Share

MENGATUR STRATEGI

Penulis: El Furinji
last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-06 18:55:38

Tak lama, motor yang kami kendarai berhenti di halaman rumah Bude. Kami berdua turun lalu lekas masuk ke rumah. 

“Lintang, kamu jangan sedih ya. Papa kamu memang kayak gitu,” ucap Bude saat kami duduk di ruang tamu. 

“Enggak kok, Bude. Aku sudah biasa hidup tanpa Papa,” lirihku. 

Meski begitu, aku tak bisa menepis kesedihan di dalam hati. Biar bagaimanapun aku sudah terlanjur berharap akan bertemu Papa dan mendapat kasih sayangnya. Namun, kenyataan justru bertolak belakang. 

“Kamu tinggal di sini saja ya. Anggap saja rumah sendiri.” Bude tersenyum tulus. 

Jika saja yang mengatakan itu adalah Bu Sri-ibu sambungku, tentu akan dengan senang hati aku menyambut. 

“Tapi, Bude ... apa enggak merepotkan?” ucapku ragu. 

“Hush ... jangan bilang begitu. Kamu ini keponakanku. Kita keluarga!” 

Aku terharu dengan kebesaran hati Bude yang sanggup menerimaku walau sebelumnya tak pernah bertemu. Tanpa pikir panjang aku merengkuh perempuan berhati malaikat itu kemudian memeluk erat. 

Meski tak mendapat sambutan hangat dari Papa, setidaknya aku bertemu saudara sebaik Bude. Jadi, perjalananku ke sini tak sia-sia. 

Setelah pelukan kami terurai, Kami lanjut berbincang. Saling bercerita kehidupan masing-masing. 

“Oh iya, Bude. Sebenarnya pekerjaan Papa apa?” tanyaku di sela obrolan. 

“Papamu menjadi tengkulak hasil panen. Semua warga sini menjual hasil panennya ke Harjo. Dia juga memiliki sebuah ruko di pasar baru,” jelas Bude. 

“Memangnya Papa jualan apa di ruko?” cecarku. 

“Ya macam-macam sembako. Semua ada. Ruko itu dulu yang merintis kakek kamu, tapi setelah beliau meninggal, Ibu tiri kamu malah menguasai,” jelas Bude dengan raut sedih. 

“Loh ... kenapa enggak dikelola bareng Bude?” 

“Harusnya sih gitu, tapi Sri menguasai semuanya. Sedangkan Papa kamu enggak berani tegas. Akhirnya Bude mengalah saja ketimbang rebutan. Kakekmu pasti sedih jika peninggalannya jadi penyebab anak-anaknya bertengkar.” 

Astaga! Ternyata Ibu tiriku bukan hanya angkuh, tapi dia juga serakah. Punya hak apa dia sampai menguasai sesuatu yang bukan miliknya? 

Diam, aku memutar otak. Mencari cara bagaimana caranya membalas semua perbuatan Bu Sri. 

Aku tersenyum simpul saat sebuah ide brilian muncul di kepala. Jika merebut enggak mungkin, menghancurkan bisa menjadi pilihan. Akan kubuat menyesal karena telah merebut hak Bude juga menghinaku. 

“Kenapa Bude enggak ikut buka toko seperti mereka?” tanyaku beberapa saat kemudian. 

Perempuan yang duduk di sebelahku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal. 

“Sebenarnya Bude ingin buka toko di pasar. Sejak kecil Bude sudah terbiasa jualan. Ruko Papamu itu juga Bude yang membesarkan bersama kakekmu.” Bude menjeda kalimatnya sejenak demi mengambil nafas, “tapi ya itu. Bude enggak punya modal.” 

Aku bisa mengerti betapa sedihnya hati Bude. Usaha yang dia bangun harus direbut oleh adik iparnya. 

“Apa di pasar ada ruko yang disewakan?” 

Bude menoleh. Perempuan itu memandangku dengan tatapan bingung. 

“Enggak sih, tapi ada yang mau dijual. Tempatnya bersebelahan dengan punya Papamu,” 

Aku tersenyum kecil sembari mengangguk pelan. Sepertinya jalan untuk menghancurkan mereka terbuka lebar. 

Setelah itu, aku terus menggali informasi tentang ruko yang dimaksud Bude. Dia heran kenapa aku banyak tanya seputar pasar tempat ruko itu berdiri. Namun, aku sengaja tak memberitahu rencanaku pada Bude. 

Setelah hampir satu jam mengobrol, Bude mengajakku melihat kamar yang akan kutinggali selama berada di sini.

Aku menurut. Membawa ransel lalu mengekori langkahnya. Kami masuk ke sebuah ruangan yang tak terlalu luas. 

Aku mengedarkan pandangan ke semua penjuru ruangan. Beberapa buku berserakan di atas meja. Kasur yang sepreinya tersingkap separo, juga selimut yang teronggok dilantai memaksaku menggeleng pelan. Ini lebih menyerupai kapal pecah. 

“Kamu tinggal di kamar ini ya, biar Bude rapikan,” ucap bude sembari menyambar selimut yang teronggok. 

“Biar aku saja yang bereskan, Bude,” sambarku cepat. 

Akhirnya kami berdua sama-sama merapikan kamar. Hanya dalam waktu kurang dari 30 menit, ruangan yang semula menyerupai gudang, kini telah layak disebut kamar tidur. Setidaknya terlihat lebih rapi. 

Selesai membereskan kamar, badan terasa gerah. Apalagi sejak tadi malam aku belum mandi. 

“Bude, kalau mandi di mana?” tanyaku. 

“Di belakang. Mari Bude antar,” 

Lalu, aku membuka ransel yang tadi kuletakkan di sudut ruangan. Kuambil handuk dan perlengkapan mandi lalu mengikuti langkah Bude. 

*** 

Sejuknya air yang mengguyur tubuh sedikit banyak membuat tubuh menjadi segar. Pun dengan pikiran yang sempat kalut oleh perlakuan Papa dan istrinya. 

Selesai membersihkan tubuh, aku kembali ke kamar dengan tubuh hanya dililit handuk. Sebenarnya segan juga keluar kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk, tapi mau bagaimana lagi? Tadi aku lupa membawa pakaian ganti. Soalnya, biasanya aku menggunakan kamar mandi dalam, jadi tak pernah membawa pakaian ganti ke kamar mandi. 

Aku terkejut saat membuka pintu kamar. Sesosok lelaki yang hanya mengenakan celana boxer saja tampak sedang terbaring di ranjang yang baru saja kurapikan. Kontan saja aku memekik kaget. 

“Hei, siapa kamu!” bentakku.

Sama sekali aku tak berani masuk, apalagi dengan tubuh yang hanya terlilit handuk. Hanya mampu melongok sambil menyembunyikan tubuh di balik tembok. 

Lelaki yang tadi sedang rebahan, seketika bangkit lalu melempar pandangan ke arahku. 

“Kamu siapa? Kenapa membuka pintu tanpa permisi?” tanyanya balik. 

“Ini kamarku, kenapa kamu ada di dalam! Cepat keluar!” Aku mendelik untuk menakuti lelaki itu. 

Namun, tak kulihat ketakutan di wajah lelaki itu. Dia justru menatap lekat ke arahku. 

“Ada apa Lintang? Kenapa memekik kayak gitu?” Dari kejauhan terdengar suara Bude yang semakin mendekat. 

“Ada orang gila di kamarku, Bude,” sahutku setelah Bude dekat. 

Bude terperangah. Tangannya mengelus dada seperti sedang menata hati. Dengan wajah cemas, akhirnya Bude melongok ke dalam. 

“Oalah ... dia Alvin anak Bude. Ini memang kamarnya,” 

Kontan saja aku kaget. Rupanya dia pemilik kamar yang tadi kubersihkan. Padahal tadi aku sudah membentak mengusirnya. 

“Alvin! Kamu tidur di kamar belakang. Yang ini biar ditempati Lintang!” perintah Bude. 

“Lintang siapa, Bu?” tanya lelaki itu. 

“Sudah! Kamu keluar dulu! Nanti Ibu ceritakan!” 

Meski dengan raut wajah kesal, akhirnya lelaki yang dipanggil Alvin itu keluar. Sempat kudengar dia menggerutu saat melintas di sampingku, tapi aku abai. Yang terpenting aku bisa masuk kamar dan lekas berpakaian. Risi juga ada lelaki yang melihatku hanya mengenakan handuk saja. 

Bab terkait

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   ANAK PAPA

    Selesai berpakaian, aku mematut diri di depan cermin yang terpasang di pintu lemari. Menyisir rambut lalu segera beranjak keluar sebab Bude sejak tadi sudah memanggil untuk makan siang. Melangkah ragu aku menuju dapur. Ada rasa segan jika aku harus menjadi beban bagi orang lain. Sampai dapur, Rupanya Bude sudah menunggu di depan meja makan, berseberangan dengan lelaki bernama Alvin itu. “Sini, Lintang! Kita makan sama-sama!” ajak Bude sembari melambaikan tangan. Aku menurut. Mendekat ke arah Bude kemudian menarik kursi kayu lalu meletakkan bokong di atasnya. Di atas meja berjejer lauk yang didominasi olahan berbahan dasar tempe. Aku menyendok nasi lalu mengambil sepotong tempe bacem. “Maaf ya, Lintang. Lauknya seadanya,” ucap Bude. “Enggak apa-apa Bude, ini juga sudah banyak kok,” sahutku. Lalu, kami bertiga mulai menikmati makan siang. Dalam hati aku sangat bersyukur bisa makan bersama meski dengan lauk sederhana. Saat kami tengah sibuk menikmati makanan, terdengar suara pere

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-06
  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   BERSAMA ALVIN

    “Emangnya kita belanja di mana, Vin?” tanyaku saat kami hendak naik motor. “Di Pasar Baru,” jawabnya. “Tempat ruko Papaku berada ya?” “Iya,” Aku tersenyum simpul. Ini namanya sekali mendayung dua pulau terlampaui. Bisa menemani Alvin belanja, sekaligus mengintip ruko Papa. Ah ... bukan! Tepatnya ruko kosong di sebelah kepunyaan Papa. Ya! Aku memang berencana mengontrak ruko itu. Tentu saja karena ingin menyaingi Papa. Berbekal sedikit pengalaman, aku yakin mampu menghancurkan mereka dengan cara yang sehat. Apalagi Bude bilang Bu Sri selalu menjual dagangannya dengan harga yang mahal. Jadi, aku yakin akan mampu bersaing. “Bude bilang ada tempat kosong di pasar baru ya?” tanyaku lagi. “Iya, emangnya kenapa?” “Enggak kok, tanya aja. Kamu kenal pemiliknya?” “Kenal,” “Nanti antar aku ke sana ya?” mohonku. Alvin mengernyit heran. Sepasang matanya menatap lekat pada wajahku sampai aku salah tingkah. “Ngapain ke sana?” cecarnya. “Entar aku ceritain. Yuk berangkat!” ajakku. Kemud

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-06
  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   DIJEMPUT

    Sekitar pukul lima sore kami baru sampai di rumah. Tanpa bicara, Alvin langsung menerobos masuk meski Bude menyambut. Tentu saja ini menimbulkan kecurigaan. “Alvin kenapa, Lintang? Kok kayak gitu?” tanya Bude dengan sepasang mata mengekori langkah anaknya. “Enggak tahu, Bude,” jawabku bohong. Sebenarnya aku ingin bercerita kalau kami habis ketemu perempuan yang mungkin kekasih Alvin. Namun, aku khawatir ini justru akan membuat pikirannya semakin kacau. Biar dia saja yang bercerita pada ibunya. “Ya sudah, sekarang kamu mandi dulu, nanti bantu Bude masak,” “Iya, Bude.” Lalu, aku beranjak masuk ke kamar. Sejenak kurebahkan tubuh di atas ranjang sekedar melepas lelah. Setelah itu, baru beranjak mandi. Selepas magrib aku membantu Bude menyiapkan makan malam. Kami banyak mengobrol tentang kehidupan masing-masing. Tentu saja tak kuceritakan tentang kehidupanku yang lumayan enak. Khawatir dibilang pamer. “Tolong panggil Alvin, Lintang!” perintah Bude setelah semua tersaji di meja mak

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-06
  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   HAMPIR EMOSI

    Mencoba abai dengan ucapan Gea, aku mengekori langkah Papa masuk ke dalam. Kuedarkan pandangan ke sekeliling melihat ruang tamu yang baru pertama kusinggah. Dari kemarin tak pernah mereka mengajak masuk. “Ngapain lihat-lihat? Enggak pernah masuk ke rumah mewah ya?” ejek Hana dengan setengah tertawa. Aku mencebikkan bibir. Lantai keramik saja sudah sesombong ini, apalagi kalau yang lebih bagus. Bisa-bisa dia semakin sombong. Sebenarnya aku ingin membalas ucapan Gea, tapi lebih memilih diam karena sedang mengikuti permainan mereka. “Duduk!” ucap Bu Sri setengah membentak. Aku tak heran karena susah menduga hal ini. Sikap baik yang dia tunjukkan di depan Bude hanya palsu belaka. Dan aku sudah menduganya. Aku menurut. Duduk di sofa mengikuti mereka. “Kamu duduk di bawah. Tak pantas di situ!” bentak Gea. Diam, aku menoleh pada Papa. Lelaki itu seperti tak nyaman dengan ucapan anaknya, tapi sayangnya dia bergeming, tak berusaha membelaku. Apa begitu cara menjadi seorang Bapak?Lalu,

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-23
  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   CURIGA

    Dering nada panggilan dari ponsel membuatku terjaga dari tidur yang belum berapa lama. Meski mata masih terasa lengket, aku meraba benda pipih yang tergeletak di atas meja. Sebuah kontak yang kuberi nama ‘Mama’ terpampang di layar. Gegas aku menggeser tombol berwarna hijau lalu mulai menyapa. “Iya, Ma!” ucapku memulai obrolan. “Gimana? Kamu sudah ketemu Papa kan?” tanya suara dari seberang sana. “Iya ... sudah,” “Terus, apa keluarga Papa menerimamu?” Pertanyaan Mama memaksa otak berpikir keras. Jika bilang diperlakukan buruk, sudah pasti Mama akan meminta lekas pulang. Tentu tak ada kesempatan membalas Papa dan keluarganya. “Iya, Ma! Papa menerimaku. Mereka sangat sayang,” ucapku berusaha menutupi fakta. “Alhamdulillah ... akhirnya Papa mau mengakui juga,” ucap Mama. “Mengakui bagaimana?” tanyaku kemudian. “Ya kan dulu Papa tak mengakuimu sebagai anak. Tapi itu hanya masa lalu. Yang penting sekarang semua sudah selesai,” jelas Mama. Astaga! Pantas saja perlakuan Papa seperti

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-24
  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   KEJUTAN PERTAMA

    Aku menyeka sudut mata yang mulai digenangi bulir bening. Membayangkan Nita berkhianat saja sudah sangat menyakitkan apalagi kalau benar terjadi. Bisa-bisa aku depresi. “Ah ... semoga tak seperti itu.” Aku bermonolog mencoba menepis syak wasangka. Saat sedang sibuk menenangkan hati, terdengar derit pintu yang terbuka. Aku menoleh pada sumber suara tersebut. Rupanya Alvin yang membuka. Lelaki itu melangkah masuk tanpa permisi. Tatapannya tak henti menyapu wajah memindaiku. Jujur. Aku tak suka siapa pun masuk kamar tanpa permisi. Bagiku kamar adalah tempat paling privasi. Apalagi dia seorang lelaki. Tentu saja sangat mungkin melihat sesuatu yang tak pantas. Atau memang dia sengaja ingin mengintip?“Kamu kenapa nangis, Lintang?” tanyanya setelah dekat. Abai dengan pertanyaannya, aku justru balik bertanya dengan nada suara setengah membentak. “Kenapa kamu masuk tanpa permisi? Enggak sopan tahu!” Alvin terkesiap. Sejenak kulihat raut bersalah di wajahnya. “Maaf! Aku sudah lebih dari

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-25
  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   MARI KITA BERPERANG

    Menjelang magrib kami baru pulang dari pasar. Sebenarnya pembeli masih ada karena letak toko kami ada di pinggir jalan raya. Namun, demi membagi waktu beristirahat kami sepakat buka pukul tujuh, tutup pukul 17:00. Tadi, saat di jalan sengaja kami membeli lauk. Kasihan Bude jika harus menyiapkan makan malam buat kami, apalagi dia juga harus menjaga toko sepanjang hari. Tersenyum puas, aku menghempaskan tubuh letih ini di atas pembaringan. Masih terekam jelas dalam ingatan bagaimana wajah Bu Sri saat mengetahui bahwa perempuan yang dihina, kini memiliki toko tepat di sebelahnya. Setelah penat berkurang, aku baru keluar kamar. Alvin dan Bude sedang mengobrol di ruang depan. Kuayunkan langkah mendekati mereka lalu duduk di sebelah Bude. “Kebetulan kamu keluar, Lintang. Ada yang mau Bude tanyakan,” ujar Bude. “Tanya apa?” “Akhir-akhir ini kalian selalu pergi pagi pulang sore. Sebenarnya kalian ke mana sih?” tanya Bude. Aduh! Rupanya Bude sudah mulai curiga dengan aktivitas kami, pad

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-26
  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   serangan ke dua

    Tergagap saat mendengar bunyi ketukan pintu, aku bangkit dan menyeka sudut mata. Tak ada yang boleh tahu kalau hati ini menjerit sakit atas ucapan Papa.“Iya. Masuk saja!” sahutku dengan suara sumbang. Tak lama pintu terbuka. Alvin melongok dengan senyum khasnya. “Bisa kita bicara sebentar?” tanyanya. Aku mengernyit heran, tapi akhirnya mengangguk mengiyakan permintaannya. “Bisa. Sini masuk!” ajakku berusaha menyembunyikan kekalutan.“Di luar saja,” tolaknya halus. “Loh, kenapa enggak di sini saja?” tanya Alvin. “Aku lelaki normal, Lintang. Apalagi kamu itu cantik.” Lelaki itu menaik turunkan alis menggoda. Sudut bibirnya tertarik ke atas hingga menampakkan sebagian gigi. Entah apa maksud pernyataannya, tapi yakin dia hanya ingin menghibur. Aku bangkit, beranjak mendekat. Lalu, berjalan beriringan dan berhenti di teras. “Ada apa, Vin?” tanyaku setelah kami duduk. Lelaki itu menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Detik berikutnya dia menoleh. “Aku tahu kamu

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-27

Bab terbaru

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   TAMAT SESI 1

    Aku mendekati Mas Alvin yang sedang menikmati kopi di teras,sedangkan Gea langsung masuk ke dalam.“Dari mana kamu, Lintang?” tanya Mas Alvin.Meletakkan bokong di sebelah suami, aku menyandarkanpunggung pada sandaran kursi.“Dari rumah Bu Sri, Mas! Aku sudah membayar rumah itu,”sahutku.“Terus mau dikosongkan rumahnya?”“Enggaklah! Kan ada Gea!”Mas Alvin mengangguk. Detik berikutnya dia menyambar gelasdi atas meja, menyesap sebentar lalu meletakkan di tempat semula.“Mas ... aku boleh minta sesuatu enggak?” tanyaku kemudian.Mas Alvin menoleh dengan kening berkerut. “Minta apa?”“Begini, Mas! Sekarang aku dan Gea sudah baik. Dia akantinggal di rumah yang baru saja kubeli. Nah ... yang masih mengganjal dipikiran itu Papa. Biar bagaimanapun dia orang tuaku, sedangkan saat ini akuenggak tahu dia tinggal di mana,” sahutku.“Terus?”“Aku ingin kita tunda dulu kepergian sampai Papa ketemu. Nantirencananya aku suruh Papa tinggal bareng Gea. Boleh ya, Mas!” rengekku, meraihtangan Mas Alvin

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   keputusan Gea

    Sampai rumah, Gea langsung berlari ke kamar sembari tanganmengucek mata. Aku bisa merasakan betapa hati gadis itu terluka, antara kecewadengan ibunya, juga malu padaku.Meninggalkan Alvin yang sedang memarkirkan motor, beranjakaku ke dalam menyusul Gea. Di saat seperti ini dia pasti butuh teman.Mengetuk pintu kamar Gea, aku memanggil namanya beberapakali, tapi tak kunjung ada sahutan. Nekat aku mendorong daun pintu yang rupanyatak di kunci. Gadis itu tengah terisak, duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekat, aku mengelus pundak Gea berusaha menenangkan.“Sabar ya, Ge!” ucapku pelan.Bukannya menyahut, isaknya justru terdengar semakin jelas diantara nafas yang tersengal. Namun, aku tak melarang sebab tangis sedikitbanyak mampu meringankan beban di hati. Menangislah!“Mbak!” ucapnya setelah tangisnya mereda.“Iya,”“Kenapa kamu peduli denganku? Bukankah selama ini aku jahatsama kamu?” Gea menoleh, menatap lekat seperti mencari sesuatu di bola mataku.Melempar senyum, aku merapikan a

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   kepedihan Gea

    Seperti biasa aku beranjak ke dapur setelah kamar beres. Ibutampak sudah berjibaku dengan pekerjaan, sedangkan Gea belum terlihat.Aku menyambar toples berisi gula, berniat membuat kopi untukMas Alvin. Sedikit demi sedikit hubungan kami mulai membaik, meski suamikumasih sedikit kaku.“Bu, Gea kok belum kelihatan. Tumben?” tanyaku sembarimenakar gula sesuai selera suami.“Gea tadi pamit pulang, ada yang penting katanya,” sahutIbu.“Penting apa sih?”“Enggak tahu juga sih, tapi dengar-dengar dari tetangga, BuSri mau jual rumah itu!”Sontak aku terperanjat. Rumah itu milik orang tua Papa.Meski aku tak mengenalnya, setidaknya bisa menjadi pengingat bahwa aku punyagaris keturunan darinya.“Kok dijual sih? Bukannya itu punya Kakek?” tanyaku setengahprotes.“Iya, tapi kan sekarang sudah berganti nama menjadi milik BuSri. Jadi ya dia bisa jual,” jelas Ibu mertua.Ada rasa tak terima jika rumah itu berpindah tangan. Seharusnyarumah itu hak Papa dam Ibu mertua, tapi malah jatuh ke tangan Bu Sri

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   PAMIT

    Seminggu telah berlalu, tapi sikap Mas Alvin belum kembalimenghangat, padahal sudah kulakukan kewajiban sebagai seorang istri.Kemarin, saat mengurus pernikahan di KUA, Mas Alvin menolakmenggunakan mobil. Dia bilang kalau enggak ingin menggunakan apa pun darikekayaanku. Bukankah ini berlebihan?“Sampai kapan kita akan seperti ini, Mas?” tanyaku saat kamitengah berdua di kamar.“Apanya yang sampai kapan?” Mas Alvin balik tanya.Aku menghela nafas panjang lalu membuang perlahan. Entahsengaja atau tidak, tapi aku yakin Mas Alvin paham pertanyaanku.“Ya kita! Sampai kapan kamu akan mendiamkanku begini? Kita suamiistri, Mas! Bukan musuh!” jelasku berusaha sabar.Kata orang pengantin baru itu indah. Namun, nyatanya tidak!Kami menjalani hari penuh kekakuan. Bahkan urusan ranjang pun kami tak pernahmelakukan kecuali saat pertama kali dulu. Mas Alvin hanya mengecup kening saat mataini memejam. Bukankah ini menyedihkan?“Sampai aku bisa melupakan hujatanmu malam itu. Setidaknya,rasa sakit di ha

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   DIABAIKAN

    Berkali-kali aku mengerjap, memaksa membuka mata yang masihterasa lengket. Kuraba Mas Alvin yang semula tidur di sebelahku. Namun, takkutemukan dia. Astaga! Dia tak membangunkan aku.Menyadari kalau bangun kesiangan, buru-buru aku bangkit lalumenyambar pakaian yang tercecer di lantai.Tadi malam, meski aku sudah merayu Mas Alvin, kami takmelakukan apa pun. Dia terus menolak dengan alasan yang tak jelas. Yang lebihmenyedihkan, saat tidur pun dia memunggungiku.Entah apa yang terjadi padanya, tapi yang jelas dia sepertisedang membalas. Sikap dinginnya itu lebih menyakitkan ketimbang sebuahtamparan.Beranjak keluar kamar, aku menemui Ibu mertua di dapur. Tanpadiminta aku langsung membantu beberes juga menyiapkan sarapan.“Mas Alvin ke mana ya, Bu? Kok enggak kelihatan?” tanyaku disela aktivitas kami.“Lagi di depan. Tadi Gea datang. Memangnya kamu belum ketemudia?” tanyanya balik.Mendengar Ibu mertua menyebut nama Gea, cemburu datang mengganggupikiran, apalagi Mas Alvin sedang bersama p

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   KEMBALI

    Mobil yang kukendarai melaju pelan menembus sepinya malam.Sesekali aku menyapu wajah sekedar menepikan bayangan Mas Alvin agar tetap fokuspada jalanan.Tak lama, aku telah sampai di rumah. Hati berjingkrak girangsaat kulihat motor Mas Alvin terparkir di halaman rumah, bersebelahan denganmotor entah punya siapa. Buru-buru akuturun lalu beranjak masuk sambil berteriak.“Mas Alvin!” teriakku girang sembari membuka daun pintu yangtak tertutup rapat.Seketika senyum memudar saat menyaksikan pemandangan yangtak biasa. Mas Alvin tengah duduk berdua, saling berhadapan dengan seorangperempuan bernama Elsa.“Sudah pulang, Lintang?” sapanya dingin.Membunuh ego, aku beranjak mendekat pada suami.“Iya, Mas! Kamu ke mana saja beberapa hari ini? Aku terusmencarimu. Maafkan aku ya, Mas! Aku mengaku salah soal malam itu. Akumenyesal!” cerocosku sambil berusaha memeluk melepas rindu. Namun, kurasakansesuatu yang beda dengan Mas Alvin.Sama sekali dia tak membalas pelukan, atau sekedar mengeluspucuk k

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   GARA-GARA NIKO

    Tiga hari telah berlalu. Namun, sampai detik ini Mas Alvinbelum juga kembali. Dibantu Ibu mertua, sudah kucari dia ke sana ke mari. Banyakteman dan tetangga kami datangi. Nyatanya usaha ini sia-sia belaka.Senja ini, aku rehat melakukan pencarian. Diam di terasmencoba menenangkan pikiran. Jika ditelisik lebih dalam, sepertinya Mas Alvinsengaja menghukumku.Lamunan buyar tatkala terdengar dering nada panggilan dariponsel yang tergeletak di atas meja. Melongok pada layar, kulihat nama Nikoyang tertera di sana. Dengan malas aku menerima panggilan itu.“Gimana, Lintang? Apa Alvin sudah ketemu?” tanya suarabariton dari seberang sana.“Belum, Nik,” sahutku.“Bagaimana kalau aku temani kamu nyari Alvin?”Aku mengernyit heran oleh tawaran yang dia berikan. Kenapajuga harus menemaniku, padahal kalau mau mencari tinggal berangkat sendirisaja, apalagi dia laki-laki.“Sorry, Lintang! Kamu jangan berpikiran macam-macam. Aku cumakasihan sama kamu kalau Alvin enggak cepat ketemu,” ucap Niko saat aku

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   MENYUSUL

    Aku membawa tas yang belum sempat kubongkar isinya lalumemasukkan ke bagasi. Saat ini juga akan kususul Mas Alvin ke kampung halamansebagai bentuk permintaan maaf.“Aku berangkat dulu ya, Ma!” pamitku.“Iya, Sayang! Kejarlah cintamu. Mama doakan rumah tanggakalian baik-baik saja!”Setelah kami saling peluk, gegas aku melajukan kendaraan.Rasanya sudah tak sabar ingin bertemu Mas Alvin dan minta maaf. Semoga dia maumemaafkan kebodohan ini.Jalanan pagi ini tak terlalu ramai. Alhasil, dalam waktukurang dari 10 jam aku telah sampai di rumah Ibu mertua. Gegas aku turun lalumenemui perempuan yang sedang menatapku dari teras.“Assalamu alaikum, Bu!” ucapku, meraih tangannya dan menciumtakdim.“Waalaikum salam, Kok kamu sendirian Lintang? Alvin mana?”tanya perempuan itu dengan sepasang mata menatap pada pintu mobil.Aku tersentak kaget. “Loh ... bukannya Alvin sudah balikdari tadi malam, Bu?” tanyaku balik.Kali ini giliran Ibu mertua yang mengernyit heran. Dia terusmenatapku seperti bingung.

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   nasihat

    Duduk memeluk lutut di sudut ranjang, aku mengenang semuatentang Mas Alvin-lelaki yang telah membodohiku. Awalnya dia terlihat begitubaik, bahkan hati ini mulai terpikat sejak saat itu.Seiring berjalannya waktu, rasa ini semakin nyata. Sebentarsaja tak bertemu, hati ini gundah gulana. Tak jarang aku bersikap manja sekedarmendapat perhatiannya.Selama ini aku selalu berpikir dia malaikat yang dikirimTuhan untuk menuntunku ke jalan yang benar. Kehadirannya kuharap mampumenyembuhkan luka akibat pengkhianatan. Namun, nyatanya salah. Dia justru datanguntuk meremukkan hati, menghancurkan segala mimpi.Lamunan buyar tatkala kudengar suara ketukan pintu kamar. Awalnyaaku bergeming, tapi karena terus diketuk, akhirnya aku menyahut juga.“Iya, Ma! Sebentar!” Aku bangkit, berdiri lalu beranjak membukapintu.“Lintang, Kamu kenapa? Kok sembab gitu?” tanya Mama saatmelihat keadaanku.“Enggak kok! Kurang tidur kali, Ma!” jawabku asal sembarimenghindar dari sorot matanya “ Mama ada apa jam segini su

DMCA.com Protection Status