“Emangnya kita belanja di mana, Vin?” tanyaku saat kami hendak naik motor.
“Di Pasar Baru,” jawabnya. “Tempat ruko Papaku berada ya?” “Iya,” Aku tersenyum simpul. Ini namanya sekali mendayung dua pulau terlampaui. Bisa menemani Alvin belanja, sekaligus mengintip ruko Papa. Ah ... bukan! Tepatnya ruko kosong di sebelah kepunyaan Papa. Ya! Aku memang berencana mengontrak ruko itu. Tentu saja karena ingin menyaingi Papa. Berbekal sedikit pengalaman, aku yakin mampu menghancurkan mereka dengan cara yang sehat. Apalagi Bude bilang Bu Sri selalu menjual dagangannya dengan harga yang mahal. Jadi, aku yakin akan mampu bersaing. “Bude bilang ada tempat kosong di pasar baru ya?” tanyaku lagi. “Iya, emangnya kenapa?” “Enggak kok, tanya aja. Kamu kenal pemiliknya?” “Kenal,” “Nanti antar aku ke sana ya?” mohonku. Alvin mengernyit heran. Sepasang matanya menatap lekat pada wajahku sampai aku salah tingkah. “Ngapain ke sana?” cecarnya. “Entar aku ceritain. Yuk berangkat!” ajakku. Kemudian, kami bersua segeea meluncur menggunakan sepeda motor. Ini kali pertama aku dibonceng saudara. Soalnya, aku anak tunggal. Pun dengan Mama yang juga anak semata wayang. Jadi praktis aku tak punya saudara dari Mama. Motor yang kami kendarai meluncur pelan membelah jalanan yang tak terlalu ramai oleh hilir mudiknya kendaraan. Berulang kali kuedarkan pandangan ke kanan kiri jalan sekedar untuk menikmati perjalanan. Tak sampai 15 menit, kami telah sampai di tempat tujuan. Gegas aku turun lalu mengekori langkah Alvin menuju tempat grosir sembako. Lalu, kami berhenti di depan sebuah ruko yang lumayan ramai. Kebanyakan yang berbelanja di sini membeli dalam jumlah yang lumayan banyak. Mungkin akan dijual kembali, sama seperti yang Alvin lakukan. “Ruko Papa yang mana, Vin?” tanya sambil mengamati barisan Ruko yang berjajar rapi. “Di sebelah sana. Itu yang paling besar,” jelas Alvin sembari menunjuk ke arah ruko yang tak terlalu ramai oleh pengunjung. “Aku ke sana sebentar ya,” pamitku. “Ngapain?” “Lihat-lihat aja,” sahutku. “Ya sudah, nanti aku tunggu di sini,” pesan Alvin. Sementara Alvin berbelanja, aku berjalan menuju tempat yang tadi ditunjuk olehnya. Perasaanku sedikit deg-degan khawatir akan bertemu Bu Sri dan dia kembali menghinaku. Langkahku berhenti di depan ruko kosong di sebelah punya Papa. Kuedarkan pandangan ke sekeliling mencoba melihat potensi jika tempat ini kujadikan toko sembako. Sepertinya prospek karena dekat pintu masuk. Jadi pengunjung akan langsung melihat. Aku tersenyum simpul sembari mengangguk. Tempatnya sudah ada, tinggal menghubungi pemiliknya. Berapa pun harganya akan kubeli. “Hei! Ngapain kamu ke sini!” bentak suara perempuan dari arah samping. Aku tersentak kaget, lalu menoleh pada sumber suara tersebut. Rupanya Bu Sri sedang memandangku dengan tatapan penuh selidik. “Enggak kok. Lagi jalan aja!” jawabku santai. Tak mungkin juga kuceritakan niatku ke sini. Biar saat semua siap akan menjadi kejutan buat Bu Sri. “Oh ... pasti kamu lagi mengawasi tokoku kan? Kamu ingin meminta bagian toko ini kan? Jangan harap!” Bu Sri tersenyum sinis. Lagi dan lagi. Aku sampai bosan mendengar dia bicara soal bagian atau warisan. Apa Bu Sri pikir aku sangat miskin sampai harus berebut harta? “Kalau iya kenapa?” Sengaja aku memancing agar dia tersulut emosi. “Enak saja! Ini punyaku. Bukan punya Mas Harjo! Jadi kamu tak punya hak sama sekali!” akunya. Aku tersenyum miris. Bisa-bisanya dia mengaku seperti itu, padahal menurut Bude ruko itu milik orang tuanya. Ah ... namanya juga gila harta. Jadi tak aneh jika mengaku-ngaku, takut aku merebut. Bukannya menyahut, aku justru beranjak pergi dari hadapan Bu Sri. Biar saja dia meradang karena diabaikan saat bicara. Pasti Ibu tiriku akan tersinggung karena kuabaikan. Kemudian, aku berhenti di depan toko tempat Alvin belanja. Duduk di atas jok motor, aku mengamati beberapa orang pejalan kaki. Sepertinya pasar ini lumayan ramai. Tak Lama, Alvin telah kembali dengan 3 karton belanjaan. Gegas aku turun lalu membantunya. “Sudah semua?” tanyaku. “Sudah. Pulang yuk!” ajaknya. “Antar aku dulu menemui pemilik ruko itu,” sahut sembari mengacungkan jemari telunjuk. “Tapi kita bawa barang banyak, Ve! Lain kali saja ya!” Alvin membujuk. Ah ... padahal aku ingin secepatnya membeli ruko itu. Rasanya sudah tak sabar ingin segera bersaing dengan Ibu tiri. Diam, aku memutar otak agar keinginanku segera terwujud. Kalau nanti sudah sampai rumah, belum tentu juga Alvin mau mengantar. Apalagi kami belum cukup akrab. “Bagaimana kalau belanjaannya suruh tukang ojek saja yang bawa balik. Kita langsung ke sana sekarang,” usulku. Alvin tampak keberatan, tapi pada akhirnya dia setuju. Sementara barang belanjaan di bawa tukang ojek, kami berdua segera meluncur tanpa harus dibebani barang belanjaan. **** Setelah melalui tawar menawar yang tak terlalu alot, akhirnya aku mendapatkan toko itu dengan harga yang tak terlalu mahal. Langsung saja kubayar menggunakan m-banking, jadi tak perlu ribet mencari uang cash. Hati ini bersorak girang sebab telah berhasil mendapat toko itu. Artinya, tak lama lagi aku siap untuk menghancurkan Ibu tiri. Untung sedikit tak masalah, yang penting semua pelanggan Bu Sri beralih menjadi pembeliku. Toh, menurut cerita Bude, Ibu tiriku menjual dengan harga yang sering ngawur, apalagi kalau yang membeli orang yang tak berpengalaman.Pukul empat sore kami baru keluar dari rumah pemilik ruko tersebut. Alvin langsung mengajak pulang karena Bude sejak tadi sudah menelepon terus. Alvin mengemudikan motor dengan kecepatan sedang. Namun, tiba-tiba dia mengerem mendadak. Sontak aku kaget sampai tubuh kami menempel. “Apa-apaan sih!” Aku menggerutu sembari memukul bahu Alvin. Bukannya menyahut, Alvin justru memutar balik kendaraan, lalu melaju dengan kecepatan tinggi. Aku yang bingung bercampur takut refleks melingkarkan tangan di perutnya. Tiba-tiba Alvin memepet sebuah motor yang dikendarai dua sejoli. Sampai akhirnya kami berhenti di bahu jalan. Buru-buru Alvin turun lalu menarik lengan perempuan yang ada di boncengan, sedangkan si lelaki hanya diam saja di atas jok motor.“Jadi benar kamu masih sering jalan sama mantanmu!” ucap Alvin setengah berteriak. “E ... anu, Vin. Aku bisa jelaskan,” ucap perempuan itu. “Jelaskan apalagi. Kamu sudah selingkuh, Sa! Mulai sekarang kita akhiri semuanya!” seru Alvin. Perempuan itu mencoba menjelaskan sesuatu, tapi Alvin abai dan langsung naik ke atas motor lalu meluncur pergi. Astaga! Rupanya perempuan itu kekasih Alvin. Pantas saja dia mengerem mendadak saat tadi kami berpapasan. Kasihan betul nasibmu, Vin! Dikhianati oleh perempuan yang menurutku tak cantik-cantik amat, padahal Alvin terhitung berwajah tampan.Sekitar pukul lima sore kami baru sampai di rumah. Tanpa bicara, Alvin langsung menerobos masuk meski Bude menyambut. Tentu saja ini menimbulkan kecurigaan. “Alvin kenapa, Lintang? Kok kayak gitu?” tanya Bude dengan sepasang mata mengekori langkah anaknya. “Enggak tahu, Bude,” jawabku bohong. Sebenarnya aku ingin bercerita kalau kami habis ketemu perempuan yang mungkin kekasih Alvin. Namun, aku khawatir ini justru akan membuat pikirannya semakin kacau. Biar dia saja yang bercerita pada ibunya. “Ya sudah, sekarang kamu mandi dulu, nanti bantu Bude masak,” “Iya, Bude.” Lalu, aku beranjak masuk ke kamar. Sejenak kurebahkan tubuh di atas ranjang sekedar melepas lelah. Setelah itu, baru beranjak mandi. Selepas magrib aku membantu Bude menyiapkan makan malam. Kami banyak mengobrol tentang kehidupan masing-masing. Tentu saja tak kuceritakan tentang kehidupanku yang lumayan enak. Khawatir dibilang pamer. “Tolong panggil Alvin, Lintang!” perintah Bude setelah semua tersaji di meja mak
Mencoba abai dengan ucapan Gea, aku mengekori langkah Papa masuk ke dalam. Kuedarkan pandangan ke sekeliling melihat ruang tamu yang baru pertama kusinggah. Dari kemarin tak pernah mereka mengajak masuk. “Ngapain lihat-lihat? Enggak pernah masuk ke rumah mewah ya?” ejek Hana dengan setengah tertawa. Aku mencebikkan bibir. Lantai keramik saja sudah sesombong ini, apalagi kalau yang lebih bagus. Bisa-bisa dia semakin sombong. Sebenarnya aku ingin membalas ucapan Gea, tapi lebih memilih diam karena sedang mengikuti permainan mereka. “Duduk!” ucap Bu Sri setengah membentak. Aku tak heran karena susah menduga hal ini. Sikap baik yang dia tunjukkan di depan Bude hanya palsu belaka. Dan aku sudah menduganya. Aku menurut. Duduk di sofa mengikuti mereka. “Kamu duduk di bawah. Tak pantas di situ!” bentak Gea. Diam, aku menoleh pada Papa. Lelaki itu seperti tak nyaman dengan ucapan anaknya, tapi sayangnya dia bergeming, tak berusaha membelaku. Apa begitu cara menjadi seorang Bapak?Lalu,
Dering nada panggilan dari ponsel membuatku terjaga dari tidur yang belum berapa lama. Meski mata masih terasa lengket, aku meraba benda pipih yang tergeletak di atas meja. Sebuah kontak yang kuberi nama ‘Mama’ terpampang di layar. Gegas aku menggeser tombol berwarna hijau lalu mulai menyapa. “Iya, Ma!” ucapku memulai obrolan. “Gimana? Kamu sudah ketemu Papa kan?” tanya suara dari seberang sana. “Iya ... sudah,” “Terus, apa keluarga Papa menerimamu?” Pertanyaan Mama memaksa otak berpikir keras. Jika bilang diperlakukan buruk, sudah pasti Mama akan meminta lekas pulang. Tentu tak ada kesempatan membalas Papa dan keluarganya. “Iya, Ma! Papa menerimaku. Mereka sangat sayang,” ucapku berusaha menutupi fakta. “Alhamdulillah ... akhirnya Papa mau mengakui juga,” ucap Mama. “Mengakui bagaimana?” tanyaku kemudian. “Ya kan dulu Papa tak mengakuimu sebagai anak. Tapi itu hanya masa lalu. Yang penting sekarang semua sudah selesai,” jelas Mama. Astaga! Pantas saja perlakuan Papa seperti
Aku menyeka sudut mata yang mulai digenangi bulir bening. Membayangkan Nita berkhianat saja sudah sangat menyakitkan apalagi kalau benar terjadi. Bisa-bisa aku depresi. “Ah ... semoga tak seperti itu.” Aku bermonolog mencoba menepis syak wasangka. Saat sedang sibuk menenangkan hati, terdengar derit pintu yang terbuka. Aku menoleh pada sumber suara tersebut. Rupanya Alvin yang membuka. Lelaki itu melangkah masuk tanpa permisi. Tatapannya tak henti menyapu wajah memindaiku. Jujur. Aku tak suka siapa pun masuk kamar tanpa permisi. Bagiku kamar adalah tempat paling privasi. Apalagi dia seorang lelaki. Tentu saja sangat mungkin melihat sesuatu yang tak pantas. Atau memang dia sengaja ingin mengintip?“Kamu kenapa nangis, Lintang?” tanyanya setelah dekat. Abai dengan pertanyaannya, aku justru balik bertanya dengan nada suara setengah membentak. “Kenapa kamu masuk tanpa permisi? Enggak sopan tahu!” Alvin terkesiap. Sejenak kulihat raut bersalah di wajahnya. “Maaf! Aku sudah lebih dari
Menjelang magrib kami baru pulang dari pasar. Sebenarnya pembeli masih ada karena letak toko kami ada di pinggir jalan raya. Namun, demi membagi waktu beristirahat kami sepakat buka pukul tujuh, tutup pukul 17:00. Tadi, saat di jalan sengaja kami membeli lauk. Kasihan Bude jika harus menyiapkan makan malam buat kami, apalagi dia juga harus menjaga toko sepanjang hari. Tersenyum puas, aku menghempaskan tubuh letih ini di atas pembaringan. Masih terekam jelas dalam ingatan bagaimana wajah Bu Sri saat mengetahui bahwa perempuan yang dihina, kini memiliki toko tepat di sebelahnya. Setelah penat berkurang, aku baru keluar kamar. Alvin dan Bude sedang mengobrol di ruang depan. Kuayunkan langkah mendekati mereka lalu duduk di sebelah Bude. “Kebetulan kamu keluar, Lintang. Ada yang mau Bude tanyakan,” ujar Bude. “Tanya apa?” “Akhir-akhir ini kalian selalu pergi pagi pulang sore. Sebenarnya kalian ke mana sih?” tanya Bude. Aduh! Rupanya Bude sudah mulai curiga dengan aktivitas kami, pad
Tergagap saat mendengar bunyi ketukan pintu, aku bangkit dan menyeka sudut mata. Tak ada yang boleh tahu kalau hati ini menjerit sakit atas ucapan Papa.“Iya. Masuk saja!” sahutku dengan suara sumbang. Tak lama pintu terbuka. Alvin melongok dengan senyum khasnya. “Bisa kita bicara sebentar?” tanyanya. Aku mengernyit heran, tapi akhirnya mengangguk mengiyakan permintaannya. “Bisa. Sini masuk!” ajakku berusaha menyembunyikan kekalutan.“Di luar saja,” tolaknya halus. “Loh, kenapa enggak di sini saja?” tanya Alvin. “Aku lelaki normal, Lintang. Apalagi kamu itu cantik.” Lelaki itu menaik turunkan alis menggoda. Sudut bibirnya tertarik ke atas hingga menampakkan sebagian gigi. Entah apa maksud pernyataannya, tapi yakin dia hanya ingin menghibur. Aku bangkit, beranjak mendekat. Lalu, berjalan beriringan dan berhenti di teras. “Ada apa, Vin?” tanyaku setelah kami duduk. Lelaki itu menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Detik berikutnya dia menoleh. “Aku tahu kamu
Menjelang pukul tiga sore, kami sudah mendapat dua pick up penuh aneka hasil panen. Niko bilang tak lama lagi saatnya berangkat menjual semuanya. Aku yang belum berpengalaman tentu saja tertarik ikut langsung sekalian mencari suasana baru. “Yuk, Vin! Kita harus berangkat sekarang. Aku sudah janji sama yang mau beli nanti kita ketemu di pasar induk,” ajak Niko yang sudah selesai menata semua dagangan. “Gimana, Lintang? Kamu ikut atau aku antar pulang?” tanya Alvin. “Ikut dong, sekalian healing,” jawabku asal. “Kita mau kerja, bukan jalan-jalan.” Alvin mencibir. Mungkin bagi mereka ini semata soal pekerjaan, tapi bagiku yang belum pernah melakukan hal seperti ini, tentu saja akan menjadi pengalaman baru. Bukankah ini terbilang healing. “Iya,” sahutku. Lalu, Niko dan Bima masuk ke dalam mobil yang sama, sedangkan aku dan Alvin berdua dalam mobil pick up warna hitam. Memejam sejenak, Aku menyandarkan punggung pada sandaran jok. Satu hal yang membuatku gelisah adalah tidak hadirnya
Seperti biasa, aku bangun saat fajar subuh tiba. Menjalani rutinitas sebagai makhluk, memuji Dia dengan segala keagungan-Nya. Sebentar kemudian aku berkemas, bersiap pergi ke toko. Setelah kemarin seharian tak datang, tentu aku tak sabar ingin bertemu Bu Sri-perempuan yang akan kubungkam mulutnya dengan kesuksesan. “Yuk berangkat, Vin!” ajakku pada lelaki yang sedang menikmati kopi di teras. “Loh ... kan kita menjalankan tugas masing-masing,” sahut Alvin. Tersadar, hari ini kami memang beda tujuan. Namun, entah mengapa rasanya sepi jika tak ada Alvin, padahal belum lama saling mengenal. “Terus gimana dong? Aku jalan kaki?” Aku memasang wajah cemberut. “Emang kuat?” ledeknya disertai sedikit tawa. Astaga! Ini lelaki enggak peka banget. Ya jelas enggak mungkin jalan kaki. Yang ada belum sampai ruko sudah pingsan dulu. “Dikuat-kuatin aja!” ketusku. Melipat tangan di depan dada, aku memalingkan wajah dari lelaki itu, meski tak kunjung beranjak. “Cie ... ngambek,” ledeknya, “ya
Aku mendekati Mas Alvin yang sedang menikmati kopi di teras,sedangkan Gea langsung masuk ke dalam.“Dari mana kamu, Lintang?” tanya Mas Alvin.Meletakkan bokong di sebelah suami, aku menyandarkanpunggung pada sandaran kursi.“Dari rumah Bu Sri, Mas! Aku sudah membayar rumah itu,”sahutku.“Terus mau dikosongkan rumahnya?”“Enggaklah! Kan ada Gea!”Mas Alvin mengangguk. Detik berikutnya dia menyambar gelasdi atas meja, menyesap sebentar lalu meletakkan di tempat semula.“Mas ... aku boleh minta sesuatu enggak?” tanyaku kemudian.Mas Alvin menoleh dengan kening berkerut. “Minta apa?”“Begini, Mas! Sekarang aku dan Gea sudah baik. Dia akantinggal di rumah yang baru saja kubeli. Nah ... yang masih mengganjal dipikiran itu Papa. Biar bagaimanapun dia orang tuaku, sedangkan saat ini akuenggak tahu dia tinggal di mana,” sahutku.“Terus?”“Aku ingin kita tunda dulu kepergian sampai Papa ketemu. Nantirencananya aku suruh Papa tinggal bareng Gea. Boleh ya, Mas!” rengekku, meraihtangan Mas Alvin
Sampai rumah, Gea langsung berlari ke kamar sembari tanganmengucek mata. Aku bisa merasakan betapa hati gadis itu terluka, antara kecewadengan ibunya, juga malu padaku.Meninggalkan Alvin yang sedang memarkirkan motor, beranjakaku ke dalam menyusul Gea. Di saat seperti ini dia pasti butuh teman.Mengetuk pintu kamar Gea, aku memanggil namanya beberapakali, tapi tak kunjung ada sahutan. Nekat aku mendorong daun pintu yang rupanyatak di kunci. Gadis itu tengah terisak, duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekat, aku mengelus pundak Gea berusaha menenangkan.“Sabar ya, Ge!” ucapku pelan.Bukannya menyahut, isaknya justru terdengar semakin jelas diantara nafas yang tersengal. Namun, aku tak melarang sebab tangis sedikitbanyak mampu meringankan beban di hati. Menangislah!“Mbak!” ucapnya setelah tangisnya mereda.“Iya,”“Kenapa kamu peduli denganku? Bukankah selama ini aku jahatsama kamu?” Gea menoleh, menatap lekat seperti mencari sesuatu di bola mataku.Melempar senyum, aku merapikan a
Seperti biasa aku beranjak ke dapur setelah kamar beres. Ibutampak sudah berjibaku dengan pekerjaan, sedangkan Gea belum terlihat.Aku menyambar toples berisi gula, berniat membuat kopi untukMas Alvin. Sedikit demi sedikit hubungan kami mulai membaik, meski suamikumasih sedikit kaku.“Bu, Gea kok belum kelihatan. Tumben?” tanyaku sembarimenakar gula sesuai selera suami.“Gea tadi pamit pulang, ada yang penting katanya,” sahutIbu.“Penting apa sih?”“Enggak tahu juga sih, tapi dengar-dengar dari tetangga, BuSri mau jual rumah itu!”Sontak aku terperanjat. Rumah itu milik orang tua Papa.Meski aku tak mengenalnya, setidaknya bisa menjadi pengingat bahwa aku punyagaris keturunan darinya.“Kok dijual sih? Bukannya itu punya Kakek?” tanyaku setengahprotes.“Iya, tapi kan sekarang sudah berganti nama menjadi milik BuSri. Jadi ya dia bisa jual,” jelas Ibu mertua.Ada rasa tak terima jika rumah itu berpindah tangan. Seharusnyarumah itu hak Papa dam Ibu mertua, tapi malah jatuh ke tangan Bu Sri
Seminggu telah berlalu, tapi sikap Mas Alvin belum kembalimenghangat, padahal sudah kulakukan kewajiban sebagai seorang istri.Kemarin, saat mengurus pernikahan di KUA, Mas Alvin menolakmenggunakan mobil. Dia bilang kalau enggak ingin menggunakan apa pun darikekayaanku. Bukankah ini berlebihan?“Sampai kapan kita akan seperti ini, Mas?” tanyaku saat kamitengah berdua di kamar.“Apanya yang sampai kapan?” Mas Alvin balik tanya.Aku menghela nafas panjang lalu membuang perlahan. Entahsengaja atau tidak, tapi aku yakin Mas Alvin paham pertanyaanku.“Ya kita! Sampai kapan kamu akan mendiamkanku begini? Kita suamiistri, Mas! Bukan musuh!” jelasku berusaha sabar.Kata orang pengantin baru itu indah. Namun, nyatanya tidak!Kami menjalani hari penuh kekakuan. Bahkan urusan ranjang pun kami tak pernahmelakukan kecuali saat pertama kali dulu. Mas Alvin hanya mengecup kening saat mataini memejam. Bukankah ini menyedihkan?“Sampai aku bisa melupakan hujatanmu malam itu. Setidaknya,rasa sakit di ha
Berkali-kali aku mengerjap, memaksa membuka mata yang masihterasa lengket. Kuraba Mas Alvin yang semula tidur di sebelahku. Namun, takkutemukan dia. Astaga! Dia tak membangunkan aku.Menyadari kalau bangun kesiangan, buru-buru aku bangkit lalumenyambar pakaian yang tercecer di lantai.Tadi malam, meski aku sudah merayu Mas Alvin, kami takmelakukan apa pun. Dia terus menolak dengan alasan yang tak jelas. Yang lebihmenyedihkan, saat tidur pun dia memunggungiku.Entah apa yang terjadi padanya, tapi yang jelas dia sepertisedang membalas. Sikap dinginnya itu lebih menyakitkan ketimbang sebuahtamparan.Beranjak keluar kamar, aku menemui Ibu mertua di dapur. Tanpadiminta aku langsung membantu beberes juga menyiapkan sarapan.“Mas Alvin ke mana ya, Bu? Kok enggak kelihatan?” tanyaku disela aktivitas kami.“Lagi di depan. Tadi Gea datang. Memangnya kamu belum ketemudia?” tanyanya balik.Mendengar Ibu mertua menyebut nama Gea, cemburu datang mengganggupikiran, apalagi Mas Alvin sedang bersama p
Mobil yang kukendarai melaju pelan menembus sepinya malam.Sesekali aku menyapu wajah sekedar menepikan bayangan Mas Alvin agar tetap fokuspada jalanan.Tak lama, aku telah sampai di rumah. Hati berjingkrak girangsaat kulihat motor Mas Alvin terparkir di halaman rumah, bersebelahan denganmotor entah punya siapa. Buru-buru akuturun lalu beranjak masuk sambil berteriak.“Mas Alvin!” teriakku girang sembari membuka daun pintu yangtak tertutup rapat.Seketika senyum memudar saat menyaksikan pemandangan yangtak biasa. Mas Alvin tengah duduk berdua, saling berhadapan dengan seorangperempuan bernama Elsa.“Sudah pulang, Lintang?” sapanya dingin.Membunuh ego, aku beranjak mendekat pada suami.“Iya, Mas! Kamu ke mana saja beberapa hari ini? Aku terusmencarimu. Maafkan aku ya, Mas! Aku mengaku salah soal malam itu. Akumenyesal!” cerocosku sambil berusaha memeluk melepas rindu. Namun, kurasakansesuatu yang beda dengan Mas Alvin.Sama sekali dia tak membalas pelukan, atau sekedar mengeluspucuk k
Tiga hari telah berlalu. Namun, sampai detik ini Mas Alvinbelum juga kembali. Dibantu Ibu mertua, sudah kucari dia ke sana ke mari. Banyakteman dan tetangga kami datangi. Nyatanya usaha ini sia-sia belaka.Senja ini, aku rehat melakukan pencarian. Diam di terasmencoba menenangkan pikiran. Jika ditelisik lebih dalam, sepertinya Mas Alvinsengaja menghukumku.Lamunan buyar tatkala terdengar dering nada panggilan dariponsel yang tergeletak di atas meja. Melongok pada layar, kulihat nama Nikoyang tertera di sana. Dengan malas aku menerima panggilan itu.“Gimana, Lintang? Apa Alvin sudah ketemu?” tanya suarabariton dari seberang sana.“Belum, Nik,” sahutku.“Bagaimana kalau aku temani kamu nyari Alvin?”Aku mengernyit heran oleh tawaran yang dia berikan. Kenapajuga harus menemaniku, padahal kalau mau mencari tinggal berangkat sendirisaja, apalagi dia laki-laki.“Sorry, Lintang! Kamu jangan berpikiran macam-macam. Aku cumakasihan sama kamu kalau Alvin enggak cepat ketemu,” ucap Niko saat aku
Aku membawa tas yang belum sempat kubongkar isinya lalumemasukkan ke bagasi. Saat ini juga akan kususul Mas Alvin ke kampung halamansebagai bentuk permintaan maaf.“Aku berangkat dulu ya, Ma!” pamitku.“Iya, Sayang! Kejarlah cintamu. Mama doakan rumah tanggakalian baik-baik saja!”Setelah kami saling peluk, gegas aku melajukan kendaraan.Rasanya sudah tak sabar ingin bertemu Mas Alvin dan minta maaf. Semoga dia maumemaafkan kebodohan ini.Jalanan pagi ini tak terlalu ramai. Alhasil, dalam waktukurang dari 10 jam aku telah sampai di rumah Ibu mertua. Gegas aku turun lalumenemui perempuan yang sedang menatapku dari teras.“Assalamu alaikum, Bu!” ucapku, meraih tangannya dan menciumtakdim.“Waalaikum salam, Kok kamu sendirian Lintang? Alvin mana?”tanya perempuan itu dengan sepasang mata menatap pada pintu mobil.Aku tersentak kaget. “Loh ... bukannya Alvin sudah balikdari tadi malam, Bu?” tanyaku balik.Kali ini giliran Ibu mertua yang mengernyit heran. Dia terusmenatapku seperti bingung.
Duduk memeluk lutut di sudut ranjang, aku mengenang semuatentang Mas Alvin-lelaki yang telah membodohiku. Awalnya dia terlihat begitubaik, bahkan hati ini mulai terpikat sejak saat itu.Seiring berjalannya waktu, rasa ini semakin nyata. Sebentarsaja tak bertemu, hati ini gundah gulana. Tak jarang aku bersikap manja sekedarmendapat perhatiannya.Selama ini aku selalu berpikir dia malaikat yang dikirimTuhan untuk menuntunku ke jalan yang benar. Kehadirannya kuharap mampumenyembuhkan luka akibat pengkhianatan. Namun, nyatanya salah. Dia justru datanguntuk meremukkan hati, menghancurkan segala mimpi.Lamunan buyar tatkala kudengar suara ketukan pintu kamar. Awalnyaaku bergeming, tapi karena terus diketuk, akhirnya aku menyahut juga.“Iya, Ma! Sebentar!” Aku bangkit, berdiri lalu beranjak membukapintu.“Lintang, Kamu kenapa? Kok sembab gitu?” tanya Mama saatmelihat keadaanku.“Enggak kok! Kurang tidur kali, Ma!” jawabku asal sembarimenghindar dari sorot matanya “ Mama ada apa jam segini su