"Saya minta berkas pembangunan cabang yang baru, ya," pinta Bara setelah membuat Zia tidak banyak bicara."Ah, ya." Zia menjawab singkat dan terlihat serba salah.Beberapa karyawan wanita mendekat ke arahnya."Akhirnya kamu masuk kerja lagi.""Emang kenapa?" Zia menatap mereka heran secara bergantian."Sejak kamu cuti, Pak Bara jadi terlihat menakutkan. Pokoknya sikap aslinya mulai keluar," sahut seseorang membuat Zia menatapnya tak percaya. "Aku serius. Sejak awal Bos memang begitu. Berubahnya las kamu masuk kerja. Semua mata juga tahu."Semua wanita yang mengerumuni Zia mengangguk cepat."Itu benar. Cuman dua hari ini sikapnya kembali dingin dan itu benar-benar seperti membunuh kami tanpa menyentuh.""Dia memang tampan, sayangnya sangat menakutkan hingga membuat wanita menjauh dan tidak berani mendekat.Zia memicingkan matanya tak percaya, karena selama ini Bara selalu berbicara dengan hangat dan tidak pernah sekalipun menunjukkan sikap dingin.Akan tetapi, Zia memilih untuk percaya
Bara turun dari mobil dengan perasaannya yang sedikit terusik dengan apa yang dilakukan Amran, namun dia tidak akan tenang jika tidak mengucapkan beberapa kata sama Amran."Ada apa?" Amran bertanya tanpa menurunkan kewaspadaannya seolah takut apa yang dia genggam akan direbut oleh pria yang ada di hadapannya."Kalau kamu menyayangi istrimu, jangan biarkan dia tidak nyaman dengan kehadiranmu," ucap Barata.Tanpa sadar, dia pun tersenyum karena Amran saat ini benar-benar menganggapnya saingan."Tenanglah, meski kita bersaing secara bisnis, namun tetap saja sekarang aku hanya berstatus kating Zia di masa lalu," lirih Barata membuat kemarahan Amran semakin membesar, namun dia juga tidak bisa melakukan apa pun karena saat ini di pelukannya ada Zia.Amran tidak ingin membuat Zia kecewa dengan melampiaskan emosi pada atasannya, apalagi jika kekecewaan itu berubah jadi benci. Membayangkannya saja Amran benar-benar tidak bisa."Tentu saja! Jangan katakan yang tidak-tidak, karena aku akan sela
"Masalahnya dia kerja di tempat Bara, Rid. Lu kan tahu Gua dan Bara saingan. Gimana ceritanya dia malah masuk ke sana?" Amran benar-benar tidak berhasil menemukan alasan kenapa Zia memilih untuk bekerja di perusahaan saingannya, padahal Zia bisa memilih perusahaan yang lebih baik."Bisa jadi karena mereka udah lama saling kenal, jadi nyaman. Jadi Zia berpikir daripada ngelamar di tempat lain, ya udah di tempat Bara aja. Seenggaknya dia tahu atasannya siapa sekaligus pemiliknya," terang Farid lagi masuk akal, namun Amran masih kesulitan untuk mengerti."Intinya Lu percaya gak sama Zia?" Farid kembali bertanya."Iyalah.""Harusnya kalau Lu percaya, ya Lu jangan nanya-nanya ke gini lagi. Lu harus yakin kalau ala yang sudah Zia pilih adalah yang terbaik.""Gua tau, tetap aja Gua gak bisa nerima.""Tandanya Lu egois, Ran. Harusnya kalau Ku percaya, Lu tinggal nunggu dia jelaskan alasannya sambil antar jemput. Beres.""Sayangnya tak segampang itu." Amran benar-benar frustasi."Pada kenyataa
Setelah mendengar kata-kata menyakitkan secara tidak sengaja, Zia kembali melanjutkan langkah dengan perasaan yang campur aduk. Hatinya seperti dicabik-cabik, lalu disiram air cuka. Pedih, perih, dan ingin menangis lalu berteriak.Akan tetapi, keadaan tidak mengizinkan."Aku harus kuat. Kalau tidak, akhiri saja semuanya sampai di sini," gumam Zia. Dadanya masih terasa sesak dan cintanya harus berkahir begitu saja.Cinta yang tak terbalaskan selama tiga tahun benar-benar menyakitkan. Terlebih setelah berjuang selama ini, bukannya mendengar pernyataan Amran bahwa dia sudah mencintainya, tetapi malah mendengar dia mencintai wanita masa lalunya.Zia berjalan tanpa tenaga, tanpa ekspresi, dan dia bahkan tidak tahu harus bersikap seperti apa sekarang. Semuanya benar-benar terlalu menyakitkan untuk dilalui seorang diri. Namun di saat seperti sekarang pun, Zia tidak tahu harus mengadu pada siapa.Selain Gea, orang tuanya juga bahkan membuangnya terang-terangan.Zia mengetuk pintu ruangan Amra
"Zia, aku mohon ...." Amran berusaha menarih pergelangan tangannya, namun untuk pertama kalinya Zia menepis tangan yang selama ini selalu ingin dia sentuh itu."Mas, teman-temanku yang baru menikah satu tahun saja mereka sudah punya anak. Sementara aku yang sudah menikah tiga tahun, jangankan anak, kamu bahkan belum pernah menyentuhku." Zia kembali bicara."Kita bisa melakukannya kalau kamu mau, jadi jangan berbicara seolah jalan yang tepat yang harus kita pilih adalah perpisahan," sinis Amran lalu berjalan mendekat ke arah Zia dan berusaha menyentuhnya."Cukup, Mas! Aku tidak mau melalukannya jika bukan karena cinta." Zia mendorong Amran kembali.Kali ini Zia benar-benar sudah muak dengan sikap Amran dan lebih memilih untuk mengakhiri semuanya sebelum rasa cintanya untuk Amran semakin membesar."Cinta? Bukankah sudah menjadi kewajiban bagi seorang istri untuk menuruti perintah suaminya? Apalagi dalam pelayanan. Apa mungkin kamu adalah orang yang hanya bisa menuntut, tapi tidak bisa m
"Siapkan berkas perceraian yang akan ditandatangani oleh putriku besok," perintah Santos pada seseorang di telepon, namun Amran berusaha merebut ponselnya."Aku tidak akan pernah bercerai dengan Zia. Aku ....""Kenapa? Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau kamu tidak pernah mencintainya? Sekarang lepaskanlah dia. Zia berhak bahagia," tegas Pak Santos membuat tubuh Amran jatuh di lantai namun dia masih sadar."Tiga tahun ... sudah tiga tahun kita bersama, tapi kenapa tiba-tiba berpisah hanya karena aku tidak mencintainya? Bukankah dengan dia mencintaiku saja sudah cukup? Kenapa justru harus berkahir seperti ini?""Menurut kita sebagai laki-laki cinta memang tidak terlalu penting, tapi tidak dengan wanita. Bagi mereka, cinta adalah segalanya dan mereka tidak mau bertahan dengan pernikahan tanpa cinta karena mereka pasti akan menderita," terang Pak Santos lagi membuat Amran semakin tak berdaya."Tapi aku tidak mau kehilangannya. Rasanya aku juga tidak akan bisa hidup tanpanya." Kondisi
Zia segera membuka lemari pakaiannya dan mengemas semuanya. Lalu, dia pun memilih pakaian yang paling indah dan mahal, kemudian membuka beberapa laci yang ada di samping tempat tidurnya."Untuk pertemuan terakhir, bukankah aku harus tampil sebaik mungkin, Mas?" tanya Zia lirih sambil melihat pantulan dirinya di cermin.Beberapa saat, Zia mulai merias wajahnya, dan memakai perhiasan yang selama ini dimilikinya."Meski sekarang aku akan bercerai, tapi aku tidak bisa menunjukkan kepada dunia kalau aku terluka dengan pernikahan ini. Aku tidak bisa menjadikan diriku bahan tertawaan orang-orang yang ingin melihatku jatuh," gumamnya sambil tersenyum lebar."Biarlah luka ini aku yang membawanya. Orang lain tidak perlu tahu."Setelah memutuskan datang ke rumah sakit, Zia langsung pulang dengan diantar Barata. Bara bahkan menunggunya berhias karena penasaran apa yang akan Zia lakukan.Kini Bara sangat gelisah, dia sama sekali tidak bisa meninggalkan Zia meski Zia sudah memintanya pergi."Ke man
"Aku masih suaminya, jadi aku masih punya hak untuk Zia," tegas Amran."Baru masih, kan? Cepat tanda tangan agar semuanya jelas," titah Bara."Kamu gak punya hak buat nyuruh-nyuruh saya!" Amran mulai berkacak pinggang."Ayolah, Mas. Tanda tangan sekarang. Aku masih harus ke kantor karena banyak kerjaan yang belum aku selesaikan," pinta Zia dari belakang Bara."Aku akan tanda tangan, tapi biarkan dulu semuanya keluar dan hanya tersisa kita berdua saja. Bagaimana?" tanya Amran sambil tersenyum menyeringai."Baik." Zia pun menatap semuanya satu persatu. "Mohon maaf, untuk semua yang tidak berkepentingan, dimohon untuk keluar."Satu persatu semua orang pun keluar, meski menunjukkan wajah ketidakrelaan. Namun tidak dengan Bara. Dia malah memasang tampang dingin sambil menatap Amran tajam."Zia sudah meminta semuanya untuk keluar, kenapa kau masih di sini?" Amran bertanya dengan kesal."Aku punya kepentingan di sini. Lagi pula untuk apa kamu minta waktu berdua saja? Bukankah selama tiga tah
Bukannya langsung ikut dengan Amran, Zia malah tampak santai dan tenang seolah keracunan adalah hal yang biasa."Apalagi yang sedang kamu pikirkan? Apa kamu sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi pada papamu?" tanya Amran tak percaya."Peduli atau tidak, tidak ada hubungannya denganmu, Mas. Terlebih, aku sudah tahu hal ini akan terjadi, namun sayangnya papaku lebih memilih untuk mempercayai istri dan anak tirinya itu," terang Zia.Amran kehilangan kata-kata."Pergilah, Mas. Mungkin sekarang Rania sedang ada di rumah sakit dan menunjukkan akting terbaiknya. Jenguklah dia, Mas. Mungkin sekarang dia sedang membutuhkanmu," suruh Zia."Apa sebenarnya yang ada di kepalamu?" teriak Amran tak percaya. "Apa tahu kalau papamu sedang mempertaruhkan nyawa?""Aku tahu, tapi itulah pilihannya. Aku juga tidak punya waktu lagi untuk terus berbicara omong kosong," jawab Zia. "Jadi pergilah, lihat apa yang sebenarnya terjadi di sana."Karena Amran tidak bisa membawa Zia pergi, akhirnya dia k
"Jangan bercanda, aku dan Alia memang punya hubungan. Namun sebatas teman saja. Jadi jangan menuduh sembarangan," sangkalnya cepat."Teman?" Zia mendekat ke arah Rania. "Sejak kapan kamu punya teman modelan begini?""Walau kita tidak pernah dekat, aku tahu betul kamu tidak akan pernah berteman dengan manusia seperti itu," tandasnya lagi."Jangan sok tahu! Kamu tidak akan pernah tahu tentangku," sentak Rania, lalu dia memposisikan tubuhnya berhadapan dengan Zia. "Semua yang menjadi milikmu akan menjadi milikku," bisiknya membuat Zia spontan menamparnya keras."Kau sungguh wanita yang tidak tahu malu," teriaknya membuat Haris segera mendekat dan mengecek kondisi tangan Zia."Jangan lakukan itu lagi, aku mohon. Katakan saja padaku, aku akan meminta orang-orang untuk menamparnya," ujar Haris lembut."Rio, Alia!" panggilnya dengan teriakan yang membuat burung-burung beterbangan jauh."Ada apa, Bos?" Rio segera mendekat dengan Alia yang ditariknya."Tampar Rania masing-masing lima kali. Ka
Kau! Bagaimana bisa mengatakan itu tanpa beban di depan seorang wanita?" Alia melemparkan tatapan tak percaya pada pria yang sudah lama dikaguminya itu."Lantas, apa yang menurutmu pantas aku lakukan?" Haris mendekat ke arah Zia dan kembali menghujaninya dengan ciuman tanpa mengindahkan keberadaan Alia."Cukup, aku ada di sini. Apa kau sama sekali tidak mau balas Budi pada kakakku yang sudah mengorbankan segalanya untukku?" Alia kembali melemah.'Hanya cara ini yang aku bisa. Dengan berpura-pura menjadi lemah, Haris akan kembali menjadi milikku,' batinnya tertawa.'Yah, seorang Haris Amarta, pria paling sempurna di pelosok dunia ini hanya boleh menjadi suamiku. Dia tidak diizinkan untuk menjadi suami orang lain, apalagi dari seorang wanita yang berstatus janda,' lanjutnya.Alia sama sekali tidak mendengar kabar yang beredar kalau Zia bercerai dengan status perawan. Dia bahkan tidak membuka matanya dengan baik karena tidak melihat tubuh Zia yang sangat jauh jika dibandingkan dengan tub
Mereka pun sampai di rumah yang sudah dipersiapkan Haris untuk ditinggali bersama Zia.Akan tetapi, belum sempat mereka masuk ke dalam rumah, ponsel Haris lebih dulu berdering dengan keras."Aku sudah ada di bandara. Jemput aku sekarang kalau kamu mau membalas budi pada kakakku," ucap seorang wanita, lalu mematikan sambungan teleponnya begitu saja tanpa menunggu penjelasan dari Haris.Mendengar apa yang dikatakan wanita itu, Zia mengerutkan keningnya."Apa yang dikatakan dia sama seperti kata-kata Rania beberapa waktu lalu," ujarnya membuat Haris tidak berani melangkah."Semuanya terserah padamu, Mas. Tapi aku tekankan sekali lagi, kalau memang kamu bersungguh-sungguh, jangan pernah hadirkan orang ketiga. Jangan berikan aku surga lewat pintu poligami," lanjutnya menegaskan."Baik." Haris menjawab mantap, lalu segera menghubungi seseorang."Jemput Alia di bandara sekarang! Kalau dia hanya di mana aku, bilang aku sedang menikmati malam pertama dengan istriku," titahnya."Apa? Bagaimana
"Kalian baru saling mengenal, tidak mungkin kamu sudah mencintainya sedalam itu dan tidak mungkin dia juga sudah mencintaimu sebesar yang kamu katakan. Aku saja ragu padanya, bagaimana mungkin kamu tidak meragukannya?" tanya Amran tanpa memperdulikan tatapan Haris yang menatapnya penuh ketajaman. "Aku percaya pada suamiku, siapa pun dia, kepercayaanku akan selalu melekat padanya. Bukankah aku juga melakukan hal yang sama ketika kita masih menjadi suami istri?" tanya Zia yang lagi-lagi membuat Amran diam. "Aku sudah memaafkan apa yang telah kamu lakukan di masa lalu, kini aku sudah menjalani kehidupan yang baru. Jadi, aku juga berharap kamu melupakan masa lalu kita dan kembali meniti kehidupan yang baru," tegas Zia berusaha membuat Amran sadar kalau kehidupan di antara mereka sekarang sudah berbeda. "Aku tidak akan menyerah semudah itu, aku yakin pasti ada kesempatan untukku agar bisa kembali bersamamu. Aku dan kamu saja bisa berpisah setelah lima tahun pernikahan, apalagi antara ka
"Kenapa kamu manis banget, sih? Bukannya orang-orang bilang kamu kejam?" Zia melemparkan tatapan tak percaya pada pria yang ada di depan matanya.Zia selalu mendengar kritikan negatif terhadap keluarga Amarta, bahkan katanya keluarga ini adalah keluarga dengan orang-orang yang paling berbahaya.Sebelumnya Zia percaya akan gosip itu karena selama ini mereka memang selalu menunjukkan sisi negatif, namun setelah masuk langsung dan menjadi menantu Amarta, Zia tidak merasa demikian. Justru Zia merasa orang-orang yang mengatakan mereka jahat hanya pandai melihat dari luar, namun tidak jeli dengan kebenaran yang ada."Aku manis hanya di hadapanmu," sahut Haris cepat membuat Zia memalingkan tatapan, "karena kamu istriku, tentu aku akan melakukan apa yang aku bisa untuk mencintaimu.""Kalau nanti kamu berpaling?" tanya Zia penasaran karena Haris bukanlah pria biasa."Sebelum itu terjadi, aku akan mengatur beberapa aset untukmu. Ada anak atau tidak di antara kita, kamu tetap akan mendapatkannya
Zia memasang wajah datar dan menatap Amran lekat. Kini, dirinya benar-benar elegan dan setiap gerakannya sangat menarik. Itulah yang Amran lihat dari Zia yang sekarang. Padahal, sejak dulu Zia memang sudah seperti itu, sayangnya dia tidak melihatnya dengan baik."Kesempatan?" tanya Zia pelan dan Amran mengangguk cepat."Kalau kesenangan untuk dibenci olehku atau dipukul suamiku masih ada, tapi untuk hidup bersamaku ... kamu terlambat berubah, Mas. Aku yang sekarang tidak akan pernah lagi memilih untuk mencintaimu jika diberikan kehidupan kedua. Ini menandakan kesalahanmu sudah fatal," terang Zia tanpa perasaan membuat hati Amran benar-benar terluka."Bagaimana kalau ternyata Haris juga tidak tulus atau mengkhianatimu. Apa kamu bersedia kembali padaku?" tanya Amran lagiKali ini dia akan melakukan banyak cara untuk menarik Zia kembali ke sisinya. Terlebih sekarang dia sadar kalau dirinya sama sekali tidak mencintai Rania. Perasaan padanya ternyata sudah pergi bersama pengkhianatan yang
"Dasar pria yang tidak tahu malu," ujar Amran tak terima, "beraninya kau merebut Zia?""Merebut?" Harus menatapnya tak percaya, lalu mendekat ke arah Zia. "Sayang, katakan padanya, apa aku sudah merebutmu darinya?"Zia tersenyum lembut. "Tidak, justru dialah yang sudah merebut kebahagiaanku selama ini. Bodoh kalau aku mau kembali kepada pria seperti dirinya," jawabnya penuh penekanan seketika membuat Amran ditertawakan banyak orang.Akan tetapi, semuanya tidak berlangsung lama karena Rania lebih dulu datang dan mengajak Amran ke tempat yang tidak terlalu ramai."Mas, sebenarnya apa yang sudah kamu lakukan? Apa kamu lupa kalau Zia yang sekarang bukan lagi Zia yang dulu. Dia sudah berubah, Mas," terangnya sambil meminta seorang dokter untuk mengecek kondisi Amran."Bagaimana, Dok?" tanya Rania sedikit panik."Dia baik-baik saja. Mana mungkin Haris mengeluarkan tendangan yang begitu kuat setelah tahu Anda bukanlah pria yang bisa menjadi lawannya," ucap dokter itu membuat Rania marah."Si
Haris kembali menarik dirinya dari Zia ketika seorang pria mengeluarkan suaranya yang kuat."Mama suka dengan ketegasan kamu. Pria itu memang harus diberikan pelajaran," ucap Mama Haris, lalu menatap ke arah anaknya tajam. "Kalau nanti Haris begitu saja, Mama sendiri yang akan memberikannya pelajaran.""Apa, sih, Ma. Aku enggak akan begitu. Aku bukan orang bodoh yang akan menyia-nyiakan wanita seperti Zia." Harus berbicara dengan tegas bahwa dirinya akan terus mempertahankan Zia."Baguslah kalau memang kamu tidak punya niat itu. Awas kalau macam-macam," ancam mamanya membuat Haris bergidik ngeri.Di tempat lain, orang-orang yang diminta Zein untuk mencari keberadaan Gea sama sekali tidak mendapatkan hasil apa pun. Hal itu tentu membuat Amran semakin marah, terlebih kabar pernikahan tentang Zia dan pria lain itu sudah terdengar oleh banyak orang. Amran menjadi semakin tidak terkendali, bahkan Via sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh putranya itu. "Memangnya kenapa ka