Dari kejauhan, terlihat seorang wanita tengah duduk di taman tak jauh dari hotel tempat Reyhan menginap. Wanita itu sibuk menatap keindahan pesona alam Dubai yang sangat menakjubkan. Reyhan menelisik agar mengetahui jelas siapa wanita yang tengah duduk sendiri di sana. Ketika langkah kakinya sudah mulai mendekat, Reyhan langsung meyakini bahwa ternyata yang duduk itu adalah Amira, istrinya. ''Amira ....''Reyhan berucap lirih memanggil nama istrinya. Dia berharap penuh bahwa memang yang tengah duduk itu adalah Amira. Sejak tadi, tidak henti-hentinya Reyhan memikirkan nasib istri dan anaknya, terutama nasib rumah tangganya yang sudah hampir renggang. Wanita itu langsung menoleh ke belakang dan lekas menatap Reyhan, seketika raut wajah laki-laki berusia 28 tahun itu pun langsung terkejut. Berbeda dengan wanita yang sekarang sudah berada dihadapannya.''Mas Reyhan ....''Wanita itu berdiri dan menatap penuh bahagia ke arah Reyhan, ia pun dengan cepat langsung memeluk erat. Reyhan yang
PoV Amira ''Arrgghh ... kenapa ini semua bisa terjadi, kenapa?'' Aku menangis dan berteriak kencang, semua benda yang berada di sekitar aku hancurkan. Tak perduli seberapa banyak uang yang harus dikeluarkan. ''Mas Reyhan benar-benar keterlaluan, dia begitu tega telah membohongiku. Selama ini, aku percaya dan menyakini bahwa dia tidak akan pernah seperti Mas Bagas, namun ternyata ... aku salah! Seharusnya sejak awal aku tak menerima lamaran dan menjadi istrinya. Hatiku hingga detik ini masih belum menyangka, Mas Reyhan yang kukenal pendiam, ia tega berkhianat dengan seorang wanita yang belum lama ini menjadi asisten rumah tangga di rumah kami,'' ucapku lirih sembari meneteskan air mata. Perasaanku begitu hancur berkeping-keping, runtuh sudah keyakinanku untuk bisa bersamanya hingga akhir hayat. Jika saja kejadian barusan terungkap sesaat sebelum menikah, mungkin aku tak akan menjadi istrinya hingga kini. Tapi, Tuhan maha baik, jika saja kebohongannya tidak terbongkar, aku pasti akan
''Mama memutuskan untuk menyewa hotel di sini sebelum kita pulang, Mama hanya ingin menikmati momen liburan berdua bersama kamu, Sayang,'' sahutku sembari tersenyum.''Tapi ... Papa, bagaimana?'' tanya Bintang, wajahnya menunduk.''Sayang ... suatu saat nanti jika kamu sudah besar kamu pasti akan mengetahui kenapa Mama bisa semarah itu terhadap papamu, dan kenapa Papa tidak ikut bersama kita tinggal di gedung ini, Mama hanya ingin Papa sadar atas apa yang sudah dilakukannya terhadap Mama sehingga membuat Mama marah dan menangis. Lebih baik sekarang kita masuk ke hotel,'' ujarku menjelaskan. Bintang mengangguk. Dia sangat polos sekali, tidak seharusnya melihat pertengkaran yang tadi kami lakukan. Kemudian, kami berdua langsung masuk ke dalam gedung berbintang yang berada di hadapanku. Ya, gedung yang bernama Burj Khalifa. Gedung tertinggi di dunia.Aku dan Bintang sangat senang ketika melihat keindahan yang berada di dalam gedung Burj Khalifa. Di sini sangat luas, pemandangan sangat me
Aku pun bangkit dari tempat tidur, melangkah keluar kamar bermaksud mencari makanan yang berada di lantai bawah. Selain hotel mewah yang berada di gedung Burj Khalifa, di sini terdapat Mall pusat pembelanjaan dan restauran cepat saji. Gegas aku memasuki restauran seafood dan lekas memesan beberapa menu makanan. Aku menyuruh pelayan restauran untuk mengantarkan makanan ke kamar agar Bintang juga bisa menikmati makanan yang terkenal akan kenikmatannya. Setelah selesai membayar, aku langsung kembali ke kamar hendak menemani Bintang yang sedang terlelap tidur di kamar.''Amira?!''Seru seseorang memanggil namaku, perlahan tubuhku langsung memutar ke belakang dan menatap seseorang yang begitu amat kukenali tengah berdiri tepat di belakang. ''Hei, apa kabar?'' sapanya sembari tersenyum. Dia melangkah, lalu memeluk tubuhku.''Bunga, kenapa kamu bisa ada di sini?'' tanyaku heran tanpa menjawab pertanyaannya.''Aku di sini sedang liburan saja, Amira. Aku begitu tak menyangka sekarang bisa ber
''Kamu mungkin bisa berkata seperti itu karena kamu adalah sahabatku, Bunga. Tapi, entahlah aku bingung. Kebaikan dan kesetianku sepertinya kurang untuk mereka. Padahal selama ini aku sudah memberikan yang terbaik untuk suamiku sendiri, tapi nyatanya cintaku bertepuk sebelah tangan, aku begitu menyesal karena sudah mempercayai seorang laki-laki seperti Mas Reyhan dan mantan suamiku, Bagas.'' Aku berucap lirih, entah kenapa rasanya sakit ketika membicarakan soal pengkhianatan suamiku. Mas Reyhan sangat keterlaluan, dia sama seperti Mas Bagas, padahal sebelum menikah Mas Reyhan berjanji tidak akan pernah berkhianat seperti Mas Bagas. Tapi, nyatanya ... palsu!''Kamu yang sabar Amira, aku yakin Tuhan tidak pernah tidur dan pasti akan membalaskan apa yang kamu rasakan saat ini suatu saat nanti. Aku percaya, suatu hari nanti kamu bisa bahagia dengan seseorang laki-laki yang pastinya akan membuatmu bahagia selalu tidak seperti Bagas dan juga Reyhan,'' ujar Bunga meyakini kehendak-Nya bahwa
''Aku tahu saat ini kamu tengah terluka, tapi setidaknya jangan pernah melakukan seperti itu, itu namanya kamu sudah bertindak keras kepada Bintang. Aku tahu caranya agar Bintang tidak lagi harus mengingat Reyhan bahkan menyebut namanya sekali pun.'' Bunga memberi saran.''Caranya gimana?''''Kamu dan Bintang pindah ke negara lain, otomatis Reyhan tidak akan berhasil menemui kamu lagi,'' ujar Bunga sembari tersenyum. Seketika dahiku langsung mengerut ketika mendengar ucapan Bunga. ''Apa kamu bilang? Tidak semudah itu aku berpindah kewarganegaraan dan menetap di negara lain. Mengurus surat-surat itu sangat susah! Aku tidak setuju dengan idemu kali ini, Bunga.''Bunga menghela nafas, ''Ya sudah, jika kamu tidak setuju tidak masalah. Namun, yang aku takutkan jika nanti Bintang kembali menangis dan ingin berjumpa dengan Reyhan bagaimana?''Aku bergeming. Bingung dengan keadaan seperti ini. Aku juga sangat takut jika Bintang menangis dan menanyakan tentang keberadaan Mas Reyhan, aku meras
''Mungkin saja. Ya sudah, aku buka pintu lagi, ya.'' Aku bangkit, pamit kepada Bunga. Bunga mengangguk. Aku melangkah pelan, perlahan pintu terbuka. Seketika raut wajahku berubah ketika memandang sosok seseorang yang begitu sangat kukenali tengah berdiri di hadapanku.''Mas Reyhan?'' Rasanya begitu terkejut ketika mengetahui bahwa yang mengetuk pintu adalah Mas Reyhan. Entah dari mana ia bisa tahu bahwa aku tengah berada di sini. Apa jangan-jangan Bunga yang memberitahu?''Amira ... aku datang ke sini ingin--''Seketika aku langsung menutup pintu keras hingga membuat Bintang dan Bunga yang sedang asik menikmati makanan terkejut mendengar suara pintu. Aku tahu kedatangan Mas Reyhan hanya untuk membicarakan masalah kemarin. Rasanya sulit sekali melupakan tentang apa yang sudah ia lakukan di belakangku. Kenyataan pahit yang harus kuterima yang membuat hatiku menjadi sakit.''Amira, kenapa kamu menutup pintu secara kasar? Ada apa? Siapa orang yang mengetuk pintu barusan?'' tanya Bun
''Apakah kamu mau mengetahui tentang ucapan kami barusan?'' tanya Bunga.Aku mengangguk pelan. Siap mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Bunga.''Jadi tadi, Reyhan mengatakan bahwa ia sangat menyesali tentang apa yang sudah ia perbuat. Dia bermaksud meminta maaf dan tidak ingin rumah tangganya bersamamu hancur.'' Bunga menjelaskan. Aku yang mendengarnya tersenyum sinis.''Laki-laki kebanyakan seperti itu, jika sudah ketahuan ujung-ujungnya minta maaf dan mengakui kesalahan apa yang sudah diperbuat. Tetapi, jika saja aku tak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, mungkin Mas Reyhan akan tetap melakukan sandiwara. Dia sama saja seperti laki-laki lain.'' ''Tapi, Amira. Apakah kamu sudah yakin dengan keputusanmu untuk bercerai dengan Reyhan?'' tanya Bunga menatap serius ke arahku.''Iya, aku sudah yakin ingin bercerai darinya. Hatiku sudah tertutup rapat dan tak akan mau menerima permintaan maafnya.'' Aku berkata dengan penuh keyakinan. Menurutku, jika seseorang yang sudah berani mela
Aku terdiam beberapa saat. Suasana seperti ini membuatku merasa bimbang. Aku harus jawab apa sekarang. Apa aku tolak saja? “Maaf, Mas, bukannya aku enggak mau, tapi aku sudah nggak mau menjalani hidup dengan laki-laki mana pun, aku masih ingin sendiri menikmati kehidupan seperti sekarang. Jadi, mohon maap kalau misalkan aku menolak permintaan kamu,” ucapku pada Mas Bagas dengan hati-hati. Aku takut ucapanku malah menyakiti perasaan dia. Mas Bagas menanggapi ucapanku dengan tersenyum, tatapan dia seolah-olah tidak menyimpan amarah. Namun, aku merasa nggak enak pada dirinya. “Nggak papa, Amira. Aku tahu jawaban kamu pasti akan seperti itu. Dan, aku juga sama sekali nggak marah apalagi sampai kesal hanya karena masalah ini. Aku tahu sakit yang sudah kamu rasakan kemarin, mungkin oleh karena itu kamu memilih ingin menyendiri tak ingin dengan siapa pun lagi,” ujar dia masih dengan senyumnya. Aku tahu, Mas Bagas sudah berubah tak lagi seperti dulu, tetapi bagaimana pun juga sudah keputu
“Mama juga bingung harus gimana, tapi yang jelas sekarang lebih baik kamu fokus sama anak kamu, jangan dulu memikirkan laki-laki. Nanti, jika anak kamu sudah beranjak dewasa dan ada laki-laki baik yang mau menerima kamu dan juga Bintang Mama nggak jadi masalah. Takutnya kalau kamu mengambil keputusan dan menerima dia, Mama takut nasib kamu akan sama seperti kemarin, dan Mama nggak mau melihat kamu menderita lagi,” ujar Mama menasihati. Aku mengangguk paham saat Mama mengatakan hal itu, lebih baik menyendiri dulu dan bahagiakan anak tanpa lebih dulu memikirkan laki-laki. Kegagalan membuatku trauma, aku merasa lebih nyaman seperti ini tanpa merasa ada beban. “Iya, Ma. Keputusan aku menolak Pak Devan sepertinya sudah tepat. Aku ingin sendiri dulu membahagiakan anakku Satu-satunya, aku nggak mau Bintang kembali menjadi korban hanya karena salah memilih ayah untuk dia.”Mama mengangguk. Aku merasa lebih lega sekarang karena sudah mencurahkan isi hatiku. Mungkin jika memang hanya karena
Ya Allah ... bagaimana ini ...“Kamu kenapa, Amira?”Tiba-tiba terdengar suara dari belakang, dengan cepat aku memutar tubuh dan menatap ke arahnya. Ternyata dia ....“Mas Devan?”Aku terkejut setelah tahu ternyata itu adalah Mas Devan. Tatapannya seakan bingung, mungkin dia heran melihat aksiku yang seperti anak kecil. Aku juga seakan merasa malu pada dirinya, bisa-bisanya aku bertingkah seperti itu. “Kamu kenapa, Amira?” tanya Mas Devan mengulang pertanyaan yang sama. “Nggak papa, kok, Pak.” Aku tersenyum, kemudian berniat ingin menjauhinya karena merasa malu. “Permisi, Pak.” Aku pamit dan melangkah pergi. “Tunggu sebentar, Amira,” ujarnya menghentikan langkah kakiku. Perasaanku seakan menggebu saat dia memanggilku. Aku pun lantas berbalik arah dan menatapnya lagi. “Iya, kenapa, Pak?” tanyaku menatap mata elangnya. Jujur, Mas Devan memang begitu sangat tampan sekali. Matanya pun nampak indah. Dia manis. 'Astagfirullah. Apa-apaan sih Amira. Inget, kamu itu janda. Nggak boleh
“Saya enggak membutuhkan pekerja untuk menjadi asisten pribadi saya. Memang kemarin iya, tapi jika dipikir-pikir saya nggak butuh asisten pribadi,” ucap Mas Devan menjelaskan. “Jika tidak membutuhkan asisten pribadi, saya tidak akan jadi melamar di perusahaan ini, karena dengan pengalaman saya sebelumnya pernah memimpin perusahaan dan mungkin saya juga bisa mengatur segala urusan apapun sebagai asisten pribadi,” sahutku berucap. Seketika itu dia menatapku seolah-olah penasaran. Kemudian dia meraih CV yang aku bawa dari rumah. Dia membaca secara seksama isi dari CV itu.“Waw, hebat sekali! Ternyata sebelumnya kamu pernah memiliki perusahaan besar. Saya sangat mengenal betul pemilik perusahaan itu. Apakah kamu putri dari Pak Handriana, directur utama perusahaan Aksara Pramudia?” “Betul, Mas. Itu Papa saya. Perusahaan yang sudah Papa saya bangun dan kelola selama ini mengalami masalah sehingga kami tidak memimpin kembali perusahaan itu. Oleh sebab itu, saya memutuskan mencari lowongan
“Ya mau bagaimana lagi, Ma. Amira sedang mencari. Mungkin nanti secepatnya dapat pekerjaan, yang penting Mama doakan selalu Amira,” “Mama doakan semoga kamu secepatnya mendapatkan pekerjaan Amira,” lirih Mama berucap. Aku merasa belum mampu membahagiaan Mama padahal hanya aku satu-satunya anak Mama. Ya Allah ... mudah-mudahan Engkau lancarkan agar aku bisa mendapatkan uang. Aku nggak tahu lagi bagaimana caranya mencari uang sedangkan anak aku pun masih kecil. Aku berharap ada keajaiban, Allah maha baik dia pasti menolongku. Setelah obrolan itu, pagi ini aku bersiap akan melakukan perjalanan ke kota untuk mencari pekerjaan. Aku menenteng map cokelat yang berisikan surat-surat yang dibutuhkan. Masuk ke dalam kendaraan roda empat, satu-satunya yang kumiliki saat ini. Dengan cepat aku mobilku melesat menyusuri jalanan raya yang lenggang. Saat ini tujuanku ingin melamar ke perusahaan digital yang bergerak dibidang pemasaran lokasinya tak jauh dari rumah. Aku begitu sangat percaya diri
Jam dipergelangan tanganku sudah menunjuk ke arah pukul 13:00 WIB, sudah hampir menjelang sore namun hujan hingga kini belum juga usai. Aku pun berniat ingin menerjang hujan karena takut Bintang menunggu kepulanganku di rumah. Saat hendak masuk ke mobil, tiba-tiba saja pandanganku teralih ke arah seorang laki-laki yang tengah duduk termenung di pinggir jalan. Wajahnya nampak mirip sekali dengan Mas Reyhan, dia terlihat sedih, berulang kali menatap jalan raya dengan perasaan cemas. Entah kenapa hatiku ingin sekali menghampirinya. Aku segera masuk ke dalam mobil bersiap menghidupkan mobil, lalu kendaraan roda empat yang tengah kukendaraipun berjalan tepat di depan laki-laki itu yang mirip sekali dengan Mas Reyhan.“Permisi, Mas. Sejak tadi saya lihat di tempat pemakaman umum Mas terlihat sedih. Ada apa?” tanyaku menghampirinya.“Anak saya sampai saat ini belum kunjung pulang, Mbak. Saya sangat khawatir dengan keadaannya.” Dia menjelaskan keresahan hatinya.“Memangnya anak Mas usia ber
“Amira, kamu kenapa menangis?”“Mas Reyhan bunuh diri, Ma,” jelasku pada wanita yang telah melahirkanku dua puluh sembilan tahun lalu.“Apa? Kok bisa?” “Entahlah, aku sendiri pun nggak tahu kenapa dia malah memilih jalan buntu dengan melakukan perbuatan itu.” Aku menghela nafas menghapus air mata yang sedari tadi mengalir. “Apa mungkin karena perkataanku tadi ya, sampai-sampai dia berani bunuh diri?” lanjutku menatap tak percaya Mama.“YaAlloh Amira ... kamu jangan menyalahkan diri kamu atas kematian Reyhan, kamu perempuan baik, mungkin dia seperti itu karena sudah terlalu capek hidup di dunia walaupun dengan cara yang salah memaksakan diri untuk mengakhiri hidup,” lirih Mama menguatkan. Sebagaimana perasaanku kini, hati yang paling terasa begitu belum ikhlas. Memang setiap yang bernyawa pasti akan kembali lagi ke sang pencipta, namun harus bagaimana lagi mungkin sudah garis takdir.“Iya.” Aku mulai merasa tenang saat Mama berucap barusan, mungkin saat ini aku harus belajar ikhlas
"Hallo, Amira. Ada sesuatu yang ingin aku beritahu tentang kamu tentang mantan suamimu. Ternyata dia barusaja melakukan pencobaan bunuh diri.” Jelasnya dari seberang telepon. “Apa? Ini siapa?” “Ini Bunga.” “Siapa yang bunuh diri?” “Reyhan.” “Apa?” Seketika itu aku merasakan debaran yang bergejolak di dada, terasa aneh dan tak percaya membuatku seakan tak percaya. Mas Reyhan bunuh diri? Karena apa? “Aku nggak percaya dia bunuh diri, kamu tahu dari mana?” tanyaku tak percaya, apalagi baru tadi sore Mas Reyhan datang ke rumah dan meminta maap atas apa yang telah ia perbuat kepadaku di masa lalu. “Malam tadi. Aku juga tahu dari Mas Irsyad.” Jelasnya membuatku terkejut. Bagai dihantam batu besar dadaku saat mendengarnya. Hatiku seketika gelisah. Bagaimana mungkin Mas Reyhan tega melakukan hal itu sementara setahuku dia tak akan mungkin melakukan hal bodoh apalagi sampai menghilangkan nyawanya sendiri. “Nggak mungkin dia bunuh diri, Bunga. Baru tadi sore dia datang ke rumahku.” A
—Lima tahun kemudian—“Ma, di depan ada tamu, katanya ingin bertemu dengan Mama,” ucap Bintang menghampiriku yang tengah sibuk menata bumbu di dapur.“Siapa, Nak?” “Nggak tahu. Katanya teman Mama.” Keningku mengerut heran. Aku merasa nggak ada janji dengan siapa pun tiba-tiba saja ada tamu datang ke rumah ini. Aku lantas menyelesaikan aktivitas di dapur dan segera menghampiri seseorang yang berada di ruang tamu. Kedua kakiku melangkah pelan menyusuri ruangan, tepat tiga langkah hendak menuju ruang tamu aku menatap dari kejauhan. Terlihat seorang laki-laki duduk termenung menampakkan raut wajahnya yang gelisah. Aku begitu terkejut ketika mengetahui tamu yang dimaksud Bintang.“Mas Reyhan?”Ternyata dia sudah bebas dari penjara. Lantas, kenapa dia datang ke rumah ini? Apa jangan-jangan ia ingin kembali menculik Bintang? “Ada perlu apa kamu datang ke rumah ini?” tanyaku menghampirinya menatap tak suka dengan kehadiran matan suamiku.“Amira.” Dia bangkit dan tersenyum.“Kamu mau mencu