Sepulang kerja, Sumi minta di antar Zaki cari kontrakan. Sumi sengaja memilih yang jauh dari tempat tinggalnya dan terlewati jemputan. Sudah lelah dengan semua drama Intan serta tingkah laku Bagus yang menyebalkan. Sumi ingin memulai hidup baru dengan lembaran yang berbeda. Sebelum mencari rumah kontrakan, mereka mampir sebentar di toko kue bolu. Sumi membeli tiga loyang. Dua untuk di rumah dan satunya untuk Zaki.“Banyak banget?” Zaki bertanya.“Iya, kan di rumah warganya banyak! Tapi ini satunya buat kamu!” tukas Sumi sambil menggantungkan plastik berisi kue bolu di depan motor Zaki.“Eh, gak usah! Aku gak suka makanan manis!” tukas Zaki sambil mengangkat satu alisnya.“Eh maaf, gak tahu! Kamu emang sukanya apa?” Sumi menatap serius.“Aku … sukanya … kamu!” tukasnya sambil tersenyum. “Mulai, deh!” Sumi memutar bola mata jengah. Satu pukulan ringan mendarat pada pundak lelaki itu. Lalu dia naik kembali ke atas sepeda motor Zaki yang hanya terkekeh melihat tingkahnya. Sifat usil dan
Semenjak mendengarkan ucapan Bapak tadi malam, Sumi kini lebih banyak diam. Pikirannya kembali bingung untuk menentukan arah. Sepanjang dalam perjalanan menuju tempat kerja, dia hanya sesekali menyahut akan celotehan Zaki. Pikirannya bercabang dan bertali. “Dah sampe!” Zaki menghentikan sepeda motornya ketika dia sudah tiba di titik jemputan.“Hah?” Sumi terperangah. Kepalanya sedikit condong ke depan untuk mendengar apa yang Zaki bicarakan. Namun helm mereka malah beradu. Lelaki beralis tebal itu terkekeh.“Dah sampe! Kamu mikirin apa, sih? Ngelamun, ya? Tenang saja, hati aku itu paten, lope-lopenya cuma buat kamu!” tukasnya seperti biasa, ringan, datar dan pasti seperti bercanda. Zaki pun menoleh ketika Sumi turun dari boncengannya. “Emh enggak!” Sumi masih tak hendak bercerita apapun pada Zaki. Kadang dia suka merasa sungkan dan tak enak ketika hendak bercerita tentang masalahnya pada orang lain. Sikap itu juga yang membuat Sumi seringkali terpentok masalah sendirian. “Kalau ad
“Doakan Sumi, Bu! Selama bersama ridho Ibu, di mana pun Sumi pasti akan baik-baik saja!” tukasnya. Keduanya saling berpelukan. Sumi bergegas naik ke sepeda motor Zaki yang tak berapa lama sudah ada di depan dan menunggunya. Diiringi tangisan Ibu dan tatapan Asril yang kebingungan, akhirnya Sumi meninggalkan rumah yang semakin dirasanya tak nyaman itu. “Ke mana?” Zaki membuka suara. Dia melihat dari spion jika wanita yang duduk di boncengannya berkali-kali nyeka mata. “Nyari kontrakan, Zak!” “Ehhh … dah malem, Sum!” “Iya, tahu!” “Lah terus?” “Makanya mau di anter kamu karena sudah malem! Kalau masih siang, aku bisa cari sendiri!” Hening, hanya deru sepeda motor Zaki yang mereka tumpangi terdengar. “Emang mau pindahan kapan? Penting banget kayaknya!” Zaki menoleh lagi pada spion. Dia menatap mata sembab itu yang tampak tengah berusaha menghalau kesedihan. “Sekarang!” “Hah?!” Zaki berseru kaget, lalu dia menepikan sepeda motornya. Mereka sudah memasuki jalanan yang ram
“Sumi chan, kalau saya mau jadi muslim apa bisa menikah dengan Sumi chan?” Sebuah pertanyaan yang membuat Sumi melongo tak percaya. Bahkan otaknya tak tahu harus menjawab apa. Kedua bola mata sipit itu menatap meminta jawaban. “Ya Tuhaaan? Apa dia nembak aku?” batin Sumi seraya menetralkan degub jantungnya yang bertalu lebih cepat. Yamada terkekeh melihat wajah Sumi yang tampak memucat. Dia mengusap pucuk kepala Sumi yang tertutup topi itu sambil berkata. “Boleh pikir-pikir dulu, ya! Sumi chan masih kecil, mungkin masih mau main! Sayanya sudah tua, ya! Sudah tiga puluh lima lebih sedikit!” tukas Yamada sambil tersenyum. Matanya menyipit seperti biasa. Sumi hanya mengangguk. Tak tahu juga harus menjawab apa sekarang. Lidahnya kelu. Hatinya jedag jedug tak menentu. Selama ini, baru pertama ini ada lelaki yang menanyakan dengan serius padanya. Bukan seperti Zaki yang selengehan dan bisa kapan saja mengucap pac
Sumi menatap sederet pesan itu. Hatinya mendadak diliputi rasa was-was. Bagaimana kalau Asril sakitnya parah. Sumi segera memakai sweater lalu mengirim pesan pada Zaki. [Zak, dah tidur belum?] Hanya checklist dua, masih berwarna hitam. Mungkin Zaki kacapekan dan sudah tidur. Tadi dia gak pakai jaket dan kehujanan. Sumi yang awalnya hendak mengetuk pintu kamar Zaki mengurungkan niatnya. Akhirnya Sumi merebahkan tubuh, tetapi pikirannya tetap teringat pada Asril. Sepuluh menit berlalu, Sumi masih tak bisa memejamkan mata. Dia teringat terus pada Asril dan khawatir yang sangat menjadi. Namun baru hendak dirinya memejamkan mata, pintu diketuk dari luar. Sumi beringsut, lalu membuka pintu. Tampak Zaki dengan mukanya yang tampak mengantuk berdiri di sana. “Kamu WA, ada apa? Masa sudah kangen aja, sih?” celotehnya. “Ih, sembarangan! Aku tadinya mau minta di anterin kamu ke rumah! Asril sakit katany
Bu Siti menatap Zaki yang sudah rapi dengan seragam kerjanya. Wajahnya akhir-akhir ini tampak berbinar. Semenjak dia berhasil bisa mendekati Sumi dengan jadi tukang ojeknya, hidupnya menjadi berwarna. Terlebih dia merasa menjadi orang yang sangat dibutuhkan oleh Sumi---gadis yang dipujanya dalam diam sejak sekolah menengah. “Zak, Ibu setuju dengan Sumi! Dia lebih baik dari para gadis yang pernah ke sini!” tukas Bu Siti. Ya, Zaki pernah mencoba melabuhkan hatinya agar bisa move on dari Sumi semenjak lulus sekolah. Sumi yang memiliki presatsi akademik yang bagus, murid kesayangan para guru, dan murid yang selalu menjadi perbincangan karena keluguan dan kepandaiannya itu, membuatnya merasa tak berani mendekat. Terlebih sikap Sumi yang kelewat cuek dan gak peka. Beberapa orang yang berusaha mendekatinya berakhir kecewa. Namun semakin dia berganti wanita, semakin hatinya berkata jika Sumi sudah menempati singgasana terindah di dalam hatinya.
Zaki meremas tangkai mawar yang tadi digenggamnya dengan hangat itu hingga patah. setelah itu, mawar tersebut dilemparnya begitu saja. Bunga itu terbuang seperti asanya yang kini tenggelam. Zaki memutar tubuh sebelum Sumi menyadari kedatangannya. Langkah kakinya terasa melayang seolah tak menapak pada tanah. Martabak manis yang ditentengnya diberikannya pada dua anak lelaki berumur sekitar tujuh tahun yang tengah berlarian. “Dek, sini!” Zaki memanggilnya. “Apa, Om?” tanya salah satu anak lelaki itu seraya mendekat.&
[Sum, aku sudah jalan, ya! Bentar lagi paling sampe kontrakan kamu!] [Ok.] Sumi membalas pesan dari Suvia segera. Dia pun sudah rapi dengan kaos lengan panjang warna putih dan celana bahan yang agak longgar. Tidak lupa dibawa serta kartu ATM yang kemarin baru saja selesai dibuatnya untuk diberikan pada Ibu. Sumi sudah memutuskan untuk mengirimi Ibu uang diam-diam saja agar tak dipakai aneh-aneh oleh Bapak. Sumi pun membeli nomor baru untuk mengisi ponsel jadulnya yang akan diserahkan pada Ibu untuk berkomunikasi ketika rindu. Keduanya berangkat menggunakan mobil online. Mampir sebentar ke toko kue dan membeli tiga kotak bolu. Satu untuk Zaki