,” sahut pemilik rumah. 

“Ya sudah. Aku tunggu sampai dia pulang.” Tanpa permisi Bu Endah menarik kursi kayu di teras lalu duduk dengan santai. 

“Kamu pulang saja, Mbak! Aku mau pergi. Mas Harjo juga paling sore baru pulang,” usir si pemilik rumah. 

“Enggak! Aku mau tunggu di sini saja!” sahut Bu Endah. 

Aku hanya diam saja menyimak perdebatan mereka. Sepertinya keduanya saling mengenal. 

“Sudah dibilang pergi kok masih di sini sih! Ganggu saja!” gerutu si pemilik rumah. 

Saat keduanya saling beradu mulut, seorang lelaki seusia mereka menyembul dari balik pintu. 

“Ada apa sih? Pagi sudah ribut?” ujar lelaki itu. 

Bu Endah menoleh pada sumber suara tersebut. Dia terlihat kaget menatap lelaki yang termangu di depan pintu. 

“Loh ... istrimu bilang kamu pergi, Jo! Ternyata di rumah!” ujar Bu Endah. 

Lelaki itu menoleh pada Bu Sri. Paras perempuan itu tampak pias, tapi hanya sebentar. 

“Ada apa, Mbak ke sini? Siapa dia?” tanya lelaki itu sembari menatap ke arahku. 

“Dia Lintang. Anaknya Wulan. Istri yang dulu kamu tinggalkan saat sedang hamil,” ujar Bu Endah. 

Aku benar-benar kaget mendengar ucapan Bu Endah. Rupanya dia tahu semua tentang masa lalu Mama padahal aku tak cerita sedetail itu. 

Pun dengan lelaki yang kuyakini bernama Slamet Raharjo itu. Dia terperangah dengan kedua netra lekat menatapku. 

Perasaanku campur aduk tak karuan. Antara bahagia dan haru menyatu dalam hati. Akhirnya aku bisa bertemu Papa. 

“Belum tentu dia anakmu, Mas! Bisa saja dia hanya mengaku karena ingin mendapat hartamu!” celetuk perempuan bernama Bu Sri itu. 

Astaga! Picik benar pikiran Bu Sri. Niatku ke sini hanya ingin diakui sebagai anak. Bukan ingin harta! 

“Maaf, Bu! Aku tak gila harta! Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku punya nasab!” Aku menatap perempuan yang kuyakini sebagai Ibu tiri. 

“Bilangnya sih begitu. Tapi kalau sudah diakui pasti minta jatah warisan!” cibir Bu Sri. 

Darah semakin mendidih mendengar ucapan Bu Sri. Dia terlalu merendahkan. Apa aku harus pamer kekayaan untuk membungkam mulutnya?

Related chapters

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   TERHINA

    “Kalaupun meminta warisan, Lintang juga berhak. Apalagi selama ini dia tak pernah dikasih nafkah!” celetuk Bu Endah. Aku sedikit lega sebab ada yang membela. Meski sebenarnya sama sekali tak tertarik dengan warisan. “Belum tentu anak ini darah daging Mas Harjo. Mana buktinya? Kalau cuma ngaku sih gampang,” ketus Bu Sri. Mendengar keraguan Bu Sri, aku membuka sling bag, mengambil kartu identitas lalu memberikan pada Papa. Dengan tangan sedikit gemetar, Papa menerima benda tipis itu. Lalu, sepasang matanya memindai, mengamati sebaris tulisan berisi data diri.“Papa masih ingat alamat itu?” ucapku kemudian. “Iya ... Ini memang alamat Wulan. Berarti benar kamu anakku,” ucap Papa dengan mata mulai berkaca-kaca. Aku mengangguk pelan. Sesak bercampur haru mulai menyelinap dalam hati sampai kurasakan mata ini basah. Perlahan, aku mendekat pada lelaki di hadapku berniat memeluk untuk pertama kali. Namun, sebelum sempat merengkuh, Bu Sri menghalangi. “Mungkin benar dia anaknya Wulan, ta

    Last Updated : 2023-02-06
  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   MENGATUR STRATEGI

    Tak lama, motor yang kami kendarai berhenti di halaman rumah Bude. Kami berdua turun lalu lekas masuk ke rumah. “Lintang, kamu jangan sedih ya. Papa kamu memang kayak gitu,” ucap Bude saat kami duduk di ruang tamu. “Enggak kok, Bude. Aku sudah biasa hidup tanpa Papa,” lirihku. Meski begitu, aku tak bisa menepis kesedihan di dalam hati. Biar bagaimanapun aku sudah terlanjur berharap akan bertemu Papa dan mendapat kasih sayangnya. Namun, kenyataan justru bertolak belakang. “Kamu tinggal di sini saja ya. Anggap saja rumah sendiri.” Bude tersenyum tulus. Jika saja yang mengatakan itu adalah Bu Sri-ibu sambungku, tentu akan dengan senang hati aku menyambut. “Tapi, Bude ... apa enggak merepotkan?” ucapku ragu. “Hush ... jangan bilang begitu. Kamu ini keponakanku. Kita keluarga!” Aku terharu dengan kebesaran hati Bude yang sanggup menerimaku walau sebelumnya tak pernah bertemu. Tanpa pikir panjang aku merengkuh perempuan berhati malaikat itu kemudian memeluk erat. Meski tak mendapat

    Last Updated : 2023-02-06
  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   ANAK PAPA

    Selesai berpakaian, aku mematut diri di depan cermin yang terpasang di pintu lemari. Menyisir rambut lalu segera beranjak keluar sebab Bude sejak tadi sudah memanggil untuk makan siang. Melangkah ragu aku menuju dapur. Ada rasa segan jika aku harus menjadi beban bagi orang lain. Sampai dapur, Rupanya Bude sudah menunggu di depan meja makan, berseberangan dengan lelaki bernama Alvin itu. “Sini, Lintang! Kita makan sama-sama!” ajak Bude sembari melambaikan tangan. Aku menurut. Mendekat ke arah Bude kemudian menarik kursi kayu lalu meletakkan bokong di atasnya. Di atas meja berjejer lauk yang didominasi olahan berbahan dasar tempe. Aku menyendok nasi lalu mengambil sepotong tempe bacem. “Maaf ya, Lintang. Lauknya seadanya,” ucap Bude. “Enggak apa-apa Bude, ini juga sudah banyak kok,” sahutku. Lalu, kami bertiga mulai menikmati makan siang. Dalam hati aku sangat bersyukur bisa makan bersama meski dengan lauk sederhana. Saat kami tengah sibuk menikmati makanan, terdengar suara pere

    Last Updated : 2023-02-06
  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   BERSAMA ALVIN

    “Emangnya kita belanja di mana, Vin?” tanyaku saat kami hendak naik motor. “Di Pasar Baru,” jawabnya. “Tempat ruko Papaku berada ya?” “Iya,” Aku tersenyum simpul. Ini namanya sekali mendayung dua pulau terlampaui. Bisa menemani Alvin belanja, sekaligus mengintip ruko Papa. Ah ... bukan! Tepatnya ruko kosong di sebelah kepunyaan Papa. Ya! Aku memang berencana mengontrak ruko itu. Tentu saja karena ingin menyaingi Papa. Berbekal sedikit pengalaman, aku yakin mampu menghancurkan mereka dengan cara yang sehat. Apalagi Bude bilang Bu Sri selalu menjual dagangannya dengan harga yang mahal. Jadi, aku yakin akan mampu bersaing. “Bude bilang ada tempat kosong di pasar baru ya?” tanyaku lagi. “Iya, emangnya kenapa?” “Enggak kok, tanya aja. Kamu kenal pemiliknya?” “Kenal,” “Nanti antar aku ke sana ya?” mohonku. Alvin mengernyit heran. Sepasang matanya menatap lekat pada wajahku sampai aku salah tingkah. “Ngapain ke sana?” cecarnya. “Entar aku ceritain. Yuk berangkat!” ajakku. Kemud

    Last Updated : 2023-02-06
  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   DIJEMPUT

    Sekitar pukul lima sore kami baru sampai di rumah. Tanpa bicara, Alvin langsung menerobos masuk meski Bude menyambut. Tentu saja ini menimbulkan kecurigaan. “Alvin kenapa, Lintang? Kok kayak gitu?” tanya Bude dengan sepasang mata mengekori langkah anaknya. “Enggak tahu, Bude,” jawabku bohong. Sebenarnya aku ingin bercerita kalau kami habis ketemu perempuan yang mungkin kekasih Alvin. Namun, aku khawatir ini justru akan membuat pikirannya semakin kacau. Biar dia saja yang bercerita pada ibunya. “Ya sudah, sekarang kamu mandi dulu, nanti bantu Bude masak,” “Iya, Bude.” Lalu, aku beranjak masuk ke kamar. Sejenak kurebahkan tubuh di atas ranjang sekedar melepas lelah. Setelah itu, baru beranjak mandi. Selepas magrib aku membantu Bude menyiapkan makan malam. Kami banyak mengobrol tentang kehidupan masing-masing. Tentu saja tak kuceritakan tentang kehidupanku yang lumayan enak. Khawatir dibilang pamer. “Tolong panggil Alvin, Lintang!” perintah Bude setelah semua tersaji di meja mak

    Last Updated : 2023-02-06
  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   HAMPIR EMOSI

    Mencoba abai dengan ucapan Gea, aku mengekori langkah Papa masuk ke dalam. Kuedarkan pandangan ke sekeliling melihat ruang tamu yang baru pertama kusinggah. Dari kemarin tak pernah mereka mengajak masuk. “Ngapain lihat-lihat? Enggak pernah masuk ke rumah mewah ya?” ejek Hana dengan setengah tertawa. Aku mencebikkan bibir. Lantai keramik saja sudah sesombong ini, apalagi kalau yang lebih bagus. Bisa-bisa dia semakin sombong. Sebenarnya aku ingin membalas ucapan Gea, tapi lebih memilih diam karena sedang mengikuti permainan mereka. “Duduk!” ucap Bu Sri setengah membentak. Aku tak heran karena susah menduga hal ini. Sikap baik yang dia tunjukkan di depan Bude hanya palsu belaka. Dan aku sudah menduganya. Aku menurut. Duduk di sofa mengikuti mereka. “Kamu duduk di bawah. Tak pantas di situ!” bentak Gea. Diam, aku menoleh pada Papa. Lelaki itu seperti tak nyaman dengan ucapan anaknya, tapi sayangnya dia bergeming, tak berusaha membelaku. Apa begitu cara menjadi seorang Bapak?Lalu,

    Last Updated : 2023-02-23
  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   CURIGA

    Dering nada panggilan dari ponsel membuatku terjaga dari tidur yang belum berapa lama. Meski mata masih terasa lengket, aku meraba benda pipih yang tergeletak di atas meja. Sebuah kontak yang kuberi nama ‘Mama’ terpampang di layar. Gegas aku menggeser tombol berwarna hijau lalu mulai menyapa. “Iya, Ma!” ucapku memulai obrolan. “Gimana? Kamu sudah ketemu Papa kan?” tanya suara dari seberang sana. “Iya ... sudah,” “Terus, apa keluarga Papa menerimamu?” Pertanyaan Mama memaksa otak berpikir keras. Jika bilang diperlakukan buruk, sudah pasti Mama akan meminta lekas pulang. Tentu tak ada kesempatan membalas Papa dan keluarganya. “Iya, Ma! Papa menerimaku. Mereka sangat sayang,” ucapku berusaha menutupi fakta. “Alhamdulillah ... akhirnya Papa mau mengakui juga,” ucap Mama. “Mengakui bagaimana?” tanyaku kemudian. “Ya kan dulu Papa tak mengakuimu sebagai anak. Tapi itu hanya masa lalu. Yang penting sekarang semua sudah selesai,” jelas Mama. Astaga! Pantas saja perlakuan Papa seperti

    Last Updated : 2023-02-24
  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   KEJUTAN PERTAMA

    Aku menyeka sudut mata yang mulai digenangi bulir bening. Membayangkan Nita berkhianat saja sudah sangat menyakitkan apalagi kalau benar terjadi. Bisa-bisa aku depresi. “Ah ... semoga tak seperti itu.” Aku bermonolog mencoba menepis syak wasangka. Saat sedang sibuk menenangkan hati, terdengar derit pintu yang terbuka. Aku menoleh pada sumber suara tersebut. Rupanya Alvin yang membuka. Lelaki itu melangkah masuk tanpa permisi. Tatapannya tak henti menyapu wajah memindaiku. Jujur. Aku tak suka siapa pun masuk kamar tanpa permisi. Bagiku kamar adalah tempat paling privasi. Apalagi dia seorang lelaki. Tentu saja sangat mungkin melihat sesuatu yang tak pantas. Atau memang dia sengaja ingin mengintip?“Kamu kenapa nangis, Lintang?” tanyanya setelah dekat. Abai dengan pertanyaannya, aku justru balik bertanya dengan nada suara setengah membentak. “Kenapa kamu masuk tanpa permisi? Enggak sopan tahu!” Alvin terkesiap. Sejenak kulihat raut bersalah di wajahnya. “Maaf! Aku sudah lebih dari

    Last Updated : 2023-02-25

Latest chapter

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   TAMAT SESI 1

    Aku mendekati Mas Alvin yang sedang menikmati kopi di teras,sedangkan Gea langsung masuk ke dalam.“Dari mana kamu, Lintang?” tanya Mas Alvin.Meletakkan bokong di sebelah suami, aku menyandarkanpunggung pada sandaran kursi.“Dari rumah Bu Sri, Mas! Aku sudah membayar rumah itu,”sahutku.“Terus mau dikosongkan rumahnya?”“Enggaklah! Kan ada Gea!”Mas Alvin mengangguk. Detik berikutnya dia menyambar gelasdi atas meja, menyesap sebentar lalu meletakkan di tempat semula.“Mas ... aku boleh minta sesuatu enggak?” tanyaku kemudian.Mas Alvin menoleh dengan kening berkerut. “Minta apa?”“Begini, Mas! Sekarang aku dan Gea sudah baik. Dia akantinggal di rumah yang baru saja kubeli. Nah ... yang masih mengganjal dipikiran itu Papa. Biar bagaimanapun dia orang tuaku, sedangkan saat ini akuenggak tahu dia tinggal di mana,” sahutku.“Terus?”“Aku ingin kita tunda dulu kepergian sampai Papa ketemu. Nantirencananya aku suruh Papa tinggal bareng Gea. Boleh ya, Mas!” rengekku, meraihtangan Mas Alvin

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   keputusan Gea

    Sampai rumah, Gea langsung berlari ke kamar sembari tanganmengucek mata. Aku bisa merasakan betapa hati gadis itu terluka, antara kecewadengan ibunya, juga malu padaku.Meninggalkan Alvin yang sedang memarkirkan motor, beranjakaku ke dalam menyusul Gea. Di saat seperti ini dia pasti butuh teman.Mengetuk pintu kamar Gea, aku memanggil namanya beberapakali, tapi tak kunjung ada sahutan. Nekat aku mendorong daun pintu yang rupanyatak di kunci. Gadis itu tengah terisak, duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekat, aku mengelus pundak Gea berusaha menenangkan.“Sabar ya, Ge!” ucapku pelan.Bukannya menyahut, isaknya justru terdengar semakin jelas diantara nafas yang tersengal. Namun, aku tak melarang sebab tangis sedikitbanyak mampu meringankan beban di hati. Menangislah!“Mbak!” ucapnya setelah tangisnya mereda.“Iya,”“Kenapa kamu peduli denganku? Bukankah selama ini aku jahatsama kamu?” Gea menoleh, menatap lekat seperti mencari sesuatu di bola mataku.Melempar senyum, aku merapikan a

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   kepedihan Gea

    Seperti biasa aku beranjak ke dapur setelah kamar beres. Ibutampak sudah berjibaku dengan pekerjaan, sedangkan Gea belum terlihat.Aku menyambar toples berisi gula, berniat membuat kopi untukMas Alvin. Sedikit demi sedikit hubungan kami mulai membaik, meski suamikumasih sedikit kaku.“Bu, Gea kok belum kelihatan. Tumben?” tanyaku sembarimenakar gula sesuai selera suami.“Gea tadi pamit pulang, ada yang penting katanya,” sahutIbu.“Penting apa sih?”“Enggak tahu juga sih, tapi dengar-dengar dari tetangga, BuSri mau jual rumah itu!”Sontak aku terperanjat. Rumah itu milik orang tua Papa.Meski aku tak mengenalnya, setidaknya bisa menjadi pengingat bahwa aku punyagaris keturunan darinya.“Kok dijual sih? Bukannya itu punya Kakek?” tanyaku setengahprotes.“Iya, tapi kan sekarang sudah berganti nama menjadi milik BuSri. Jadi ya dia bisa jual,” jelas Ibu mertua.Ada rasa tak terima jika rumah itu berpindah tangan. Seharusnyarumah itu hak Papa dam Ibu mertua, tapi malah jatuh ke tangan Bu Sri

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   PAMIT

    Seminggu telah berlalu, tapi sikap Mas Alvin belum kembalimenghangat, padahal sudah kulakukan kewajiban sebagai seorang istri.Kemarin, saat mengurus pernikahan di KUA, Mas Alvin menolakmenggunakan mobil. Dia bilang kalau enggak ingin menggunakan apa pun darikekayaanku. Bukankah ini berlebihan?“Sampai kapan kita akan seperti ini, Mas?” tanyaku saat kamitengah berdua di kamar.“Apanya yang sampai kapan?” Mas Alvin balik tanya.Aku menghela nafas panjang lalu membuang perlahan. Entahsengaja atau tidak, tapi aku yakin Mas Alvin paham pertanyaanku.“Ya kita! Sampai kapan kamu akan mendiamkanku begini? Kita suamiistri, Mas! Bukan musuh!” jelasku berusaha sabar.Kata orang pengantin baru itu indah. Namun, nyatanya tidak!Kami menjalani hari penuh kekakuan. Bahkan urusan ranjang pun kami tak pernahmelakukan kecuali saat pertama kali dulu. Mas Alvin hanya mengecup kening saat mataini memejam. Bukankah ini menyedihkan?“Sampai aku bisa melupakan hujatanmu malam itu. Setidaknya,rasa sakit di ha

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   DIABAIKAN

    Berkali-kali aku mengerjap, memaksa membuka mata yang masihterasa lengket. Kuraba Mas Alvin yang semula tidur di sebelahku. Namun, takkutemukan dia. Astaga! Dia tak membangunkan aku.Menyadari kalau bangun kesiangan, buru-buru aku bangkit lalumenyambar pakaian yang tercecer di lantai.Tadi malam, meski aku sudah merayu Mas Alvin, kami takmelakukan apa pun. Dia terus menolak dengan alasan yang tak jelas. Yang lebihmenyedihkan, saat tidur pun dia memunggungiku.Entah apa yang terjadi padanya, tapi yang jelas dia sepertisedang membalas. Sikap dinginnya itu lebih menyakitkan ketimbang sebuahtamparan.Beranjak keluar kamar, aku menemui Ibu mertua di dapur. Tanpadiminta aku langsung membantu beberes juga menyiapkan sarapan.“Mas Alvin ke mana ya, Bu? Kok enggak kelihatan?” tanyaku disela aktivitas kami.“Lagi di depan. Tadi Gea datang. Memangnya kamu belum ketemudia?” tanyanya balik.Mendengar Ibu mertua menyebut nama Gea, cemburu datang mengganggupikiran, apalagi Mas Alvin sedang bersama p

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   KEMBALI

    Mobil yang kukendarai melaju pelan menembus sepinya malam.Sesekali aku menyapu wajah sekedar menepikan bayangan Mas Alvin agar tetap fokuspada jalanan.Tak lama, aku telah sampai di rumah. Hati berjingkrak girangsaat kulihat motor Mas Alvin terparkir di halaman rumah, bersebelahan denganmotor entah punya siapa. Buru-buru akuturun lalu beranjak masuk sambil berteriak.“Mas Alvin!” teriakku girang sembari membuka daun pintu yangtak tertutup rapat.Seketika senyum memudar saat menyaksikan pemandangan yangtak biasa. Mas Alvin tengah duduk berdua, saling berhadapan dengan seorangperempuan bernama Elsa.“Sudah pulang, Lintang?” sapanya dingin.Membunuh ego, aku beranjak mendekat pada suami.“Iya, Mas! Kamu ke mana saja beberapa hari ini? Aku terusmencarimu. Maafkan aku ya, Mas! Aku mengaku salah soal malam itu. Akumenyesal!” cerocosku sambil berusaha memeluk melepas rindu. Namun, kurasakansesuatu yang beda dengan Mas Alvin.Sama sekali dia tak membalas pelukan, atau sekedar mengeluspucuk k

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   GARA-GARA NIKO

    Tiga hari telah berlalu. Namun, sampai detik ini Mas Alvinbelum juga kembali. Dibantu Ibu mertua, sudah kucari dia ke sana ke mari. Banyakteman dan tetangga kami datangi. Nyatanya usaha ini sia-sia belaka.Senja ini, aku rehat melakukan pencarian. Diam di terasmencoba menenangkan pikiran. Jika ditelisik lebih dalam, sepertinya Mas Alvinsengaja menghukumku.Lamunan buyar tatkala terdengar dering nada panggilan dariponsel yang tergeletak di atas meja. Melongok pada layar, kulihat nama Nikoyang tertera di sana. Dengan malas aku menerima panggilan itu.“Gimana, Lintang? Apa Alvin sudah ketemu?” tanya suarabariton dari seberang sana.“Belum, Nik,” sahutku.“Bagaimana kalau aku temani kamu nyari Alvin?”Aku mengernyit heran oleh tawaran yang dia berikan. Kenapajuga harus menemaniku, padahal kalau mau mencari tinggal berangkat sendirisaja, apalagi dia laki-laki.“Sorry, Lintang! Kamu jangan berpikiran macam-macam. Aku cumakasihan sama kamu kalau Alvin enggak cepat ketemu,” ucap Niko saat aku

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   MENYUSUL

    Aku membawa tas yang belum sempat kubongkar isinya lalumemasukkan ke bagasi. Saat ini juga akan kususul Mas Alvin ke kampung halamansebagai bentuk permintaan maaf.“Aku berangkat dulu ya, Ma!” pamitku.“Iya, Sayang! Kejarlah cintamu. Mama doakan rumah tanggakalian baik-baik saja!”Setelah kami saling peluk, gegas aku melajukan kendaraan.Rasanya sudah tak sabar ingin bertemu Mas Alvin dan minta maaf. Semoga dia maumemaafkan kebodohan ini.Jalanan pagi ini tak terlalu ramai. Alhasil, dalam waktukurang dari 10 jam aku telah sampai di rumah Ibu mertua. Gegas aku turun lalumenemui perempuan yang sedang menatapku dari teras.“Assalamu alaikum, Bu!” ucapku, meraih tangannya dan menciumtakdim.“Waalaikum salam, Kok kamu sendirian Lintang? Alvin mana?”tanya perempuan itu dengan sepasang mata menatap pada pintu mobil.Aku tersentak kaget. “Loh ... bukannya Alvin sudah balikdari tadi malam, Bu?” tanyaku balik.Kali ini giliran Ibu mertua yang mengernyit heran. Dia terusmenatapku seperti bingung.

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   nasihat

    Duduk memeluk lutut di sudut ranjang, aku mengenang semuatentang Mas Alvin-lelaki yang telah membodohiku. Awalnya dia terlihat begitubaik, bahkan hati ini mulai terpikat sejak saat itu.Seiring berjalannya waktu, rasa ini semakin nyata. Sebentarsaja tak bertemu, hati ini gundah gulana. Tak jarang aku bersikap manja sekedarmendapat perhatiannya.Selama ini aku selalu berpikir dia malaikat yang dikirimTuhan untuk menuntunku ke jalan yang benar. Kehadirannya kuharap mampumenyembuhkan luka akibat pengkhianatan. Namun, nyatanya salah. Dia justru datanguntuk meremukkan hati, menghancurkan segala mimpi.Lamunan buyar tatkala kudengar suara ketukan pintu kamar. Awalnyaaku bergeming, tapi karena terus diketuk, akhirnya aku menyahut juga.“Iya, Ma! Sebentar!” Aku bangkit, berdiri lalu beranjak membukapintu.“Lintang, Kamu kenapa? Kok sembab gitu?” tanya Mama saatmelihat keadaanku.“Enggak kok! Kurang tidur kali, Ma!” jawabku asal sembarimenghindar dari sorot matanya “ Mama ada apa jam segini su

DMCA.com Protection Status