Share

2. Aku Tak Sudi

Penulis: Yenika Koesrini
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-18 12:07:23

MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA

 

"Bambang sudah berjanji hari ini akan melunasinya. Kalo tidak bisa maka ...." Si plontos menjeda ucapannya. Pria pendek buncit itu menatapku dari ujung kepala sampai kaki. "Bambang harus menyerahkan anak gadisnya yang sudah ia jadikan sebagai jaminan," tuturnya dengan seringai menyeramkan.

 

Aku sendiri membeku mendengar penuturan itu.

 

Si plontos mendekat. Pria itu menatapku lagi. "Bodi anakmu terlalu rata, Mbang. Untung mukanya lumayan manis," ujarnya menilai fisikku, "kalo bos gak mau, kamu mesti segera lunasin hutangmu! Kalo enggak ... siapkan nyawa cadanganmu!" lanjutnya menggertak. "Ayo cabut!" 

 

Ketika Si plontos mengibaskan tangan, kedua anak buahnya mengikuti. Sebelum pergi salah seorang dari mereka menendang pintu rumahku dengan teramat kencang. Membuat Bintang bergidik ngeri.

 

"Kamu gak papa, Bang?" tanya Ibu tampak khawatir.

 

Wanita itu langsung membantu Bapak untuk berdiri, lalu mendudukkannya di kursi. Cekatan tangan Ibu meraih tisu yang tersedia di meja. Penuh ketelatenan dirinya membersihkan darah di sekitar area mulut dan hidung Bapak.

 

"Gadis, ambilkan air hangat dan kain buat kompres bapak!" suruh Ibu dengan fokus pada luka Bapak.

 

"Ya, Bu," sahut adik perempuanku. 

 

Lajang enam belas tahun itu gegas menghambur ke dapur. Lima menit kemudian dia datang dengan baskom berisi air hangat di tangan. Hati-hati Gadis menaruhnya di meja.

 

"Kiran, tolong belikan Bapakmu obat merah dan plester," pinta Ibu padaku.

 

"Aku gak ada uang," jawabku acuh tak acuh.

 

Ibu menghela napas. "Nanti ibu ganti kalo sudah dapat upah." Janji Ibu meyakinkan. Wanita itu adalah buruh cuci gosok di beberapa rumah orang kaya. Upahnya dibayar setiap dua minggu sekali.

 

"Bu, kenapa Ibu masih mau merawat orang jahat ini?" tanyaku sambil menunjuk wajah Bapak dengan geram.

 

"Kiran, jaga sikapmu!" tegur Ibu tenang, "hormat sama dia. Dia masih bapakmu."

 

"Bapak macam apa yang tega menjadikan anaknya sebagai bahan taruhan judi, Bu?!" sergahku muntab. "Aku gak sudi menikahi dengan bos preman itu. Lebih baik aku pergi dari rumah ini saja," putusku serius.

 

Kaki ini bergerak cepat menuju kamar. Kuraih tas ransel yang tergantung di dinding, lantas membuka lemari kayu pintu satu ini. Kuambil beberapa baju dan seragam kerja. Tidak lupa dompet dan HP pun kumasukkan juga. Setelah itu bergegas keluar.

 

"Kiran, kamu kemana?" tegur Ibu menghentikan langkahku.

 

"Aku mau pergi, Bu. Aku gak mau dijadikan tumbal Bapak untuk menikahi bos preman itu," jawabku tegas.

 

"Jangan pergi, Nak!" larang Ibu terdengar memohon. Wanita bangkit untuk mendekat. "Kamu mau pergi ke mana?"

 

"Ke mana saja yang terpenting bisa bebas dari dia," balasku sambil mengerling tajam pada Bapak.

 

"Kiran, ada banyak jalan keluar jadi jangan--"

 

"Apa, Bu?" selaku cepat, "uang delapan puluh juta itu banyak. Mau cari di mana, Bu? Mau jual rumah petak ini?"

 

"Kiran--"

 

"Aku harus pergi, Bu." Aku kembali bertekad. Kulepas pegangan Ibu. Setelah itu menderap pergi.

 

"Mbak Kiran jangan pergi!" Bintang adik bungsuku memelukku dari belakang. "Aku sayang Mbak Kiran," ucapnya sedih.

 

Aku melepaskan pelukan, lalu membalikkan tubuh. Sedikit membungkuk untuk mensejajarkan tinggi badan. "Mbak harus pergi. Jaga diri baik-baik ya, Bin," ucapku sambil mengacak pucuk rambut bocah sembilan tahun itu.

 

"Jangan pergi, Mbak Kiran ...." Bintang merengek. Bocah itu kembali mendekap perutku. Dia memang dekat denganku. Apalagi semenjak aku sudah bekerja, Bintang teramat manja karena hampir semua kebutuhannya tercukupi oleh gajiku.

 

Mengabaikan nelangsa kembali kuurai dekapan Bintang. Tanpa bicara aku berbalik arah, kemudian melangkah lebar-lebar.

 

"Mbak Kiraaan!" 

 

Tidak hanya Bintang yang memanggil, Gadis pun ikut menyeru namaku. Namun, tekadku sudah bulat. Tidak sudi jika aku harus menikah dengan seorang berandal. Anak buahnya saja seram-seram begitu. Apalagi Bosnya?

 

Hiii!

 

Aku bergidik ngeri.

 

Langkahku sudah tiba di jalan raya. Ketika ada angkot lewat, tanganku menyetop. Saat masuk tampak ada seorang pria tua duduk berdampingan dengan seorang lelaki muda. Sepertinya mereka anak dan ayah.

 

Pemuda itu terlihat begitu menyayangi ayahnya yang tampak sakit. Tangannya terampil memijit pelipis sang bapak. Melihat itu hatiku menjadi gerimis.

 

Terakhir kali aku memijit Bapak sekitar sepuluh tahun lalu. Sebelum Bapak mengenal judi dan mabuk. Aku merindukan masa-masa itu. Karena setelah Bapak berubah kasar rasa hormat dan sayangku berganti benci.

 

Angkot menurunkan aku di perempatan jalan. Setelah membayar kaki ini mengayun menuju sebuah rumah kontrakan. Seratus meter kemudian sampailah aku di depan pintu kontrakan petak ini.

 

"Kok bawa ransel?" tegur Mita. Pemilik rumah sekaligus rekan kerjaku di pabrik.

 

"Aku mau tinggal di sini," jawabku sambil memasuki ruangan delapan kali delapan ini. Kujatuhkan tas pada kursi busa yang sudah tipis ini.

 

"Aku gak salah dengar kan?" tanya Mita memastikan.

 

"Gak."

 

"Ada masalah?" 

 

Aku terdiam beberapa saat. Tanpa bisa dicegah air mata ini menetes.

 

"Bapakku menjadikan aku taruhan judinya, Mit."

 

"Astaghfirullah hal adzim!" Mita menutup mulut.

 

"Aku pergi dari rumah karena gak mau dijadikan jaminan hutang bapak, Mit," tuturku dengan air mata berlinang. "Aku takut dijadikan budak oleh preman itu." Tangisku pecah.

 

Mita langsung memelukku. "Kamu tahu ... aku tuh iri melihat kalian yang masih punya orang tua lengkap. Dari kecil aku sama sekali tidak tahu rupa ayah ibuku."

 

"Lebih baik jadi anak yatim daripada punya ayah gi la macam bapakku," sahutku mengurai pelukan.

 

Mita tersenyum simpul. Gadis itu urung berbicara lagi. Dirinya memilih membiarkan aku meredakan tangis.

 

***

 

Dua hari berlalu. Aku tetap bekerja seperti biasa di pabrik. Namun, nomor ponsel sengaja kuganti. Itu kulakukan agar tidak ada yang bisa menghubungi.

 

Namun, pada di hari ketiga aku pergi dari rumah, Gadis datang menemui. Pemudi itu memanggil ketika aku dan Mita baru keluar dari pintu gerbang.

 

"Mbak Kiran, bapak masuk rumah sakit. Tadi siang preman-preman itu datang ke rumah buat nagih utang," lapor Gadis dengan cemas.

 

"Mbak gak peduli, Dis. Biar saja bapak mati sekalian dipukuli mereka," balasku cuek.

 

"Astaghfirullah hal adzim! Gak boleh ngomong seperti itu, Ran!" Mita menasihati.

 

"Aku mohon Mbak Kiran pulang." Gadis memohon manik yang mulai merebak, "kalo Bapak gak bisa bayar utang, mereka akan mengambilku secara paksa. Apa Mbak Kiran tega melihat itu?"

 

Jleb!

 

Hatiku bagai tertohok palu.

Bab terkait

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   3. Nasihat-nasihat

    "Aku mohon Mbak Kiran pulang." Gadis memohon manik yang mulai merebak, "kalo Bapak gak bisa bayar utang, mereka akan mengambilku secara paksa. Apa Mbak Kiran tega melihat itu?"Jleb!Hatiku bagai tertohok palu. Tentu saja aku tidak tega membiarkan mereka mengambil Gadis. Tapi, aku sendiri juga tidak mau dijadikan budak. Bagaimana ini?"Mbak ...." Gadis mengguncang pelan pundakku.Aku tergagap. Kutarik napas perlahan. "Gak ada jalan lain lagi. Sebaiknya kamu ikut aku aja pergi dari rumah," putusku serius."Apaaah?!" Gadis tersentak kaget, "aku gak salah dengar kan?""Gak ... emang gak ada cara lain lagi." Aku menggeleng lemah. "Duit delapan puluh juta itu gak sedikit. Kita mau cari di mana uang sebanyak itu dalam waktu dekat ini?""Aku gak nyangka Mbak Kiran punya pikiran sedangkal

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-18
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   4. Pertemuan Pertama

    Pria bermata elang itu menatapku dingin. Ada belahan pada dagunya yang lumayan runcing. Warna kulitnya yang tan menambah kesan seksi. Ahhh ... kenapa aku melantur begini?Tidak seperti yang lain, penampilan lelaki yang dipanggil bos besar itu terlihat lebih rapi. Kemeja putih yang melekat pas di badan, ia gulung hingga ke siku. Rambutnya pun ia pangkas dengan rapi."Maju!" Dia menyuruh dengan menggerakkan telunjuknya. Manik cokelatnya masih menatapku dingin.Dengan keberanian yang dipaksakan aku pun mengikuti perintahnya. Maju tiga langkah. Berdiri di depan si plontos."Kamu anaknya Bambang?" tanya dia sembari membuka bungkus sigaret. Menaruhnya di bibir dan mulai menyalakan korek."Eum ... iya." Aku mengangguk pelan."Tahu bapakmu punya hutang banyak pa

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-18
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   5. Permintaan Bapak

    "Memangnya berapa orang itu memberimu uang, Ran?" tanya Ibu terlihat penasaran.Sebab total biaya rumah sakit Bapak itu saja sudah sangat mahal. Mungkin Ibu berpikir bagaimana bisa aku masih memegang uang."Delapan puluh juta, Bu," jawabku jujur."Delapan puluh juta?" Ibu tampak terperanjat. Itu wajar. Karena seumur hidup baru pertama kali bagi kami melihat uang sebanyak itu."Sebenarnya orang itu tidak memberikan, tapi ... aku yang minta pinjaman padanya," tuturku berterus terang.Ibu tampak tertegun lagi. "Lalu ... bagaimana kamu akan melunasinya, Ran? Kita sendiri tidak punya tabungan."Aku tersenyum getir. "Bukankah aku sudah jadikan jaminan oleh Bapak dalam taruhannya?"Ibu bergeming mendengarkan."Sisa uang ini akan aku berikan untuk I

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-18
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   6. Pemuda Baik Itu Bernama Iqbal

    "Saya tahu kamu pria yang baik, Rain," ucap Bapak terdengar bergetar.Tidak disangka tiba-tiba dia mendekati kursi Rain. Aku cukup terpana saat menyaksikan Bapak bersimpuh di kaki lelaki itu."Tolong jangan sentuh dia sebelum, kamu resmi menikahinya," mohonnya seraya menunjuk aku.Aku cukup tercengang mendengar permintaan Bapak. Rain pun menunjukkan ekspresi wajah yang sama denganku. Tanpa diduga mata kami saling bertemu pandang. Tatapannya yang tajam dan dingin membuat aku menunduk pada detik kelima. Rasanya aku tak sanggup menatap lebih lama mata elang itu.Rain tampak melepas belitan tangan Bapak. Pria itu membimbing Bapak agar bangkit dan tidak lagi bersimpuh padanya. Lelaki yang hari ini terlihat macho dengan jaket jeans belel itu justru memutari meja, lalu berdiri tepat di hadapan

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-08
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   7. Keterangan Dari Iqbal

    Rain hanya menatapku sejenak. Lelaki itu membuka pintu mobil. Tidak lama kendaraan roda empat itu pun melaju."Kiran, ayo kita berangkat!"Panggilan dari Iqbal membuatku tersadar. Pemuda itu sudah duduk di atas motor besar berwarna hitam. Wajahnya cukup tampan dengan kacamata hitam. Penampilannya kian keren dengan sebuah tas kecil di pinggangnya.Perlahan aku menuruni undakan teras, ketika Iqbal menunjukkan helm. Ketika mendekat, dia langsung memasangkan alat pengaman tersebut pada kepalaku."Biar aku aja!" tolakku saat tangan Iqbal memasang pengait helm.

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-08
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   8. Gadis Di Sarang Preman

    "Kita ke dapur lagi yuk, Ran!"Aku mengangguk menyetujui ajakan Iqbal. Kami akan membuat makanan."Makanan kesukaanmu apa?" tanya Iqbal mulai mengeluarkan sayuran dari kulkas.Aku berpikir sejenak. "Semua makanan aku suka. Kami tidak punya kesempatan untuk memilih. Apa yang ada ya dilahap saja," jawabku jujur disertai seringai malu. Tapi, memang seperti itu kenyataannya.Iqbal tersenyum tipis mendengarnya. "Tapi setidaknya ada kan makanan yang paling kamu suka?""Eum ... apa ya?" Mataku menerawang, "aku suka ayam

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-08
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   9. Dokter Dadakan

    Tinggal di kamar sendirian pada tempat baru sungguh tidak menyenangkan. Aku bingung harus melakukan apa. Di kamar ini tidak ada televisi, buku bacaan, atau majalah. Sementara jika memutuskan untuk tidur, ini masih terlampau sore.Baru pukul delapan malam. Satu setengah jam dari kepergian Rain dan anak buahnya. Belum ada tanda-tanda mereka akan kembali.Aku gelisah sendiri di sini. Dari kata-kata yang terlontar tadi sore, sepertinya Rain dan anak buahnya akan memerangi pengacau yang juga penganiaya Bang Tigor.Hatiku masih bimbang untuk melakukan apa. Tiba-tiba mata ini tertuju pada sebuah buku tebal di nakas kamar ini. Ketika kutengok, ternyata sebuah kitab suci umat Islam.Pada halaman pertama tertulis nama almarhumah Bik Yati. Pasti ini punya beliau. Akhirnya, hati ini sedikit tercerahkan. Untuk membunuh waktu, aku akan mengaji saja.Walau pun bukan seorang penghap

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-09
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   10. Gadis Dalam Foto

    "A-a-antarkan aku ke-ke kamar!" pinta Rain tersengal. "Cepaaat!" sentaknya terdengar kasar."I-iya." Akumengangguk cepat.Kusampirkan tangan kirinya ke pundak. Perlahan kami mulai menapaki tangga kayu. Napas Rain terdengar memburu. Jarak yang begitu cepat membuatku dapat merasakan hembusannya.Tidak lama kami tiba di lantai dua ini. Tempatnya lumayan rapi dan bersih dibanding lantai bawah. Ada dua buah kamar berseberangan di sini. Sementara di tengah-tengahnya terdapat satu set sofa minimalis."Itu kamarku," tunjuk Rain dengan suara lirih. Sebuah kamar yang terletak di sebelah kanan. Kubimbing Rain ke kamar tersebut. "Ambil anak kunci di ... saku." Suara Rain terdengar kian lirih.Tidak mau mendapat bentakan lagi, lekas kupenuhi perintah Rain. Kurogoh pelan saku celana jeans pria berhidung lancip ini."Saku belakang!" tegur Rain ketika aku

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-09

Bab terbaru

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   68. Kirei

    Rain dan Kirani sendiri langsung menuju kamar. Sementara Iqbal memilih bergabung dengan teman-temannya di gazebo belakang rumah. Anak-anak sedang main gitar dan bakar-bakar."Aduuuh!" Kirani mengaduh saat memasuki kamar."Nendang lagi?" tanya Rain melihat istrinya mengernyit menahan nyeri. Pria itu membimbing Kirani duduk di tepi ranjang."Kayaknya gak nendang lagi, tapi lagi koprol deh," balas Kirani menyandarkan tubuhnya pada headbed.Rain tersenyum mendengar jawaban lucu sang istri. Mata menangkap ada pergerakan pada perut buncit istrinya. Tangannya tergerak untuk mengelus.Tidak puas mengelus, Rain ingin mengecup permukaan perut Kirani. Dirinya ingin mengajak calon bayinya berbincang. Namun, saat ia membuka baju atas, tangan istrinya mencegah."Kenapa?" tanya Rain bingung.Kirani menggeleng lemah. "Malu."

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   67. Pertemuan Keluarga

    Lima bulan kemudian.Rain dan Nathan baru saja pulang dari kantor. Semenjak melamar Shila di rumah sakit dulu, Nathan memutuskan untuk tinggal di markas. Karena rasanya tidak etis jika harus seatap bersama Shila padahal keduanya belum sah. Walau pun ada si Bibik di antara mereka.Nathan dan Shila tidak segera melangsungkan pernikahan karena banyak banget agenda yang menunggu di depan mata. Di antaranya adalah menghadiri sidang kasusnya Ingga dan Tama. Baik Rain, Nathan, Shila, Kirani, dan Iqbal datang untuk memberikan kesaksian tentang kelakuan busuk sejoli itu.Setelah melewati beberapa kali sidang, akhirnya hakim memutuskan jika Tama dan Ingga dijatuhi vonis dua puluh tahun penjara. Keduanya divonis bersalah telah melakukan percobaan pembunuhan.Selain kasus, ada agenda lain yang membuat Nathan dan Shila menunda hari bahagia mereka yakni tentangpenyerahan aset. Shila sudah ditemukan. Rain dengan kesadaran diri menyerahkan hak milik gad

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   66. Kebahagiaan

    Shila tidak menjawab. Dia hanya menghambur pada dada yang terlapis baju khusus rumah sakit berwarna hijau tersebut. Gadis itu menyembunyikan wajahnya pada dada Nathan."Lho-lho ... kok udah main peluk-pelukan begini?"Tiba-tiba Rain datang sembarim merangkul pundak Kirani. Sementara tangan sang wanita memegang kue tart dengan beberapa lilin kecil. Lalu ada Ayon, Iqbal, Gadis, dan Ibu Sakina di belakang mereka. Melihat ada banyak orang yang masuk tentu saja Shila melerai pelukannya."Lho ... siapa yang ulang tahun, Ran?" tanya Shila bingung melihat kue yang dibawa istri sahabatnya itu."Kamu, Mit, eum maksud aku Shila." Kiran menjawab usai mendekati sahabatnya.Shila menyipit. Gadis itu tampak berpikir sejenak. Dia tengah mencoba mengingat sesuatu.Peristiwa terbenturnya kepala akibat pendorongan yang dilakukan Tama tempo hari membuat ingatan Shila sedikit demi sedikit kembali. Gadis itu memejam. Tiba-tiba kenangan akan sweet seve

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   65. Jawaban Untuk Nathan

    "Eum ... kata dokter bayi kita ....""Apa?" potong Kirani tidak sabaran. Rain terdiam. Pria itu mendongak, lantas menarik napas perlahan. "Kak, jawab! Jangan buat aku mati penasaran!" Kirani mengguncang lengan suaminya. Ketakutan membuatnya super panik."Tenang, Kiran," pinta Rain pelan. Tangannya mengusap lembut rambut sang istri."Gimana aku bisa tenang kalo kamu lama ngejawabnya?" sergah Kirani kasar. Hal yang belum pernah ia lakukan selama hidup dengan Rain. "Aku inget banget, tadi siang perutku sakitnya kayak ditusuk-tusuk pisau. Aku ... aku takut dia gak selamat." Tangis Kirani pecah.Rain memeluk istrinya. "Husst ... gak ngomong yang buruk-buruk! Gak baik itu." Dia menasihati sang istri."Tapi, aku takut, Kak." Kirani merengek.Rain mengusap air mata yang membasahi pipi istrinya. "Gak ada yang perlu ditakutkan, kamu hanya butuh bedrest total saja," terangnya kalem.Kirani menatap suaminya dengan serius. "Maksudnya bedrest aja b

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   64. Nasib Kirani

    Dia merasa ada banyak tangan yang meremas perutnya. Ketika rasa sakit itu kian menggigit, maka wanita itu akan mencengkeram kuat lengan Rain."Sabar, Sayang. Demi anak kita," ujar Rain lembut. "Tolong tambah kecepatan, Bal!" titah Rain panik."Iya, Bang. Ini juga ngebut kok," balas Iqbal di depan.Rain terus saja menyuruh Iqbal untuk menambah laju mobilnya. Apalagi saat dia merasa cengkeraman kuat dari sang istri. Hatinya benar-benar dilanda takut.Rain bahkan mengumpat kesal saat lampu merah menyala. Dia tidak tega mendengar suara kesakitan sang istri. Andai bisa diwakilkan, Rain memilih dia saja yang merasakan sakit itu.Akhirnya setelah melewati jalanan macet dan beberapa lampu merah, Iqbal telah berhasil mencapai parkiran rumah sakit. Pemuda itu membantu membukakan pintu mobil.Rain keluar dengan hati-hati. Dirinya membopong tubuh sang istri

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   63. Perjalanan Ke Rumah Sakit

    Shila terus saja tersedu menangisi kondisi Nathan yang tidak sadarkan diri. Wanita itu takut jika Nathan tidak bangun lagi untuk selamanya. Kepedulian dan perhatian Nathan selama beberapa hari terakhir begitu membekas di hatinya. Sementara hari ini dengan mata kepalanya sendiri, Shila melihat kesungguhan dalam diri Nathan.Nathan begitu tulus menjaganya agar tidak lecet sedikit pun. Bahkan pemuda itu rela berkorban nyawa demi dirinya. Melihat itu mata hati Shila terbuka lebar.Sekarang gadis itu tidak meragukan lagi keseriusan ucapan Nathan. Dalam hati Shila bertekad jika nanti Nathan sembuh dia akan lekas menjawab ungkapan hati pemuda itu tempo hari.Tidak jauh dari Shila dan Nathan berdiri Kirani. Dia dan sang suami tengah menunggu kedatangan ambulans untuk mengangkut Nathan ke rumah sakit. Tadinya Rain akan membawanya pulang saat komplotan Tama berhasil dibekuk oleh Komandan Bumi dan pasukannya. Namun, Kirani menolak dengan dalih ingin menemani Sh

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   62. Takluknya Gembong Mafia

    Tama memuntahkan isi pistolnya. Nathan sempat menghindar dengan melengoskan tubuh. Namun, timah panas tersebut tetap mengenai lengan atasnya."Nathaaan!" Shila dan Kirani menjerit bersamaan melihat bisep pemuda itu sudah berlumuran darah. Shila langsung memdekap Nathan.*Satu jam sebelum kejadian di apartemen Tama.Di rumah sakit, Ijong tengah menjenguk Iqbal. Keduanya tengah asyik berbincang. Sementara di brankar sebelahnya Gadis asyik bermain game di gadget untuk menghilangkan jenuh.Dalam hati, Gadis merutuk kedatangan Ijong. Karena moment mengobrolnya dengan Iqbal jadi tertunda. Apalagi kedua lelaki itu berbicara topik yang tidak dipahami oleh Gadis. Pokok tentang dunia bisnis dan mafia.Ketika tengah asyik berbincang, ponsel Ijong bergetar. Pemuda setengah gondrong itu melihat siapa yang menghubungi. Ternyata Ayon."Ada apa, Yon?" tany

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   61. Nathan Tameng Shila

    Tama bergegas menarik Shila kembali begitu mendengar peringatan dari polisi. Dia menjadikan Shila sebagai tawanan. Pistol di tangannya ia arahkan pada kepala Shila.Tentu saja gadis itu ketakutan. Tubuh Shila sampai bergetar saking ngerinya. Bibirnya merintih takut.Didan pun memperlakukan Kirani sama seperti bosnya. Wanita itu ia sekap. Moncong senjatanya ia arahkan pada pelipis istri dari Rain.Berbeda dengan Shila yang gemetar ketakutan, Kirani terlihat sedikit tenang. Bukan karena dia berani. Namun, keadaan ini sudah pernah ia alami sebelumnya. Dia memilih diam sembari memikirkan jalan keluar."Sekali kami peringatkan untuk membuka pintu apartemen ini atau kami buka paksa!" Suara Kapten Bumi terdengar lebih keras doorbell interkom.Tama mendekat pintu. Lewat layar LCD tujuh inchi dia bisa melihat keadaan di luar. Ada Komandan Bumi berserta anak buahnya dan

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   60. Bertarung Melawan Tama

    Tangannya bergerak cepat menarik pistol dari dalam persembunyian. Gegas ia todongkan senjata tersebut pada Rain.Kirani yang ngeri memekik keras. Dia masih trauma dengan insiden beberapa bulan lalu yang merenggut nyawa bapaknya."Tetap tenang dan terus berada di belakang aku," ujar Rain memenangkan hati sang istri. Dia menggenggam kuat tangan Kirani."Tama, buka pintunyaaa!" Sementara di atas Shila terus berteriak dan menggedor pintu. "Taaam!"Teriakan keras dari Shila sedikit mengalihkan perhatian Tama. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Rain. Ketika Tama tengah mendongak, tangannya langsung menampik senjata yang tengah dipegang oleh Tama.Senjata api itu terjatuh ke lantai. Tama terkesiap. Lagi-lagi Rain tidak melewatkan kesempatan. Kakinya bergerak cepat menendang perut Tama hingga lelaki itu terjatuh.Rain dengan sigap meraih pistol Tama dengan kakinya. Setelah dapat dia mengarahkan senjata tersebut pada Tama."Kiran, kamu kel

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status