[Kamu akan selalu cantik memakai gaun manapun, tetapi aku lebih suka warna putih yang melambangkan kesucian dan ketulusan. Pakailah gaun itu untuk hari bahagiamu bersama lelaki pemberani, bukan seorang pengecut yang lebih memilih melarikan diri.] Haru Sakura. Zaki menghela napas kasar. Dia merutuki kebodohannya sendiri yang kembali mencari tahu kehidupan Sumi. Kini dia hanya berharap, waktu akan perlahan menghapus perasaan itu di hatinya. “Cemen banget ya gue jadi cowok?” gumamnya seraya mengacak rambutnya kasar. Zaki kembali mendorong troli. Dia tengah berada di sebuah supermarket. Sepulang dari tempat dia bekerja. Zaki bersama Arifin, Hasan dan Fauzi memutuskan untuk pergi berbelanja. Zaki sudah berulang kali berdecak dan takjub akan ketertiban masyarakat yang ada di sana. Beberapa kali dia mengabadikan deretan sepeda yang terparkir rapi di depan supermarket, mengambil video bagaimana para pengendara berdisiplin ketika lampu merah, mentaati marka penyebrangan dan hal-hal kecil la
Layar gawai itu kini menampilkan sebuah wajah yang masih buram. Zaki memang sengaja tidak mendownload wajah itu. Dia membuat settingan di gawainya tidak autodownload. Zaki hanya membalas pesan dari sang ibu yang rupanya sudah dikirim sejak beberapa menit lalu. [Aku udah gede keles. Ibu jangan khawatir anakmu yang ganteng ini gak laku. Gak usah pusing mikirin jodoh aku, Bu! Jodoh itu di tangan Tuhan, bukan di tangan Ibu!]Zaki membalas pertanyaan sang ibu. Tak mau juga memberi kepastian. Bukankah cinta itu tak bisa dipaksakan? Dia masih ingin menikmati waktu dan membiarkan kakinya melangkah mengantarkan pada tulang rusuk yang sebenarnya harus dia jaga. [Pokoknya, tiga tahun kamu harus pulang! Tega kamu bohongin Ibu, ya? Kamu bilang magang itu sepuluh tahun! Kata ibunya Fauzi cuma tiga tahun!] Bu Siti membalas pesan Zaki. Dia baru saja mengobrol dengan orang tua Fauzi yang memang hanya berbeda kampung dengannya. Fauzi hanya akan berada maksimal tiga tahun di negeri sakura itu. [Ah, i
Sumi tengah membuatkan secangkir kopi hitam tanpa gula. Hari ini Yamada sudah beraktifitas seperti biasa lagi setelah mereka kemarin berbulan madu. Sumi sudah tak lagi diizinkan bekerja di golf club---lapangan hijau yang mempertemukan mereka. Kini kegiatannya hanya menyelesaikan kuliah dan mengisi waktu dengan ikut komunitas wanitapreneur mandiri. “Maafkan sayanya, Umi Chan! Sayanya Harus bekerja sekarang! Sendirian tak apa?” Yamada menatap Sumi. Dia mengubah panggilannya menjadi Umi, setelah kemarin keduanya menonton bioskop dan panggilan pemeran utama dalam film roman religi itu Umi dan Abi. Yamada tertarik dan ingin memakai panggilan tersebut untuk rumah tangga mereka yang beru hitungan waktu. “Gak apa, Yamada san … eh, Abi san!” Sumi tersipu. Entah rasanya menjadi aneh saja, ketika lelaki bermata sipit itu minta dipanggil Abi. “Panggilnya Abi saja, ya! Sayanya mau ganti nama nanti-nanti … jadinya Muhammad Hiraka Yamada, baguskah?” tukasnya seraya menatap Sumi. Kedua matanya men
“Kita gak usah nyari kerja di orang, Bu! Kita buat pekerjaan saja sendiri! Ibu bantu Sumi mewujudkannya! Kita akan sukses sama-sama, Bu! Biarkan lelaki yang sudah mencampakkan ibu itu nangis darah dan menyesal nantinya! Sumi berjanji akan bantu Ibu untuk bangkit. Kita akan sukses sama-sama, Bu!” tukas Sumi meyakinkan sang ibu.Ibu menatap Sumi. Ada rasa takjub dalam hatinya, bagaimana mungkin seorang putrinya yang lemah kini memiliki pemikiran semaju itu. Ibu sadar, jika Sumi dulu banyak mewarisi sikapnya yang lebih sering pasrah pada keadaan dan lamban bertindak juga. Namun kini, Ibu melihat ada sisi lain dari seorang Sumi.“Kamu banyak berubah, Sum? Maafin Ibu … bahkan Ibu tak pernah jadi contoh yang baik untuk kamu tiru!” tukas Ibu.“Iya, Bu … rupanya pergaulan juga bisa mempengaruhi kita mau jadi seperti apa? Dulu aku hampir tak punya teman, gak ngerti bertukar pikiran. Cuma lihat Ibu dan Bapak saja setiap hari yang pasti akan berdebat setiap kali bahas aku yang belum kerja juga.
“Sayang? Maaf, kamu siapa, ya?” Intan menjauhkan gawai dari telinganya. Yang terdengar bukan suara suaminya melainkan suara seorang wanita. Apakah sebenarnya Rudi bukan sedang kerja melainkan sedang tidur di rumah istri pertamanya? Kalau gitu gak adil, dong! Jatah untuknya kini bahkan hanya seminggu sekali. Intan masih mematung ketika suara perempuan dari seberang sana kembali bertanya.“Hallo, ini siapa, ya?!”Intan lekas mematikan gawainya. Entah kenapa hatinya mendadak terasa panas bak terbakar. Rupanya Rudi bohong, bukan sibuk dengan pekerjaan akan tetapi sibuk dengan istri pertamanya. Mungkin karena dirinya kerap mual, pusing dan lelah semenjak kehamilannya, Rudi jadi lebih sering menghabiskan waktu di rumah istri pertamanya.Kekesalan yang meluap membuat Intan tak bisa mengendalikan diri. Dia membanting gawainya hingga pecah berserak. Dihempaskannya tubuhnya begitu saja ke atas tempat tidur. Mood ibu hamil yang memang turun naik membuatnya tak bisa mengendalikan emosi. Intan men
Platform novel online yang Sumi inginkan perlahan dirintis. Fitur-fiturnya yang masih prematur perlahan diperbaiki tahap demi tahap hingga siap untuk diluncurkan. Berdasarkan arahan Yamada, Sumi merekrut beberapa staff yang ditugaskan sebagai editor yang bertugas menjaring para penulis, pengalaman itu Sumi peroleh dari komunitas kepenulisan yang ia ikuti.Platform kepenulisan online milik Sumi, mengutamakan merekrut penulis senior yang potensial sebagai opening dan pancingan, yaitu mereka yang sudah memiliki nama di platform novel online lainnya. Para editor itu dibawahi oleh Mirna. Sedangkan untuk pengambilan keputusan Sumi mempercayakan pada Sapta yang sudah direkrutnya sebagai seorang chief operasional dan marketing. Selain bertanggung jawab untuk mengontrol dan mengurusi naskah penulis yang masuk, dia juga bertanggung jawab untuk mengontrol bagian advertisement atau pengiklanan.Butuh biaya tak sedikit, karena itu, Sumi pun secara random ikut turun tangan memeriksa beberapa naskah
Di sebuah ranjang rawat, Intan terbaring. Rudi sudah membawanya ke klinik terdekat. Beruntung hanya terserempet sedikit dan tak ada luka berat.“Sayang, bayi kita?” Intan mengelus perutnya.“Alhamdulilah, dia baik-baik saja! Kamu jangan kebanyakan pikiran, nanti bayi kita kenapa-kenapa!” tukas Rudi seraya mengusap pucuk kepala Intan.“Aku gak mau tinggal di rumah sama perempuan itu! Ayo kita pindah, Sayang! Bukannya dulu kamu bilang mau carikan rumah buat aku?” Intan menatap penuh harap.Namun lagi-lagi Rudi berbicara panjang lebar, memintanya untuk bertahan dulu di rumah itu setidaknya hingga Intan melahirkan. Alasnnya karena dia khawatir kalau di rumah baru nanti, Intan akan sendirian ketika dirinya tak ada. Meskipun alasan sebenarnya karena dia memang tak memiliki uang untuk membelikan Intan rumah. Selain itu, dia hanya mengincar anak yang ada dalam kandungan Intan saja.Setelah dua hari dirawat di klinik, akhirnya Intan diperbolehkan pulang. Rudi menjemputnya lalu mengantarnya kem
Pesawat yang ditumpangi oleh Sumi dan Yamada akhirnya mengudara. Membawa kedua insan itu menuju baitullah untuk menunaikan ibadah umrah. Suara pramugari yang memberikan arahan terdengar jelas.“Bismillah, ya, Abi san! Alhamdulilah akhirnya kita pergi!” bisik Sumi pada Yamada yang sudah duduk nyaman di sampingnya.“Iya, Umi chan! Sukakah?” Yamada menoleh pada Sumi seraya mengukir senyum.“Suka, terima kasih ya, Abi san!” tukas Sumi seraya tersenyum pula.Pandangannya terlempar melelaui jendela pesawat karena memang Sumi memilih duduk ditepi jendela. Perlahan atap-atap mulai seperti samar, lalu makin kecil seiring pesawat yang kian meninggi. Makin kecil dan makin kecil lagi hingga perlahan berubah hanya seperti titik-titik warna terhampar, cokelat berselang hijau.Kebahagiaan yang Allah kirimkan terus berdatangan. Kehidupan Sumi sedikit demi sedikit semakin membaik. Bukan hanya dalam hal duniawi, tetapi pemahaman agamanya pun semakin bertambah.“Hidup itu hanya puluhan tahun, lalu kita