Sumi mendudukkan bokongnya. Kasur berisi kapuk dari buah ohon randu ini sudah terasa keras. Namun di sana dia mampu tertidur nyenyak dalam pelukan Ibu. Suvia berselonjor di lantai. Dia menoleh pada Sumi.
“Bapak kamu gitu amat, Sum!” tukasnya. Sumi menghela napas kasar.
“Iya, Via! Makanya aku milih ngontrak. Andai sikap Bapak sedikit lebih lunak dan gak serumah dengan ipar, seburuk apapun kondisi rumah ini, ini adalah tempat ternyamanku untuk pulang. Aku selalu rindu pada kebersamaanku dengan Asril dan Ibu.
Hari-hari berat yang kami lewati selalu ada senyuman meskipun kadang menitikkan air mata karena ekonomi kami jauh di ba
Kurang lebih tujuh jam perjalanan, akhirnya pesawat yang ditumpangi Zaki dan sekitar dua puluh orang peserta pemagangan dari LPK Sinar Harapan mendarat. Terdengar pengumuman dari pramugari yang menyatakan jika mereka sudah sampai di tempat tujuan. Helaan napas, Zaki hembuskan. Diambilnya tas yang tersimpan di kabin pesawat, tas gendong yang berisi dokumen-dokumen penting dan uang saku yang sudah berbentuk mata uang yen. Kesukaannya tentang negeri bunga sakura itu rupanya membawa garisan takdirnya untuk mendekat. Menjadikan negara canggih itu menjadi salah satu pelarian dikala hatinya tengah gundah. Kini status mereka adalah kenshusei atau peserta training, Zaki akan melewati bulan pertama di Jepang dengan status barunya sebagai peserta training yang akan
Sumi berulang kali meminta maaf pada Yamada. Rasanya kini dia sudah kehilangan muka di depan lelaki yang akan segera jadi imamnya itu. Kini keduanya tengah duduk di sebuah restoran dan makan siang bersama. Kebetulan hari ini, Sumi memang jadwal libur kerjanya. “Minta maaf, ya, Yamada san! Saya tak minta Suvia bicara pada Yamada san! Uangnya nanti saya ganti, ya!” Sumi berucap sungkan. Meskipun status mereka sudah berkomitment untuk menikah, akan tetapi Sumi tetap menjaga adab dan menjaga jarak sewajarnya dengan Yamada.&nbs
“Sumi chan sudah bawa uangnya! Sumi chan tidak akan menikah dengan orang lain! Dia akan menikah dengan saya!” Sontak semua orang menoleh pada lelaki bermata sipit yang mengenakan kaos putih polos dan celana panjang itu. Tatapan matanya yang tampak tajam dan berwibawa membuat semua terhipnotis menatap Yamada.“Yamada san?” Sumi tercekat. Cukup kaget Ketika si mata sipit itu malah ikut turun dan kini berdiri bak pahlawan yang akan melindunginya.Bapak, Ibu dan para tamu menatap takjub pada seorang lelaki yang kini berdiri menjejeri Sumi. Dia meraih plastik berwarna hitam dari tangan Sumi lalu menyodorkannya pada Bapak.“How to call you, Oji san?” Yamada bergumam sendiri. Dia lupa harus menyebut apa pada lelaki yang akan jadi calon mertuanya itu. “Bapak, Yamada san! Dia father saya!” tukas Sumi menjelaskan. Bercampur bahasa Inggris dan Indonesia yang penting Yamada mengerti. “Ya, ya, ya … Oji san, take this one for you! Sumi chan sudah bayar utang, ya! Don’t disturb her again! Mengert
[Kamu akan selalu cantik memakai gaun manapun, tetapi aku lebih suka warna putih yang melambangkan kesucian dan ketulusan. Pakailah gaun itu untuk hari bahagiamu bersama lelaki pemberani, bukan seorang pengecut yang lebih memilih melarikan diri.] Haru Sakura. Zaki menghela napas kasar. Dia merutuki kebodohannya sendiri yang kembali mencari tahu kehidupan Sumi. Kini dia hanya berharap, waktu akan perlahan menghapus perasaan itu di hatinya. “Cemen banget ya gue jadi cowok?” gumamnya seraya mengacak rambutnya kasar. Zaki kembali mendorong troli. Dia tengah berada di sebuah supermarket. Sepulang dari tempat dia bekerja. Zaki bersama Arifin, Hasan dan Fauzi memutuskan untuk pergi berbelanja. Zaki sudah berulang kali berdecak dan takjub akan ketertiban masyarakat yang ada di sana. Beberapa kali dia mengabadikan deretan sepeda yang terparkir rapi di depan supermarket, mengambil video bagaimana para pengendara berdisiplin ketika lampu merah, mentaati marka penyebrangan dan hal-hal kecil la
Layar gawai itu kini menampilkan sebuah wajah yang masih buram. Zaki memang sengaja tidak mendownload wajah itu. Dia membuat settingan di gawainya tidak autodownload. Zaki hanya membalas pesan dari sang ibu yang rupanya sudah dikirim sejak beberapa menit lalu. [Aku udah gede keles. Ibu jangan khawatir anakmu yang ganteng ini gak laku. Gak usah pusing mikirin jodoh aku, Bu! Jodoh itu di tangan Tuhan, bukan di tangan Ibu!]Zaki membalas pertanyaan sang ibu. Tak mau juga memberi kepastian. Bukankah cinta itu tak bisa dipaksakan? Dia masih ingin menikmati waktu dan membiarkan kakinya melangkah mengantarkan pada tulang rusuk yang sebenarnya harus dia jaga. [Pokoknya, tiga tahun kamu harus pulang! Tega kamu bohongin Ibu, ya? Kamu bilang magang itu sepuluh tahun! Kata ibunya Fauzi cuma tiga tahun!] Bu Siti membalas pesan Zaki. Dia baru saja mengobrol dengan orang tua Fauzi yang memang hanya berbeda kampung dengannya. Fauzi hanya akan berada maksimal tiga tahun di negeri sakura itu. [Ah, i
Sumi tengah membuatkan secangkir kopi hitam tanpa gula. Hari ini Yamada sudah beraktifitas seperti biasa lagi setelah mereka kemarin berbulan madu. Sumi sudah tak lagi diizinkan bekerja di golf club---lapangan hijau yang mempertemukan mereka. Kini kegiatannya hanya menyelesaikan kuliah dan mengisi waktu dengan ikut komunitas wanitapreneur mandiri. “Maafkan sayanya, Umi Chan! Sayanya Harus bekerja sekarang! Sendirian tak apa?” Yamada menatap Sumi. Dia mengubah panggilannya menjadi Umi, setelah kemarin keduanya menonton bioskop dan panggilan pemeran utama dalam film roman religi itu Umi dan Abi. Yamada tertarik dan ingin memakai panggilan tersebut untuk rumah tangga mereka yang beru hitungan waktu. “Gak apa, Yamada san … eh, Abi san!” Sumi tersipu. Entah rasanya menjadi aneh saja, ketika lelaki bermata sipit itu minta dipanggil Abi. “Panggilnya Abi saja, ya! Sayanya mau ganti nama nanti-nanti … jadinya Muhammad Hiraka Yamada, baguskah?” tukasnya seraya menatap Sumi. Kedua matanya men
“Kita gak usah nyari kerja di orang, Bu! Kita buat pekerjaan saja sendiri! Ibu bantu Sumi mewujudkannya! Kita akan sukses sama-sama, Bu! Biarkan lelaki yang sudah mencampakkan ibu itu nangis darah dan menyesal nantinya! Sumi berjanji akan bantu Ibu untuk bangkit. Kita akan sukses sama-sama, Bu!” tukas Sumi meyakinkan sang ibu.Ibu menatap Sumi. Ada rasa takjub dalam hatinya, bagaimana mungkin seorang putrinya yang lemah kini memiliki pemikiran semaju itu. Ibu sadar, jika Sumi dulu banyak mewarisi sikapnya yang lebih sering pasrah pada keadaan dan lamban bertindak juga. Namun kini, Ibu melihat ada sisi lain dari seorang Sumi.“Kamu banyak berubah, Sum? Maafin Ibu … bahkan Ibu tak pernah jadi contoh yang baik untuk kamu tiru!” tukas Ibu.“Iya, Bu … rupanya pergaulan juga bisa mempengaruhi kita mau jadi seperti apa? Dulu aku hampir tak punya teman, gak ngerti bertukar pikiran. Cuma lihat Ibu dan Bapak saja setiap hari yang pasti akan berdebat setiap kali bahas aku yang belum kerja juga.
“Sayang? Maaf, kamu siapa, ya?” Intan menjauhkan gawai dari telinganya. Yang terdengar bukan suara suaminya melainkan suara seorang wanita. Apakah sebenarnya Rudi bukan sedang kerja melainkan sedang tidur di rumah istri pertamanya? Kalau gitu gak adil, dong! Jatah untuknya kini bahkan hanya seminggu sekali. Intan masih mematung ketika suara perempuan dari seberang sana kembali bertanya.“Hallo, ini siapa, ya?!”Intan lekas mematikan gawainya. Entah kenapa hatinya mendadak terasa panas bak terbakar. Rupanya Rudi bohong, bukan sibuk dengan pekerjaan akan tetapi sibuk dengan istri pertamanya. Mungkin karena dirinya kerap mual, pusing dan lelah semenjak kehamilannya, Rudi jadi lebih sering menghabiskan waktu di rumah istri pertamanya.Kekesalan yang meluap membuat Intan tak bisa mengendalikan diri. Dia membanting gawainya hingga pecah berserak. Dihempaskannya tubuhnya begitu saja ke atas tempat tidur. Mood ibu hamil yang memang turun naik membuatnya tak bisa mengendalikan emosi. Intan men