Pesawat yang ditumpangi oleh Sumi dan Yamada akhirnya mengudara. Membawa kedua insan itu menuju baitullah untuk menunaikan ibadah umrah. Suara pramugari yang memberikan arahan terdengar jelas.“Bismillah, ya, Abi san! Alhamdulilah akhirnya kita pergi!” bisik Sumi pada Yamada yang sudah duduk nyaman di sampingnya.“Iya, Umi chan! Sukakah?” Yamada menoleh pada Sumi seraya mengukir senyum.“Suka, terima kasih ya, Abi san!” tukas Sumi seraya tersenyum pula.Pandangannya terlempar melelaui jendela pesawat karena memang Sumi memilih duduk ditepi jendela. Perlahan atap-atap mulai seperti samar, lalu makin kecil seiring pesawat yang kian meninggi. Makin kecil dan makin kecil lagi hingga perlahan berubah hanya seperti titik-titik warna terhampar, cokelat berselang hijau.Kebahagiaan yang Allah kirimkan terus berdatangan. Kehidupan Sumi sedikit demi sedikit semakin membaik. Bukan hanya dalam hal duniawi, tetapi pemahaman agamanya pun semakin bertambah.“Hidup itu hanya puluhan tahun, lalu kita
Intan berjalan tertatih menghampiri Bapak. Ditatapnya lelaki yang tengah duduk bersila itu sambil bersiul-siul bahagia. Kedua sudut matanya basah seraya masih ada sisa isak terdengar.“Pak, apa Bapak tahu Mas Rudi menceraikanku? Dia mengambil Adzkia, Pak!” Intan berucap seraya bersandar di ambang pintu. Menatap Bapak yang tampaknya tengah diliputi kebahagiaan itu.“Ya sudah sih, Tan! Lelaki ‘kan bukan dia doang! Kamu masih muda, masih cantik, tinggal nikah lagi! Lagian kamu juga ga bisa rawat Adzkia, malah sakit ‘kan? Sudah biarin saja diurus Rudi sama keluarganya! Gak bikin ribet kamu sama Bapak,” ucapnya santai.“Astaghfirulloh … aku salah rupanya memilih bertahan! Tahu gini, mending aku ikut Ibu pergi! Bapak gak punya hati!” pekik Intan. Air matanya kembali berurai.Sontak Bapak menghentikan kegiatan mengusap batu cincinnya. Dia memoleh pada Intan dengan tatapan kesal.“Intan! Jaga ucapan kamu sama orang tua! Lama-lama kamu jadi kayak si Sumi sama Ibu kamu! Sukanya!” bentak Bapak.“
Riuh tepuk tangan mengiringi langkah seorang perempuan berkerudung lebar yang berjalan anggun menuju panggung. Senyuman Sumi begitu manis dan hangat menyapa semuanya. Sementara itu, kedua bola mata Intan membulat, kedua tangannya membekap mulutnya sendiri seraya menggeleng-gelengkan kepala. Semua terasa mimpi baginya. Skenario yang Tuhan siapkan begitu tak terduga. Pemilik platform novel online yang memberinya kehidupan baru tak lain adalah milik kakaknya sendiri. Sumi menenangkan diri dan memegang microphone yang diberikan oleh pemandu acara. Berusaha untuk tampil setenang mungkin. Dia menatap Yamada yang duduk pada deretan kursi VVIP yang mengacungkan jempol ke arahnya. Suami jepangnya itu tampak lucu dengan memakai baju koko dan peci hitam. Ingin tampil seperti orang Indonesia katanya.Setelah berulang kali menelan saliva dan menenangkan diri. Sumi memulai prakata. Dia mencoba fokus pada apa yang hendak dia ucapkan. Beruntung pada beberapa event kampus seringkali dirinya ditunjuk
Bapak tak peduli ketika sudah dua hari, Intan tak kembali. Dia masih sibuk dengan kesenangannya. Uang pemberian dari Rudi senilai sepuluh juta masih bisa digunakannya untuk berleha-leha. Bapak menjemput Ipah kembali, karena kini dia memiliki pohon uang yaitu Rudi. Lelaki itu meminta agar Bapak tak buka mulut pada Nita. Karena itu, Bapak akan menggunakan kesempatan ini untuk memeras mantan menantunya itu. Setidaknya dia bisa memanfaatkan Adzkia untuk menumpang hidup gratis dan terjamin tiap bulannya. “Rudi, Intan kabur gak balik lagi! Bapak khawatir dia akan lapor ke polisi. Nanti yang kena bukan hanya Bapak, kamu juga pasti!” Bapak berbicara di telepon pada Rudi. “Kabur ke mana, Pak? Wah jangan sampai Intan lapor polisi, dong, Pak! Tolong Pak kendalikan Intan, Pak!” Rudi cukup panik mendengar kabar dari ayah mertuanya itu. Bagaiamanapun, posisinya akan lebih tak aman. Bukan hanya sekadar polisi yang seram, akan tetapi khawatir jika Nita mengendus perbuatannya diam-diam, maka hancurl
“Kalau gitu, mereka siapa?” Nita menatap perempuan anggun berkerudung lebar bersama lima orang teman lainnya, ada satu lelaki di antaranya. Rudi menautkan alis, mencoba memindai wajah mereka satu demi satu. Namun dirinya seakan hendak melonjak ketika akhirnya mengenali wajah manis Sumi yang melenggang menghampirinya. “I--itu ‘kan kakaknya Intan!” Rudi menggumam dalam dada. Dia masih belum menjawab pertanyaan Nita karena tiba-tiba hatinya dag dig dug tak karuan. “Ayah, mereka siapa?” Nita mengulang pertanyaan. Tampak seorang panitia yang ditunjuk mempersilakan para tamu yang baru datang untuk ikut duduk dan mengikuti kajian yang sebentar lagi usai. “Ahm, sepertinya … mereka itu … hmmm ….” Rudi menggumam tak jelas. Dia pun bingung mau mengatakan apa.“Yah?!” Nita yang sudah kelewat penasaran menepuk punggung tangan Rudi. “Ahm, itu kenalannya Yogi dulu. Mungkin Yogi yang mengundang mereka.” Rudi menjelaskan secara spontan. Meskipun masih diliputi rasa penasaran, tetapi Nita mencoba
Kemarahan Rudi hanya dianggap angin lalu. Bagaimanapun lelaki itu sudah tak lagi memiliki kekuatan. Walaupun misalnya dia nekat menculik Adzkia dari Intan, tetapi Nita sudah pasti tak akan mau menerimanya. Istri pertamanya itu bukan orang jahat. Dia hanya seorang perempuan yang sudah bertahun-tahun merindukan seorang bayi yang hadir dalam rahimnya. Nita yang kini sudah patah, sudah membiarkan rasa kasihnya pada sang suami menguap begitu saja. Apalagi tahu jika kesetiaan yang Rudi agungkan di depannya hanyalah kamuflase belaka. Suaminya itu bahkan menikah diam-diam dan bersenang-senang di belakangnya. Sumi mengajak semua rekannya untuk meninggalkan kediaman Rudi setelah memberikan somasi pada Rudi. Sumi menekankan jika ada hal buruk terjadi dengan Intan atau Adzkia maka orang pertama yang akan dicarinya adalah Rudi. Begitupun dari KPAI dan Komnasham juga memberikan pengarahan dan pengertian pada Rudi tentang batasan-batasan dan hak asasi seseorang. Rudi tertunduk seraya meremas rambu
Bau menyengat yang tercium dari rumah yang lengang itu akhirnya menarik perhatian. Tiga hari sudah Pak Yanto melepaskan ruh dari raganya tanpa ada seorang pun yang mendampinginya, tanpa ada yang membimbingnya bersahadat dan belum sempat dirinya memperbaiki diri sama sekali. Dia berpulang dengan hati gelap, dengan keadaan yang mengenaskan. Kebetulan satu orang tetangga yang ditugaskan Pak RT untuk memperhatikan kondisi Pak Yanto, anaknya sakit. Sementara itu, dia memang tak menjalin hubungan baik dengan para tetangga, karenanya tak banyak orang yang simpatik dan peduli padanya. Kehidupan masyarakat sekitar pun sedikit banyak sudah terkontaminasi oleh kemajuan gaya hidup modern menjadi lebih individualis. Perkembangan kawasan industri dan para pendatang yang datang menyerbu membuat penghuni kampung itu sudah heterogen. Sikap gotong royong seperti dulu bahkan sudah hampir punah, semua kini dinilai dengan uang. Bahkan sikap peduli mereka pun sudah mulai terkikis. Begitulah kondisi keada
Acara wisuda berjalan lancar. Gelar sarjana hadir sebagai penyempurna impian Sumi. Haru biru tak terelakkan.Ibu menangis dengan isak tertahan ketika menatap sosok mungil dan cantik itu tampak tinggi dengan menggunakan sepatu berhak tujuh senti. Kebayanya yang anggun tertutup oleh pakaian wisuda yang berwarna gelap dan longgar. Toga tersemat di kepalanya bersama sebuah senyuman yang tersungging ketika jepretan kamera mengabadikan pengesahan statusnya. “Selamat kepana Sumiati, Sarjana Manajeman. Telah lulus dengan predikat cumlaude.” Terdengar dari pengeras suara. Gema yang membuat sudut mata Sumi basah dan menghangat. Kini dua kata baru tersemat diujung nama polosnya---Sumiati, S.M. Kakinya mengayun pasti turun dari podium menuju tempat duduknya kembali. Di mana di sana ada Ibu dan Yamada yang tengah menunggunya. “Congrats, Umi Chan!” Yamada berdiri dan merenggangkan tangannya. Meskipun malu karena di tengah keramaian. Sumi tetap menjatuhkan kepala pada pelukan Yamada yang kini men