Aku menghela napas gusar untuk kesekian kalinya. Dengan wajah kusut dan kepala dipenuhi pikiran kacau tentang Tasya dan Tio. Sejak sejam yang lalu, aku hanya menatap layar smartphone, melihat berbagai status penghuni media sosial. Kugestur ke bawah, memberikan tanda jempol, dan begitu seterusnya hingga berhenti ketika mendengar ketukan pintu dari ruang tamu. Aku berjalan gontai dan membuka pintu. Setelah melihat siapa yang datang, aku tertegun dan membelalak.
Sebetulnya, kalian pun bisa menebak siapa yang datang karena wajahku pasti sudah memberikan jawabannya. Sepertinya, aku memang harus terbiasa dengan kehadiran Tasya di dunia yang sudah berubah di mana aku hanya tokoh figuran ini. Dia untuk orang lain, bukan untukku. Karena memang seperti itulah kenyataannya.
“T-Tasya?” Cukup senang sebenarnya melihat Tasya datang ke kost lagi hingga jantungku pun berontak. “L-lo tumben. Ada—“
“Gue nggak dateng buat lo! Tio. Mana Tio?”
Ah, ya! Tentu saja dia tidak datang untukku. Sebab kini aku bukanlah siapa-siapa lagi baginya. Aku pun mendengkus pelan mendengar ungkapan Tasya yang ibarat palu raksasa, memukulku telak hingga lebur menjadi puing-puing yang tak dapat disatukan kembali.
“Oh. Ya, masuk dulu, Sya!”
Aku berjalan ke kamar Tio untuk membangunkannya. Tio terlihat masih tidur pulas.
“Tio!” panggilku sembari menepuk kedua pipi lelaki tampan ini.
“Ada apa, Jay?” Tio masih enggan untuk beranjak.
“Gebetan lo nyariin. Tuh, ada di ruang tamu.”
“Masa?!” Tio terhenyak dan bangkit. “Thank you, Jay, udah bangunin gue.”
Tio berjalan ke ruang tamu guna menemui Tasya dengan hati yang gembira, mungkin. Sementara itu, aku duduk lagi di atas ranjang. Apa yang bisa kulakukan? Tentu saja, aku hanya bisa melenguh bosan dan menelan perasaan geramku.
Kuraih smartphone di atas nakas. Membuka galeri, kemudian menampilkan sebuah foto sepasang insan yang berpose senyum sambil kedua jari membentuk huruf V. Seketika itu, pikiranku melayang menembus ruang dan waktu, kembali ke masa-masa bahagia yang kulalui dengan Tasya. Yang mana pada saat itu kami melepas semua beban di hati, kemudian memutuskan untuk memancarkan senyum hangat kami. Tidak dapat kumungkiri bahwa aku ingin sekali kembali ke masa-masa bahagia itu. Namun, bagaimana caranya? Masa lalu tidak dapat diulang kembali.
Takdir tidak dapat diputarbalikkan. Namun, aku memiliki kenangan yang sangat berharga dengannya. Sebetulnya, berharga atau tidaknya kenangan itu adalah bagaimana kita menyikapinya saat kembali teringat.
Pada akhirnya, semua itu hanyalah kenangan masa lampau semata yang terus-menerus membelenggu langkahku untuk melanjutkan hidup.
“Jay! Jaya!” Tanpa sadar, Tio telah ada di hadapanku, menatap aneh pada diriku. Dengan lugas kumatikan layar smartphone dan kumasukkan ke dalam saku celana.
“Apa maksud semua ini, Jay?” tanya Tio dengan ekspresi geram.
Aku melihat ada sebuah kemarahan yang sampai di puncak tertinggi dalam benaknya. Tatapannya yang tajam dan napasnya yang menderu, bisa kurasakan bahwa semua itu akan berujung pada hal buruk di antara kami.
Pertanyaan itu bagaikan sebuah bom yang meledak-ledak di dalam hati. Mataku membelalak.
“M-maksud l-lo—“
“Kenapa foto Tasya bisa ada di handphone lo, Jay?” Tio masih menyorotkan tatapan tajamnya padaku.
“T-Tasya? I-itu ... cuma ... cuma Facebook. Ya, gue nggak sengaja nemu akun Facebook gebetan lo, Yo,” jawabku, gagap.
“Terus kenapa bisa ada lo juga di foto itu?”
Sial! Gue lupa lagi kalau ada gue juga di foto itu. Ah, sial, sial! Harus bilang apa gue?
“Apa mungkin lo mantan pacar Tasya? Atau lo sebenarnya pernah deket sama dia? Kenapa lo cuma diem, Jay? Kenapa?”
Aku hanya tertunduk sambil membatin dalam hati. Aku benar-benar tidak tahu lagi alasan apa yang harus kukatakan. Tidak mungkin juga aku mengatakan bahwa aku adalah teman Tasya. Tentu, hal itu juga akan mengundang pertanyaan-pertanyaan lainnya yang bisa lebih menyulitkanku nantinya. Dan kebohongan-kebohongan yang lain akan terus tercipta.
Gemeletuk!
Aku mendengar suara gertakkan gigi yang berasal dari Tio. Sudah jelas artinya bahwa dia tidak akan pernah menanggalkan setiap pertanyaan yang dia gantungkan padaku.
“Jay! Lo sahabat gue, bukan?”
“I-iya. Kita emang sahabat dari kecil, kan, Tio.”
“Kalau gitu ikut gue ke ruang tamu. Masih ada Tasya di sana.” Tanpa menunggu jawaban dariku, Tio melangkah menuju ruang tamu.
Aku tahu Tio tidak akan semarah yang kupikirkan. Sebab begitulah Tio. Meskipun sedang marah, tetapi wajahnya hanya terlihat biasa-biasa saja. Namun, justru karena Tio orang yang seperti itulah yang membuat aku tidak pernah berani mengakui semuanya. Dia tidak akan pernah mau berbicara lagi pada orang yang telah mengecewakannya. Dan sebenarnya, arti dari semua ini adalah bahwa Tio sangat marah.
Ketika sampai di ruang tamu, suasana di antara Tasya dan Tio benar-benar mencekam. Aku segera duduk di samping Tio dan menyiapkan diri untuk memberikan kalimat pertanggungjawaban.
“Aku emang pernah pacaran sama dia, Tio, tapi aku udah benci banget sama dia. Dia cuma laki-laki berengsek bagi aku.” Tasya membuka mulutnya. Tatapan bencinya masih saja setajam pedang.
“Jay! Kenapa lo nggak ngomong dari awal sama gue?” Tio menyilangkan tangan.
“Gue ... gue takut aja kalau lo tahu Tasya mantan gue, lo nanti malah nggak jadi gebet dia, gitu. Tapi, ya, gue ngaku salah.”
“Heh, mantan lo?!” Tasya menyeringai. “Jangan sebut-sebut gue mantan lo! Bagi gue lo bukan siapa-siapa. Gue nggak pernah kenal sama lo!” Tasya memancing amarahku.
Karena dia memang tahu aku tipikal orang yang gampang tersulut amarah. Karena itu, mungkin dia sengaja mengatakan semua ini agar aku terlihat seperti lelaki buruk di mata Tio.
“Sial! Bukannya lo dulu cinta mati sama gue?!” balasku, tak mau kalah. Akhirnya perdebatan terjadi di antara aku dan Tasya.
“DIAM!” Tio terpekik. Wajahnya mengerut.
Aku dan Tasya menghentikan perdebatan. Ini adalah kali pertamanya aku melihat Tio menampakkan wajah menyeramkan. Ada sebuah amarah yang sedang menyala-nyala pada tatapan matanya.
“Apa benar alasan lo kayak yang tadi lo bilang?” Tio mengembuskan napas panjang.
“I-iya. Gue benar-benar nggak mau sampai lo tahu. Gue takut aja ... lo ke-kecewa sama gue,” cetusku sembari tertunduk menatap lantai.
“Tapi ... apa kalian masih saling cinta?”
“ENGGAK!” Serentak aku dan Tasya menjawab.
Kini, tatapan Tio berubah heran, tak lama kemudian ia terkikik.
“K-kenapa?” Aku mengerutkan dahi. Heran.
“Kalian lucu aja.” Tak lama kemudian, tawa Tio mereda. “Ya, baguslah kalau kalian udah nggak ada hubungan apa-apa. Dan lo, Jay. Walaupun Tasya mantan lo, gue nggak peduli selama lo dan Tasya udah nggak saling cinta.”
“Jangan sebut aku mantan dia, Tio!” Tasya meninggikan nada suaranya.
“Jay. Kita emang sahabatan dari kecil, jadi seharusnya lo nggak nyembunyiin apa pun dari gue.”
“Ya, sorry. Gue, kan, cuma ngejaga perasaan lo sebagai seorang sahabat.”
“Ya, gue hargai itu. Tapi, lain kali jangan sembunyiin apa pun dari gue. Dari dulu, kan, lo tahu kalau gue—“
“Ya. Lo paling nggak suka gue nyembunyiin apa pun dari lo. Ya, udah. Masalahnya udah selesai. Gue balik ke kamar dulu. Pedes mata gue lihat si cewek garang.” Aku pun bangkit dan melangkah menuju kamar.
“Sialan! Apa lo bilang?! Cowok berengsek! Berani-beraninya lo bilang gue cewek garang!” balas Tasya, tetapi tak kuhiraukan dan terus melangkah.
Lega banget gue! Untung aja gue bisa ngeles!
Kini, aku sudah menambah level keberengsekanku di mata Tasya. Dengan ungkapan-ungkapan kebencian yang telah kulontarkan padanya beberapa saat yang lalu, tidak mungkin lagi Tasya akan mau melihatku. Atau bahkan aku sudah jadi seonggok sampah yang sama sekali tak ada harganya di mata dia. Meski begitu, aku bersyukur satu hal bahwa perihal ini tidak berpengaruh pada persahabatanku dengan Tio.
-II-
“APA?! Lo bilang gitu sama Tasya?!”“Gue nggak punya cara selain itu, Na. Gue nggak mau persahabatan gue sama Tio berantakan cuma gara-gara gue masih sayang sama Tasya. Toh, perasaan gue ke Tasya juga udah nggak berguna. Dia udah benci banget sama gue sebelum gue ngucapin kata-kata ngeri itu ke dia.”“Bodoh! Bener-bener bodoh, Jay! Dari mana, sih, keyakinan lo itu kalau Tasya benci banget sama lo?!”“Ya ... coba aja lo tanya ke dia. Pasti dia bilang gue cowok paling dia benci di dunia, bahkan sealam semesta.”Risna meletakkan kedua tangan di pinggang, lalu mengeleng-geleng. “Gue udah ngomong sama Tasya kemarin. Dan dia bilang masih cinta sama lo.”“Hah? S-serius lo? Alah, palingan bohong.” Aku memiringkan senyuman.“Nih, lo denger sendiri!” Risna memberikan smartphone miliknya.“Buat apa?” tanyaku, belum mengerti dengan maksud Risn
Embusan angin pantai sejuk menyapa. Sore ini mentari sepertinya akan tampak begitu indah. Cuaca sedang sangat bagus. Ya, sangat berkebalikan dengan suasana hatiku yang kacau balau bagaikan balon hijau meletus ini. Karang-karang di tepi laut tak pernah menyerah meski jutaan kali bahkan hingga tak terhitung berapa kali telah diterpa sang ombak. Mereka tetap berada di sana. Diterpa ombak yang sama setiap harinya. Kadang lebih keras dan menyakitkan dari biasanya.Bagaimana caranya menjadi setegar batu karang di tepi lautan? Bagaimana caranya bangkit setelah ditampar-tampar sebuah kenyataan kelam? Tentu, aku belum tahu jawabannya. Itulah mengapa aku bertanya pada hatiku sendiri.“Ngomong-ngomong, lo masih pacaran sama cowok yang dulu itu, Na?”“Nggak! Dia ternyata cowok berengsek. Selingkuh terang-terangan di hadapan gue.”“Kok, gue jadi tersinggung banget, ya, lo sebut-sebut cowok berengsek.” Aku pun tercengir.&ldqu
“Jay! Lo tahu, nggak?” Tampak jelas sebuah perasaan bahagia di wajah Tio. Matanya perlahan-lahan menyipit. Senyumannya bertambah semakin lebar.“Lah, lo belum ngasih tahu. Mana gue tahu.”“Gue jadian sama Tasya!” ujar Tio sambil mengangkat kedua tangannya.Sebetulnya, aku sama sekali tidak bahagia. Tidak akan pernah bahagia Tio menjadi bahagiaku. Sebut saja aku munafik, tetapi yang jelas, aku hanya berusaha untuk tidak membohongi diri sendiri.Menyesakkan dada. Sebuah paku baru saja menancap di jantung hatiku. Teramat pedih hingga aku merasa sangat ingin berteriak sekencang-kencangnya, kemudian menghantam apa pun di sekitar sebagai lampiasan. Namun, itu tak perlu, sebab aku hanya perlu menampilkan wajah seakan-akan aku ikut bahagia di hadapan Tio.“Bagus kalau gitu, Yo. Gue dukung lo seratus persen.” Aku pun melemparkan senyuman yang sungguh dipaksakan kepada Tio.“Gue boleh minta sesuatu
“Gue bilang juga apa! Elo, sih, jadi cowok cemen banget!” Risna bersandar pada punggung kursi.“Semua salah gue. Apa-apa gue. Terus gue harus gimana, gitu? Gue ngerasa dilema sama semua ini.”“Ya, emang, kan? Lo lelet bertindak. Lo orang yang suka ngeremehin masalah. Kan, jadi gini, nih, jadinya,” omel Risna, “terus lo bakalan gimana sekarang?”“Ya, udah. Gue nggak bakalan ngapa-ngapain. Kan, udah gue bilang sebelumnya. Kalau Tasya udah jadian sama Tio, itu artinya Tasya nggak bener-bener masih sayang sama gue,” cetusku, kemudian menyesap kopi hangat milikku.“Terserah lo aja, deh.” Risna melenguh panjang. “Jadi, rencana lo selanjutnya gimana?”“Gue nggak tahu, Na. Gue rasa diri gue udah hancur banget. Dan lagian, Tio kayaknya udah berubah gitu semenjak kenal sama Tasya. Dia udah jarang banget ngobrol sama gue. Nada bicaranya udah kayak bukan dia lagi. Gue nge
Dering smartphone di atas nakas membangunkanku dari tidur. Dengan mata terpejam, kugapai smartphone tanpa melihat siapa yang menelepon.“Halo?”“Halo, Jay. Ini gue Risna.” Terdengar suara Risna di ujung telepon.“Iya? Ada apa nelpon pagi-pagi begini? Ada yang penting, ya?”“Bisa ketemu?”“Iya, bisa. Mau ketemu di mana?”“Bisa ke rumah gue?”“Rumah lo? Nggak, ah! Malu gue sama bonyok lo.”“Please, Jay! Nggak ada siapa-siapa di rumah gue. Mobil gue lagi dipake nyokap. Makanya gue nggak bisa ngajakin lo ketemuan di luar. Mau, ya?”“Ya, udah, iya. Gue mandi dulu. Baru bangun gue, nih!”“Oke. Gue tungguin.”Setelah mematikan telepon, aku beranjak menuju kamar mandi untuk segera membasuh t
“Tio! Lo mau ke mana? Pulang kampung?” tanyaku sebab melihat Tio menenteng sebuah koper.“Sori, Jay, gue mau pindah kost.”“Apa?! Kenapa mendadak begini?” Aku terhenyak, bertanya-tanya alasan apa yang membuat Tio ingin pindah kost.“Untuk saat ini gue nggak bisa jelasin alasan gue. Pokoknya gue mau pindah, lah.” Tio buru-buru menjejakkan langkah.“Eh, eh, eh! Tunggu, tunggu!” Kuhentikan langkah Tio. Ia enggan melihat wajahku.“Ada apa? Kalau gue ada salah, gue minta maaf. Kita bisa ngomong baik-baik, kan, Yo,” kataku menyarankan. Berusaha menghentikan keinginan Tio.“Enggak ada yang harus kita omongin, Jay. Ini bukan tentang lo dan gue.”“Lah, terus tentang apaan? Ayolah, kita udah dewasa, Yo. Gue tahu, kok, kalau sikap lo kayak begini, lo pasti lagi marah sama gue.”“Kalau lo emang sahabat gue, biarin gue lew
“Lo serius udah nyerah dapetin Tasya lagi?!”“Iya. Gue rasa udah saatnya gue berkorban demi sahabat gue. Keputusan gue udah bulat, Na. Gue bakalan cari cewek lain—““Eh, jangan!” Risna menyela dengan lugas. Ada sebuah kecemasan yang dapat kulihat dengan jelas terlihat di bola matanya. Aku tak mau menduga, tetapi akan kucoba untuk menyelidikinya.“Kenapa?”“Enggak. Hmm ... m-maksud gue ....” Risna tak melanjutkan kalimatnya. Ia juga menolak tatapan mataku.“Maksud lo?” Lantas, aku terheran dibuatnya. “Risna. Gue boleh tanya sesuatu sama lo?”“Boleh. Soal apa?” Risna kembali menatap ke arahku.“Tapi, lo jangan marah, ya? Gue enggak bermaksud, sih. Cuman ... ada sesuatu yang mesti gue pastiin sama elo.”“I-iya. Apa yang mau lo tanyain ke gue?” Risna sudah mulai tampak gugup. Aku yakin bahwa ia sudah menebak
“Jadi, kita mau ke mana hari ini, Na?”“Kita happy-happy aja. Terserah mau ke mana. Yang penting dengan kita jalan berdua, kamu bisa ngelupain tentang Tasya sebentar aja.”“Hmm. Ya, udah. Yuk!”“Eits! Kamu yang nyetir, Jay!” Risna mengulurkan tangan kanannya. Sedangkan, sebuah kunci mobil telah menggantung di jari telunjuknya.“Hmm.” Aku melenguh malas. “Iya, deh!” Kemudian kuambil kunci tersebut dari tangan Risna. Kami menjejak keluar dari kost.Semenjak hari di mana aku telah resmi menjadi kekasih Risna, perempuan bermata cokelat tersebut telah berubah. Sepertinya Risna ingin memberikan perhatian padaku sepenuhnya. Ia ingin membuktikan sekaligus membuatku tidak lagi memikirkan Tasya. Hal ini memang bagus menurutku. Akan tetapi, aku masih tidak mampu untuk membuang segala kenanganku bersama dengan Tasya dulu.Meskipun aku lebih dulu mengenal Risna dari
“Sayang! Kamu, kok, ngelamun aja dari tadi? Dimakan dong baksonya.” Risna menarikku keluar dari fantasi kenangan beberapa tahun yang lalu.“I-iya.”Aku merasa hubunganku dengan Risna begitu aneh. Setelah lama kami menjalin hubungan pertemanan, kini kami diharuskan terbiasa untuk menjalani hari-hari yang dramatis dalam nuansa percintaan. Aku takut jika pada akhirnya asmara yang terjalin di antara kami berakhir tidak seperti yang diharapkan. Jika hal itu terjadi, apakah hubungan pertemanan kami akan dilanjutkan?Tentu saja perihal cinta yang tidak berjalan sesuai keinginan akan membuat kami tenggelam dalam kecanggungan. Maka, tidak ada yang bisa diubah lagi. Sudah terlambat sebab Risna telah merasakan apa yang pernah kurasakan dulu.Memiliki orang yang begitu cinta dan perhatian padaku memang adalah kebahagiaan terbesar dalam hidup ini. Namun, cinta itu kadang membingungkan. Bahkan meskipun diriku mengaku ahli dalam perihal romansa,
“Wooooo! Gue lulus!” Risna terpekik kegirangan ketika namanya tertera pada sebuah surat kabar kelulusan SMA. Ia meloncat-loncat kegirangan sembari memutar-mutar secarik kertas di tangannya.Perasaan berdebarnya terbayarkan sudah karena mengetahui dirinya lulus dari Sekolah Menengah Akhir. Begitu pun denganku yang sama girangnya, berekspresi hanya dengan mengangkat tangan kanan yang terkepal.Dengan hanya melihatnya bahagia saja, sudah mampu memahat sebuah senyum di wajahku. “Segitu senengnya, ya?”Risna menghentikan aktivitasnya. “Ya, iyalah! Setelah ini kita bakal masuk universitas! Elo gimana? Lulus, nggak?”“Luluslah. Kan, kita tiap hari belajar terus bareng-bareng.”“Asyik! Sini, gue corat-coret baju lo terus tanda tangan!”“Di mana? Di punggung aja kali, ya?”“Jangan! Di depan aja!” Risna kemudian mengeluarkan sebuah spidol di dalam tasnya. Ia men
“Wooooo! Gue lulus!” Risna terpekik kegirangan ketika namanya tertera pada sebuah surat kabar kelulusan SMA. Ia meloncat-loncat kegirangan sembari memutar-mutar secarik kertas di tangannya.Perasaan berdebarnya terbayarkan sudah karena mengetahui dirinya lulus dari Sekolah Menengah Akhir. Begitu pun denganku yang sama girangnya, berekspresi hanya dengan mengangkat tangan kanan yang terkepal.Dengan hanya melihatnya bahagia saja, sudah mampu memahat sebuah senyum di wajahku. “Segitu senengnya, ya?”Risna menghentikan aktivitasnya. “Ya, iyalah! Setelah ini kita bakal masuk universitas! Elo gimana? Lulus, nggak?”“Luluslah. Kan, kita tiap hari belajar terus bareng-bareng.”“Asyik! Sini, gue corat-coret baju lo terus tanda tangan!”“Di mana? Di punggung aja kali, ya?”“Jangan! Di depan aja!” Risna kemudian mengeluarkan sebuah spidol di dalam tasnya. Ia men
4 tahun lalu“Eh! Lo yang namanya Jaya?!” Seorang lelaki dari SMA sebelah bernama Ridho datang menghampiriku ketika jam sekolah telah berakhir. Sambil petantang-petenteng, Ridho tersenyum kecut dan memberikan tatapan seolah menantang.“Iya. Kenapa? Lo dari SMA sebelah yang mau balasin dendam anak-anak buah lo?” Aku yang tadinya berdiri di depan gerbang sekolah pun melangkah maju lebih dekat di hadapan Ridho. Aku sama sekali tak takut dengan gelagat yang lelaki ini tunjukkan.“Sialan lo! Berani-beraninya lo ngebantai temen-temen gua. Udah merasa kuat lo?!” Ridho menatap tajam padaku dengan wajah beringasnya.“Kenapa? Lo juga mau gue bantai habis-habisan di sini? Jangan mentang-mentang lo bawa temen sekompi kayak gini gue bakalan takut sama lo. Gue nggak akan mundur!” Aku balik menatap Ridho dengan beringas. Menyeringai.Di belakang Ridho, sudah ada sekompi pasukan yang siap bertempur m
“Jadi, kita mau ke mana hari ini, Na?”“Kita happy-happy aja. Terserah mau ke mana. Yang penting dengan kita jalan berdua, kamu bisa ngelupain tentang Tasya sebentar aja.”“Hmm. Ya, udah. Yuk!”“Eits! Kamu yang nyetir, Jay!” Risna mengulurkan tangan kanannya. Sedangkan, sebuah kunci mobil telah menggantung di jari telunjuknya.“Hmm.” Aku melenguh malas. “Iya, deh!” Kemudian kuambil kunci tersebut dari tangan Risna. Kami menjejak keluar dari kost.Semenjak hari di mana aku telah resmi menjadi kekasih Risna, perempuan bermata cokelat tersebut telah berubah. Sepertinya Risna ingin memberikan perhatian padaku sepenuhnya. Ia ingin membuktikan sekaligus membuatku tidak lagi memikirkan Tasya. Hal ini memang bagus menurutku. Akan tetapi, aku masih tidak mampu untuk membuang segala kenanganku bersama dengan Tasya dulu.Meskipun aku lebih dulu mengenal Risna dari
“Lo serius udah nyerah dapetin Tasya lagi?!”“Iya. Gue rasa udah saatnya gue berkorban demi sahabat gue. Keputusan gue udah bulat, Na. Gue bakalan cari cewek lain—““Eh, jangan!” Risna menyela dengan lugas. Ada sebuah kecemasan yang dapat kulihat dengan jelas terlihat di bola matanya. Aku tak mau menduga, tetapi akan kucoba untuk menyelidikinya.“Kenapa?”“Enggak. Hmm ... m-maksud gue ....” Risna tak melanjutkan kalimatnya. Ia juga menolak tatapan mataku.“Maksud lo?” Lantas, aku terheran dibuatnya. “Risna. Gue boleh tanya sesuatu sama lo?”“Boleh. Soal apa?” Risna kembali menatap ke arahku.“Tapi, lo jangan marah, ya? Gue enggak bermaksud, sih. Cuman ... ada sesuatu yang mesti gue pastiin sama elo.”“I-iya. Apa yang mau lo tanyain ke gue?” Risna sudah mulai tampak gugup. Aku yakin bahwa ia sudah menebak
“Tio! Lo mau ke mana? Pulang kampung?” tanyaku sebab melihat Tio menenteng sebuah koper.“Sori, Jay, gue mau pindah kost.”“Apa?! Kenapa mendadak begini?” Aku terhenyak, bertanya-tanya alasan apa yang membuat Tio ingin pindah kost.“Untuk saat ini gue nggak bisa jelasin alasan gue. Pokoknya gue mau pindah, lah.” Tio buru-buru menjejakkan langkah.“Eh, eh, eh! Tunggu, tunggu!” Kuhentikan langkah Tio. Ia enggan melihat wajahku.“Ada apa? Kalau gue ada salah, gue minta maaf. Kita bisa ngomong baik-baik, kan, Yo,” kataku menyarankan. Berusaha menghentikan keinginan Tio.“Enggak ada yang harus kita omongin, Jay. Ini bukan tentang lo dan gue.”“Lah, terus tentang apaan? Ayolah, kita udah dewasa, Yo. Gue tahu, kok, kalau sikap lo kayak begini, lo pasti lagi marah sama gue.”“Kalau lo emang sahabat gue, biarin gue lew
Dering smartphone di atas nakas membangunkanku dari tidur. Dengan mata terpejam, kugapai smartphone tanpa melihat siapa yang menelepon.“Halo?”“Halo, Jay. Ini gue Risna.” Terdengar suara Risna di ujung telepon.“Iya? Ada apa nelpon pagi-pagi begini? Ada yang penting, ya?”“Bisa ketemu?”“Iya, bisa. Mau ketemu di mana?”“Bisa ke rumah gue?”“Rumah lo? Nggak, ah! Malu gue sama bonyok lo.”“Please, Jay! Nggak ada siapa-siapa di rumah gue. Mobil gue lagi dipake nyokap. Makanya gue nggak bisa ngajakin lo ketemuan di luar. Mau, ya?”“Ya, udah, iya. Gue mandi dulu. Baru bangun gue, nih!”“Oke. Gue tungguin.”Setelah mematikan telepon, aku beranjak menuju kamar mandi untuk segera membasuh t
“Gue bilang juga apa! Elo, sih, jadi cowok cemen banget!” Risna bersandar pada punggung kursi.“Semua salah gue. Apa-apa gue. Terus gue harus gimana, gitu? Gue ngerasa dilema sama semua ini.”“Ya, emang, kan? Lo lelet bertindak. Lo orang yang suka ngeremehin masalah. Kan, jadi gini, nih, jadinya,” omel Risna, “terus lo bakalan gimana sekarang?”“Ya, udah. Gue nggak bakalan ngapa-ngapain. Kan, udah gue bilang sebelumnya. Kalau Tasya udah jadian sama Tio, itu artinya Tasya nggak bener-bener masih sayang sama gue,” cetusku, kemudian menyesap kopi hangat milikku.“Terserah lo aja, deh.” Risna melenguh panjang. “Jadi, rencana lo selanjutnya gimana?”“Gue nggak tahu, Na. Gue rasa diri gue udah hancur banget. Dan lagian, Tio kayaknya udah berubah gitu semenjak kenal sama Tasya. Dia udah jarang banget ngobrol sama gue. Nada bicaranya udah kayak bukan dia lagi. Gue nge