“Miranti, kamu kenapa?” Mas Arya terkejut melihat tubuhku yang terbaring lemas di lantai sembari memegangi perut. Dia menggendong tubuhku dan membaringkan di atas ranjang.
“Miranti, bangun. Kita ke dokter ya!” Mas Arya sangat mencemaskanku. Berkali-kali dia menepuk-nepuk pipiku. Dia mengira aku tak sadarkan diri. Tubuhku memang lemas, tapi aku tetap sadar. Semua kecemasan yang Mas Arya rasakan, bagiku itu palsu. Pria yang tega menghianati istrinya adalah pria yang pandai berbohong. Semua yang dia katakan hanya palsu belaka.
Aku tak ingin membuka mataku. Ingin rasanya aku akhiri saja hidupku. Rasa sakit yang aku rasakan tak bisa terbayar oleh apapun. Jiwaku lemah, ragaku tak ingin bersahabat dengan nyawa. Pergilah kau wahai nyawaku, aku tidak ingin bersamamu lagi. Pergi lah jauh dan bawa ragaku bersamamu. Aku tak mau melihat wajah suamiku lagi. Tanpa terasa airmata menetes di pipiku. Isak tangis lirih mulai terdengar, membuat suamiku tersenyum dan memelukku.
“Syukurlah, kau sudah sadar sayang.” Mas Arya mengecup keningku lembut.
Dulu akau sangat menyukai kecupan itu. Tanpa mendapat kecupan itu mataku tak mampu terpejam di malam hari. Suamiku tahu akan hal itu dan tak pernah absen untuk mengecup keningku saat berada di sampingku. Kini kecupan itu membuatku muak. Aku jijik dengan bibirmu yang sudah ternodai karena perselingkuhanmu. Bibir yang dulu sangat aku gilai, kini aku sangat membencinya. Pasti sudah menempel noda menjijikkan dari wanita selingkuhannya itu. Sakit dan terasa bagai tersayat ribuan jarum.
Mengingat anak dalam kandungan menyadarkan bahwa aku tak boleh mati. Aku tidak boleh kalah oleh Mas Arya. Kalau aku mati, kasihan anak-anakku. Bagaimana nasib mereka berada ditangan ayah yang tak peduli pada mereka. Belum lagi kalau dia menikahi selingkuhannya. Aku tidak rela hartaku jatuh ketangannya. Aku akan mencari bukti tentang perselingkuhannya. Aku harus bisa menahan diri.
“Kamu sudah sadar? Aku cemas sekali. Kamu kenapa sayang?” Mas Arya membelai rambutku. Ingin sekali aku menepisnya. Namun aku membiarkannya untuk menutup kecurigaanku.
“Aku enggak apa-apa Mas. Aku tadi mau beresin baju-baju kamu yang ada di koper. Tapi tiba-tiba badanku lemas. Maaf, tolong kamu beresin sendiri ya? Semua sudah terlanjur aku keluarkan.
“Iya tidak apa-apa. Sebentar ya.” Mas Arya beranjak hendak meninggalkanku. Namun aku mencegahnya saat melihat tanda merah keunguan di leher suamiku. Aku tahu betul itu tanda apa. Sebagai wanita yang bersuami aku tak meragukan bahwa itu tanda bahwa suamiku benar-benar punya selingkuhan. Hancur hatiku. Bumi seakan berhenti berputar. Ku pejamkan mata sejenak.
“Ada apa?” tanya suamiku.
“Leher kamu kenapa? Apa ada yang melukaimu?”
Mas Arya terlihat gugup. Dia berusaha menutupi leher dengan tangannya. Tak ada sepatah katapun keluar dari bibirnya. Wajahnya terlihat pucat dan tangannya sedikit gemetar.
“Kamu kenapa, Mas? Sakit?” tanyaku padanya.
“Tidak, aku hanya .... “
“Kau belum jawab pertanyaanku tadi.”
“Yang Mana ya?” suamiku berpura-pura lupa untuk menutupi kegugupannya.
“Masa kamu lupa sih? Itu tanda yang ada di leher kamu?”
“Oh ini,” Mas Arya mencoba memegang leher bagian yang lain.
“Bukan, itu yang sebelah kanan.” Aku tahu suamiku terpojok. Dia tahu persis aku tak pernah meninggalkan bekas di sana. Kau sendiri yang melarangku untuk melakukan itu. Kau begitu tegas terhadapku, tapi tidak dengan selingkuhanmu. Seistimewa apa dia untukmu, Mas. Bahkan larangan terhadapku tapi tidak untuk wanita itu. Dadaku begitu sakit seperti tertindih batu yang sangat berat.
“Oh ini ... ini ....”
Ponsel Mas Arya berbunyi dan menjadi angin segar untuknya. Sejenak dia bisa menghidar dari pertanyaanku. Aku melengkungkan sudut bibir. Itu takkan berlangsung lama. Sebentar lagi akan menghujanimu dengan pertanyaan yang pasti membuatmu terpojok.
Aku memasang telinga, mencoba mencuri dengar pembicaraan mas Atya di telpon. Walau suaranya begitu lirih, tapi lamat-lamat kupingku menangkap pembicaraan yang membuatku muak.
“Iya sabar, Aku juga menginginkanmu lagi, kau sangat menggairahkan. Nanti kalau istriku tertidur, aku pasti ke rumahmu. I love your body. Mmuach”
Cuih, menjijikkan sekali. Benar-benar membuat emosi naik. Dasar pria tak tahu diri. Sudah aku angkat derajatmu dan keluargamu, masih berani berselingkuh. Tunggu saja apa yang akan aku lakukan untuk membalas perbuatanmu. Aku kembali memegangi perut yang kembali di dera rasa sakit. Anak yang ada dalam perut saja tidak terima dengan perlakuan ayahnya.
“Dari siapa? kenapa harus menghindar dariku?” tanyaku dengan pertanyaan yang kembali memojokkannya.
“Oh itu, mmm ... dari manager resto yang ada di bandung. Katanya ada sedikit masalah sih.”
“Lalu, apa dia menyuruhmu untuk ke sana?”
“Iya.”
“Baguslah. Aku ikut denganmu,” Kataku dengan santai.
“Oh, tidak usah. Kehamilanmu sudah cukup besar. Sangat berbahaya kalau harus menempuh perjalanan jauh. Aku takut terjadi apa-apa dengan anakku.” Mas Arya mengelus perutku. Dia berusaha menolakku. Aku tahu, itu hanya alasannya saja. Padahal yang sebenarnya, dia akan pergi bersama selingkuhannya itu. Menyebalkan.
“Mas, perjalanan dari jakarta ke bandung gak butuh waktu lama. Paling dua jam aja sampai. Gak akan membuatku cape. Aku juga sudah lama tidak mengontrol restoran kita. Siapa tahu dengan kedatanganku, masalah di sana bisa teratasi.” Jawabku tegas. Aku tak boleh kalah dari suamiku.
“Apa kau tak percaya lagi padaku, Miranti?” Mas Arya terlihat tak senang dengan ucapanku.
“Bukan begitu, Mas. Tidak ada salahnya’kan kalau aku juga ingin memastikan reso kita baik-baik saja?”
“Sudahlah, hari sudah malam. Tidurlah. Besok pagi sekali aku akan berangkat ke bandung. Kau urus saja anak-anak. Jangan sampai mereka terlantar.” Mas Arya tidur di sampingku dan menarik selimut, lalu pura-pura tertidur.
Dia pikir aku sebodoh itu. Dengan berpura-pura tidur, kau pikir aku akan ikut tertidur. Arya wiguna, istrimu tak sebodoh itu. Aku akan tetap membuatmu terjaga. Atau setidaknya aku yang akan terjaga sampai pagi supaya rencanamu untuk menemuinya malam ini tak terlaksana.
Ponsel suamiku berbunyi. Aku penasaran dan melirik ke arah ponsel yang dari tadi terus berada dalam genggamannya. Satu pesan masuk pada aplikasi berwarna hijau. Pesan itu terlalu panjang, hingga aku tak bisa membacanya secara lengkap. Hanya balasan pesan singkat dari Mas Arya yang dapat kubaca.
[Sepuluh menit lagi otw.]
Hanya itu balasan darinya, lalu mematikan ponsel kembali. Kau pikir akan mudah lari dariku malam ini. Tidak akan kubiarkan kau pergi dari sisiku.
“Mas.”
“Hmm.”
“Aku mau tanya.”
“Besok saja, aku sudah ngantuk.”
“Harus sekarang.”
”Besok saja.” Mas Arya menutup kuping dengan bantal.
Benar-benar membuat tensi darahku naik. Kau yang mulai memancing emosiku. Tak perlu aku tahan lagi apa yang ingin aku ketahui. Kau menantangku, Arya. Lihatlah, aku atau kamu yang akan menyesal.
Aku menarik bantal yang menutupi telinga Mas Arya dengan kesal dan membantingnya ke lantai. “Bekas lipstik siapa yang ada di pakaianmu?!” Aku mulai terpancing emosi. Suamiku benar-benar tak menghargaiku sebagai istrinya. Hanya ingin bertanya harus menunggu besok. Keterlaluan sekali dia.
Mas Arya terkejut. Dia membalikkan badan dan menatap tajam ke arahku.
“Apa maksudmu?! Jangan mengada-ada. Ini sudah malam. Tidurlah!” perintahnya. Namun aku mendengar suaranya bergetar. Dia mencoba mengalihkan pertanyaanku.
“Aku tidak mengada-ada. Semua ada buktinya.”
Mas Arya memukul ranjang. “Kamu ini cari gara-gara terus. Bikin aku malas pulang ke rumah!” Dia beranjak dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu hendak keluar, tapi aku menahannya.
“Tunggu! Aku tidak mengada-ada. Aku punya buktinya.” Ku langkahkan kaki ke arah koper yang masih berantakan. Aku memungut kemejanya satu persatu dan memperlihatkan kepadanya.
“Ini, semua kemejamu ada bekas lipstik dengan bentuk bibir yang sama!”
Wajah Mas Arya pucat. Dia tak mengira aku akan menunjukkan bukti yang bisa memojokkannya. Tapi bukan Mas Arya namanya kalau tak bisa mengelak.
“Mungkin saja itu bekas lipstik pengunjung yang tadi sempat menabrakku.” Mas Arya menjawab dengan sekenanya. Dia mulai kehilangan rasa percaya dirinya.
“Apakah orang yang menabrakmu adalah sama, dan kejadian itu berulang hingga disetiap kemejamu menempel noda lipstik dengan bentuk bibir yang sama?!” Aku makin kesal dengan suamiku dan tak bisa lagi mengendalikan emosi.”
Mas Arya terdiam. Dia mengusap wajahnya kasar berkali-kali dan terlihat tak tenang.
“Jelaskan padaku, jangan diam saja!” Aku mengguncang bahu suamiku. Mataku terasa panas. Tanpa terbendung lagi, airmata menetes di pipi.
“Kau pasti sudah menghianatiku, Mas. Sakit hatiku, sakit Mas.” Aku terus memukul dada suamiku. Mas Arya tetap diam, lalu meraih tubuhku ke dalam pelukannya tanpa sepatah katapun. Bahkan kata maafpun tak terucap dari mulutnya, seolah perbuatannya tidak menyakitiku.
Aku melepas pelukannya dan kembali menuntut penjelasan dari suamiku. “kamu jelaskan Mas. Jangan diam saja.”
“Penjelasan apalagi. Kau sedang sensitif, jadi pikiranmu kemana-mana.” Mas Arya masih tetap mengelak. Dia tetap saja tak mau jujur.
Aku tak kehabisan akal. Ada satu lagi yang menjadi bukti terkuat. Segera kuambil alat kontrasepsi pria yang ada di dalam koper dan melemparkannya tepat mengenai wajah suamiku. Dia tersentak saat mendapati dus kecil bergambar wanita dan seorang pria yang terjatuh tepat di hadapannya.
Wajah Mas Arya kembali memucat. Dia sepertinya tak mengira aku akan menunjukkan bukti tersebut. Dia mengusap peluh yang membasahi wajahnya dengan telapak tangannya.
“Miranti, aku bisa jelaskan. Ini tidak seperti apa yang kamu duga. Itu bukan milikku aku menemukannya di toliet pom bnesin dan .... aku memungut sampah itu untuk aku buang dan .... “
“Kebohonganmu sangat tidak masuk akal. Sejak kapan kau jadi pemulung? Jawab yang jujur Mas, kau sudah selingkuh’kan? keterlaluan kamu, keterlaluan!” Aku menjerit histeris dan menangis sejadinya. Mas Arya menutup mulutku dengan telapak tangannya yang kekar supaya suaraku tak terdengar hingga keluar. Aku meronta tapi suamiku tetap membiarkanku hingga aku sesak nafas.
Tak mau menjadi korbannya, kugigit tangannya hingga terlepas darinya.
Kembali berteriak memaki suamiku. Dan tanpa aku duga Mas Arya melayangkan tangannya ke arahku. Tamparannyasangat keras hingga membuat sudut bibirku menetes darah segar. Aku terdiam dan mengusap sudut bibir. Kembali menagis dan tak percaya suamiku tega melakukannya.
“Itu peringatanku yang pertama Miranti. Jangan lagi-lagi kau berani kepadaku! Jangan keluar kamar tanpa seijinku!” Mas Arya keluar dan membanting pintu dengan keras lalu menguncinya dari luar,
Aku menjatuhkan tubuhku ke lantai. Bukan hanya pipiku yang sakit, tapi hati ini lebih sakit. Rasanya bagai ribuan anak panah yang menusuk hati. Apa salahku. Aku sudah mengurus keempat anaknya dengan baik. Aku juga selalu melayani kebutuhannya. Tapi dia begitu tega menghianatiku. Sakit sekali rasanya hati ini.
KEBERANIAN UMAR PUTRAKUPOV ARYA WIGUNAKulangkahkan kaki menuju pintu utama. Ingin segera meninggalkan rumah menuju surga baruku. Sikap Miranti benar-benar mengesalkan. Terlalu mengurusi urusan pribadiku.Seharusnya dia tak mengusik caraku untuk bahagia. Kenapa dia harus seteliti itu mempertanyakan tentang noda lipstik itu. Wajarlah seorang suami mencari kesenangannya di luar sana kalau berada di rumah seperti dalam neraka.Apalagi di kehamilannya kali ini sangat cerewet dan manja. Sudah tahu usia tak muda lagi masih saja hamil. Gak hamil saja aku malas pakai, apalagi dengan body yang melar seperti itu. Bisa membuat burungku tak mau bangun dan melempem kaya krupuk. Huch sebal sekali. Awas saja kalau dia berani melawanku, akan aku beri hukuman yang tak kan dilupakan seumur hidupnya.Kuputuskan untuk pergi ke rumah istri mudaku. Sangat membahagiakan kalau aku mengingatnya. Dia adalah penyemangat hidupku. Bersamanya aku s
4.KEDUA MANUSIA TERKUTUKPOV ARYA WIGUNAUmar terus mendekat kearahku. Tak bisa hal ini di biarkan. Sebagai orangtua, tak boleh kalah oleh anak ingusan itu. Takkan kubiarkan anak itu menang melawanku.“Mau apa kau, umar? Kau mau balas memukul papah?” tanyaku padanya.“Umar tidak pernah membalas saat papah menamparku. Tapi papah sudah memukul mamah, dan aku harus membalasnya!” jawab putraku kalap.Anak nakal itu mengepalkan tangannya dan siap memukulku.“Dia istri papah. Dan papah berhak memberinya hukuman!” jawabku tak mau kalah.“Tapi tidak dengan memukul! Jangan pernah sakiti mamah, atau papah berhadapan denganku!” umar menekan leherku hingga sakit tak tertahankan.“Jangan kurangajar kamu sama papah! Lepasin papah!” rasa sakit menekan seluruh syaraf leher dan juga tenggorokan, membuat kepalaku terasa berkunang-kunang. Kucoba melepaskan diri, tapi tangan juara taekwondo itu s
DATANGNYA BENALUPOV MIRANTICape sekali rasanya pagi ini. Kurebahkan tubuhku pada sofa tamu. Anak-anak sudah berangkat sekolah. Artinya, pekerjaan pagi sudah terselesaikan. Untung saja putraku mau membantu pekerjaan rumah hingga tak harus menyelesaikan sendiri.Ting tong, bel berbunyi. Dengan rasa malas, perlahan aku bangkit. Memegang perut yang sudah cukup besar. Tak sabar rasanya untuk segera melihat wajahnya. Lelaki atau perempuan sama saja. Yang penting lahir dengan kondisi sempurna, sehat dan selamat.Ting tong, ting tong! Bel berbunyi berkali-kali hingga memekakkan telinga. Siapa sebenarnya pagi-pagi begini sudah bertamu. Mana gak sopan lagi. Huh, malas rasanya untuk membuka pintu. Bel berbunyi lagi dan pintu digedor dengan keras. Hal itu membuatku takut. Jangan-jangan ada rampok yang menyatroni rumahku.“Ada apa sih brisik banget!” bentaknya.“Itu mas, ada tamu. Tapi gak sopan banget.”
6, KEPUTUSANKU“Tunggu! Rumah ini milikku, dan aku tak mengijinkannya!” seruku kepada para benalu itu.Mas Arya tersenyum sinis dan menggelengkan kepala. “Miranti, miranti, apa kau lupa? Siapa yang membeli rumah ini? Aku yang membelinya dari hasil keringatku sendiri menjadi jongos dari ayah kamu yang tukang kawin itu!”“Jaga bicaramu, Mas! Ayahku tak pernah menganggapmu sebagai jongosnya. Dan jangan pernah bilang ayahku tukang kawin! Kau tak tahu masalah yang melatarbelakangi semua itu!” sahutku dengan penuh emosi. Aku tak terima ayahku dihina oleh suamiku.“Loh, memang kenyataannya kok. Ayahmu itu kawin sampai empat kali. Kamu toh juga anak haram. Apa artinya kalau bukan tukang kawin?” sahut ibu mertuaku. Mereka benar-benar membuatku emosi.“Aku tak terima ayahku dihina seperti ini! Apa kalian lupa, kalian itu numpang hidup bersumber dari ayahku?! Aku bisa saja mencabut seluruh fasilitas yang s
RAHASIA STEFANI DAN UMARMas Arya terfokus kepada tas yang ku bawa. Reflek, tanganku melingkar untuk melindungi tas. Tatapan Mas Arya penuh curiga. Dia menarik tanganku untuk keluar rumah, lalu menutup pintu dari luar.Suamiku curiga dengan sikapku. Aku juga tak mengerti kenapa tangan ini reflek melindungi tas yang kubawa. Aku mencoba mengatur nafas dan bersikap tenang.“Apa yang kau bawa?” tanya suamiku dengan tetap terfokus pada tas yang masih kulindungi dengan tanganku.‘Oh ini, tas.” Jawabku singkat.“Isinya?!” suamiku mulai meninggikan suaranya dan aku sangat tak menyukainya.“Kecilkan suaramu! Aku bukan budakmu yang bisa kau bentak sesuka hati!” jawabku sengit dan tak mau kalah.“Jangan mengalihkan pembicaraan!”“Siapa yang mengalihkan pembicaraan?! Kau yang menyuruhku keluar dari rumah ini! Apa tak boleh juga aku membawa pakaianku?!
FAJAR TEMAN MASA KECILKUPOV MIRANTISudah sepuluh menit aku menunggu pak suryo, mantan pengacara perusahaan dan pak agus yang dulu mengurusi bagian keuangan. Mereka adalah orang yang menghargai waktu. Tanpa menunggu lama, kedua orang itupun sudah duduk di hadapanku. Setelah memesan minuman, kami berbasa-basi dengan menanyakan keadaan masing-masing. Setelah itu, keduanya menjelaskan kenapa bisa di berhentikan oleh suamiku.Aku sangat terkejut mendengar alasan suamiku memecat mereka. Dengan alasan perusahaan jatuh pailit hingga terpaksa menghentikan keduanya. Namun aneh, kenapa hanya mereka berdua saja tidak dengan yang lainnya. Pak agus menjelaskan karena beliau sering menolak keinginan mas arya untuk mencairkan dana yang begitu besar, walau berkali-kali suamiku mengancamnya. Diusianya yang sudah lanjut, pak agus dikenal sangat loyal dengan perusahaan. Dia benar-benar menjaga amanah dari ayahku.Selama berada dalam genggaman mas ary
KARYAWAN SONGONG“Apa yang kau lakukan?” terdengar suara seorang wanita begitu keras hingga mengagetkanku. Seketika aku menghentikan tanganku memukul fajar. Pria di hadapanku juga sama terkejutnya denganku. Wajahnya memucat seperti mayat. Aku dibuatnya heran. Seorang pengacara seperti fajar mendadak pucat melihat kedatangan wanita itu.Aku penasaran, semengerikan apa wajah wanita yang ada di belakangku itu. Perlahan, kuputar kepala. Alangkah terkejut saat melihatnya. Bukan hantu mengerikan ataupun monster. Bukan wanita gembul dan berwajah sadis. Tak seperti yang ada dalam bayanganku. Wanita itu begitu cantik dan sexy.Kupandangi dia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kakinya menapak di lantai, itu artinya dia manusia dan benar-benar cantik seperti bidadari dari langit. Rambutnya yang tergerai, kulitnya yang putih mulus, serta kaki jenjangnya benar-benar sempurna sebagai seorang wanita. Dia juga masih muda. Usianya tak jauh be
1O. BABAK PERTAMA PEMBALASAN“Berdirilah, pak. Kerjakan kembali tugas bapak. Dan tolong katakan kepada pak hilman, untuk mengumpulkan seluruh karyawan di ruangan meeting, sekarang juga!” Perintahku padanya. Aku tidak pernah merendahkan para karyawanku. Mereka sama saja manusia seperti kita. Ayahku yang mengajarkan kepadaku untuk berbuat baik kepada mereka yang telah berjasa kepada perkembangan usaha. Tanpa mereka kita bukan apa-apa. Pesannya yang masih kuingat dan dilaksanakan hingga kini.Kedua security itu telah pergi. Namun tidak dengan pria sontoloyo yang ada di hadapanku.“Kenapa anda masih di sini? Apa tidak tahu pintu keluar?!”“Jangan sombong! Tidak ada yang bisa memerintahku, kecuali pak arya. Tunggu, aku akan menghubungi beliau. Aku pastikan kau akan menyesal telah menghinaku!”“Silahkan, aku tunggu!” Aku melipat kedua lengan di depan dada. Melengkungkan satu sudut bibir dan menunggu h
9O. HIDUP DAMAIMIRANTI“Sayang, kenapa berhenti?” aku bertanya kepada suamiku saat menghentikan mobil secara mendadak.‘Itu di depan banyak kerumunan orang. Mobil tidak bisa lewat. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi. Itu ada mobil polisi.” Jawab suamiku sembari menunjuk mobil polisi yang terparkir tak jauh dari hadapan..“Iya.” Aku melihat ke arah depan. Ternyata fajar menghentikan mobil tak jauh dari gedung tua yang menyebabkan trauma pada diriku. Dimana aku hampir saja kehilangan kehormatan dan juga kehilangan orang-orang yang aku sayangi. Semua ini gara-gara Handoyo dan Stefani. Kemana aku harus mencari perempuan hina itu untuk membalas dendam kepadanya.“Maaf numpang tanya, pak. Ada apa ya, kok kelihatannya ramai sekali. Apa ada kecelakaan?” tanya fajar kepada salah satu orang yang berlalu lalang.“Ada korban pembunuhan. Korbannya perempuan. Katanya korban pemerkosaan la
KEMATIAN TRAGIS STEFANIMIRANTIPalu hakim sudah di ketuk. Hukuman untuk putra sulungku sudah ditentukan. Meremas dada yang terasa sesak. Tubuh terasa lemas. Sepuluh tahun bukan waktu yang pendek. Umar akan menghabiskan masa mudanya di dalam penjara.Aku sangat menyesal. Semua terjadi karena aku yang tak bisa mengendalikan emosi. Kalau saja saat itu aku menuruti apa kata suamiku untuk tidak bertindak gegabah, mungkin saat ini aku masih bisa memeluk putraku setiap detik.Fajar beserta tim sudah mengusahakan secara maksimal. Namun kasus yang menimpa putraku tidak ringan. Keluarga Handoyo juga menuntut keadilan. Seandainya saja waktu bisa di putar, aku ingin melihat Handoyo yang duduk di kursi pesakitan. Rasanya bagai mimpi ketika melihat anakkulah yang duduk di sana. Dada terasa bagai di himpit batu besar. Sesak dan sakit tak terkira.“Yang sabar, Mir.” Fajar memelukku erat. Kutumpahkan segala kesedihan pada dadany
KEMATIAN HANDOYOSeorang wanita yang sangat kubenci menghadang langkah. Dia bertepuk tangan dengan suka cita di hadapan.“Kasihan sekali, kamu Miranti. Kau harus kehilangan dua orang yang sangat kau sayangi.”Stefani. Wanita itu benar-benar membuatku kesal.Plaak. Satu tamparan mengenai rahangnya. Plaak, satu tamparan lagi kembali kuhadiahkan kepada stefani. Menjambak rambutnya dengan keras hingga kepalanya terangkat dan meludahi wajahnya.“Lakukan apa yang membuatmu senang. Setidaknya, akulah pemenangnya. Akulah yang melempar batu hingga mengenai tangan Arya dan membuatnya terjatuh. Aku juga yang sudah merencanakan untuk menodaimu beramai-ramai. Itulah sederet dosa yang sangat membuatku bahagia. Walaupun kau berhasil lolos dari berandalan itu, aku tetap puas karena kematian Arya dan anakmu!”“Jadi kau yang melakukannya?!”“Iya! Ha ... ha ... ha ....”Bugg.
KEMATIAN ARYA DAN YUSUF“Pergi kalian atau aku habisi anak ini!” terdengar suara Handoyo dengan nada mengancam dibarengi oleh suara tangisan Yusuf. Serentak kami menoleh dan terkejut melihat Handoyo yang sedang menyandera Yusuf dengan belati di leher. Ayah juga berdiri dengan nafas naik turun tak jauh dari Handoyo. Sepertinya, Ayah baru saja mengejar musuh bebuyutannya itu. Saat posisi terdesak, Handoyo menyandera putraku.“Lepaskan putraku, handoyo! Aku berniat untuk mendekat, tapi Fajar memegangi lenganku.“Jangan gegabah, Mir. Kau bisa membahayakan nyawa Yusuf!” Fajar memegangi tubuhku dengan erat. Aku berusaha melepaskan diri, tapi sayangnya tenagaku kalah kuat dari suamiku.“Lepaskan cucuku Handoyo! Atau kau akan ....”“Akan apa?! Kau akan membunuhku?! Kau bisa lakukan itu setelah kematian cucumu ini!” Handoyo menekan leher Yusuf dengan keras hingga putraku itu menan
UMAR SALAH PAHAM“Yusuf? Dia tadi bersama Arya.” Jawabku sembari menyapu pandangan di seluruh ruangan. Namun tak nampak keduanya. Kemana para penjahat itu membawa mereka.“Arya! Teganya dia menculik darah dagingnya sendiri! Awas akan aku habisi kau!” Fajar mengepalkan tangannya. Matanya memerah dan memancarkan amarah yang membara. Dia pasti mengira Arya yang sudah menculik yusuf. Aku tak boleh membiarkan kesalahpahaman ini.“Fajar. Arya tidak bersalah. Dia tidak menculik Yusuf. Justru dia malah membantuku.”“Diam Mir! Jangan membela manatn suamimu itu! Sudah jelas dia yang bersalah dengan mengumpankan darah dagingnya sendiri tanpa memikirkan dampaknya!”“Fajar aku tidak bohong. Arya memang ....”“Cukup Mir! Ayo aku akan membawamu kepada ayahmu. Setelah itu aku akan mencari Yusuf. Kau pulanglah bersama ayahmu!”‘Tidak, fajar aku....&rd
BANTUAN DATANG“Jadi ini wanita yang akan membuat kami senang, Tuan?”‘Iya. Kalian aku bayar mahal untuk bersenang-senang. Bagaimana, aku orang yang sangat baik’kan?”“Sangat baik ha ... ha ....”“Dia bahkan masih menggunakan gaun pengantin yang sangat sexy. Bagian dadanya yang sedikit menyembul sangat menggiurkan. Membuatku segera ingin menyentuhnya. Ha ... ha ....”“Suaminya pasti akan menangis darah setelah melihat malam pertama istrinya bukan bersamanya, melainkan dengan kami bersepuluh. Ha ... ha ....”“Itu yang kuinginkan. Kalau kalian bisa melakukan tugas dengan baik dan memastikan suami dari wanita itu akan menangis darah, aku akan memberikan bonus untuk kalian ha ... ha ....”Aku berusaha menutup kedua telinga. Namun tetap saja percakapan mereka yang sangat mengerikan terdengar oleh kupingku hingga membuat tubuh menggigil. Wa
BANTUAN ARYA“Aw.” Aku mengaduh saat tanpa sengaja menendang sesuatu yang membuat lutut sakit. Pada saat masih kesakitan sembari memegangi lutut, tiba-tiba ada yang menarik kayu di tangan dengan keras hingga membuatku kembali mengaduh.“Aw. Sakit.”“Miranti?! Benar itu dirimu?!”Aku menegakkan kepala. Arya sudah mengetahui keberadaanku. Gigi gemerutuk menahan amarah melihat pria yang tak pantas menyandang sebutan ayah. Tak mungkin hanya berdiam diri. Arya harus merasakan akibat dari perbuatannya.Mundur beberapa langkah sembari tangan menggapai apapun yang bisa kujadikan alat untuk melindungi diri.Krompyang. Suara benda yang berjatuhan saat tanganku berusaha menggapai sesuatu yang ada di sana. Sialnya aku tak tahu kalau di belakang terdapat banyak tumpukan benda. Tempat yang begitu gelap, benar-benar membuatku kesulitan.“Miranti! Kau tidak apa-apa’kan? hati-hati
masuk kandang macanARYAPlaak. Satu tamparan keras mendarat di pipi saat aku memohon untuk membatalkan rencana jahat Handoyo. Aku bahkan sudah berusaha merendahkan diri dengan mencium kaki Handoyo dan juga istriku. Kalau saja bukan karena keselamatan putraku dan mantan istri yang pernah kusakiti, aku tak sudi untuk mencium kaki manusia tak berperasaan dan juga istri yang tak punya harga diri. Menyesal aku sudah meninggalkan istri sebaik Miranti.“Asal kau tahu, Arya. Aku juga sudah muak denganmu! Kau sudah tidak aku butuhkan lagi! Kini balas dendamku akan terbalaskan. Saat anak dari musuh terbesar sudah berada di genggaman, kau akan kuhabisi setelah mereka! Tapi terlebih dahulu, kau harus menyaksikan penderitaan anak dan mantan istrimu! Mereka semua akan aku habisi di depan matamu! Ha ... ha ....” Handoyo menendang tubuhku. Rasa sakit di sekujur tubuh berusaha kutahan, aku harus tetap memohon kepada iblis yang ada di hadapan.
KENA JEBAKAN“Kejutan.”Tiba-tiba aku dikejutkan oleh mamah, ibu, ayah mertua dan juga anak-anak Miranti. Mereka muncul dari arah dapur.“Apa-apaan sih. Gak lucu tahu’gak” sungutku.“Hey anak nakal. Jangan begitu. Yang sopan sama orangtua!” mamah menjewer kuping hingga aku mengaduh kesakitan.“Lepasin. Mamah nih bikin malu aja.” Aku tak berani melepas tangan Mamah. Seperti inilah kebiasaannya. Mungkin dalam pikirannya aku ini masih bocah ingusan yang suka pipis di celana. Huch. Menyebalkan.“Aku sekarang’kan sudah jadi ayah. Malu sama mereka.” Bisikku di telinga mamah.Wanita yang melahirkanku tersenyum mengejek, lalu mengacak rambutku. Untungnya tanpa harus memintanya lagi, tangannya kini berpindah ke pundak dan mengelus dengan lembut.“Mamah bahagia kalian pulang tepat waktu.” Mengecup keninng dengan lembut. Terlu