Setelah mendengar kata-kata menyakitkan secara tidak sengaja, Zia kembali melanjutkan langkah dengan perasaan yang campur aduk. Hatinya seperti dicabik-cabik, lalu disiram air cuka. Pedih, perih, dan ingin menangis lalu berteriak.Akan tetapi, keadaan tidak mengizinkan."Aku harus kuat. Kalau tidak, akhiri saja semuanya sampai di sini," gumam Zia. Dadanya masih terasa sesak dan cintanya harus berkahir begitu saja.Cinta yang tak terbalaskan selama tiga tahun benar-benar menyakitkan. Terlebih setelah berjuang selama ini, bukannya mendengar pernyataan Amran bahwa dia sudah mencintainya, tetapi malah mendengar dia mencintai wanita masa lalunya.Zia berjalan tanpa tenaga, tanpa ekspresi, dan dia bahkan tidak tahu harus bersikap seperti apa sekarang. Semuanya benar-benar terlalu menyakitkan untuk dilalui seorang diri. Namun di saat seperti sekarang pun, Zia tidak tahu harus mengadu pada siapa.Selain Gea, orang tuanya juga bahkan membuangnya terang-terangan.Zia mengetuk pintu ruangan Amra
"Zia, aku mohon ...." Amran berusaha menarih pergelangan tangannya, namun untuk pertama kalinya Zia menepis tangan yang selama ini selalu ingin dia sentuh itu."Mas, teman-temanku yang baru menikah satu tahun saja mereka sudah punya anak. Sementara aku yang sudah menikah tiga tahun, jangankan anak, kamu bahkan belum pernah menyentuhku." Zia kembali bicara."Kita bisa melakukannya kalau kamu mau, jadi jangan berbicara seolah jalan yang tepat yang harus kita pilih adalah perpisahan," sinis Amran lalu berjalan mendekat ke arah Zia dan berusaha menyentuhnya."Cukup, Mas! Aku tidak mau melalukannya jika bukan karena cinta." Zia mendorong Amran kembali.Kali ini Zia benar-benar sudah muak dengan sikap Amran dan lebih memilih untuk mengakhiri semuanya sebelum rasa cintanya untuk Amran semakin membesar."Cinta? Bukankah sudah menjadi kewajiban bagi seorang istri untuk menuruti perintah suaminya? Apalagi dalam pelayanan. Apa mungkin kamu adalah orang yang hanya bisa menuntut, tapi tidak bisa m
"Siapkan berkas perceraian yang akan ditandatangani oleh putriku besok," perintah Santos pada seseorang di telepon, namun Amran berusaha merebut ponselnya."Aku tidak akan pernah bercerai dengan Zia. Aku ....""Kenapa? Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau kamu tidak pernah mencintainya? Sekarang lepaskanlah dia. Zia berhak bahagia," tegas Pak Santos membuat tubuh Amran jatuh di lantai namun dia masih sadar."Tiga tahun ... sudah tiga tahun kita bersama, tapi kenapa tiba-tiba berpisah hanya karena aku tidak mencintainya? Bukankah dengan dia mencintaiku saja sudah cukup? Kenapa justru harus berkahir seperti ini?""Menurut kita sebagai laki-laki cinta memang tidak terlalu penting, tapi tidak dengan wanita. Bagi mereka, cinta adalah segalanya dan mereka tidak mau bertahan dengan pernikahan tanpa cinta karena mereka pasti akan menderita," terang Pak Santos lagi membuat Amran semakin tak berdaya."Tapi aku tidak mau kehilangannya. Rasanya aku juga tidak akan bisa hidup tanpanya." Kondisi
Zia segera membuka lemari pakaiannya dan mengemas semuanya. Lalu, dia pun memilih pakaian yang paling indah dan mahal, kemudian membuka beberapa laci yang ada di samping tempat tidurnya."Untuk pertemuan terakhir, bukankah aku harus tampil sebaik mungkin, Mas?" tanya Zia lirih sambil melihat pantulan dirinya di cermin.Beberapa saat, Zia mulai merias wajahnya, dan memakai perhiasan yang selama ini dimilikinya."Meski sekarang aku akan bercerai, tapi aku tidak bisa menunjukkan kepada dunia kalau aku terluka dengan pernikahan ini. Aku tidak bisa menjadikan diriku bahan tertawaan orang-orang yang ingin melihatku jatuh," gumamnya sambil tersenyum lebar."Biarlah luka ini aku yang membawanya. Orang lain tidak perlu tahu."Setelah memutuskan datang ke rumah sakit, Zia langsung pulang dengan diantar Barata. Bara bahkan menunggunya berhias karena penasaran apa yang akan Zia lakukan.Kini Bara sangat gelisah, dia sama sekali tidak bisa meninggalkan Zia meski Zia sudah memintanya pergi."Ke man
"Aku masih suaminya, jadi aku masih punya hak untuk Zia," tegas Amran."Baru masih, kan? Cepat tanda tangan agar semuanya jelas," titah Bara."Kamu gak punya hak buat nyuruh-nyuruh saya!" Amran mulai berkacak pinggang."Ayolah, Mas. Tanda tangan sekarang. Aku masih harus ke kantor karena banyak kerjaan yang belum aku selesaikan," pinta Zia dari belakang Bara."Aku akan tanda tangan, tapi biarkan dulu semuanya keluar dan hanya tersisa kita berdua saja. Bagaimana?" tanya Amran sambil tersenyum menyeringai."Baik." Zia pun menatap semuanya satu persatu. "Mohon maaf, untuk semua yang tidak berkepentingan, dimohon untuk keluar."Satu persatu semua orang pun keluar, meski menunjukkan wajah ketidakrelaan. Namun tidak dengan Bara. Dia malah memasang tampang dingin sambil menatap Amran tajam."Zia sudah meminta semuanya untuk keluar, kenapa kau masih di sini?" Amran bertanya dengan kesal."Aku punya kepentingan di sini. Lagi pula untuk apa kamu minta waktu berdua saja? Bukankah selama tiga tah
"Katanya ada kiriman bunga untukmu dari Amran. Zein yang antakan," ucap Bara ketika dia dihubungi Kevin.Mendengar nama Amran, emosi Zia memuncak. "Buang ke tempat sampah perusahaan yang ada di depan! Biarkan Zein melihatnya agar menyampaikan pesan tersembunyinya pada pria itu," teriak Zia dari arah balkon membuat Bara tersenyum lebar.Bara pun mengatakan apa yang disampaikan Zia pada Kevin."Apa Bos libur dan menyerahkan pekerjaan begitu saja pada kami karena Zia?" tanya Kevin tak percaya."Begitulah. Aku harus menjaganya agar pria itu tidak terus menempel sama Zia. Sekarang aku benar-benar percaya kalau jodoh gak akan ke mana," tandas Barata, lalu mematikan sambungan teleponnya tanpa mendengar suara Kevin lagi."Kali ini aku akan mengajarmu dengan sungguh-sungguh. Tak akan pernah aku buka celah untuk pria itu mendekatimu," ucap Bara tersenyum tipis dan berjalan perlahan ke dalam rumah dan menghampiri Zia yang ada di balkon."Kamu sungguhan tidak punya perasaan lagi padanya?" Setela
Amran kembali ke perusahaan dengan kepercayaan diri yang sangat tinggi, bahwa hanya dirinya yang Zia cintai."Zein, wanita yang sudah mencintai kita selama tiga tahun tidak mungkin membuang cintanya begitu saja, kan?" tanya Amran di tengah-tengah rapat membuat semua jajaran direksi menatap bingung ke arahnya dan Zein."Bos, tolong tahu tempat kalau mau membicarakan wanita." Zein menepuk keningnya."Itu benar, Zein. Aku juga berpikiran sama sepertimu. Tidak mungkin dia tiba-tiba memutuskan untuk membenciku setelah sekian lama mencintaiku. Sepertinya kali ini aku benar-benar harus memperhatikannya," ujar Amran lagi membuat semua anggota yang ikut rapat berbisik-bisik."Kapan Bos yang dingin ini tiba-tiba membicarakan wanita? Bukankah hubungannya dengan Nona Rania juga masih baik?""Katanya ini berhubungan dengan istrinya, bukan wanita lain.""Tunggu, apa jangan-jangan bos ditinggalkan oleh istrinya?""Nah, bisa jadi seperti itu. Kalau tidak, gak mungkin ada Bos yang sekarang."Tanpa mer
Amran menunggu cokelat pesenannya selesai dengan melihat galeri di ponselnya. Di sana dia melihat Zia dalam bentuk foto yang diambil sembarangan oleh dirinya."Jika seperti ini, aku justru terlihat sebagai pengagum rahasia yang jahat," ujarnya, lalu tertawa kecil hingga membuat Zein yang mengikutinya ikut mual."Perlukah aku membelikan dua pulau agar aku bisa membuatnya luluh, lalu mengurungnya?""Jangan ngaco!" sentak Zein. "Ingat, Anda gak kaya-kaya amat. Jangan sampai punya pemikiran seperti itu. Kalau Anda melakukannya, Anda akan langsung menjadi orang miskin.""Menjadi orang miskin pun aku rela, Zein. Asalkan aku bisa selalu bersamanya," lirih Amran seolah dunianya sudah penuh dengan Zia, jadi dia tidak mau memikirkan hal yang lain."Gila!" umpat Zein. Dia benar-benar sudah muak dengan sikap bosnya ini."Aku berkata begitu bukan karena aku gila, Zein. Tapi karena Zia sendiri yang bilang padaku kalau dia tidak akan pernah meninggalkan aku kalaupun aku miskin, asalkan aku mencintai