Yang belum baca Menikah dengan Sultan, wajib kepo pokoknya. Ditunggu diceritaku yang lainnya.
Sumi menatap sederet pesan itu. Hatinya mendadak diliputi rasa was-was. Bagaimana kalau Asril sakitnya parah. Sumi segera memakai sweater lalu mengirim pesan pada Zaki. [Zak, dah tidur belum?] Hanya checklist dua, masih berwarna hitam. Mungkin Zaki kacapekan dan sudah tidur. Tadi dia gak pakai jaket dan kehujanan. Sumi yang awalnya hendak mengetuk pintu kamar Zaki mengurungkan niatnya. Akhirnya Sumi merebahkan tubuh, tetapi pikirannya tetap teringat pada Asril. Sepuluh menit berlalu, Sumi masih tak bisa memejamkan mata. Dia teringat terus pada Asril dan khawatir yang sangat menjadi. Namun baru hendak dirinya memejamkan mata, pintu diketuk dari luar. Sumi beringsut, lalu membuka pintu. Tampak Zaki dengan mukanya yang tampak mengantuk berdiri di sana. “Kamu WA, ada apa? Masa sudah kangen aja, sih?” celotehnya. “Ih, sembarangan! Aku tadinya mau minta di anterin kamu ke rumah! Asril sakit katany
Bu Siti menatap Zaki yang sudah rapi dengan seragam kerjanya. Wajahnya akhir-akhir ini tampak berbinar. Semenjak dia berhasil bisa mendekati Sumi dengan jadi tukang ojeknya, hidupnya menjadi berwarna. Terlebih dia merasa menjadi orang yang sangat dibutuhkan oleh Sumi---gadis yang dipujanya dalam diam sejak sekolah menengah. “Zak, Ibu setuju dengan Sumi! Dia lebih baik dari para gadis yang pernah ke sini!” tukas Bu Siti. Ya, Zaki pernah mencoba melabuhkan hatinya agar bisa move on dari Sumi semenjak lulus sekolah. Sumi yang memiliki presatsi akademik yang bagus, murid kesayangan para guru, dan murid yang selalu menjadi perbincangan karena keluguan dan kepandaiannya itu, membuatnya merasa tak berani mendekat. Terlebih sikap Sumi yang kelewat cuek dan gak peka. Beberapa orang yang berusaha mendekatinya berakhir kecewa. Namun semakin dia berganti wanita, semakin hatinya berkata jika Sumi sudah menempati singgasana terindah di dalam hatinya.
Zaki meremas tangkai mawar yang tadi digenggamnya dengan hangat itu hingga patah. setelah itu, mawar tersebut dilemparnya begitu saja. Bunga itu terbuang seperti asanya yang kini tenggelam. Zaki memutar tubuh sebelum Sumi menyadari kedatangannya. Langkah kakinya terasa melayang seolah tak menapak pada tanah. Martabak manis yang ditentengnya diberikannya pada dua anak lelaki berumur sekitar tujuh tahun yang tengah berlarian. “Dek, sini!” Zaki memanggilnya. “Apa, Om?” tanya salah satu anak lelaki itu seraya mendekat.&
[Sum, aku sudah jalan, ya! Bentar lagi paling sampe kontrakan kamu!] [Ok.] Sumi membalas pesan dari Suvia segera. Dia pun sudah rapi dengan kaos lengan panjang warna putih dan celana bahan yang agak longgar. Tidak lupa dibawa serta kartu ATM yang kemarin baru saja selesai dibuatnya untuk diberikan pada Ibu. Sumi sudah memutuskan untuk mengirimi Ibu uang diam-diam saja agar tak dipakai aneh-aneh oleh Bapak. Sumi pun membeli nomor baru untuk mengisi ponsel jadulnya yang akan diserahkan pada Ibu untuk berkomunikasi ketika rindu. Keduanya berangkat menggunakan mobil online. Mampir sebentar ke toko kue dan membeli tiga kotak bolu. Satu untuk Zaki
Sumi mendudukkan bokongnya. Kasur berisi kapuk dari buah ohon randu ini sudah terasa keras. Namun di sana dia mampu tertidur nyenyak dalam pelukan Ibu. Suvia berselonjor di lantai. Dia menoleh pada Sumi. “Bapak kamu gitu amat, Sum!” tukasnya. Sumi menghela napas kasar. “Iya, Via! Makanya aku milih ngontrak. Andai sikap Bapak sedikit lebih lunak dan gak serumah dengan ipar, seburuk apapun kondisi rumah ini, ini adalah tempat ternyamanku untuk pulang. Aku selalu rindu pada kebersamaanku dengan Asril dan Ibu. Hari-hari berat yang kami lewati selalu ada senyuman meskipun kadang menitikkan air mata karena ekonomi kami jauh di ba
Kurang lebih tujuh jam perjalanan, akhirnya pesawat yang ditumpangi Zaki dan sekitar dua puluh orang peserta pemagangan dari LPK Sinar Harapan mendarat. Terdengar pengumuman dari pramugari yang menyatakan jika mereka sudah sampai di tempat tujuan. Helaan napas, Zaki hembuskan. Diambilnya tas yang tersimpan di kabin pesawat, tas gendong yang berisi dokumen-dokumen penting dan uang saku yang sudah berbentuk mata uang yen. Kesukaannya tentang negeri bunga sakura itu rupanya membawa garisan takdirnya untuk mendekat. Menjadikan negara canggih itu menjadi salah satu pelarian dikala hatinya tengah gundah. Kini status mereka adalah kenshusei atau peserta training, Zaki akan melewati bulan pertama di Jepang dengan status barunya sebagai peserta training yang akan
Sumi berulang kali meminta maaf pada Yamada. Rasanya kini dia sudah kehilangan muka di depan lelaki yang akan segera jadi imamnya itu. Kini keduanya tengah duduk di sebuah restoran dan makan siang bersama. Kebetulan hari ini, Sumi memang jadwal libur kerjanya. “Minta maaf, ya, Yamada san! Saya tak minta Suvia bicara pada Yamada san! Uangnya nanti saya ganti, ya!” Sumi berucap sungkan. Meskipun status mereka sudah berkomitment untuk menikah, akan tetapi Sumi tetap menjaga adab dan menjaga jarak sewajarnya dengan Yamada.&nbs
“Sumi chan sudah bawa uangnya! Sumi chan tidak akan menikah dengan orang lain! Dia akan menikah dengan saya!” Sontak semua orang menoleh pada lelaki bermata sipit yang mengenakan kaos putih polos dan celana panjang itu. Tatapan matanya yang tampak tajam dan berwibawa membuat semua terhipnotis menatap Yamada.“Yamada san?” Sumi tercekat. Cukup kaget Ketika si mata sipit itu malah ikut turun dan kini berdiri bak pahlawan yang akan melindunginya.Bapak, Ibu dan para tamu menatap takjub pada seorang lelaki yang kini berdiri menjejeri Sumi. Dia meraih plastik berwarna hitam dari tangan Sumi lalu menyodorkannya pada Bapak.“How to call you, Oji san?” Yamada bergumam sendiri. Dia lupa harus menyebut apa pada lelaki yang akan jadi calon mertuanya itu. “Bapak, Yamada san! Dia father saya!” tukas Sumi menjelaskan. Bercampur bahasa Inggris dan Indonesia yang penting Yamada mengerti. “Ya, ya, ya … Oji san, take this one for you! Sumi chan sudah bayar utang, ya! Don’t disturb her again! Mengert