Jakarta High School menjadi salah satu sekolah favorite di kota tersebut. Sekolah yang terkenal banyak menghasilkan lulusan terbaik, juga selalu juara dalam berbagai perlombaan. Seperti olahraga atau pun pengetahuan. Banyak para murid yang ingin masuk, membuat mereka menggunakan berbagai cara.
Pagi ini sekolah kembali di hebohkan dengan kedatangan murid baru pindahan dari Inggris. Seorang siswi kini tengah berdiri di depan para murid kelas XII IPA-1. Keberadaannya tentu saja menarik semua penghuni sekolah. Dari berbagai kelas yang memiliki jam kosong pun berdatangan ke sana. Mereka penasran mengenai murid baru tersebut.
Hawar-hawar terdengar jika siswi tersebut begitu cantik dengan kulit putih mulus, bermata bening bulat serta bibir merahnya. Kebanyakan yang melihat adalah para siswa.
"Silakan perkenalkan dirimu." Titah bu Sarah selaku wali kelas tersebut.
"Selamat pagi. Assalamu'alaikum, perkenalkan saya Reina Jovanda. Panggil saja Reina. Saya pindahan dari Inggirs dan memutuskan melanjutkan sekolah di sini. Saya harap kita semua bisa berteman baik." ucap gadis berhijab modern tersebut membuat sebagian besar perhatian terpaku padanya.
Senyum menawan serta tutur kata yang lembut menambah daya tarik gadis bernama Reina tersebut. Sorot matanya memancarkan kebaikan membuat para siswa ingin mengenalnya lebih dekat.
"Baiklah Reina. Kamu bisa duduk di bangku kosong itu." tunjuk Ibu Sarah pada salah satu bangku kosong yang dekat jendela sebelah Dimas.
Tatapan demi tatapan terus mengikuti setiap langkah Reina. Gadis seanggun itu datang dan menghebohkan seisi kelas. Sesampainya di sana, ia pun tersenyum ke arah Dimas lalu menyapanya seolah sudah mengenal satu sama lain.
"Lama tidak bertemu, Dimas." Ucapnya lembut seraya menatap pemuda itu intens.
Dimas tersenyum canggung. Bisikan demi bisikan mulai terdengar dari para siswi setelah mendengar ucapan Reina barusan. Namun, di tengah-tengah kehebohan itu Dimas mencoba bersikap biasa saat mengetahui siapa murid baru yang datang ke kelasnya.
'Kenapa dia kembali?' batinnya bimbang.
***
Kedatangan gadis bernama Reina masih menjadi pembicaraan hangat para murid. Ada yang senang dan tidak sedikit iri dengan kecantikannya. Bagi mereka Reina adalah musuh nyatanya. Terutama dalam memikat perhatian para siswa.
"Kamu tahu, Erina? Gadis itu cantiiikkkk sekali, seperti boneka hidup. Ditambah lagi dia memiliki bola mata keabuan dan hidungnya mancung sekali. Ada yah di dunia ini gadis secantik dia. Apa aku bisa sepertinya?" ucap Rahel heboh sendiri setelah melihat gadis itu tadi pagi.
Erina sudah biasa melihat sahabatnya selalu melebih-lebihkan sesuatu hanya bersikap maklum. Ia tersenyum seraya menikmati minumannya. "Hahahaha, jangan harap kamu bisa seperti dia. Pasti kamu irikan padanya?" ejek Erina begitu saja.
"Kamu kejam sekali." Bibirnya mengerucut lucu.
"Hahahhahaha" tawa gadis itu seketika bergema di sana, "aku jadi penasaran bagaimana rupa gadis itu." Lanjut Erina lagi.
Rahel memutar bola matanya, bosan. Ia pun memandangi sahabatnya dengan serius. "Kalau begitu ayo ikut aku" tanpa sepertujuan Erina, ia menariknya keluar kelas.
Ruang XII-IPA 1 terlihat sepi sejak bel istirahat berbunyi beberapa menit lalu. Di sana hanya tinggal 3 murid saja. 2 orang siswa dan 1 siswi. Mereka terlihat berbicara serius satu sama lain.
"Kenapa kamu kembali ke Indonesia?" tanya salah satu pemuda itu.
"Karena aku merindukan Indonesia. Apa kamu tidak suka aku pulang, Dimas?" ucap Reina pada pemuda di hadapannya.
"Hah~ aku tidak tahu tujuanmu kembali, tapi aku harap kamu mengerti situasinya sekarang karena Dimas sud_" tiba-tiba saja ucapan Ilham dipotong cepat oleh Dimas. Pemuda itu memberikan tatapan seolah jangan membicarakan hal itu pada Reina.
"Ilham!!" bentakan Dimas membuatnya menghentikan ucapannya. Mengerti dengan tatapan yang dilayangkan sahabatnya Ilham pun mengganti topik ke arah lain.
"Yahh, pokonya semua sudah berubah. Jadi kalian bisa bersahabat dengan baik" lanjutnya berpura-pura tidak panik.
Namun sepertinya Reina sedikit mencurigai ucapan Ilham yang menggantung tadi. "Baiklah, aku tidak akan mengacau" balasnya.
Tanpa mereka sadari kedua gadis dari kelas lain mendengar pembicaraan itu. Erina dan Rahel bersembunyi di balik tembok. Niatnya yang hanya ingin melihat murid baru tersbeut harus tertahan dengan pembicaraan mereka.
Erina memutar kepalanya. Tentang siapa Reina dan ada hubungan apa gadis itu dengan kedua pria yang ia kenal baik. Wajah penuh tanya terlihat jelas di sana. Jika saja Rahel tidak menariknya mungkin ia akan terus mematung di sana.
"Erina ayo pergi. Tidak seharusnya kita mendengarkan pembicaraan mereka." Rahel pun kembali membawanya ke kelas.
Sekembalinya mereka, Erina masih memikirkan mengenai pembicaran yang tidak sengaja didengarnya. Ia terdiam jatuh ke dalam lamunannya sendiri. Rahel yang tengah duduk di depannya tidak menyadari hal tersebut.
"Aku tidak menyangka jika gadis cantik itu ternyata sudah berteman dengan Dimas dan juga Ilham? Pria tampan di sekolah ini?" heran Rahel.
Mendengar celotehannya, Erina pun tersadar seketika. "Emm, aku juga tidak tahu. Yah, aku sama sekali tidak mengetahuinya." Balasnya dengan suara semakin pelan dan pelan.
Tatapannya terkunci pada cincin yang melingkar di jari manisnya. Ada keganjalan yang ia rasakan dalam benak. 'Aku tidak tahu siapa Dimas itu sebenarnya. Dia tidak pernah menceritakan apapun tentangnya. Sejujurnya, peran ku dalam hidupnya itu apa? Ahh perasaanku sedikit tidak enak.' Monolognya kemudian.
***
Erina berjalan seorang diri di lorong. Hari sudah sore sejak pelajaran terakhir berakhir. Siluet oranye sudah terlihat di ufuk barat. Tidak banyak murid terlihat di sekolah, mereka sudah pulang beberapa menit lalu.
Ia harus pulang agak lambat karena hari ini ada jadwal piket kelas. Rahel yang ada kegiatan klub melukisnya harus pergi meninggalkannya duluan. Ia pun tiba dia lantai satu. Pintu keluar menyambut kedatangannya. Perasaannya berubah menjadi tidak enak seolah akan ada sesuatu di luar sana.
'Tenang Erina, itu hanya imajinasimu saja' batinnya mencoba tenang.
Kini kakinya membawa ia di tepi pintu keluar. Di sana terlihat sepi tak ada seorang pun yang terlihat. Namun, ketika kepalanya menengok ke samping kanan ia melihat siluet seseorang yang dikenalnya. Pemuda itu masuk ke dalam mobil hitam yang membawanya pergi entah ke mana. Erina diam mematung, seperti hal mengejutkan tengah terjadi.
"Apa tadi itu Dimas? Dan kenapa dia bisa bersama Reina? Apa mereka mempunyai sebuah hubungan? Bukankah Reina siswi baru di sekolah kapan mereka berte_" ucapannya terhenti saat ia menyadari sesuatu. Pikiran itu tiba-tiba saja datang, "jangan-jangan mereka sudah mengenal satu sama lain dari dulu." Lanjutnya menduga-duga.
Dengan berbagai prasangka memenuhi kepalanya, Erina melanjutkan langakah pulang ke rumah. Sampai ia tidak menyadari jika dirinya sudah berada tepat di depan gedung. Ia pun masuk dan melanjutkan menuju lantai tempatnya tinggal.
Klekk!!
Pintu terbuka. Apartemen terlihat masih gelap tidak ada penghuni di dalamnya. Keheningan pun menyambutnya dengan suka cita. Senyum yang entah apa artinya melebar begitu saja.
"Bukankah hari ini Dimas tidak ada kegiatan di sekolah? Kenapa belum pulang? Ke mana perginya dia dengan gadis itu?" ucap Erina seraya masuk ke dalam dan mencari saklar lampu. Seketika ruangan pun terang benderang.
Gadis itu melemparkan tas ke sembarang tempat lalu mendudukan dirinya. Punggungnya bersandar di kepala sofa. Tangan kanannya bertengger di dahi, tatapannya fokus pada langit-langit putih di atas sana.
"Jadi benar yang tadi itu Dimas? Kenapa dia tidak memberitahuku mengenai gadis itu? Apa jangan-jangan?" Ia kembali tersentak kaget dengan pikirannya sendiri, "ahh tidak-tidak. Mungkin gadis itu hanya sahabatnya saja" lanjut Erina seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tidak lama berselang terdengar seseorang memasukan sandi di pintu masuk. Beberapa detik kemudian seseorang masuk ke dalam. Buru-buru Erina berlari untuk menyambut kepulangan suaminya.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam." Tatapan Erina tidak lepas dari wajah Dimas yang datar. Ia semakin mencurigai pemuda itu. "Em, hari ini aku tidak masak. Aku baru pulang dan tidak sempat memasak makan malam." Ungkapnya setelah menerima tas sang suami.
"Iya, tidak apa-apa aku juga sudah makan." Entah sengaja atau tidak Dimas berkata demikian. Saat ia sadar sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia pun mengelak dengan mengatakan, "aku mau mandi dulu" Dimas melesat pergi meninggalkan Erina diambang pintu. Gadis itu kembali berkutat dengan pikirannya sendiri.
'Mungkinkah Dimas sedang berbohong padaku? Kenapa aku merasa dibohongi?' batinnya kecewa.
Malam semakin larut, pasangan suami istri itu sudah berada di dalam kamarnya masing-masing. Yah, begitulah pasangan yang satu ini masih tidur terpisah meskipun mereka sudah menikah. Alasannya sederhana keduanya menghargai keputusan satu sama lain.
Dimas tengah berbaring di tempat tidurnya. Memikirkan pembicaraan tadi sore saat ia tengah bersama Reina disalah satu café dekat sekolah. Pikirannya melayang jauh seraya memori demi memori masa lalu kembali datang.
"Aku tidak tahu kenapa gadis itu bisa kembali. Aku sempat tidak percaya bahwa murid baru yang datang pagi ini adalah dia. Reina Jovanka. Dia gadis periang, ramah dan juga menyenangkan. Yah, dia cinta pertamaku." Monolognya dalam diam.
Saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, Reina tiba-tiba saja harus pindah ke Inggris. Alasannya karena pekerjaan kedua orang tuanya. Di saat yang bersamaan mereka pun sudah berhubungan hampir satu tahun. Hari demi hari waktu pun mengikis kebersamaan mereka. Hingga keduanya hilang kontak satu sama lain.
Namun, setelah hampir 5 tahun berlalu Reina kembali mengejutkan Dimas dengan kedatangannya yang mendadak.
"Kenapa kamu kembali ke sini lagi? Bukankah orang tuamu berada di Inggris?" itulah pertanyaan Dimas saat bersama Reina di cafe tadi sore.
"Aku tidak betah tinggal disana. Aku rindu orang-orang yang ada disini" balasnya jujur seraya tersenyum manis.
"Apa orang tuamu tahu kamu pindah?"
"Eum, bahkan mereka akan menyusulku nanti. Kita bisa memulai hidup baru bersama." Harapan itu merekah menggembang apik diwajah cantiknya.
"Aku senang mendengarnya."
"Termasuk denganmu Dimas." Seketika pemuda itu menegang ditempatnya.
***
"Apa maksud ucapannya yah?" ketidakpekaannya akan sebuah perasaan membuat Dimas memikirkan ucapan terakhir Reina tadi sore.
Tanpa ia tahu bahwa ada gadis lain yang tengah memikirkannya juga. Pikirannya berkecambuk melihat tingkah suaminya sekrang. Perasaannya tak menentu setelah kedatangan gadis bernama Reina dalam kehidupan rumah tangga mereka. Walau pun harus Erina akui hubungan itu bukanlah atas dasar cinta. Melainkan sebuah kebetulan.
"Entah kenapa hari ini Dimas seolah tengah menyembunyikan sesuatu dariku. Aahh sudahlah jangan di pikirkan" celotehnya dalam kamar.
Pagi telah datang. Seperti biasa, saat ini Erina tengah menyiapkan sarapan. Apron merah muda bertengger ditubuh mungilnya. Ia berusaha menjadi istri yang baik dan membuktikan pada siapa pun jika dirinya bisa bersanding dengan most wanted sekolah.Aroma masakan menggugah selera membangunkan sang suami. Perlahan Dimas bangun lalu membersihkan dirinya. Setelah selesai dengan ritual paginya, ia pun keluar dengan wangi mint menguar. Seketika bau tersebut membuat Erina terpana. Ia tahu pemuda itu sudah berada dekat dengannya."Selamat pagi, Dimas. Ayo sarapan dulu" ajaknya seraya menoleh ke belakang, di mana sang suami berdiri tepat di depan meja makan lengkap dengan seragam sekolahnya.Dimas pun mengangguk seraya tersenyum. Kemudian netranya memandangi makanan lezat tersaji di sana. Tidak lama kemudian ia duduk di salah satu kursi kosong dan mulai menikmati sarapan."Bagaimana rasanya?" tanya Erina penasar
Semacam luka tapi tak berdarah. Semacam sakit tapi tak terasa, semacam harum tapi tak berbau. Perasaan itulah yang saat ini aku rasakan _ Falisha Erina _.Bel pergantian pelajaran telah terdengar beberapa saat lalu. Kedua kelas itu pun membubarkan diri dari aula. Mereka mulai membersihkan diri dari keringat sebelum kembali masuk ke dalam kelas mengikuti pelajaran terakhir.Selesai berganti pakaian, satu persatu para murid tersebut kembali ke kelas masing-masing. Entah mereka memperhatikan guru yang tengah mengajar di depan atau tidak, tapi semuanya nampak serius mendengarkan.Setelah menjelaskan pelajaran, tugas pun diberikan. Dengan rasa kantuk dan lelah mereka berusaha mengerjakannya."Erina boleh ibu minta tolong? Selesai pelajaran nanti tolong antarkan tugas ini ke ruangan ibu, yah." ucap ibu guru Bahasa Indonesia tersebut saat Erina berjalan bermaksud untuk memb
Bagian 7Pagi kembali datang menyambut hari baru bagi semua siswa di sekolah tersebut. Hari ini semua angkatan XII berkumpul di aula mendengarkan pengumuman yang akan di sampaikan oleh wakil kepala sekolah.Raut tegang bercampur haru tidak bisa terelakan. Mereka sadar jika sebentar lagi langkahnya hendak memasuki dunia baru. Dunia yang tidak pernah mereka sangka bisa seperti apa. Menuju dewasa dan menghadapi kehidupan yang lebih kejam lagi."Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi semuanya. Tidak terasa perjalanan kalian menempuh pendidikan di sini sudah mencapai titik terakhir. Sebelum itu kami sepakat akan melakukan study tour terakhir bagi kalian untuk mengenang kebersamaan kita semua. Tahun ini sekolah kita akan pergi ke pantai yang berada di luar kota Jakarta. Tepatnya berada di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur, yaitu Pantai Pink." jelas Pak Geri membuat keadaan heboh seketika.
Tidak lama kemudian Erina pun kembali ke apartemennya. Ia melangkah gontai menapaki satu demi satu anak tangga menuju kamarnya berada. Lift yang biasa digunakan mendadak tidak bisa dipakai. Mau tidak mau ia pun harus menggunakan tangga darurat. Dengan kepala menunduk ia pun mencapai pintu masuk.Cklekk!!Pintu terbuka, ia pun bergegas melangkah memasukinya."Assalamu'alaikum." Salamnya lemah."Wa'alaikumsalam, dari mana saja? Kenapa baru pulang?" tanya Dimas menyambut kedatangannya.Erina tersenyum seraya melepaskan sepatunya lalu melirik ke arahnya sekilas. "Aku habis mengantar Rahel.""Ke mana?""Emm, tadi dia membeli pakaian dan aku mengantarnya ke toko yang lumayan jauh dari sini. Maaf, aku tidak menyiapkan makan malam. Kalau begitu aku pergi mandi dulu." Setelah mengatakan itu, Erina pun pergi dari hadapannya.
Bagian 9Jam terus berputar mengikuti poros. Tidak terasa kegiatan yang dilakukan para siswa Jakarta High Scholl memakan banyak waktu. Kini jam sudah menunjukan pukul 20:00 malam. Semua murid kembali bersatu untuk mendengarkan pengarahan lain dari guru.Rasa lelah nampak diwajah mereka. Namun, semangat masa muda tidak pernah luntur. Mereka senang bisa melakukan kegiatan bermanfaat seperti sekarang. Tidak banyak waktu yang bisa mereka lewati. Sepulang dari pantai ujian pun tengah menunggu."Nah, semuanya karena kegiatan sudah selesai untuk hari ini kita cukupkan saja. Kalian bisa beristirahat dan besok adalah hari bebas. Jadi bersenang-senanglah. Selamat malam." Penjelasan terakhir pun seketika mengundang suka cita bagi setiap murid.Suara teriakan dan tepuk tangan pun mengakhiri ucapan Pak Geri. Mereka sudah tidak sabar menunggu hari esok tiba. Bermain sepuasnya bersama teman-teman menciptakan kenanga
Bagian 10Setelah kejadian yang menggemparkan tadi siang, Erina pun langsung di bawa ke kamar hotel oleh guru yang tidak lama kemudian datang ke tempat mereka. Dan hal tersebut pun mengundang berbagai pertanyaan dari setiap siswi yang mengetahui jika Dimaslah yang menyelamatkan Erina.Namun, pemuda itu tidak ambil pusing saat bisikan demi bisikan para siswi sampai ke telinganya. Sekarang yang ia pedulikan hanyalah keselamatan sang istri.Setelah memastikan Erina mendapatkan penanganan, Dimas pun kembali ke kamarnya. Ia pun berjalan menuju balkon. Seketika angin sore berhembus menerpa wajah tampannya. Iris jelaganya menatap lurus pemandangan indah di hadapannya.Masih ada jejak kekhawatiran yang tergambar jelas di sana. Ingin sekali ia menemani Erina. Namun, apa boleh buat hubungan mereka harus tetap disembunyikan.Ilham yang baru saja keluar kamar mandi langsung menatap sang sahabat. Ia tahu apa yang tengah dirasakannya. Ia pun melangkahkan kaki me
Bagian 11Melarikan diri menjadi satu-satunya cara agar ia bisa melupakan rasa sakit dalam hatinya. Namun, itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Ia terkejut saat melihat orang yang dicintainya direngkuh oleh gadis lain tepat di depan matanya. Awan kelabu menempati kedua netranya saat ini.Langkahnya pun membawa ia ke atap sekolah. Erina duduk dan bersandar pada kawat pembatas seraya melihat kalung berbandul cincin dalam genggaman tangannya. Ia sengaja melepaskan cincin itu dan menjadikannya bandul. Hal itu ia lakukan setelah melihat kebersamaan Dimas dan Reina di pantai.Ia menyadari sesuatu jika masa lalu memang tidak mudah untuk dilupakan. Terlebih mereka sempat menjalin hubungan."Hah~ apa yang aku pikirkan? Apa artinya pernikahan ini? Kebohongan? Kepura-puraan? Atau sebuah permainan? Sakit sekali rasanya. Hahaha bodoh sekali, apa yang kamu harapkan Erina? Dia hanya membantu kehidupanmu saja. Dan jangan berharap dia mencintaimu juga." Gumamnya s
Pagi-pagi sekali Erina sudah berangkat sekolah tanpa sepengetahuan Dimas. Hal itu membuatnya merasa aneh. Tidak biasanya Erina pergi melewatkan sarapan. Netra jelaganya menatap pada kursi kosong di hadapannya. Dimas merenung saat mengetahui sang istri sudah tidak ada."Aku yakin ada sesuatu. Kenapa Erina bersikap dingin yah? Bahkan dia tidak sarapan sama sekali." Ujar Dimas di tengah kebingungannya.Setelah selesai sarapan, ia pun bersiap untuk pergi ke sekolah. Jalanan nampak lengang tidak terlalu banyak orang hilir mudik. Langit sedikit mendung kali ini. Dimas berjalan masih dengan memikirkan perubahan yang terjadi pada istrinya.Sedangkan gadis itu, kini sudah berada di atap sekolah. Di sana ia merasa nyaman dan tenang. Sesekali angin dingin berhembus menyapu wajah putihnya. Kejadian yang menimpa dirinya membuat ia memikirkan banyak hal. Erina tidak berani untuk bertanya langsung pada Dimas. Ia sudah tahu jika kemungkinan
Kembali ke pertandingan basket, saat ini skor yang di hasilkan oleh para pemain JHS berhasil mendapatkan 2-0. Pertandingan semakin meriah saja, para pendukung dari masing-masing sekolah berteriak antusias ketika para pemain bersemangat memasukan bola ke ring lawan.Saat bola berada di pihak lawan Ilham berhasil merebutnya. Ia pun segera melemparkannya ke arah Dimas yang tengah berada di depan ring lawan. Namun sayang, dari pihak lawan seseorang yang tidak suka dengan kehebatan Dimas pun diam-diam menggelindingkan bola basket ke arahnya. Di saat Dimas berhasil melompat dan mencetak angka, dari arah depan bola menggelinding tepat ke arahnya hingga.....Brughh!!Ia terjatuh menginjak bola tersebut. Semua orang yang melihat hal itu tidak percaya dan segera berlarian menuju pada Dimas yang tengah kesakitan."Dimas, kamu tidak apa-apa?" Tanya Ilham melihatnya tengah meringkuk seraya men
Angin berhembus perlahan, air mata terus saja mengalir membasahi pipinya. Erina menerjang dinginnya udara malam ini. Ia membenci dirinya sendiri yang terlihat lemah akan hal seperti tadi. Terlebih ia juga sudah menepis tangan hangat itu dari wajahnya.Kejadian itu juga entah kenapa membuatnya kembali mengingat tentang kematian orang tuanya. Darah yang mengalir dari bekas tembakan menembus jantung dua orang paling berharga baginya membuat ia terpaku. Kala itu hanya ada keheningan dan kekosongan yang menemani. Sakit. Satu kata yang mengawali perasaannya. Irisnya harus menangkap momen mengerikan secara langsung. Hingga hal itu membuatnya takut akan hal-hal berbau mistis.Rasa sakit pun kembali saat kenangan hari itu teringat lagi. Erina merasa gagal menjadi seorang anak. Ia tidak bisa melindungi orang tuanya sendiri. Itulah penyesalan yang sampai sekarang terus melekat dalam ingatannya."Bodoh.... Bodoh.... Bodoh.... Seha
Keesokan harinya, seperti yang sudah di katakan tadi malam saat ini Erina sudah berada di tempat latihan. Sekolah telah berakhir beberapa menit lalu, setiap murid yang mengikuti lomba juga tengah berlatih bersama.Kedatangan Erina di tempat latihan pun disambut meriah oleh adik kelas serta pelatihnya. Seorang gadis yang lebih dikenal dengan aksi perkelahiannya itu sekarang sudah kembali. Senyum mengembang diwajah ayunya, keadaan seperti inilah yang ia rindukan beberapa bulan terakhir ini. Semenjak menikah tidak ada lagi yang namanya latihan, Erina selalu disibukan dengan belajar, mengurusi rumah tangga dan tentunya janji pada sang suami. Bahwa ia tidak akan lagi berada di dunia tersebut.Namun, sekarang situasinya telah berbeda. Tujuan Erina datang ke sana bukan untuk berkelahi melainkan melatih kemampuannya untuk berlomba. Dan Dimas mengizinkannya untuk kembali."Kak Erina. Aku senang kakak kembali" ucap gadis bernama Ghe
Belajar mengajar tengah berlangsung. Kelas Dimas yang seharusnya pergi ke lapangan untuk mengolah fisik, tetapi kenyataannya mereka malah mendekam di kelas mendengarkan ceramah dari Pak Rio yang memberikan pengumaman penting."Semuanya, seperti yang sudah kita ketahui jika setiap setahun sekali sekolah kita akan mengadakan kompetisi olahraga. Banyak sekolah yang mengikutinya dan kita sebagai tuan rumah harus bekerja keras dalam menghadapi mereka. Olahraga yang dilombakan tahun ini adalah renang, sepak bola, bulu tangkis, tenis, karate dan basket. Bapak harap kalian yang tergabung dalam olahraga tersebut mengikutinya dan berlatih bersungguh-sungguh." Jelas Pak Rio membuat para murid bersemangat.Terutama para siswa begitu antusias mendengar pengumuman tersebut. Sama seperti tahun lalu mereka bekerja keras dan latihan terus menerus untuk memberikan yang terbaik bagi sekolah. Dan usahanya tidak sia-sia. Mereka mendapatkan juara 1 dan 3.
Fajar menyingsing menyunggingkan cahaya pagi pada setiap insan di dunia. Kehidupan rumah tangga Dimas dan Erina pun sudah kembali seperti biasa. Selepas menjalankan kewajibannya, Erina bertugas layaknya istri sesungguhnya. Saat ini ia tengah menyiapkan sarapan untuk dirinya dan sang suami. Dimas yang sedari tadi duduk di meja makan menyunggingkan senyum menawan melihat istrinya."Sepertinya sudah lama kita tidak makan bersama. Aku merindukanmu." Kata Dimas ketika Erina menghidangkan nasi goreng ke hadapannya.Seulas senyum hadir menyambut perkataannya lalu Erina pun duduk di depannya. "Eum, aku juga sudah berhari-hari tidak memasak untukmu. Maaf, aku tidak ikut makan bersamamu dua hari ini."Dimas menatapnya lekat. "Tidak apa-apa, aku mengerti. Mulai sekarang apapun yang terjadi dan apa yang kamu rasakan beritahu aku secepatnya. Aku juga berjanji akan memberitahu segalanya padamu." Erina mengangguk mengiy
Saat ini Reina tengah bersama Dei dan Kil. Ia duduk di samping keduanya merasakan keheningan malam di atap sekolah. Angin menerpa wajah ketiganya, udara dingin tersebut memberikan ketenangan dan kesejukan.Reina tersadar akan apa yang telah diperbuatnya. Perasaan yang di pendam membuat ia buta dengan kenyataan. Harusnya ia lebih bisa menerima kenyataan, jika pemuda yang ia cintai telah bersanding dengan gadis lain. Dan sudah tidak ada tempat lain baginya untuk kembali, untuk itu ia menyesalinya."Aku minta maaf, kalian harus menanggung akibatnya." Ucap Reina menatap mereka bergantian."Sial, seharusnya kau beritahu kami dari awal jika gadis dia itu si pemberontak." Kesal Dei menyentak Reina."Sudahlah Dei, salah kita juga. Biarkanlah, toh semua sudah terjadi." Balas Kil menerima apa yang terjadi padanya.Reina menundukan wajah, menyembunyikan rasa penesalannya pada mereka. Beberapa saat lalu ia
Pagi-pagi sekali Erina sudah berangkat sekolah tanpa sepengetahuan Dimas. Hal itu membuatnya merasa aneh. Tidak biasanya Erina pergi melewatkan sarapan. Netra jelaganya menatap pada kursi kosong di hadapannya. Dimas merenung saat mengetahui sang istri sudah tidak ada."Aku yakin ada sesuatu. Kenapa Erina bersikap dingin yah? Bahkan dia tidak sarapan sama sekali." Ujar Dimas di tengah kebingungannya.Setelah selesai sarapan, ia pun bersiap untuk pergi ke sekolah. Jalanan nampak lengang tidak terlalu banyak orang hilir mudik. Langit sedikit mendung kali ini. Dimas berjalan masih dengan memikirkan perubahan yang terjadi pada istrinya.Sedangkan gadis itu, kini sudah berada di atap sekolah. Di sana ia merasa nyaman dan tenang. Sesekali angin dingin berhembus menyapu wajah putihnya. Kejadian yang menimpa dirinya membuat ia memikirkan banyak hal. Erina tidak berani untuk bertanya langsung pada Dimas. Ia sudah tahu jika kemungkinan
Bagian 11Melarikan diri menjadi satu-satunya cara agar ia bisa melupakan rasa sakit dalam hatinya. Namun, itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Ia terkejut saat melihat orang yang dicintainya direngkuh oleh gadis lain tepat di depan matanya. Awan kelabu menempati kedua netranya saat ini.Langkahnya pun membawa ia ke atap sekolah. Erina duduk dan bersandar pada kawat pembatas seraya melihat kalung berbandul cincin dalam genggaman tangannya. Ia sengaja melepaskan cincin itu dan menjadikannya bandul. Hal itu ia lakukan setelah melihat kebersamaan Dimas dan Reina di pantai.Ia menyadari sesuatu jika masa lalu memang tidak mudah untuk dilupakan. Terlebih mereka sempat menjalin hubungan."Hah~ apa yang aku pikirkan? Apa artinya pernikahan ini? Kebohongan? Kepura-puraan? Atau sebuah permainan? Sakit sekali rasanya. Hahaha bodoh sekali, apa yang kamu harapkan Erina? Dia hanya membantu kehidupanmu saja. Dan jangan berharap dia mencintaimu juga." Gumamnya s
Bagian 10Setelah kejadian yang menggemparkan tadi siang, Erina pun langsung di bawa ke kamar hotel oleh guru yang tidak lama kemudian datang ke tempat mereka. Dan hal tersebut pun mengundang berbagai pertanyaan dari setiap siswi yang mengetahui jika Dimaslah yang menyelamatkan Erina.Namun, pemuda itu tidak ambil pusing saat bisikan demi bisikan para siswi sampai ke telinganya. Sekarang yang ia pedulikan hanyalah keselamatan sang istri.Setelah memastikan Erina mendapatkan penanganan, Dimas pun kembali ke kamarnya. Ia pun berjalan menuju balkon. Seketika angin sore berhembus menerpa wajah tampannya. Iris jelaganya menatap lurus pemandangan indah di hadapannya.Masih ada jejak kekhawatiran yang tergambar jelas di sana. Ingin sekali ia menemani Erina. Namun, apa boleh buat hubungan mereka harus tetap disembunyikan.Ilham yang baru saja keluar kamar mandi langsung menatap sang sahabat. Ia tahu apa yang tengah dirasakannya. Ia pun melangkahkan kaki me