***Bima menghentikan langkah, dia menoleh dan mendapati sosok pria paruh baya berdiri dengan pongah bersama salah seorang pria muda yang usianya tidak beda jauh dari Bima."Eh, Om? Kebetulan sekali, mau makan disini?" tanya Bima basa-basi. Pria yang Bima panggil dengan sebutan Om itu menatap sinis ke arah Hana. Dari ujung kaki sampai ujung kepala, Hana tidak luput dari pandangan pria paruh baya di depannya."Sekretaris baru?" Bima mengangguk membenarkan. "Perkenalkan, dia Hana, Om. Sekretaris baruku," kata Bima.Hana melempar segaris senyum dan mengulurkan tangan pada dua pria di depannya."Saya Hana ....""Ya, aku tahu," sahut pria itu singkat. "Kenapa gak ambil Melinda saja sebagai sekretaris?" Bima menarik lembut tangan Hana yang tergantung di udara. Uluran tangan darinya tidak mendapat sambutan yang sama dengan pria di depannya. Tindakan Bima barusan sontak saja menuai tatapan sengit dari pria yang dia panggil Om itu."Om Pras mau sarapan kah? Kalau begitu kita bisa satu meja,
***Hana dan Bima duduk berhadapan sambil menikmati sarapan mereka sebelum acara meeting dengan Petinggi Ken's Property berlangsung. Keduanya diam, saling fokus mengunyah meskipun dalam hati Bima ingin sekali menanyakan banyak hal. "Kenapa lihat saya seperti itu, Pak?" tanya Hana menyelidik. "Kaget sama porsi makan saya?"Bima menggeleng. Dia meneguk minuman hangat di atas meja tanpa berniat menjawab pertanyaan Hana. Baginya, mendapat sekretaris yang tahan banting seperti Hana layaknya mendapat rejeki nomplok. Jika sekretaris yang dulu-dulu selalu berujung resign dan kalah dengan gempuran mental dari Melinda, kali ini justru Melinda dan Om Pras yang dibuat geram oleh Hana."Dari dulu kamu memang pemberani, Han?"Hana menghentikan gerakan mengunyah. Jika orang-orang terdekat, mana mungkin bertanya hal yang paling sensitif padanya. Semua orang tahu bagaimana Hana yang dulu. Bagaimana bodohnya dia hidup bersama Ari bertahun-tahun lamanya meskipun hidupnya penuh derita.Hana ... belajar
***"Apa bisa disebut beruntung ketika menjelang hari pernikahan calon suami saya justru meninggalkan saya selamanya, Pak?" Suara Hana bergetar. "Saya ... orang yang paling menyedihkan di dunia ini."Bima ingin memeluk, namun ia sadar dimana posisi mereka saat ini. Maka satu-satunya respon simpati yang bisa dia berikan hanyalah ucapan lembut di lengan sekretarisnya itu. "Ayo kembali ke kantor, jangan kamu bikin saya mewek di jalanan begini. Memalukan!"Hana terkekeh. Dia mengusap sisa air mata yang membekas di pipi. Sejenak, bertemu dengan Kevin membawanya kembali pada kenangan dimana ia masih menjadi sekretaris Kenan. Sungguh, adakah sakit yang lebih dalam daripada memendam kerinduan yang tiada pernah bisa berujung temu?"Saya salut denganmu, Han," aku Bima jujur. "Kebanyakan para wanita akan sok berkuasa ketika calon suami mereka memiliki jabatan atau posisi tinggi pada sebuah Perusahaan. Apalagi Kenan, dia pimpinan dan pemilik Perusahaan yang sudah mendunia, tapi kamu ... kenapa k
***"Sudah dibuang sama Bima? Ck, wanita murahan sepertimu memang gak pantas bersanding dengan pria kaya seperti calon suamiku!" Melinda bersedekap dada sambil menatap remeh ke arah dimana Hana tengah duduk di meja kerjanya. "Aku sudah menduganya, gak lama pasti meja kerja kamu dikeluarkan dari ruangan Bima. Sadar diri, Hana!"Hana tidak bergeming. Tangannya masih cekatan menari-nari di atas keyboard karena ada beberapa laporan yang harus ia selesaikan siang ini. Belum lagi, nanti setelah jam makan siang akan ada pertemuan dengan salah satu Perusahaan terbesar di kota ini. Dan, tentu saja Hana ikut serta karena kemanapun Bima pergi maka disana lah dirinya berada."Kenapa diam, kamu malu?" cibir Melinda sinis. "Jangan bermimpi terlalu tinggi, Hana, kamu bisa jadi sekretaris di Perusahaan Bima juga karena menjual diri. Iya kan?"Hana melemaskan otot-ototnya yang sempat menegang. Dia membereskan banyak berkas di atas meja dan berdiri hendak memasuki ruangan Bima."Ups, ada orang ternyata
***Hana melengos ketika Bapak dan anak yang angkuh itu melewati dirinya begitu saja. Tidak ada rasa cemas, Hana hanya berpikir jika memang hari ini adalah hari terakhir dia bekerja, mungkin Tuhan ingin membuatnya tersadar bahwa tidak semua harapan bisa berjalan mulus seperti apa yang dia impikan."Pagi, Om ...."Melinda berjalan melenggak-lenggok mendekati Pak Agung dan tanpa segan mencium pipi kanan dan kiri seorang pria yang dia anggap sebagai calon mertua."Sudah lama menunggu ya? Duh, maaf ... Papa hari ini sibuk sekali kayanya sampai-sampai telat datang kesini." Melinda berucap manja. Dia duduk di samping Pak Agung tanpa rasa canggung. "Sudah sampai mana pembahasan tentang pertunangan kita, Mas?"Bima melengos. Dia menyentak napas kasar ketika Melinda bersikap seakan-akan pembicaraan tentang pertunangan waktu itu adalah pembicaraan yang serius."Begini, Mel ....""Kalau Mel sih sukanya yang simpel, Om. Tapi ya tetap harus berkelas," sela Melinda cepat. "Jangan sampai semua relas
***"Mas, aku bisa jelaskan ....""Bim, itu gak benar! Rekaman video itu bukan ....""Jadi Om mau bilang kalau orang kepercayaanku berbohong dan mengedit video ini? Buat apa?" Suara Bima meninggi. "Sudah sejak awal aku ingin memecat putri Om yang gak bawa pengaruh apa-apa buat Perusahaanku, bahkan ... dia dengan sengaja membuat semua sekretaris yang dulu resign dengan alasan yang gak masuk akal! Aku tau itu semua ulah Melinda, Om!"Melinda terbelalak. Dia tidak menyangka jika Bima sudah mengendus semua perbuatannya selama ini."Sudah berulang kali aku bilang, aku ... tidak menaruh perasaan apapun pada dia! Jadi tolong, sudahi drama kalian ini. Aku muak!"Pak Agung yang tadinya menyimak kini ikut naik pitam. Bisa-bisanya teman yang dia anggap baik ternyata bersiap menusuk dari belakang. "Demi harta, begitu, Pras?"Pak Pras menggeleng lemah. "Gung, dengarkan aku ... ini semua salah paham." "Salah paham Om bilang? Bukti video ini masih kurang kuat, begitu?"Pak Pras mati kutu. Dia gela
***"Ck, kamu apa-apaan sih, Han!" hardik Bima kesal. "Minggir! Rusak gendang telingaku!""Bapak lagian kenapa teriak-teriak sih, bikin kaget aja!" balas Hana menggerutu. "Minggir, Pak! Saya bawa banyak cangkir nih!"Bima menyingkir. Setelah Hana berlalu baru lah dia tersadar akan sesuatu. "Eh, berani sekali dia bentak-bentak saya, cari mati!" gumam Bima sambil geleng-geleng. "Ini juga, gak kira-kira banget kalau mau berdebar-debar!" Bima menepuk dadanya dengan gemas.***"Mbak, aku rencana caesar besok, bisa datang ya?"Hana yang tengah meluruskan badan dibuat terkejut dengan telepon dari Nita. "Besok? Sengaja banget cari akhir pekan ya," goda Hana sambil tertawa. "Besok pagi aku sama Emak kesana, Insya Allah, doakan perjalanan kami lancar ya."Anita memekik girang. Selama kehamilannya yang mulai membesar, dia hampir tidak pernah keluar rumah karena Kevin melarangnya untuk bepergian jauh. Jadilah selama ini dia hanya saling bertukar kabar dengan Hana. "Gak perlu bawa apa-apa, aku m
***"Saya tidak sedang dalam mode ingin diajak bercanda, Pak," kata Hana sinis. Bima melengos. Dia menyentak napas kasar dan menimpali. "Kamu pikir aku sedang bercanda?""Tentu," sahut Hana cepat. "Bapak pikir akan ada yang percaya bahwa Bos Perusahaan besar jatuh cinta pada janda, seorang wanita yang sudah gagal dalam mempertahankan rumah tangganya, juga gagal menikah untuk yang kedua kalinya karena calon suaminya meninggal. Bapak pikir akan ada yang percaya itu?" Kedua mata Hana memanas. Inilah sebabnya dia menolak membuka diri pada teman-teman prianya. Hana masih trauma. Trauma ditinggalkan membuat Hana sulit untuk menerima orang-orang baru dalam hidupnya. "Kalau mendiang Kenan bisa mencintai kamu sampai dia meninggal, apa aku dilarang, Han?""Berhenti bercanda, Pak!" bentak Hana lantang. Kedua tangannya bergetar hebat mendengar Bima menyebut nama Kenan. "Tetap hidup dengan tidak mencintai saya. Cukup!""Han, kenapa ....""Bapak gak akan pernah tahu bagaimana traumanya saya di mas