Polo panik. Marco tak sadarkan diri dan di datangi oleh sekumpulan monster yang menunjukkan kebuasannya, siap untuk mencabik tubuh saudara kembarnya itu. Saat Polo siap menantang bahaya dengan berlari untuk melawan para monster itu sendirian, tiba-tiba ....
DOR! DOR! DOR!
Mata Polo terbelalak. Langkahnya terhenti seketika dan merunduk. Ia melihat beberapa monster tergeletak tak bernyawa terkena tembakan telak di belakang kepala.
Para monster yang bisa merasakan jika bahaya berada di sekitar mereka, mulai mengerang dan mencari sosok yang menewaskan jenisnya.
"Wow!" pekik Polo saat melihat sebuah drone melayang dengan persenjataan terpasang di tubuh benda berwarna hitam tersebut.
Drone tersebut menembaki para monster dengan membabi-buta dan menewaskan semua manusia yang terkena serum ganas tersebut.
Polo hanya bisa berjongkok dengan senapan bius dalam genggaman dan memandangi para monster yang tergeletak di asp
Kalau ada typo harap maklum ya. Koreksi aja nanti akan direvisi. Terima kasih sudah sabar menunggu up dan jangan lupa vote gems ya. Lele padamu^^
Lopez terkejut. Ia bergegas mendatangi puteranya yang memiliki manik merah seperti api menyala terang. Lopez memeluk anaknya erat dan Marco membalasnya dengan sentuhan yang sama. Semua orang tersenyum. "Yah, aroma ini sama dengan tombak hitam itu. Jadi, itu kau, Mom," ucap Marco sembari menghirup bau dari sang Ibu dengan mata terpejam. Lopez melepaskan pelukan dan menatap mata anaknya seksama. "Apa yang kau rasakan? Apa ada perubahan dalam dirimu?" Marco mengangguk. "Aku juga, hanya saja, kemampuan Marco lebih banyak," sahut Polo terlihat iri dari ucapannya. Lopez tersenyum. Ia meminta Polo mendekat dan duduk di sampingnya. Lopez diapit oleh dua anak kembarnya. "Dengar. Kalian ditakdirkan bersama. Ingat itu, dan apapun yang terjadi, kalian harus selalu kompak. Iri boleh, tapi jangan jadikan itu perpecahan diantara kalian. Hidup kita sekarang lebih sulit tanpa ayah dan orang-orang yang kita sayangi. Namun, Ibu yakin jika kita akan baik-baik sa
Semua pria di dalam pesawat pribadi milik Lopez dibuat menganga, setelah melihat tayangan mengejutkan dari produk-produk buatan Vesper Industries. Mereka malah tak sabar ingin menjajal kemampuannya, tapi malam sudah semakin larut, dan tak ingin membuat kegaduhan di luar. "Polo. Ibu dan ayahmu sungguh hebat. Jangan-jangan, selama mereka di sini, merekalah penjaga Miami. Hanya saja, aku masih penasaran, bagaimana cara ibumu mengurung para monster itu? Aku sangat yakin, kita bisa menyelesaikan kasus ini dengan ibumu sebagai kunci jawabannya," ucap Robin mantab dan diangguki semua orang. Polo dan semua orang mengangguk setuju. Namun malam itu, mereka harus bersabar untuk bertanya karena Lopez tertidur lelap di ranjangnya. Marco yang begitu merindukan sang Ibu, tidur di sebelahnya sembari memegangi tangannya erat. Polo yang bersikap lebih dewasa layaknya seorang pria di usianya, memilih untuk menjaga dua orang yang dikasihinya di cabin pesawat be
Kesedihan menyelimuti seisi helikopter yang mengenal sosok Lopez. Marco ambruk dalam air mata penyesalan karena tak bisa menyelamatkan nyawa sang ibu. Polo tak hentinya menangis dengan memeluk kedua lututnya di lantai helikopter sebagai rasa kecewa karena tak bisa membawa ibunya pergi seperti janjinya. "Kenapa berakhir seperti ini, Polo? Kita sudah menemukan ibu, tapi ... kenapa monster merenggutnya? Ia bilang sendiri jika monster bisa disembuhkan, tapi kenapa ia memilih mati?" tanya Marco menantap saudaranya dengan nafas tersengal dan air mata terus menetes, meski berusaha tegar. Polo menggeleng. Ia tak bisa berpikir jernih. Saat semua orang sedang terselimuti duka mendalam, tiba-tiba .... DOK! DOK! DOK! Mata semua pria di tempat itu tertuju pada tabung yang ditempati oleh Irina. Marco segera berdiri dan mendatangi satu-satunya wanita yang berhasil mereka selamatkan dari serangan monster. Mata Marco terbelalak, saat Irina berteriak d
Marco memimpin timnya di depan. Fabio bertugas sebagai navigator dengan tablet dalam genggaman yang terhubung dengan satelit Theresia di angkasa, meskipun akses yang diberikan terbatas. "Marco, bagaimana?" tanya Lucas saat pria bermanik merah tersebut mengendus sekitar untuk memastikan tak ada monster. "Kita tak bisa berlama-lama di sini. Aku bisa mencium bau monster. Hanya saja, jaraknya masih cukup jauh. Namun, mereka punya kaki untuk mengejar 'kan?" jawabnya yang praktis, membuat semua orang bergidik ngeri. "Polo, bagaimana?" tanya Hugo yang berdiri di samping Kapten pasukannya dengan senapan bius dalam genggaman. "Sejauh aku memandang, tempat ini sepi, tak ada pergerakan. Kecuali kapal yang merapat ke bibir pantai. Kita harus segera ke sana. Orang itu pasti ketakutan dan butuh bantuan. Kitalah harapan terakhirnya," sahut Polo menunjuk sebuah kapal kecil berlayar putih di kejauhan. "Bagaimana pantauan satelit?" sambung Polo. "Aku m
Saat tim dari Marco berhasil memanen kacang hijau dan terong yang mereka dapat pada sebuah lahan pertanian, sebuah panggilan masuk dari tim Polo. Fabio segera menjawab. "Yes?" "Kalian cepatlah kembali. Ada informasi penting yang akan mengejutkan kalian. Bertemu di helipad," jawab Polo yang langsung diteruskan oleh Fabio kepada kawan-kawannya. "Wah, apa itu? Apakah Polo dan lainnya berhasil menyelamatkan pria itu?" tanya Lucas dengan sebuah karung berisi banyak terong. "Mungkin. Ayo, kita harus bergegas. Aku bisa mencium bau monster dekat sini," sahut Marco yang tentu saja mengejutkan semua orang. Mobil yang dikemudikan Irina segera melaju pesat meninggalkan kawasan pertanian menuju ke Mall tempat helikopter mereka mendarat. Marco bisa melihat atap Mall ketika Chen menyalakan sebuah suar dengan asap berwarna jingga. Irina segera memarkirkan mobil di tempat ia menemukannya. Marco dan lainnya bergegas masuk melew
Keesokan harinya, kelompok dari Polo sudah bersiap untuk meninggalkan Florida. Namun ternyata, Pamungkas tak ingin meninggalkan kota tersebut. "Kenapa, Paman? Di Utara, kau bisa hidup lebih baik. Di sini kau sendirian," tanya Polo terheran-heran. Pamungkas tersenyum. "Aku ingin memastikan, semua manusia yang tersisa di kota ini berhasil selamat dan menuju Utara. Aku belum menyusuri kawasan dekat perbatasan. Aku yakin, jika masih ada manusia yang bertahan di sana. Biasanya, mereka muncul saat musim dingin, dan aku akan bertahan selama yang aku bisa. Kalian pergilah, tak usah mencemaskanku. Ini sudah pilihanku, dan ini takdirku," ucapnya dengan senyum tipis. "Bullshit! Ucapanmu sungguh tak masuk akal, Pak tua! Kau mengorbankan hidupmu untuk orang-orang yang bahkan tak kau kenal! Kau bahkan rela mati untuk mereka!" pekik Marco kesal dan melotot tajam pada asal Indonesia itu. "Sebelumnya aku juga tak mengenal kalian. Namun, jika aku bisa memastik
Semua orang dalam helikopter dirundung kesedihan. Marco yang sudah ditarik ke atas oleh Bruno dan Robin tak bisa menghentikan isak tangisnya. "Dia sungguh bodoh ... Kenapa dia mengorbankan nyawanya seperti ibu? Kita saja baru semalam bersamanya," ucap Marco dengan suara bergetar dan air mata terus mengalir mewakili rasa penyesalannya. "Sudahlah, Marco. Tangisan kita tak bisa membawanya kembali. Dia sudah tahu konsekuensinya. Pamungkas seorang pemberani, dia penolong. Apa kalian tak dengar ucapan terakhirnya?" tanya Polo menatap wajah Saudaranya lekat yang sudah tergenang oleh air mata. Semua orang terdiam. Pertanyaan itu seakan ditujukan untuk mereka. "Oh! Tentang ia menitipkan salam untuk kawan-kawannya?" sahut Irina menebak. "Ya. Dan kalian ingat jika ia mengatakan bahwa dia salah satu penjaga? Menurutku, banyak orang-orang seperti Pamungkas di luar sana, termasuk ayah dan ibuku," tegas Polo. "Apakah ... Tiap kota besar ada penjagany
Polo beranjak dari tempatnya. Ia memilih kembali ke dalam helikopter dan memastikan semua persediaan bahan bakar yang mereka temukan cukup sampai tujuan berikutnya. "Marco. Aku rasa, cara yang kita lakukan sama dengan yang orang tuamu lakukan. Kau ingat, ketika kita menemukan para monster di dalam gym? Mereka pasti dipancing dan dikurung di sana," sahut Irina mengintip dari balik jendela di mana kepulan asap mulai memudar dan terlihat para monster tenang di dalam sana terkena dampak gas halusinasi. "Ya. Aku setuju denganmu, Irina. Tugas kita berikutnya adalah mencari penawarnya. Kita bisa mengembalikan populasi manusia. Kehidupan kita bisa kembali seperti dulu," jawabnya gembira, dan Irina mengangguk setuju. Irina menandai lokasi hanggar di Chicago tersebut sebagai salah satu tempat kurungan para monster. Ada sekitar 20 monster di dalam sana. "Muatan penuh! Kita berangkat!" teriak Polo dari pintu palka belakang helikopter. Semua orang segera m
Lazo dan Safa menatap pria bermanik biru di depannya dengan saksama. "Kenapa mereka bisa bangun? Apakah tabung rusak?" tanya Safa menduga, dan semua orang selain pasturi itu mengangguk. "Lalu ... di mana kedua orang tuamu?" tanya seorang pria yang dulunya adalah salah satu pion dari kelompok mafia lain. "Akan kuceritakan sembari kalian bersiap. Ayo," ajak Yusuke. Safa dan Lazo mengangguk pelan. Polo disalami oleh dua orang yang baru saja bangkit itu. Polo tampak sungkan, tapi bisa merasakan jika dua orang itu cukup tangguh karena terlihat dari cara bersikap. "Asal kalian tahu, Lazo seorang pekerja kantoran sebuah perusahaan ternama di Jerman . Namun, itu hanya kedok saja. Ia dan isterinya adalah seorang petarung. Bahkan, saat sudah memilih menjadi warga sipil, keduanya melanjutkan profesi itu," bisik Lucy. "Petarung seperti apa?" tanya Bruno ikut penasaran. "Petarung bayaran. Mereka tak bisa meninggalkan profesi sebagai mafia seutuhnya. Dulunya, Benjamin Lazo dikenal dengan nama
Helikopter Marco terbang menuju ke bandara Seward karena kehabisan bahan bakar. Semua anggota Marco bersiap jikalau ada monster yang datang menyerang seperti kejadian beberapa hari yang lalu. Marco mencari titik pendaratan dekat lokasi bahan bakar. Semua anggota menyiapkan Rainbow Gas tanpa bom untuk melumpuhkan para monster karena mereka harus hemat amunisi. Perlahan, helikopter mendarat dekat sebuah hanggar. Hugo, Fabio dan Chen bersiap jikalau melihat monster mendekati kendaraan terbang mereka. Namun, sampai helikopter itu mendarat sempurna dan mesin dimatikan, tak ada satupun monster terlihat. "Cepat! Cepat!" pinta Lucas selaku co-pilot seraya keluar dari helikopter lalu mengambil dua derigen cadangan di dekat dudukan tempat tiga kawannya duduk. Marco segera keluar dan menggunakan indera penciumannya untuk memeriksa sekitar. Marco memberikan kode kepada kawan-kawannya jika tempat itu aman tak tercium keberadaan monster. Hugo memimpin di depan menuju ke tempat tong-tong bahan ba
Ternyata, Irina sungguh tak keluar kamar usai Sakura menginterogasinya. Kecurigaan Sakura dan Maksim semakin menguat karena gadis cantik itu mengurung dirinya di kamar hingga makan siang tiba. Marco dan timnya yang telah selesai mengamankan gedung dengan darah monster hasil kerja keras Maksim, segera masuk ke dalam hotel untuk menikmati makan siang yang telah dipersiapkan oleh para anggota Red Skull. Anak-anak membantu dengan membersihkan ruangan di hotel yang sering digunakan agar tetap rapi dan bersih. Keharmonisan terasa di dalam bangunan bertingkat yang kini dihuni oleh para manusia yang berhasil bertahan dari wabah monster. Para pria masuk ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri sebelum berkumpul di ruang makan. Namun, saat Marco akan masuk ke kamar, ia terkejut karena pintu itu dikunci dari dalam. Marco mencoba mengetuk pintu berulang kali, tapi Irina tak kunjung membuka pintu kamar tersebut. Marco mulai panik karena tak ada tanggapan dari dalam kamarnya. "Irina! Irin
Anak-anak yang dikumpulkan di lobi, mendapat sambutan hangat dari anggota Red Skull dan Irina. Sakura sangat berterima kasih meski ia sedih setelah mengetahui jika Galina telah berpulang. Sakura berjanji akan mengunjungi makan Galina bersama Maksim nantinya. Malam itu, anak-anak diberikan kamar untuk mereka tinggal selama di tempat tersebut. Terlihat, anak-anak senang karena fasilitas dari hotel memberikan kenyamanan dan ada banyak orang dewasa di sekitar yang akan melindungi mereka. Namun, Irina malah mengurung diri di kamarnya tak ikut menyambut seperti yang lain. Gadis itu terlihat takut setelah mengetahui jika Sakura mengenal orang-orang yang telah tewas dari pihak 13 Demon Heads saat disebutkan oleh anggota Red Skull. CEKLEK! "Hem, pasti dia lelah," ucap Marco ketika kembali ke kamar dan mendapati Irina sudah tertidur di ranjang. Marco segera melucuti pakaiannya lalu membersihkan diri di kamar mandi yang berada dalam satu ruangan, meski terpisah dinding dengan ruang tidur. Tu
Kelompok Marco bergegas berlari mendatangi kelompok yang baru saja datang untuk mengamankan mereka dari serangan Monster. Kelompok itu terpaksa berpisah karena letak pendaratan helikopter. Marco berlari kencang mendahului kelompoknya karena ia mencium bau monster di sekitar wilayah itu. Marco panik, takut anak-anak itu terluka. Sedang Maksim, Fabio, Lucas dan anak-anak yang ikut bersama mereka terus berlari mendatangi gedung hotel tempat mereka berlindung nantinya. Namun, tiba-tiba saja .... "Horg!" "Serigala monster!" teriak Fabio lantang saat melihat tiga ekor serigala berlari kencang, muncul dari persimpangan jalan. Hewan-hewan itu terlihat beringas. Mata mereka menyala merah dengan air liur menetes dari rahang bergigi tajam tersebut. "AAAAA!" jerit anak-anak histeris. "Terus berlari! Jangan berhenti!" teriak Maksim berusaha sekuat tenaga mengikuti anak-anak itu. Fabio dan Lucas dengan sigap mengarahkan senapan laras panjang mereka untuk menjatuhkan para serigala. "Heaaahhh
Saat Irina tampak gugup karena ditatap tajam oleh kekasihnya—Marco—dan dicurigai oleh Maksim, tiba-tiba terdengar suara mesin gemuruh rendah dari kejauhan. Maksim, Irina dan Marco yang berada di atap gedung langsung menoleh ke asal suara. Mata mereka menyipit saat mendapati dua buah helikopter mendekat dengan sorot lampu menyilaukan menunjukkan posisi mereka di malam gelap. "Itu mereka! Itu pasti Sakura dan timnya!" seru Maksim gembira. Praktis, Marco dan Irina langsung berdiri ikut bahagia. Namun, mereka melihat cahaya berkedip dari dermaga tempat kapal dijaga oleh Chen dan Amy. Kapal mereka menjauh dari dermaga seraya terus menyuarakan klakson kapal. Irina melebarkan mata saat hidung Marco bergerak seperti mengendus. "Monster!" seru Marco lantang menunjuk ke bagian bawah bangunan. Mata Irina dan Maksim terbelalak lebar ketika melihat di jalanan, segerombolan manusia buas itu berlari ke arah mereka. Marco yakin, para monster itu pasti tertarik karena suara dan pergerakan helikopt
Praktis, semua orang terkejut mendengar hal yang tak pernah diketahui itu. Maksim memangis terisak terlihat begitu sedih. Hati para pendengar ikut pilu. Pinky dan anggota Red Skull duduk di sekeliling Maksim mencoba menenangkan hatinya yang berduka. "A-aku ... aku sedang dalam perjalanan untuk menyusul Galina karena ia tak bisa kuhubungi. Aku ... ingin memastikan jika Utara memang layak dihuni. Aku ... aku berencana membawanya kemari bersama anggota Red Skull yang masih bertahan, tapi ... hiks, Galina," ucapnya sedih sampai terbata. Tak ada yang bisa memberikan nasehat atau ucapan meneduhkan hati. Marco memeluk Maksim yang terlihat begitu kehilangan sang isteri. Marco melirik Pinky dan wanita itu mengajak Zeni untuk memanggil anggota lainnya. Marco menemani Maksim bersama Irina yang masih berada di lobi hotel. Sedang anggota lainnya, kembali menyusuri bangunan untuk mencari tempat bernaung selama di hotel yang ditinggalkan tersebut. Akhirnya, tangis Maksim reda setelah ia puas melu
Semua orang sudah bersiap dan membidik pintu lift yang masih tertutup rapat. "Satu, dua, tiga!" TING! "Hah!" "Oh! Tahan! Tahan!" teriak Irina saat ia hampir saja melemparkan granat Rainbow Gas dalam genggamannya. Marco segera turun dan berlari mendekat. Irina merapatkan tubuhnya ke sisi Marco saat pria itu mengendusnya. Irina memasukkan kembali granat itu ke dalam saku celananya. "Bagaimana, Marco? Dia manusia atau ... monster?" tanya Irina cemas. "Baunya seperti monster. Namun, jika melihat gelagatnya, ia seperti manusia. Mirip ...." "Seperti saat Bykov ditemukan?" sahut Hugo dan Marco mengangguk membenarkan. Marco memberi kode kepada anggota Red Skull yang bersembunyi jika pria tersebut seperti bukan ancaman. Marco melangkah mendekat perlahan terlihat hati-hati karena pria itu tampak ketakutan. "Hei, apa ... kau baik-baik saja?" tanya Marco penasaran. Tiba-tiba saja, pria itu keluar dari lift dan memeluk Marco. Semua orang terkejut karena pria tua bertubuh gemuk itu menang
Polo, Bruno dan Robin terlihat fokus dengan tujuan baru mereka. Speed boat menyusuri sungai hingga akhirnya mereka tiba di lokasi. Terlihat sebuah bangunan seperti telah dipersiapkan layaknya benteng pertahanan. Yusuke merapatkan kapalnya di sebuah dermaga kecil tepi sungai itu. Para penumpang turun satu persatu tanpa muatan. "Kita tak ke hanggar?" tanya Polo heran. "Kita akan pergi besok pagi. Malam ini, kita menginap di sini. Segera turunkan barang. Sebelum gelap, kita harus bersiap," jawab Yusuke seraya menenteng senapan laras panjangnya. "Memang kenapa dengan malam hari?" tanya Bruno curiga. "Akhir-akhir ini, serangan monster sering terjadi. Seperti yang kubilang sebelumnya, orang-orang yang berhasil selamat diawasi. Sebelum kami tiba di sini, aku melihat drone melintas di tempat terakhir kami berada. Tak mungkin 'kan jika monster yang mengendalikannya. Jadi, aku cukup yakin jika itu perbuatan anak buah Hendrik," jawab Lope. Polo dan semua orang tegang seketika. "Seperti kec