Bara turun dari mobil dengan perasaannya yang sedikit terusik dengan apa yang dilakukan Amran, namun dia tidak akan tenang jika tidak mengucapkan beberapa kata sama Amran."Ada apa?" Amran bertanya tanpa menurunkan kewaspadaannya seolah takut apa yang dia genggam akan direbut oleh pria yang ada di hadapannya."Kalau kamu menyayangi istrimu, jangan biarkan dia tidak nyaman dengan kehadiranmu," ucap Barata.Tanpa sadar, dia pun tersenyum karena Amran saat ini benar-benar menganggapnya saingan."Tenanglah, meski kita bersaing secara bisnis, namun tetap saja sekarang aku hanya berstatus kating Zia di masa lalu," lirih Barata membuat kemarahan Amran semakin membesar, namun dia juga tidak bisa melakukan apa pun karena saat ini di pelukannya ada Zia.Amran tidak ingin membuat Zia kecewa dengan melampiaskan emosi pada atasannya, apalagi jika kekecewaan itu berubah jadi benci. Membayangkannya saja Amran benar-benar tidak bisa."Tentu saja! Jangan katakan yang tidak-tidak, karena aku akan sela
"Masalahnya dia kerja di tempat Bara, Rid. Lu kan tahu Gua dan Bara saingan. Gimana ceritanya dia malah masuk ke sana?" Amran benar-benar tidak berhasil menemukan alasan kenapa Zia memilih untuk bekerja di perusahaan saingannya, padahal Zia bisa memilih perusahaan yang lebih baik."Bisa jadi karena mereka udah lama saling kenal, jadi nyaman. Jadi Zia berpikir daripada ngelamar di tempat lain, ya udah di tempat Bara aja. Seenggaknya dia tahu atasannya siapa sekaligus pemiliknya," terang Farid lagi masuk akal, namun Amran masih kesulitan untuk mengerti."Intinya Lu percaya gak sama Zia?" Farid kembali bertanya."Iyalah.""Harusnya kalau Lu percaya, ya Lu jangan nanya-nanya ke gini lagi. Lu harus yakin kalau ala yang sudah Zia pilih adalah yang terbaik.""Gua tau, tetap aja Gua gak bisa nerima.""Tandanya Lu egois, Ran. Harusnya kalau Ku percaya, Lu tinggal nunggu dia jelaskan alasannya sambil antar jemput. Beres.""Sayangnya tak segampang itu." Amran benar-benar frustasi."Pada kenyataa
Setelah mendengar kata-kata menyakitkan secara tidak sengaja, Zia kembali melanjutkan langkah dengan perasaan yang campur aduk. Hatinya seperti dicabik-cabik, lalu disiram air cuka. Pedih, perih, dan ingin menangis lalu berteriak.Akan tetapi, keadaan tidak mengizinkan."Aku harus kuat. Kalau tidak, akhiri saja semuanya sampai di sini," gumam Zia. Dadanya masih terasa sesak dan cintanya harus berkahir begitu saja.Cinta yang tak terbalaskan selama tiga tahun benar-benar menyakitkan. Terlebih setelah berjuang selama ini, bukannya mendengar pernyataan Amran bahwa dia sudah mencintainya, tetapi malah mendengar dia mencintai wanita masa lalunya.Zia berjalan tanpa tenaga, tanpa ekspresi, dan dia bahkan tidak tahu harus bersikap seperti apa sekarang. Semuanya benar-benar terlalu menyakitkan untuk dilalui seorang diri. Namun di saat seperti sekarang pun, Zia tidak tahu harus mengadu pada siapa.Selain Gea, orang tuanya juga bahkan membuangnya terang-terangan.Zia mengetuk pintu ruangan Amra
"Zia, aku mohon ...." Amran berusaha menarih pergelangan tangannya, namun untuk pertama kalinya Zia menepis tangan yang selama ini selalu ingin dia sentuh itu."Mas, teman-temanku yang baru menikah satu tahun saja mereka sudah punya anak. Sementara aku yang sudah menikah tiga tahun, jangankan anak, kamu bahkan belum pernah menyentuhku." Zia kembali bicara."Kita bisa melakukannya kalau kamu mau, jadi jangan berbicara seolah jalan yang tepat yang harus kita pilih adalah perpisahan," sinis Amran lalu berjalan mendekat ke arah Zia dan berusaha menyentuhnya."Cukup, Mas! Aku tidak mau melalukannya jika bukan karena cinta." Zia mendorong Amran kembali.Kali ini Zia benar-benar sudah muak dengan sikap Amran dan lebih memilih untuk mengakhiri semuanya sebelum rasa cintanya untuk Amran semakin membesar."Cinta? Bukankah sudah menjadi kewajiban bagi seorang istri untuk menuruti perintah suaminya? Apalagi dalam pelayanan. Apa mungkin kamu adalah orang yang hanya bisa menuntut, tapi tidak bisa m
"Siapkan berkas perceraian yang akan ditandatangani oleh putriku besok," perintah Santos pada seseorang di telepon, namun Amran berusaha merebut ponselnya."Aku tidak akan pernah bercerai dengan Zia. Aku ....""Kenapa? Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau kamu tidak pernah mencintainya? Sekarang lepaskanlah dia. Zia berhak bahagia," tegas Pak Santos membuat tubuh Amran jatuh di lantai namun dia masih sadar."Tiga tahun ... sudah tiga tahun kita bersama, tapi kenapa tiba-tiba berpisah hanya karena aku tidak mencintainya? Bukankah dengan dia mencintaiku saja sudah cukup? Kenapa justru harus berkahir seperti ini?""Menurut kita sebagai laki-laki cinta memang tidak terlalu penting, tapi tidak dengan wanita. Bagi mereka, cinta adalah segalanya dan mereka tidak mau bertahan dengan pernikahan tanpa cinta karena mereka pasti akan menderita," terang Pak Santos lagi membuat Amran semakin tak berdaya."Tapi aku tidak mau kehilangannya. Rasanya aku juga tidak akan bisa hidup tanpanya." Kondisi
Zia segera membuka lemari pakaiannya dan mengemas semuanya. Lalu, dia pun memilih pakaian yang paling indah dan mahal, kemudian membuka beberapa laci yang ada di samping tempat tidurnya."Untuk pertemuan terakhir, bukankah aku harus tampil sebaik mungkin, Mas?" tanya Zia lirih sambil melihat pantulan dirinya di cermin.Beberapa saat, Zia mulai merias wajahnya, dan memakai perhiasan yang selama ini dimilikinya."Meski sekarang aku akan bercerai, tapi aku tidak bisa menunjukkan kepada dunia kalau aku terluka dengan pernikahan ini. Aku tidak bisa menjadikan diriku bahan tertawaan orang-orang yang ingin melihatku jatuh," gumamnya sambil tersenyum lebar."Biarlah luka ini aku yang membawanya. Orang lain tidak perlu tahu."Setelah memutuskan datang ke rumah sakit, Zia langsung pulang dengan diantar Barata. Bara bahkan menunggunya berhias karena penasaran apa yang akan Zia lakukan.Kini Bara sangat gelisah, dia sama sekali tidak bisa meninggalkan Zia meski Zia sudah memintanya pergi."Ke man
"Aku masih suaminya, jadi aku masih punya hak untuk Zia," tegas Amran."Baru masih, kan? Cepat tanda tangan agar semuanya jelas," titah Bara."Kamu gak punya hak buat nyuruh-nyuruh saya!" Amran mulai berkacak pinggang."Ayolah, Mas. Tanda tangan sekarang. Aku masih harus ke kantor karena banyak kerjaan yang belum aku selesaikan," pinta Zia dari belakang Bara."Aku akan tanda tangan, tapi biarkan dulu semuanya keluar dan hanya tersisa kita berdua saja. Bagaimana?" tanya Amran sambil tersenyum menyeringai."Baik." Zia pun menatap semuanya satu persatu. "Mohon maaf, untuk semua yang tidak berkepentingan, dimohon untuk keluar."Satu persatu semua orang pun keluar, meski menunjukkan wajah ketidakrelaan. Namun tidak dengan Bara. Dia malah memasang tampang dingin sambil menatap Amran tajam."Zia sudah meminta semuanya untuk keluar, kenapa kau masih di sini?" Amran bertanya dengan kesal."Aku punya kepentingan di sini. Lagi pula untuk apa kamu minta waktu berdua saja? Bukankah selama tiga tah
"Katanya ada kiriman bunga untukmu dari Amran. Zein yang antakan," ucap Bara ketika dia dihubungi Kevin.Mendengar nama Amran, emosi Zia memuncak. "Buang ke tempat sampah perusahaan yang ada di depan! Biarkan Zein melihatnya agar menyampaikan pesan tersembunyinya pada pria itu," teriak Zia dari arah balkon membuat Bara tersenyum lebar.Bara pun mengatakan apa yang disampaikan Zia pada Kevin."Apa Bos libur dan menyerahkan pekerjaan begitu saja pada kami karena Zia?" tanya Kevin tak percaya."Begitulah. Aku harus menjaganya agar pria itu tidak terus menempel sama Zia. Sekarang aku benar-benar percaya kalau jodoh gak akan ke mana," tandas Barata, lalu mematikan sambungan teleponnya tanpa mendengar suara Kevin lagi."Kali ini aku akan mengajarmu dengan sungguh-sungguh. Tak akan pernah aku buka celah untuk pria itu mendekatimu," ucap Bara tersenyum tipis dan berjalan perlahan ke dalam rumah dan menghampiri Zia yang ada di balkon."Kamu sungguhan tidak punya perasaan lagi padanya?" Setela