"Kenapa keduanya pilihannya kejam? Apa tidak bisa yang manis satu agar aku bisa memilih?" Amran mendekat sambil senyum-senyum sendiri, sedangkan Zia malah memasang wajah dingin."Tidak ada. Aku sudah lelah menjalani pernikahan dengan sendiri ini karena kamu bahkan tak pernah menganggapku ada," terang Zia.Kali ini dia sudah bertekad untuk mengatakan semuanya tanpa pribahasa ataupun memikirkan perasaan Amran. Apalagi selama ini hanya dirinya yang menjaga perasaan Amran, sedangkan Arman sendiri cuek terhadap perasaannya. Makanya sekarang Zia enggan untuk menjaga lagi, jika hanya mendapatkan luka."Enggak ada. Aku sudah lelah. Padahal, istrimu adalah aku. Tapi tetap saja Rania yang kamu prioritaskan, seolah orang ketiga di antara kita adalah aku, bukan dirinya.Aku juga lelah selalu disalahkan atas apa yang tidak aku lakukan. Kapan aku akan bahagia jika bertahan di pernikahan yang penuh luka? Apa menurutmu aku bahkan bisa tersenyum? Enggak pernah." Zia terus berbicara, sedangkan Amran h
Zia menerima ponsel Amran dengan sepenuh hati, lalu mereka pun berjalan bersama sambil bergandengan tangan."Sekarang mau ke mana dulu?" Amran bertanya dengan lembut."Pantai, aku mau melihat matahari terbenam.""Siap laksanakan, Tuah Putri."Amran langsung menjalankan mobilnya ke arah pantai yang dimaksud oleh Zia. Berhubung jaraknya tidak terlalu jauh, jadi mereka bisa sampai setelah menempuh perjalanan satu jam."Wah, kita datang di waktu yang tepat karena mataharinya akan segera tenggelam," seru Zia.Dia benar-benar merasa sangat bahagia karena mimpi yang selalu ingin dia lakukan di waktu kecil akhirnya tercapai, namun tetap saja dia tidak mau berharap banyak. Zia tahu pasti kalau Amran masih mencintai Rania dan belum bisa menyukainya, jadi ketika waktunya sudah tiba, Zia sendiri yang akan pergi tanpa memberitahu siapa pun.Untuk saat ini, dia hanya mau menikmati kebersamaan sambil menatap yang indah-indah tanpa memikirkan banyak hal berat."Jalannya hati-hati. Lagi pula matahari
"Saya minta berkas pembangunan cabang yang baru, ya," pinta Bara setelah membuat Zia tidak banyak bicara."Ah, ya." Zia menjawab singkat dan terlihat serba salah.Beberapa karyawan wanita mendekat ke arahnya."Akhirnya kamu masuk kerja lagi.""Emang kenapa?" Zia menatap mereka heran secara bergantian."Sejak kamu cuti, Pak Bara jadi terlihat menakutkan. Pokoknya sikap aslinya mulai keluar," sahut seseorang membuat Zia menatapnya tak percaya. "Aku serius. Sejak awal Bos memang begitu. Berubahnya las kamu masuk kerja. Semua mata juga tahu."Semua wanita yang mengerumuni Zia mengangguk cepat."Itu benar. Cuman dua hari ini sikapnya kembali dingin dan itu benar-benar seperti membunuh kami tanpa menyentuh.""Dia memang tampan, sayangnya sangat menakutkan hingga membuat wanita menjauh dan tidak berani mendekat.Zia memicingkan matanya tak percaya, karena selama ini Bara selalu berbicara dengan hangat dan tidak pernah sekalipun menunjukkan sikap dingin.Akan tetapi, Zia memilih untuk percaya
Bara turun dari mobil dengan perasaannya yang sedikit terusik dengan apa yang dilakukan Amran, namun dia tidak akan tenang jika tidak mengucapkan beberapa kata sama Amran."Ada apa?" Amran bertanya tanpa menurunkan kewaspadaannya seolah takut apa yang dia genggam akan direbut oleh pria yang ada di hadapannya."Kalau kamu menyayangi istrimu, jangan biarkan dia tidak nyaman dengan kehadiranmu," ucap Barata.Tanpa sadar, dia pun tersenyum karena Amran saat ini benar-benar menganggapnya saingan."Tenanglah, meski kita bersaing secara bisnis, namun tetap saja sekarang aku hanya berstatus kating Zia di masa lalu," lirih Barata membuat kemarahan Amran semakin membesar, namun dia juga tidak bisa melakukan apa pun karena saat ini di pelukannya ada Zia.Amran tidak ingin membuat Zia kecewa dengan melampiaskan emosi pada atasannya, apalagi jika kekecewaan itu berubah jadi benci. Membayangkannya saja Amran benar-benar tidak bisa."Tentu saja! Jangan katakan yang tidak-tidak, karena aku akan sela
"Masalahnya dia kerja di tempat Bara, Rid. Lu kan tahu Gua dan Bara saingan. Gimana ceritanya dia malah masuk ke sana?" Amran benar-benar tidak berhasil menemukan alasan kenapa Zia memilih untuk bekerja di perusahaan saingannya, padahal Zia bisa memilih perusahaan yang lebih baik."Bisa jadi karena mereka udah lama saling kenal, jadi nyaman. Jadi Zia berpikir daripada ngelamar di tempat lain, ya udah di tempat Bara aja. Seenggaknya dia tahu atasannya siapa sekaligus pemiliknya," terang Farid lagi masuk akal, namun Amran masih kesulitan untuk mengerti."Intinya Lu percaya gak sama Zia?" Farid kembali bertanya."Iyalah.""Harusnya kalau Lu percaya, ya Lu jangan nanya-nanya ke gini lagi. Lu harus yakin kalau ala yang sudah Zia pilih adalah yang terbaik.""Gua tau, tetap aja Gua gak bisa nerima.""Tandanya Lu egois, Ran. Harusnya kalau Ku percaya, Lu tinggal nunggu dia jelaskan alasannya sambil antar jemput. Beres.""Sayangnya tak segampang itu." Amran benar-benar frustasi."Pada kenyataa
Setelah mendengar kata-kata menyakitkan secara tidak sengaja, Zia kembali melanjutkan langkah dengan perasaan yang campur aduk. Hatinya seperti dicabik-cabik, lalu disiram air cuka. Pedih, perih, dan ingin menangis lalu berteriak.Akan tetapi, keadaan tidak mengizinkan."Aku harus kuat. Kalau tidak, akhiri saja semuanya sampai di sini," gumam Zia. Dadanya masih terasa sesak dan cintanya harus berkahir begitu saja.Cinta yang tak terbalaskan selama tiga tahun benar-benar menyakitkan. Terlebih setelah berjuang selama ini, bukannya mendengar pernyataan Amran bahwa dia sudah mencintainya, tetapi malah mendengar dia mencintai wanita masa lalunya.Zia berjalan tanpa tenaga, tanpa ekspresi, dan dia bahkan tidak tahu harus bersikap seperti apa sekarang. Semuanya benar-benar terlalu menyakitkan untuk dilalui seorang diri. Namun di saat seperti sekarang pun, Zia tidak tahu harus mengadu pada siapa.Selain Gea, orang tuanya juga bahkan membuangnya terang-terangan.Zia mengetuk pintu ruangan Amra
"Zia, aku mohon ...." Amran berusaha menarih pergelangan tangannya, namun untuk pertama kalinya Zia menepis tangan yang selama ini selalu ingin dia sentuh itu."Mas, teman-temanku yang baru menikah satu tahun saja mereka sudah punya anak. Sementara aku yang sudah menikah tiga tahun, jangankan anak, kamu bahkan belum pernah menyentuhku." Zia kembali bicara."Kita bisa melakukannya kalau kamu mau, jadi jangan berbicara seolah jalan yang tepat yang harus kita pilih adalah perpisahan," sinis Amran lalu berjalan mendekat ke arah Zia dan berusaha menyentuhnya."Cukup, Mas! Aku tidak mau melalukannya jika bukan karena cinta." Zia mendorong Amran kembali.Kali ini Zia benar-benar sudah muak dengan sikap Amran dan lebih memilih untuk mengakhiri semuanya sebelum rasa cintanya untuk Amran semakin membesar."Cinta? Bukankah sudah menjadi kewajiban bagi seorang istri untuk menuruti perintah suaminya? Apalagi dalam pelayanan. Apa mungkin kamu adalah orang yang hanya bisa menuntut, tapi tidak bisa m
"Siapkan berkas perceraian yang akan ditandatangani oleh putriku besok," perintah Santos pada seseorang di telepon, namun Amran berusaha merebut ponselnya."Aku tidak akan pernah bercerai dengan Zia. Aku ....""Kenapa? Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau kamu tidak pernah mencintainya? Sekarang lepaskanlah dia. Zia berhak bahagia," tegas Pak Santos membuat tubuh Amran jatuh di lantai namun dia masih sadar."Tiga tahun ... sudah tiga tahun kita bersama, tapi kenapa tiba-tiba berpisah hanya karena aku tidak mencintainya? Bukankah dengan dia mencintaiku saja sudah cukup? Kenapa justru harus berkahir seperti ini?""Menurut kita sebagai laki-laki cinta memang tidak terlalu penting, tapi tidak dengan wanita. Bagi mereka, cinta adalah segalanya dan mereka tidak mau bertahan dengan pernikahan tanpa cinta karena mereka pasti akan menderita," terang Pak Santos lagi membuat Amran semakin tak berdaya."Tapi aku tidak mau kehilangannya. Rasanya aku juga tidak akan bisa hidup tanpanya." Kondisi