"Eh, Neng Mirna. Ya Allah, makin cantik ya semenjak hamil," celetuk salah satu tetangga Mirna, Leha namanya seorang janda yang tidak punya anak. Mirna tersenyum lembut, wajah manisnya selalu bisa menghipnotis semua mata yang melihat."Alhamdulillah, Mbak Leha. Semoga nanti bayinya ketularan cantik," balas Mirna ramah.Sambil mengelus perut yang sudah membesar, Mirna berjalan pulang ke rumah setelah jalan-jalan pagi seperti yang di sarankan bidan desa. Hawa dingin membelai wajah putih nan mulus Mirna, senyum berhias lesung pipi berkali-kali tersungging kala berpapasan dengan warga setempat. Rambutnya yang panjang, indah tergerai memanjakan mata sifatnya yang lemah lembut dan penyayang pun menjadi nilai plus di mata masyarakat. Tak salah jika Mirna di juluki sebagai kembang desa yang membawa keberuntungan. Pernyataan itu pun semakin menguat kala beberapa waktu lalu Mirna di lamar oleh seorang lelaki kaya dari kota, pesta mewah mewarnai kampung hingga tiga hari lamanya. Membuat banyak
Bu Mala dan Pak Bagus saling pandang beberapa saat sebelum akhirnya berlari menuju pintu kamar Marni yang terbuka lebar dan suara suara aneh masih terdengar dari dalam sana. Namun sejak tadi tak terdengar sama sekali suara Andika yang turut menemani sang istri di dalam sana."Astagfirullah! Marni! Kamu kenapa, nduk?" bu Mala menjerit saat melihat kondisi anaknya. Pun Pak Bagus yang ikut duduk di atas ranjang yang sama dimana anak dan istrinya berada."Dika, kenapa sama Marni?" Pak Bagus bertanya dengan suara keras, saking cemasnya dengan kondisi anak semata wayangnya. Bagaimana tidak, saat ini Marni sedang dalam posisi duduk dengan dua tangan bertumpu di depan lututnya, sedang matanya melotot ke atas hingga hanya terlihat putihnya saja. Sedang mulutnya terbuka lebar dengan lidah terjulur, suara suara aneh yang sejak tadi terdengar rupanya berasal dari Mirna yang seperti mengorok atau sesekali seperti tersedak.Dika tampak pias, ia tak berani mendekat dan memilih berdiri di dekat je
Pagi itu, pemakaman almarhumah Marni berjalan dengan lancar. Tak ada yang berani bertanya lagi kemana perginya bayi dari Mirna dan Dika, sebab saat di tanya Pak ustad semalam Dika langsung histeris dan meraung tanpa henti. Dika mengamuk sehingga Pak ustad dan Pak Bagus terpaksa mengurungnya di kamar hingga pagi ini. Sekarang, satu-satunya orang yang mungkin saja tahu dimana bayi itu berada hanya Bu Mala. Hanya saja kondisinya masih belum memungkinkan untuk ditanyai."Pakde, saya turut berduka cita ya. Padahal semalem masih ketemu sama neng Mirna, masih di kasih kue juga sama Dika. Yang sabar ya, Pakde insyaallah almarhum sudah tenang di syurga- Nya." "Iya, nduk. Maafkan semua kesalahan almarhumah ya." Leha yang bertandang bersama suaminya mencoba menghibur Pak Bagus yang duduk seorang diri di dalam rumah, setelah itu Leha bergabung dengan ibu ibu tetangga dan saudara Bu Mala di dapur, tengah menyiapkan hidangan untuk acara tahlilan nanti malam."Eh, Mbak Leha baru dateng?" sapa sa
Subuh harinya, Bu Siti tergopoh gopoh mendatangi rumah Leha. Karna beberapa saat lalu ia mendengar suara jeritan Bu Yem, simbok nya Leha. Wanita tua itu menjerit dan menangis memanggil nama Leha berulang kali membuat Bu Siti yang tengah melaksanakan sholat subuh menjadi tidak khusuk.TokTokTok."Assalamualaikum! Mak! Mak Yem! Kenapa, Mak?" seru Bu Siti dari depan pintu rumah Leha, dari dalam masih terdengar suara tangisan Mak Yem yang terus memanggil nama Leha."Mak! Buka pintunya, Mak! Leha kenapa?" seru Bu Siti lagi. Tak lama terdengar suara pintu terbuka, di susul Mak Yem yang keluar dengan wajah bersimbah air mata."Sitiiii ... Lehaaa, Sitiiii!" "Ya, iyaa ... Leha kenapa, Mak kenapa Emak sampe jejeritan subuh subuh begini?" cecar Bu Siti. Mak Yem tak menjawab dan malah menarik tangan Bu Siti masuk ke rumahnya, langsung menuju dapur dimana Leha terbujur pingsan di sana."Astagfirullah! Leha kenapa, Mak?" Bu Siti sedikit berlari mendekat ke arah Leha yang masih tak sadarkan di
"Waalaikumsalam, mari mari silahkan masuk." Pak Bagus mengajak para tamunya masuk, terdiri dari seorang lelaki paruh baya dan seorang perempuan yang mungkin adalah istrinya dan anak perempuan berusia hampir sama dengan Marni, wajahnya pucat pasi dengan rambut acak acakan."Ya Allah, Ranti kenapa, Pak Yono?" tanya Pak Bagus begitu melihat kondisi anak tetangganya tersebut. Pun Bu Siti yang mulai menerka nerka dalam hati."Jadi ... begini ,Pak Bagus." Bu Ambar, sang istri yang menjawab. "Sebenarnya ... tadi malam ..." Malam tadi, sekitar pukul satu, Ranti anak bungsu Bu Ambar dan Pak Yono pergi ke kamar kecil. Kebetulan sudah menjadi kebiasaan gadis yang masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah itu belajar hingga larut, terlebih saat ini ia sudah mulai menyusun skripsi terkadang semalam suntuk ia bisa begadang.Sekembalinya dari kamar kecil, Ranti kembali hendak menekuri laptopnya. Mengejar deadline sidang skripsi yang tinggal menghitung minggu. Namun, begitu sampai di pintu kama
"Nanti saja kita bahas masalah ini lagi, Pak. Baru satu hari, dan keluarga kita masih berkabung. Ada baiknya yang begini begini nggak jadi beban pikiran dulu, ibu masih sedih, Pak." Pak Bagus mengambil nafas dalam dan mengangguk. "Ya wes kalau begitu, kita fokus ke tahlilan tujuh harinya Marni dulu. Semoga saja tidak ada lagi warga yang di datangi oleh Marni, yang tenang di sana, nduk. Setelah acara tujuh harian nanti kita cari tahu apa yang terjadi," tandas Pak Bagus menerawang.***"Mak, gimana kondisinya Leha?" "Alhamdulillah, Ti. Sudah baikan, itu dia lagi ambil jambu di belakang, sini mampir, Ti." Mak Yem melambai meminta Bu Siti mendekat. Setelah duduk bersama Bu Siti pun mulai bercerita jika tadi ia bertemu dengan keluarga Pak Yono yang mengaku anak gadisnya pun di datangi oleh arwah Marni."Mungkin almarhum masih ada yang mau di sampaikan, Ti. Denger denger meninggalnya nggak wajar to? Terus bayinya katanya hilang?" bisik Mak Yem kepo. Bu Siti mengangkat bahu. "Nggak tah
Keesokan harinya, orang tua Dika, Pak Wirya dan Bu Pratiwi benar benar datang. Saat melewati jalan kampung banyak pasang mata yang melihat dan mulai berbisik bisik."Lihat deh, masa menantunya meninggal sudah seminggu baru datang ke sini? Mau ngapain lagi coba?""Hush! Mana tau mereka sekeluarga mau bahas masalah hantunya Marni, memangnya kamu mau di datengin?""Hiyyy emoh! Ya syukur kalau memang mau bahas itu, bosen aku tiap malam di rumah terus nggak bisa main. Semua orang takut ketemu hantunya Marni. Kasian ya, kembang desa meninggalnya tragis.""Iya, dulu aku sempat iri sama kehidupannya si Marni. Tapi setelah kejadian itu, aku jadi bersyukur hidupku biasa biasa saja. Setidaknya itu meminimalisir kemungkinan adanya orang iri dengki sampai main dukun sama aku." Dua orang gadis yang dulunya adalah teman Marni terkikik setelah mobil orang tua Dika yang memang sudah di kenal sebagian warga kampung lewat menuju arah rumah Pak Bagus. Banyak warga yang berharap dengan kedatangan kedu
DeghDeghDegh "Kenapa, Bu? Teriak teriak malam malam?" Pak Bagus duduk seraya mengucek matanya yang masih lengket lalu bergegas menghidupkan lampu kamar. Bu Mala melotot, melihat ke arah pintu dan tak mendapati tangan pucat itu lagi disana. "Ibu ngapain duduk di lantai begitu?" tanya Pak Bagus lagi, lalu lekas mendekat dan membantu Bu Mala berdiri."Ya ampun, Bu. Badan ibu dingin sekali loh, ibu sakit?" Bu Mala menggeleng lemah, lalu perlahan duduk di kasur dan mengambil segelas air yang selalu ada di nakas dan meneguknya hingga tandas."Ibu ngapain tadi duduk di lantai? Muka ibu juga pucat, apa ibu ... habis lihat sesuatu?" tebak Pak Bagus. Bu Mala menoleh cepat, menatap tajam mata suaminya dengan wajah gusar."Apa jangan jangan ....""Sudah, Pak. Ibu mau tidur lagi, dingin." Bu Mala menyela ucapan Pak Bagus, lalu tanpa menunggu reaksi suaminya ia lantas masuk ke dalam selimut dan menutup tubuhnya hingga ke kepala. Tak lama terasa kasur bergerak, pertanda Pak Bagus sudah kemb
Rumah peninggalan Bu Ambar sudah tak lagi aman, jin pesugihan yang di pelihara Pak Yono rupanya mulai mengincar Ranti sebab tak ada lagi yang memberinya makan setelah Pak Yono di penjara dan menjadi gila. Setelah kejadian tersebut, Pramono memutuskan membawa Ranti untuk tinggal di kediamannya saja, membawa serta bebek bebek dan unggas Pak Yono yang lain untuk di rawat di sana."Mas, jangan pergi jauh jauh ya." Ranti tampak cemas saat akan kembali memasuki rumah Pramono yang berhasil menorehkan luka untuk yang ke sekian kalinya untuknya.Pramono menoleh dan mengelus kepala sang istri. "Insyaallah nggak, kebun Mas kan di belakang rumah ini. Ada bebek juga sekarang, jadi nggak perlu pergi jauh jauh. Tapi kalau nanti adek mau jalan jalan bilang ya, di rumah terus kan pasti bosen." Ranti mengangguk riang dan mereka pun memulai hidup baru mereka di sana dengan lebih tenang.***Kembali ke pondok pesantren Daruttaqwa.Di teras rumah Ustad Yusuf yang lebih akrab di sapa abah oleh para sa
Di sana di depan matanya sendiri Pramono melihat Ranti tengah mengarahkan sebilah belati ke lehernya. Matanya tampak kosong menjelaskan jika bukan inginnya melakukan semua itu. Bahkan suara teriakan Pramono saja seperti tak terdengar olehnya. Saat belati hampir menyentuh kulit lehernya yang mulus, Pramono bergerak cepat menepis tangan Ranti hingga pisau itu terjatuh ke bawah ranjang."Astagfirullah, dek! Nyebut, dek kamu ngapain?" seru Pramono cemas bukan main. Namun bukannya menjelaskan,Ranti justru jatuh pingsan."Ya Allah, ada ada aja cobaan. Dek! Dek Ranti, bangun." Pramono mengangkat tubuh Ranti keluar, di depan kamar tampak Leha menghampiri dengan wajah tegang."Kang! Kenapa teriak teriak? Astagfirullah, kenapa Ranti, kang?" cecarnya kaget."Nanti saja ceritanya, dek. Tolong bawain bantal." Pramono melewati Leha dan terburu buru melangkah ke ruang tanu dimana sang ibu berada bersama Bu Mala dan Azzam." Loh loh, le? Kenapa Ranti?" tanya Mak Yem heran, pun demikian dengan Bu
Setelah berpulangnya Bu Ambar, Ranti kembali menempati rumah mereka. Selain karna Pak Yono tidak ada juga ada banyak unggas peliharaan mereka yang butuh di urus. Untungnya Pramono berhasil meyakinkan istri kecilnya itu untuk kembali, dan berjanji akan membantunya mengurus unggas unggas mereka untuk bekal masa depan mereka."Terima kasih ya, Mas sudah mau bertahan sejauh ini." Ranti bersandar di dada bidang Pramono, saat mereka tengah duduk di teras belakang yang menghadap langsung ke kandang unggas yang luas.Pramono mengelus pundak istrinya, lembut dan penuh kasih sayang. Tak rasa jijik mengingat apa yang terjadi pada Ranti, melainkan rasa ingin melindungi yang semakin besar dalam dirinya."Sama sama, kalau adek sudah merasa lebih baik nanti kita ke kantor polisi ya. Kasus bapak perlu segera di tuntaskan, dek." Ranti mendongak, menatap lekat mata suaminya. "Mas ... yakin?" "Adek masih takut?" Ranti mengangguk samar. "Terlalu mengerikan untuk tidak takut, Mas." Pramono merasak
Saat tengah kebingungan dengan asal bau bangkai yang sangat tidak enak tersebut, dari arah jalan tampak Bu Mala dan Pak Bagus tengah menggandeng Azzam, bocah itu tampak sangat senang menenteng joran pancing sambil bercanda dengan keduanya."Loh, Pram? Ngapain?" sapa Pak Bagus saat telah sampai di depan halaman Pak Yono. Pramono turun lalu menyalami tangan Pak Bagus dan Bu Mala, di ikuti Ranti yang tampak terus menunduk menyembunyikan wajahnya."Ini, Lek mau jenguk ibu mertuaku. Tapi rumahnya kok sepi e? Paklek sama bulek tahu nggak kemana?" Pak Bagus tampak saling pandang sejenak dengan Bu Mala, sedang Azzam sudah lebih dulu kembali ke rumah mereka untuk mandi."Nggak tahu, le. Sudah beberapa hari juga Bu Ambar nggak keliatan, kami kira malah pulang kampung atau nginep di tempatmu," jelas Bu Mala apa adanya.Kembali angin bertiup, awan mendung berarak sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Dan saat itu kembali bau bangkai yang menyengat kembali menyeruak."Huek! Astagfirullah,
Mata bening Aini mengerjab, kembali terpejam saat cahaya dari luar terlalu silau baginya."Bunda!" Sultan naik ke tempat tidur dan langsung berbaring di tubuh sang bunda, tangan kurus Aini bergerak alami memeluk tubuh sang putra."Alhamdulillah," ucap Alfi dan Umi Maryam berbarengan, keduanya kompak mendekat pada Aini yang mulai membuka mata. Tatapan matanya tak lagi kosong seperti biasanya."Mbak, alhamdulillah. Mbak baik baik saja kan, Mbak? Mbak inget Afi kan? Mbak inget Sultan kan?" cecar Alfi dengan luapan kegembiraan yang luar biasa. Aini duduk dan merangkul Sultan erat, matanya mulai basah oleh air."Iya, dek iya Mbak inget semuanya. Mbak inget, mbak seneng sekali akhirnya bisa pulang," jawab Aini. Dan inilah dia, Aini yang selama ini di kenal Alfi dan orang orang sekitar. Sosoknya yang penyayang dan lemah lembut, juga sangat keibuan hampir tak pernah meninggikan suaranya walau dalam keadaan sangat marah sekalipun. Mungkin akan sangat sulit di percaya jika Alfi bercerita j
Dika termenung di depan pusara baru di hadapannya, pusara itu milik mayat yang di ketemukan dalam kondisi mengenaskan setelah di makan buaya tempo hari. Usut punya usut, rupanya mayat itu adalah salah satu dari anak buah Pak Wirya. Sugiarto namanya, seorang duda yang sudah tak punya orang tua dan keluarga Tak ada yang tahu bagaimana kejadian awal kecelakaan itu, karna tidak adanya saksi mata. Sedang Pak Wirya pun kini masuk dalam daftar pencarian orang hilang."Kita pulang, Mas?" tanya Gus Amar setelah berbincang sejenak dengan petugas dari kepolisian yang menangani kasus hilangnya Pak Wirya. Dika mengangguk, lalu perlahan mengikuti langkah Gus Amar kembali ke pondok pesantren."Gus, apa boleh saya bertemu dengan Aini?" tanya Dika sesaat setelah mereka tiba di kediaman. Gus Amar mengernyit, sudah beberapa waktu sejak Dika mengembalikan Aini pada Alfi, dan kini kakak beradik itu memilih tinggal tak jauh dari kawasan pondok atas permintaan Umi Maryam yang masih khawatir dengan kese
Detik itu juga Pak kades ambil sikap, beliau langsung menelpon perangkat desa yang lain untuk berdiskusi. Semetara Pramono diminta pulang lebih dulu untuk memanggil Leha sebagai saksi dan Ranti jika bisa.Pak Yono gemetar di kursinya, wajahnya tampak mengerut dan menunduk. Terlebih setelah beberapa pamong desa datang dan Pak kades serta ustadz Rizal mulai menjelaskan duduk perkaranya."Astagfirullahaladzim, Yono! Saya tidak pernah menyangka kamu sebej*t itu! Saya kira memang betul Pramono yang menghamili Ranti, anak kamu itu. Tapi rupanya ... astagfirullah, dimana otak kamu itu kamu buang hah, Yono?" bentak pak Sekdes berang. "Entah, sudah di makan kutu itu otakmu makanya bisa bertingkah seperti itu. Apa kamu nggak mikir, ah astagfirullah ... wes ndak bisa ngomong aku wes. Akhir zaman, akhir zaman," timpal warga satunya lagi dengan wajah kesal, ia menekan puntung rokoknya kuat kuat ke asbak dengan tatapan menghunus pada Pak Yono yang mengkerut di tempatnya duduk."Untung saja si Pram
Bugh!Bugh!Bruaghhh!Pramono menghajar seseorang yang tadi berada di atas tubuh istrinya dengan membabi buta, bahkan untuk melihat wajahnya pun tak sempat. Sedangkan Ranti, tetap berada di atas ranjang dengan air mata berlinang."Ya Allah, kang! Kang sudah, kang! Istighfar!" Leha memburu kakaknya lalu memeluknya erat erat, jika tidak demikian di takutkan nanti orang tersebut meregang nyawa dan bisa menjadi bumerang untuk Pramono."Lepas, dek! Lepas! Makhluk bi a dab seperti itu harus di beri pelajaran! Dimana otaknya dia gadaikan sampai istri orang pun di embatnya?" geram Pramono berusaha memberontak. Namun sekuat yang ia bisa Leha terus menahan bobot tubuhnya."Sabar, kang! Kalau orang itu lapor polisi nanti kakang yang jadi pesakitan! Sekarang hukum bisa di beli, kang!" seru Leha menyadarkan Pramono. Perlahan perlawanan Pramono melemah, lekas lekas dia menyelimuti tubuh polos Ranti yang tergolek lemas di arah ranjang. Bahkan Pramono pun masih belum menyentuhnya sama sekali meng
Kerumunan warga semakin ricuh, saat sebuah tubuh yang tadi tenggelam kembali muncul ke permukaan, lalu di susul seekor buaya yang tidak terlalu besar menggigit salah satu tangannya dan menyeretnya ke arah tepian yang sepi. Warga bersorak dan melempar sesuatu seperti batu batu kecil dan apapun yang bisa mereka temui guna menghalau buaya itu, namun sepertinya sia-sia. "Astagfirullahaladziim." Gus Amar menoleh saat merasa seseorang bicara tepat di belakangnya, dan di sana ia mendapati wajah mendung Dika yang tengah menyorot ke arah buaya tadi."Kenapa turun, Mas? tunggu saja di mobil, sebentar lagi mungkin sudah bisa lewat. Tadi ada bapak bapak sudah telepon pihak kepolisian," jelas Gus Amar yang mengira Dika turun dari mobil karna tak sabar atau bosan menunggu. Namun dengan tatapan nanar Dika malah menunjuk ke arah semak dimana buaya tadi membawa tubuh korbannya. Dengan suara serak Dika berbisik. "Itu Papa saya."Degh Mata Gus Amar membulat sempurna, di telisiknya dalam dalam waj