“Doakan Sumi, Bu! Selama bersama ridho Ibu, di mana pun Sumi pasti akan baik-baik saja!” tukasnya. Keduanya saling berpelukan. Sumi bergegas naik ke sepeda motor Zaki yang tak berapa lama sudah ada di depan dan menunggunya. Diiringi tangisan Ibu dan tatapan Asril yang kebingungan, akhirnya Sumi meninggalkan rumah yang semakin dirasanya tak nyaman itu. “Ke mana?” Zaki membuka suara. Dia melihat dari spion jika wanita yang duduk di boncengannya berkali-kali nyeka mata. “Nyari kontrakan, Zak!” “Ehhh … dah malem, Sum!” “Iya, tahu!” “Lah terus?” “Makanya mau di anter kamu karena sudah malem! Kalau masih siang, aku bisa cari sendiri!” Hening, hanya deru sepeda motor Zaki yang mereka tumpangi terdengar. “Emang mau pindahan kapan? Penting banget kayaknya!” Zaki menoleh lagi pada spion. Dia menatap mata sembab itu yang tampak tengah berusaha menghalau kesedihan. “Sekarang!” “Hah?!” Zaki berseru kaget, lalu dia menepikan sepeda motornya. Mereka sudah memasuki jalanan yang ram
“Sumi chan, kalau saya mau jadi muslim apa bisa menikah dengan Sumi chan?” Sebuah pertanyaan yang membuat Sumi melongo tak percaya. Bahkan otaknya tak tahu harus menjawab apa. Kedua bola mata sipit itu menatap meminta jawaban. “Ya Tuhaaan? Apa dia nembak aku?” batin Sumi seraya menetralkan degub jantungnya yang bertalu lebih cepat. Yamada terkekeh melihat wajah Sumi yang tampak memucat. Dia mengusap pucuk kepala Sumi yang tertutup topi itu sambil berkata. “Boleh pikir-pikir dulu, ya! Sumi chan masih kecil, mungkin masih mau main! Sayanya sudah tua, ya! Sudah tiga puluh lima lebih sedikit!” tukas Yamada sambil tersenyum. Matanya menyipit seperti biasa. Sumi hanya mengangguk. Tak tahu juga harus menjawab apa sekarang. Lidahnya kelu. Hatinya jedag jedug tak menentu. Selama ini, baru pertama ini ada lelaki yang menanyakan dengan serius padanya. Bukan seperti Zaki yang selengehan dan bisa kapan saja mengucap pac
Sumi menatap sederet pesan itu. Hatinya mendadak diliputi rasa was-was. Bagaimana kalau Asril sakitnya parah. Sumi segera memakai sweater lalu mengirim pesan pada Zaki. [Zak, dah tidur belum?] Hanya checklist dua, masih berwarna hitam. Mungkin Zaki kacapekan dan sudah tidur. Tadi dia gak pakai jaket dan kehujanan. Sumi yang awalnya hendak mengetuk pintu kamar Zaki mengurungkan niatnya. Akhirnya Sumi merebahkan tubuh, tetapi pikirannya tetap teringat pada Asril. Sepuluh menit berlalu, Sumi masih tak bisa memejamkan mata. Dia teringat terus pada Asril dan khawatir yang sangat menjadi. Namun baru hendak dirinya memejamkan mata, pintu diketuk dari luar. Sumi beringsut, lalu membuka pintu. Tampak Zaki dengan mukanya yang tampak mengantuk berdiri di sana. “Kamu WA, ada apa? Masa sudah kangen aja, sih?” celotehnya. “Ih, sembarangan! Aku tadinya mau minta di anterin kamu ke rumah! Asril sakit katany
Bu Siti menatap Zaki yang sudah rapi dengan seragam kerjanya. Wajahnya akhir-akhir ini tampak berbinar. Semenjak dia berhasil bisa mendekati Sumi dengan jadi tukang ojeknya, hidupnya menjadi berwarna. Terlebih dia merasa menjadi orang yang sangat dibutuhkan oleh Sumi---gadis yang dipujanya dalam diam sejak sekolah menengah. “Zak, Ibu setuju dengan Sumi! Dia lebih baik dari para gadis yang pernah ke sini!” tukas Bu Siti. Ya, Zaki pernah mencoba melabuhkan hatinya agar bisa move on dari Sumi semenjak lulus sekolah. Sumi yang memiliki presatsi akademik yang bagus, murid kesayangan para guru, dan murid yang selalu menjadi perbincangan karena keluguan dan kepandaiannya itu, membuatnya merasa tak berani mendekat. Terlebih sikap Sumi yang kelewat cuek dan gak peka. Beberapa orang yang berusaha mendekatinya berakhir kecewa. Namun semakin dia berganti wanita, semakin hatinya berkata jika Sumi sudah menempati singgasana terindah di dalam hatinya.
Zaki meremas tangkai mawar yang tadi digenggamnya dengan hangat itu hingga patah. setelah itu, mawar tersebut dilemparnya begitu saja. Bunga itu terbuang seperti asanya yang kini tenggelam. Zaki memutar tubuh sebelum Sumi menyadari kedatangannya. Langkah kakinya terasa melayang seolah tak menapak pada tanah. Martabak manis yang ditentengnya diberikannya pada dua anak lelaki berumur sekitar tujuh tahun yang tengah berlarian. “Dek, sini!” Zaki memanggilnya. “Apa, Om?” tanya salah satu anak lelaki itu seraya mendekat.&
[Sum, aku sudah jalan, ya! Bentar lagi paling sampe kontrakan kamu!] [Ok.] Sumi membalas pesan dari Suvia segera. Dia pun sudah rapi dengan kaos lengan panjang warna putih dan celana bahan yang agak longgar. Tidak lupa dibawa serta kartu ATM yang kemarin baru saja selesai dibuatnya untuk diberikan pada Ibu. Sumi sudah memutuskan untuk mengirimi Ibu uang diam-diam saja agar tak dipakai aneh-aneh oleh Bapak. Sumi pun membeli nomor baru untuk mengisi ponsel jadulnya yang akan diserahkan pada Ibu untuk berkomunikasi ketika rindu. Keduanya berangkat menggunakan mobil online. Mampir sebentar ke toko kue dan membeli tiga kotak bolu. Satu untuk Zaki
Sumi mendudukkan bokongnya. Kasur berisi kapuk dari buah ohon randu ini sudah terasa keras. Namun di sana dia mampu tertidur nyenyak dalam pelukan Ibu. Suvia berselonjor di lantai. Dia menoleh pada Sumi. “Bapak kamu gitu amat, Sum!” tukasnya. Sumi menghela napas kasar. “Iya, Via! Makanya aku milih ngontrak. Andai sikap Bapak sedikit lebih lunak dan gak serumah dengan ipar, seburuk apapun kondisi rumah ini, ini adalah tempat ternyamanku untuk pulang. Aku selalu rindu pada kebersamaanku dengan Asril dan Ibu. Hari-hari berat yang kami lewati selalu ada senyuman meskipun kadang menitikkan air mata karena ekonomi kami jauh di ba
Kurang lebih tujuh jam perjalanan, akhirnya pesawat yang ditumpangi Zaki dan sekitar dua puluh orang peserta pemagangan dari LPK Sinar Harapan mendarat. Terdengar pengumuman dari pramugari yang menyatakan jika mereka sudah sampai di tempat tujuan. Helaan napas, Zaki hembuskan. Diambilnya tas yang tersimpan di kabin pesawat, tas gendong yang berisi dokumen-dokumen penting dan uang saku yang sudah berbentuk mata uang yen. Kesukaannya tentang negeri bunga sakura itu rupanya membawa garisan takdirnya untuk mendekat. Menjadikan negara canggih itu menjadi salah satu pelarian dikala hatinya tengah gundah. Kini status mereka adalah kenshusei atau peserta training, Zaki akan melewati bulan pertama di Jepang dengan status barunya sebagai peserta training yang akan
Acara berjalan lancar, menyisakkan lelah setelah semua tamu meninggalkan tempat acara. Para tetangga masih sibuk membantu mencuci piring dan membereskan sisa-sisa yang berantakan di dapur rumah Zaki. Sementara itu, para orang tua sebagian ada yang sudah terkapar karena lelah, ada juga yang masih mengobrol di halaman rumah ditemani angin malam yang menusuk kulit. Tenda masih berdiri, besok baru dibongkar oleh orang yang menyewakannya. Begitu pun pelaminan hanya menyisakkan bunga-bunga yang sebagiannya tampak sudah layu juga. Kamar tidur pengantin sudah dihias indah dengan seprai dan kelambu yang indah, tetapi justru membuat kedua pengantin bingung mau tidur di mana. Semua itu hanya barang yang disewa dan dipakai untuk mengabadikan momen pernikahan mereka. Mungkin berbeda dengan pernikahan para selebritis yang memang kamarnya dihias di hotel megah dan boleh digunakan semaunya. Kalau di kampung beda, pernikahan rakyat biasa seperti keluarga Zaki, untuk tidur malam pun susah. Para kerabat
“Sekarangnya saya sudah sembuh! Pergi hospitals saja buat periksa! Hmmm … tapi sayanya mau tanya Umi chan.” Yamada tersenyum, tetapi secepat kilat raut wajahnya tampak mendung. “Tanya apa, ya?” Sumi menoleh padanya.“Zaki san itu siapa, ya? Matanya saya lihat, ada cinta kalau lihat Umi chan, ya?” tanya Yamada menatap sang istri. Sumi terkekeh mendengar pertanyaan Yamada. Dia yang tengah menyetir menoleh pada lelaki bermata sipit yang tengah memasang wajah cemburu itu. “Abi san sok tahu. Mungkin Abi san lihat mata Zaki ketika dia habis tatap Suvia. Kan Suvia itu calon istrinya Zaki. Saya dan Zaki hanya teman sekolah saja, tak ada lah dia cinta saya! Kalau ada mungkin sayanya tak menikah dengan Abi san,” ucap Sumi seraya menggelengkan kepala. Dia memang tak pernah berpikir jika ada perasaan di hati Zaki terselip untuknya, meski dulu kadang rindu dan pernah merasa kehilangan, tapi Sumi sendiri tak bisa mengartikan jika itu cinta. Yamada ikut tertawa senang. Bukan karena dia percaya p
Usai menerima panggilan dari rumah sakit, Zaki bergegas ke kamar di mana Suvia, Sumi, Intan dan Ibu berada di sana. Tampak olehnya Sumi baru saja siuman. Lagi-lagi wajahnya tampak begitu mendung. “Sum, maaf … tadi waktu kamu pingsan, ada telepon dari rumah sakit katanya sudah ada kabar tentang Mr. Hiraka,” tukas Zaki. Kalimat yang dilontarkan dengan santai itu sontak menarik perhiatian keempat perempuan itu. “Lalu kondisinya gimana, Zak?” Sumi tampak terkejut, ada raut senang tapi takut terpancar dari sorot matanya yang lemah. “Tadi keburu keputus. Aku telepon balik tapi nomornya sibuk. Mungkin better kita ke sana saja!” jelas Zaki.“Oh ya sudah, ayo kita pergi!” tukas Sumi seraya beringsut turun. Lalu berjalan lemah kea rah key box di mana kunci mobil miliknya berada. “Arsil dan Adzkia tengah pada tidur tapi, Teh! Gimana?” Intan menatap bimbang pada perempuan dengan wajah pucat itu yang tampak berusaha menguatkan diri. “Kamu di rumah saja, Dek! Jagain Asril sama Adzkia. Biar Te
Zaki menatap sepeda motor yang penuh kenang itu. Dia mengelus boncengan yang biasa Sumi duduki dulu. Tak berlama-lama menelan nostalgia. Zaki mendorong sepeda motornya keluar dari bagasi. “Kamu tahu alamatnya, Vi?” Zaki menatap wajah Suvia yang tengah menunggunya di halaman rumah. “Sumi sudah share lok, kok!” tukas Suvia seraya menunjukkan layar gawainya. Zaki mengangguk. Sikapnya mendadak cool seperti musim dingin. Hatinya berdentum-dentum tak karuan, tetapi yang jelas dia ingin dirinya ada ketika orang yang masih dicintainya dalam diam itu kesusahan. Sepeda motor yang ditumpangi keduanya berjalan menembus gelap malam. Menyusuri jalanan kampung yang mulai lengang hingga akhirnya berbaur dengan jalan ramai. Meliuk berbelok memecah sunyi dalam dada. Tak ada obrolan tercipta, masing-masing sibuk dengan pikirannya. Hingga akhirnya google maps mengarahkan mereka pada gerbang sebuah cluster elit. Setelah menyimpan KTP sebagai jaminan, barulah sepeda motor Zaki diperbolehkan masuk. Suv
Suara pramugari yang menginformasikan jika pesawat akan lepas landas terdengar. Zaki menepuk bahu Arifin yang masih lelap sejak mulai penerbangan tadi. Meskipun penerbangan tadi sempat delay akhirnya mereka tiba dengan selamat. “Pin, sudah sampe. Lu mau turun gak?” Arifin mengerjap, lalu menegakkan duduknya. Dia masih menguap berkali-kali. “Cepet banget, ya, Zak?” “Iyalah, lu molor aja sepanjang jalan! Kalau ibarat kata, ruh lu udah sampe duluan ke Indonesia!” gerutu Zaki. Arifin yang sedikit gemulai tertawa seraya menutup mulut menggunakan tangannya. “Lu bisa aja, Zak!” satu tangan lainnya menepuk Zaki dengan manja. “Lu kapan sih jadi lakinya, masih kemayu aja! Gak inget mau dijemput calon bini!” tukas Zaki seraya menepis tangan Arifin yang masih menempel di pundaknya. Ya, selain Zaki, Afirin pun sama sudah dijodohkan oleh orang tuanya. “Ya, biar saja dia lihat gue yang kayak gini! Kalau emang jodoh ya pasti dia nerima-nerima aja, kok! Lagian kalau gue pura-pura macho demi di
Acara wisuda berjalan lancar. Gelar sarjana hadir sebagai penyempurna impian Sumi. Haru biru tak terelakkan.Ibu menangis dengan isak tertahan ketika menatap sosok mungil dan cantik itu tampak tinggi dengan menggunakan sepatu berhak tujuh senti. Kebayanya yang anggun tertutup oleh pakaian wisuda yang berwarna gelap dan longgar. Toga tersemat di kepalanya bersama sebuah senyuman yang tersungging ketika jepretan kamera mengabadikan pengesahan statusnya. “Selamat kepana Sumiati, Sarjana Manajeman. Telah lulus dengan predikat cumlaude.” Terdengar dari pengeras suara. Gema yang membuat sudut mata Sumi basah dan menghangat. Kini dua kata baru tersemat diujung nama polosnya---Sumiati, S.M. Kakinya mengayun pasti turun dari podium menuju tempat duduknya kembali. Di mana di sana ada Ibu dan Yamada yang tengah menunggunya. “Congrats, Umi Chan!” Yamada berdiri dan merenggangkan tangannya. Meskipun malu karena di tengah keramaian. Sumi tetap menjatuhkan kepala pada pelukan Yamada yang kini men
Bau menyengat yang tercium dari rumah yang lengang itu akhirnya menarik perhatian. Tiga hari sudah Pak Yanto melepaskan ruh dari raganya tanpa ada seorang pun yang mendampinginya, tanpa ada yang membimbingnya bersahadat dan belum sempat dirinya memperbaiki diri sama sekali. Dia berpulang dengan hati gelap, dengan keadaan yang mengenaskan. Kebetulan satu orang tetangga yang ditugaskan Pak RT untuk memperhatikan kondisi Pak Yanto, anaknya sakit. Sementara itu, dia memang tak menjalin hubungan baik dengan para tetangga, karenanya tak banyak orang yang simpatik dan peduli padanya. Kehidupan masyarakat sekitar pun sedikit banyak sudah terkontaminasi oleh kemajuan gaya hidup modern menjadi lebih individualis. Perkembangan kawasan industri dan para pendatang yang datang menyerbu membuat penghuni kampung itu sudah heterogen. Sikap gotong royong seperti dulu bahkan sudah hampir punah, semua kini dinilai dengan uang. Bahkan sikap peduli mereka pun sudah mulai terkikis. Begitulah kondisi keada
Kemarahan Rudi hanya dianggap angin lalu. Bagaimanapun lelaki itu sudah tak lagi memiliki kekuatan. Walaupun misalnya dia nekat menculik Adzkia dari Intan, tetapi Nita sudah pasti tak akan mau menerimanya. Istri pertamanya itu bukan orang jahat. Dia hanya seorang perempuan yang sudah bertahun-tahun merindukan seorang bayi yang hadir dalam rahimnya. Nita yang kini sudah patah, sudah membiarkan rasa kasihnya pada sang suami menguap begitu saja. Apalagi tahu jika kesetiaan yang Rudi agungkan di depannya hanyalah kamuflase belaka. Suaminya itu bahkan menikah diam-diam dan bersenang-senang di belakangnya. Sumi mengajak semua rekannya untuk meninggalkan kediaman Rudi setelah memberikan somasi pada Rudi. Sumi menekankan jika ada hal buruk terjadi dengan Intan atau Adzkia maka orang pertama yang akan dicarinya adalah Rudi. Begitupun dari KPAI dan Komnasham juga memberikan pengarahan dan pengertian pada Rudi tentang batasan-batasan dan hak asasi seseorang. Rudi tertunduk seraya meremas rambu
“Kalau gitu, mereka siapa?” Nita menatap perempuan anggun berkerudung lebar bersama lima orang teman lainnya, ada satu lelaki di antaranya. Rudi menautkan alis, mencoba memindai wajah mereka satu demi satu. Namun dirinya seakan hendak melonjak ketika akhirnya mengenali wajah manis Sumi yang melenggang menghampirinya. “I--itu ‘kan kakaknya Intan!” Rudi menggumam dalam dada. Dia masih belum menjawab pertanyaan Nita karena tiba-tiba hatinya dag dig dug tak karuan. “Ayah, mereka siapa?” Nita mengulang pertanyaan. Tampak seorang panitia yang ditunjuk mempersilakan para tamu yang baru datang untuk ikut duduk dan mengikuti kajian yang sebentar lagi usai. “Ahm, sepertinya … mereka itu … hmmm ….” Rudi menggumam tak jelas. Dia pun bingung mau mengatakan apa.“Yah?!” Nita yang sudah kelewat penasaran menepuk punggung tangan Rudi. “Ahm, itu kenalannya Yogi dulu. Mungkin Yogi yang mengundang mereka.” Rudi menjelaskan secara spontan. Meskipun masih diliputi rasa penasaran, tetapi Nita mencoba