Share

3. Nasihat-nasihat

last update Last Updated: 2022-01-18 12:08:24

"Aku mohon Mbak Kiran pulang." Gadis memohon manik yang mulai merebak, "kalo Bapak gak bisa bayar utang, mereka akan mengambilku secara paksa. Apa Mbak Kiran tega melihat itu?"

 

Jleb!

 

Hatiku bagai tertohok palu. Tentu saja aku tidak tega membiarkan mereka mengambil Gadis. Tapi, aku sendiri juga tidak mau dijadikan budak. Bagaimana ini?

 

"Mbak ...." Gadis mengguncang pelan pundakku.

 

Aku tergagap. Kutarik napas perlahan. "Gak ada jalan lain lagi. Sebaiknya kamu ikut aku aja pergi dari rumah," putusku serius.

 

"Apaaah?!" Gadis tersentak kaget, "aku gak salah dengar kan?"

 

"Gak ... emang gak ada cara lain lagi." Aku menggeleng lemah. "Duit delapan puluh juta itu gak sedikit. Kita mau cari di mana uang sebanyak itu dalam waktu dekat ini?"

 

"Aku gak nyangka Mbak Kiran punya pikiran sedangkal ini," kecam Gadis pelan, tetapi cukup dalam.

 

"Maksud kamu apa?" Aku mengernyit bingung.

 

"Mbak pikir dengan kita kabur berdua semua masalah akan selesai? Enggak, Mbak!" Gadis menggeleng tegas. "Kita mungkin bisa terbebas dari tuntutan itu, tapi bagaimana dengan nasib ibu dan bapak. Nasib Bintang juga?" cecar Gadis menggebu. Lajang yang terbiasa kalem itu kini berbicara keras.

 

"Terus sekarang kamu mau apa?" Aku ikut terpancing emosi mendapat sergahan dari Bintang. Membuat beberapa karyawan lain yang lewat menoleh ke arah kami.

 

"Sebaiknya kita bicara di rumah. Gak enak di sini didengar banyak orang." Mita dengan halus memberi saran.

 

Aku dan Gadis setuju. Kami lantas mengikuti langkah Kita yang terlebih dulu berjalan. Rumah kontrakan Mita hanya berjarak sekitar dua ratus meter. Delapan menit berjalan kami tiba pada rumah petak ini.

 

Ketika aku dan Gadis sudah menghempaskan tubuh di kursi, Mita berlalu ke dapur. Tidak lama dia kembali dengan dua mug berisi es teh manis. Minuman yang pas untuk cuaca yang lumayan gerah ini.

 

"Silahkan diminum," ujar Mita tulus.

 

"Terima kasih," balas Gadis kalem, sedangkan aku memilih diam. Namun, kami bersamaan meneguk air manis itu.

 

"Mbak, pulanglah! Kasihan bapak dijadikan bulan-bulanan mereka," bujuk Gadis usai menaruh cangkir besar itu ke meja. "Bagaimana pun juga dia bapak kita. Biar pun Mbak Kiran membenci bapak, seenggaknya pikirkan nasib kami."

 

"Kirani, bukannya aku mau mencampuri urusan kalian. Hanya saja jika aku jadi kamu, maka aku akan mengikuti saran Gadis yaitu pulang ke rumah," tutur Mita terdengar tenang.

 

Aku menggeleng getir. "Kamu gampang ngomong seperti itu karena gak akan ngerasain, Mit," tuturku sedih. "Melihat preman di jalan saja aku takut, apa lagi jika harus tinggal bersama. Membayangkannya saja aku sudah tidak mampu."

 

"Jadi Mbak Kirani lebih menginginkan aku yang menghadapi itu?" Gadis kembali menukas, "andai aku sudah dewasa, Mbak. Gak akan sampai dua kali berpikir, aku pasti langsung menerima keputusan ini."

 

"Gadis--"

 

"Ibu sudah cukup susah dengan mengandung, melahirkan, dan merawat kita. Sekarang waktunya kita membalas jasanya, Mbak. Mumpung Ibu masih hidup," cerocos Gadis kembali menyentil dadaku.

 

"Kiran ...." Mita meraih jemariku. Dia menguatkan dengan genggaman, "ingat, ada Allah yang bisa kamu mintai pertolongan."

 

Aku terdiam. Ini benar-benar keputusan yang sulit. Namun, aku juga tidak mungkin tega membiarkan Gadis yang menanggungnya.

 

"Semoga dengan kejadian ini, bapak akan tobat nantinya, Mbak." Gadis menambahkan.

 

Aku masih tidak menyahut. Hari ini benar-benar kalut. Namun, jika mengingat Ibu dan Bintang, aku hanya manut.

 

Akhirnya, kuanggukkan pelan kepala ini. Tanda jika aku mau diajak pulang.  Gadis meringis senang melihatnya, sedangkan Mita hanya tersenyum tipis.

 

"Biar aku yang bereskan bajumu, Mbak," tawar Gadis bangkit berdiri.

 

Ditemani Mita, Gadis menuju satu-satunya kamar tidur di rumah ini. Tidak sampai sepuluh menit, dia sudah kembali dengan menggendong ranselku.

 

"Ayok, Mbak!" Gadis menarik lenganku untuk bangkit.

 

"Apa pun yang terjadi, Allah lah tempatmu meminta." Mita memberi wejangan, "dan pintu rumahku selalu terbuka untukmu." Gadis itu merengkuhku tubuhku erat. "Aku yakin kamu gadis yang kuat," ujarnya usai memisahkan diri.

 

Aku menipiskan bibir. "Makasih ya tumpangannya beberapa hari ini."

 

"Sama-sama," balas Mita kalem.

 

Usai berpamitan aku dan Gadis meninggalkan rumah. Mita mengantar kami sampai jalan besar. Tepat kami sampai, ada sebuah angkot yang melintas

 

Aku dan Gadis gegas masuk setelah cipika-cipiki dengan Mita sebentar. Di dalam angkot aku dan Gadis duduk berdampingan. Kami sama-sama membisu.

 

Hingga turun dari angkot, kami masih setia menutup mulut. Sampai di depan pintu, kami mendapati rumah dalam keadaan sepi. Ketika kami akan mengetuk pintu, seseorang sudah terlebih dulu membukanya dari dalam.

 

"Mbak Kiran." Bintang langsung menghambur. Bocah itu mendekapku erat. "Bapak, Mbak. Bapak muntah darah," adunya dengan raut ketakutan.

 

"Sekarang mereka ada di mana?" cecar Gadis ikut gusar.

 

"Bapak dibawa ke rumah sakit sama Ibu dan aku disuruh jaga rumah. Aku takut sendirian kalo malam, Mbak," rengek Bintang menarik ujung bajuku.

 

Aku menarik napas perlahan. "Dis, kamu dan Bintang jaga rumah sebentar. Aku mau lihat keadaan bapak di rumah sakit."

 

"Ya, Mbak." Gadis mengangguk setuju.

 

Kakiku melangkah kembali menuju jalan. Di pangkalan, aku menaiki salah satu ojek. Kusuruh tukang ojek ini untuk sedikit mengebut.

 

Jarak sekitar satu kilometer membuat kami cepat tiba ditujuan. Usai membayar, aku menderap langkah menuju lobi. Pada petugas yang berjaga kutanyakan kamar Bapak.

 

Sebagai orang yang tidak punya uang berlebih tentu Ibu memasukkan Bapak di kamar kelas tiga. Ketika masuk, ada banyak pasien dalam kamar. Ranjang Bapak berada di paling ujung.

 

Pria itu sedang tertidur ketika aku mendekat. Selang infus dan masker oksigen menghiasi lengan dan wajahnya. Ibu tertegun melihat kedatanganku.

 

"Bapakmu kena liver yang cukup parah, Ran," lapor Ibu dengan wajah nelangsa. Aku sendiri tidak terlalu kaget. Pasalnya Bapak termasuk pemabuk berat. "Kalo tidak segera ditangani, ibu takut bapakmu gak tertolong." Air mata Ibu lolos ke pipi.

 

Dadaku terasa sesak. Seumur-umur baru kulihat Ibu menangis. Walau pun sering disakiti Bapak, wanita itu jarang meneteskan air mata.

 

"Andai ibu punya banyak uang mungkin--"

 

"Aku bersedia dijadikan jaminan utang bapak, Bu," selaku yakin.

 

Ibu menatapku serius. "Kamu ...."

 

"Dan jika bos preman itu banyak uang, maka aku akan meminjam uang padanya untuk pengobatan bapak."

 

Ibu tidak bicara. Wanita itu hanya langsung merengkuhku ke dalam dekapannya. 

 

"Kamu ajak anak yang berbakti. Kamu anak yang sholeha. Insya Allah hidupmu akan beruntung, Nak," bisik Ibu terus mendekapku erat.

 

Aku membisu. Hanya air mata yang menitik ke pipi.

 

***

 

Esok harinya aku pergi ke tempat Bapak biasanya main judi. Sebuah tempat hiburan. Tentu saja ketika siang begini tempat tersebut belum beroperasi. Namun, saat kutanyakan keberadaan si plontos, penjaga tersebut memberi tahu.

 

Ternyata jika siang hari begini para preman itu sedang menjalankan tugasnya di pasar. Setelah memutari pasar, akhirnya kutemui anak buah si plontos. Pada pria gondrong itu kuutarakan niat.

 

"Ya sudah ... Ayuk ikut dengan kami!" ajak pria gondrong yang dulu menghajar Bapak itu.

 

Dia dengan rekannya baru saja bertugas menarik uang keamanan pada para pedagang di pasar ini. Dengan perasaan was-was aku mengikuti langkah kedua lelaki bertubuh besar itu. Mereka membawa motor. Mengabaikan rasa takut aku membonceng salah satu dari mereka.

 

Pria berambut keriting itu membawaku ke sebuah rumah. Lumayan jauh dari pasar dan agak terpisah dari rumah warga. Hunian tersebut tertutup.

 

"Ayo masuk!" ajak si gondrong padaku.

 

Begitu pintu gerbang dibuka tampak duduk beberapa pria bertubuh besar di teras rumah. Melihat badan dan penampilan mereka, hatiku dihinggapi perasaan takut.

 

"Ayok!" Si keriting kini yang mengajak.

 

Kucengkeram paha ini agar tidak gemetar. Setelah mengucap bismillah, aku memasuki rumah berlantai dua itu. 

 

"Siapa, Jong?" tanya salah satu preman yang sedang main biliar di teras.

 

"Manis nih. Buat gue aje ye?" timpal yang lain meledek. Matanya mengedip sebelah padaku. Membuat aku harus membuang muka.

 

"Anaknya Bambang yang dijadikan taruhan kemarin nih." Si gondrong memberi tahu.

 

"Ohhh ... punya si bos dong."

 

"Yoi."

 

Dari dalam muncul si plontos. Pria itu kembali menatapku seksama. "Ayok ikut denganku!" ajaknya kemudian.

 

Aku mengangguk. Kuikuti langkah si plontos. Hatiku kian berdetak tidak karuan. Rumah ini tidak kotor, tapi hawanya sangat tidak mengenakan.

 

Si plontos terus melangkah hingga berhenti di sebuah ruangan. Lelaki yang tingginya hampir sama denganku itu mengetuk pintu.

 

"Masuk!"

 

Suara dingin itu membuat hatiku mengkerut. Namun, ketika si plontos menyuruh masuk, aku pun memberanikan diri untuk mengikuti.

 

"Bos, anaknya Bambang datang nih." Si plontos melapor.

 

Sosok di balik kursi bersandaran tinggi itu membalikkan diri. Aku terpana. Seorang lelaki berusia di bawah tiga puluh tahun menatapku dingin. 

 

Dia tidak gendut seperti si plontos. Dirinya juga tidak jelek seperti si gondrong. Parasnya cukup ... menawan.

 

Jan lupa subscribe ya untuk update part terbaru 🙏

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Anikpurwati
biasanya seorang ibu memikirkan anaknya, tapi ini malah mengorbankan anaknya, ibu macam apa ini, sama aja kayak suaminya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   4. Pertemuan Pertama

    Pria bermata elang itu menatapku dingin. Ada belahan pada dagunya yang lumayan runcing. Warna kulitnya yang tan menambah kesan seksi. Ahhh ... kenapa aku melantur begini?Tidak seperti yang lain, penampilan lelaki yang dipanggil bos besar itu terlihat lebih rapi. Kemeja putih yang melekat pas di badan, ia gulung hingga ke siku. Rambutnya pun ia pangkas dengan rapi."Maju!" Dia menyuruh dengan menggerakkan telunjuknya. Manik cokelatnya masih menatapku dingin.Dengan keberanian yang dipaksakan aku pun mengikuti perintahnya. Maju tiga langkah. Berdiri di depan si plontos."Kamu anaknya Bambang?" tanya dia sembari membuka bungkus sigaret. Menaruhnya di bibir dan mulai menyalakan korek."Eum ... iya." Aku mengangguk pelan."Tahu bapakmu punya hutang banyak pa

    Last Updated : 2022-01-18
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   5. Permintaan Bapak

    "Memangnya berapa orang itu memberimu uang, Ran?" tanya Ibu terlihat penasaran.Sebab total biaya rumah sakit Bapak itu saja sudah sangat mahal. Mungkin Ibu berpikir bagaimana bisa aku masih memegang uang."Delapan puluh juta, Bu," jawabku jujur."Delapan puluh juta?" Ibu tampak terperanjat. Itu wajar. Karena seumur hidup baru pertama kali bagi kami melihat uang sebanyak itu."Sebenarnya orang itu tidak memberikan, tapi ... aku yang minta pinjaman padanya," tuturku berterus terang.Ibu tampak tertegun lagi. "Lalu ... bagaimana kamu akan melunasinya, Ran? Kita sendiri tidak punya tabungan."Aku tersenyum getir. "Bukankah aku sudah jadikan jaminan oleh Bapak dalam taruhannya?"Ibu bergeming mendengarkan."Sisa uang ini akan aku berikan untuk I

    Last Updated : 2022-01-18
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   6. Pemuda Baik Itu Bernama Iqbal

    "Saya tahu kamu pria yang baik, Rain," ucap Bapak terdengar bergetar.Tidak disangka tiba-tiba dia mendekati kursi Rain. Aku cukup terpana saat menyaksikan Bapak bersimpuh di kaki lelaki itu."Tolong jangan sentuh dia sebelum, kamu resmi menikahinya," mohonnya seraya menunjuk aku.Aku cukup tercengang mendengar permintaan Bapak. Rain pun menunjukkan ekspresi wajah yang sama denganku. Tanpa diduga mata kami saling bertemu pandang. Tatapannya yang tajam dan dingin membuat aku menunduk pada detik kelima. Rasanya aku tak sanggup menatap lebih lama mata elang itu.Rain tampak melepas belitan tangan Bapak. Pria itu membimbing Bapak agar bangkit dan tidak lagi bersimpuh padanya. Lelaki yang hari ini terlihat macho dengan jaket jeans belel itu justru memutari meja, lalu berdiri tepat di hadapan

    Last Updated : 2022-03-08
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   7. Keterangan Dari Iqbal

    Rain hanya menatapku sejenak. Lelaki itu membuka pintu mobil. Tidak lama kendaraan roda empat itu pun melaju."Kiran, ayo kita berangkat!"Panggilan dari Iqbal membuatku tersadar. Pemuda itu sudah duduk di atas motor besar berwarna hitam. Wajahnya cukup tampan dengan kacamata hitam. Penampilannya kian keren dengan sebuah tas kecil di pinggangnya.Perlahan aku menuruni undakan teras, ketika Iqbal menunjukkan helm. Ketika mendekat, dia langsung memasangkan alat pengaman tersebut pada kepalaku."Biar aku aja!" tolakku saat tangan Iqbal memasang pengait helm.

    Last Updated : 2022-03-08
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   8. Gadis Di Sarang Preman

    "Kita ke dapur lagi yuk, Ran!"Aku mengangguk menyetujui ajakan Iqbal. Kami akan membuat makanan."Makanan kesukaanmu apa?" tanya Iqbal mulai mengeluarkan sayuran dari kulkas.Aku berpikir sejenak. "Semua makanan aku suka. Kami tidak punya kesempatan untuk memilih. Apa yang ada ya dilahap saja," jawabku jujur disertai seringai malu. Tapi, memang seperti itu kenyataannya.Iqbal tersenyum tipis mendengarnya. "Tapi setidaknya ada kan makanan yang paling kamu suka?""Eum ... apa ya?" Mataku menerawang, "aku suka ayam

    Last Updated : 2022-03-08
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   9. Dokter Dadakan

    Tinggal di kamar sendirian pada tempat baru sungguh tidak menyenangkan. Aku bingung harus melakukan apa. Di kamar ini tidak ada televisi, buku bacaan, atau majalah. Sementara jika memutuskan untuk tidur, ini masih terlampau sore.Baru pukul delapan malam. Satu setengah jam dari kepergian Rain dan anak buahnya. Belum ada tanda-tanda mereka akan kembali.Aku gelisah sendiri di sini. Dari kata-kata yang terlontar tadi sore, sepertinya Rain dan anak buahnya akan memerangi pengacau yang juga penganiaya Bang Tigor.Hatiku masih bimbang untuk melakukan apa. Tiba-tiba mata ini tertuju pada sebuah buku tebal di nakas kamar ini. Ketika kutengok, ternyata sebuah kitab suci umat Islam.Pada halaman pertama tertulis nama almarhumah Bik Yati. Pasti ini punya beliau. Akhirnya, hati ini sedikit tercerahkan. Untuk membunuh waktu, aku akan mengaji saja.Walau pun bukan seorang penghap

    Last Updated : 2022-03-09
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   10. Gadis Dalam Foto

    "A-a-antarkan aku ke-ke kamar!" pinta Rain tersengal. "Cepaaat!" sentaknya terdengar kasar."I-iya." Akumengangguk cepat.Kusampirkan tangan kirinya ke pundak. Perlahan kami mulai menapaki tangga kayu. Napas Rain terdengar memburu. Jarak yang begitu cepat membuatku dapat merasakan hembusannya.Tidak lama kami tiba di lantai dua ini. Tempatnya lumayan rapi dan bersih dibanding lantai bawah. Ada dua buah kamar berseberangan di sini. Sementara di tengah-tengahnya terdapat satu set sofa minimalis."Itu kamarku," tunjuk Rain dengan suara lirih. Sebuah kamar yang terletak di sebelah kanan. Kubimbing Rain ke kamar tersebut. "Ambil anak kunci di ... saku." Suara Rain terdengar kian lirih.Tidak mau mendapat bentakan lagi, lekas kupenuhi perintah Rain. Kurogoh pelan saku celana jeans pria berhidung lancip ini."Saku belakang!" tegur Rain ketika aku

    Last Updated : 2022-03-09
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   11. Keributan Di Pagi Hari

    "Aku juga gak begitu tahu siapa sosok gadis dalam foto itu, karena Bang Rain sendiri gak pernah mau bercerita," ujar Iqbal kemudian. "Tapi, dari keterangan almarhum Mbok Yati, katanya gadis itu orang yang sangat berarti bagi Bang Rain.""Lalu?" Lagi-lagi aku bertanya karena penasaran."Gadis itu sudah meninggal.""Me-meninggal?" Mataku terbeliak lebar.Iqbal mengangguk pelan. "Bik Yati yang cerita dulu, tapi ya cuma sebatas itu." Iqbal menghembus napas panjang. Dia mengompres dahi Rain kembali. "Ini udah cukup malem, sebaiknya kamu tidur, Ran!" suruh Iqbal kemudian."Ta-tapi Bang Rain--""Biar aku yang jaga," sela Iqbal santai, "sepertinya Bang Rain terkena infeksi makanya demam gitu. Tapi aku udah beli obat dan antibiotik kok," terangnya mencoba menenangkan.Karena sudah tidak ada lagi alasan berada di situ, aku pun pamit turun. Walau sebenarnya masih banyak sekali hal yang membuatku penasaran. Namun, kutahan. Sepertinya tidak etis j

    Last Updated : 2022-03-10

Latest chapter

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   68. Kirei

    Rain dan Kirani sendiri langsung menuju kamar. Sementara Iqbal memilih bergabung dengan teman-temannya di gazebo belakang rumah. Anak-anak sedang main gitar dan bakar-bakar."Aduuuh!" Kirani mengaduh saat memasuki kamar."Nendang lagi?" tanya Rain melihat istrinya mengernyit menahan nyeri. Pria itu membimbing Kirani duduk di tepi ranjang."Kayaknya gak nendang lagi, tapi lagi koprol deh," balas Kirani menyandarkan tubuhnya pada headbed.Rain tersenyum mendengar jawaban lucu sang istri. Mata menangkap ada pergerakan pada perut buncit istrinya. Tangannya tergerak untuk mengelus.Tidak puas mengelus, Rain ingin mengecup permukaan perut Kirani. Dirinya ingin mengajak calon bayinya berbincang. Namun, saat ia membuka baju atas, tangan istrinya mencegah."Kenapa?" tanya Rain bingung.Kirani menggeleng lemah. "Malu."

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   67. Pertemuan Keluarga

    Lima bulan kemudian.Rain dan Nathan baru saja pulang dari kantor. Semenjak melamar Shila di rumah sakit dulu, Nathan memutuskan untuk tinggal di markas. Karena rasanya tidak etis jika harus seatap bersama Shila padahal keduanya belum sah. Walau pun ada si Bibik di antara mereka.Nathan dan Shila tidak segera melangsungkan pernikahan karena banyak banget agenda yang menunggu di depan mata. Di antaranya adalah menghadiri sidang kasusnya Ingga dan Tama. Baik Rain, Nathan, Shila, Kirani, dan Iqbal datang untuk memberikan kesaksian tentang kelakuan busuk sejoli itu.Setelah melewati beberapa kali sidang, akhirnya hakim memutuskan jika Tama dan Ingga dijatuhi vonis dua puluh tahun penjara. Keduanya divonis bersalah telah melakukan percobaan pembunuhan.Selain kasus, ada agenda lain yang membuat Nathan dan Shila menunda hari bahagia mereka yakni tentangpenyerahan aset. Shila sudah ditemukan. Rain dengan kesadaran diri menyerahkan hak milik gad

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   66. Kebahagiaan

    Shila tidak menjawab. Dia hanya menghambur pada dada yang terlapis baju khusus rumah sakit berwarna hijau tersebut. Gadis itu menyembunyikan wajahnya pada dada Nathan."Lho-lho ... kok udah main peluk-pelukan begini?"Tiba-tiba Rain datang sembarim merangkul pundak Kirani. Sementara tangan sang wanita memegang kue tart dengan beberapa lilin kecil. Lalu ada Ayon, Iqbal, Gadis, dan Ibu Sakina di belakang mereka. Melihat ada banyak orang yang masuk tentu saja Shila melerai pelukannya."Lho ... siapa yang ulang tahun, Ran?" tanya Shila bingung melihat kue yang dibawa istri sahabatnya itu."Kamu, Mit, eum maksud aku Shila." Kiran menjawab usai mendekati sahabatnya.Shila menyipit. Gadis itu tampak berpikir sejenak. Dia tengah mencoba mengingat sesuatu.Peristiwa terbenturnya kepala akibat pendorongan yang dilakukan Tama tempo hari membuat ingatan Shila sedikit demi sedikit kembali. Gadis itu memejam. Tiba-tiba kenangan akan sweet seve

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   65. Jawaban Untuk Nathan

    "Eum ... kata dokter bayi kita ....""Apa?" potong Kirani tidak sabaran. Rain terdiam. Pria itu mendongak, lantas menarik napas perlahan. "Kak, jawab! Jangan buat aku mati penasaran!" Kirani mengguncang lengan suaminya. Ketakutan membuatnya super panik."Tenang, Kiran," pinta Rain pelan. Tangannya mengusap lembut rambut sang istri."Gimana aku bisa tenang kalo kamu lama ngejawabnya?" sergah Kirani kasar. Hal yang belum pernah ia lakukan selama hidup dengan Rain. "Aku inget banget, tadi siang perutku sakitnya kayak ditusuk-tusuk pisau. Aku ... aku takut dia gak selamat." Tangis Kirani pecah.Rain memeluk istrinya. "Husst ... gak ngomong yang buruk-buruk! Gak baik itu." Dia menasihati sang istri."Tapi, aku takut, Kak." Kirani merengek.Rain mengusap air mata yang membasahi pipi istrinya. "Gak ada yang perlu ditakutkan, kamu hanya butuh bedrest total saja," terangnya kalem.Kirani menatap suaminya dengan serius. "Maksudnya bedrest aja b

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   64. Nasib Kirani

    Dia merasa ada banyak tangan yang meremas perutnya. Ketika rasa sakit itu kian menggigit, maka wanita itu akan mencengkeram kuat lengan Rain."Sabar, Sayang. Demi anak kita," ujar Rain lembut. "Tolong tambah kecepatan, Bal!" titah Rain panik."Iya, Bang. Ini juga ngebut kok," balas Iqbal di depan.Rain terus saja menyuruh Iqbal untuk menambah laju mobilnya. Apalagi saat dia merasa cengkeraman kuat dari sang istri. Hatinya benar-benar dilanda takut.Rain bahkan mengumpat kesal saat lampu merah menyala. Dia tidak tega mendengar suara kesakitan sang istri. Andai bisa diwakilkan, Rain memilih dia saja yang merasakan sakit itu.Akhirnya setelah melewati jalanan macet dan beberapa lampu merah, Iqbal telah berhasil mencapai parkiran rumah sakit. Pemuda itu membantu membukakan pintu mobil.Rain keluar dengan hati-hati. Dirinya membopong tubuh sang istri

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   63. Perjalanan Ke Rumah Sakit

    Shila terus saja tersedu menangisi kondisi Nathan yang tidak sadarkan diri. Wanita itu takut jika Nathan tidak bangun lagi untuk selamanya. Kepedulian dan perhatian Nathan selama beberapa hari terakhir begitu membekas di hatinya. Sementara hari ini dengan mata kepalanya sendiri, Shila melihat kesungguhan dalam diri Nathan.Nathan begitu tulus menjaganya agar tidak lecet sedikit pun. Bahkan pemuda itu rela berkorban nyawa demi dirinya. Melihat itu mata hati Shila terbuka lebar.Sekarang gadis itu tidak meragukan lagi keseriusan ucapan Nathan. Dalam hati Shila bertekad jika nanti Nathan sembuh dia akan lekas menjawab ungkapan hati pemuda itu tempo hari.Tidak jauh dari Shila dan Nathan berdiri Kirani. Dia dan sang suami tengah menunggu kedatangan ambulans untuk mengangkut Nathan ke rumah sakit. Tadinya Rain akan membawanya pulang saat komplotan Tama berhasil dibekuk oleh Komandan Bumi dan pasukannya. Namun, Kirani menolak dengan dalih ingin menemani Sh

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   62. Takluknya Gembong Mafia

    Tama memuntahkan isi pistolnya. Nathan sempat menghindar dengan melengoskan tubuh. Namun, timah panas tersebut tetap mengenai lengan atasnya."Nathaaan!" Shila dan Kirani menjerit bersamaan melihat bisep pemuda itu sudah berlumuran darah. Shila langsung memdekap Nathan.*Satu jam sebelum kejadian di apartemen Tama.Di rumah sakit, Ijong tengah menjenguk Iqbal. Keduanya tengah asyik berbincang. Sementara di brankar sebelahnya Gadis asyik bermain game di gadget untuk menghilangkan jenuh.Dalam hati, Gadis merutuk kedatangan Ijong. Karena moment mengobrolnya dengan Iqbal jadi tertunda. Apalagi kedua lelaki itu berbicara topik yang tidak dipahami oleh Gadis. Pokok tentang dunia bisnis dan mafia.Ketika tengah asyik berbincang, ponsel Ijong bergetar. Pemuda setengah gondrong itu melihat siapa yang menghubungi. Ternyata Ayon."Ada apa, Yon?" tany

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   61. Nathan Tameng Shila

    Tama bergegas menarik Shila kembali begitu mendengar peringatan dari polisi. Dia menjadikan Shila sebagai tawanan. Pistol di tangannya ia arahkan pada kepala Shila.Tentu saja gadis itu ketakutan. Tubuh Shila sampai bergetar saking ngerinya. Bibirnya merintih takut.Didan pun memperlakukan Kirani sama seperti bosnya. Wanita itu ia sekap. Moncong senjatanya ia arahkan pada pelipis istri dari Rain.Berbeda dengan Shila yang gemetar ketakutan, Kirani terlihat sedikit tenang. Bukan karena dia berani. Namun, keadaan ini sudah pernah ia alami sebelumnya. Dia memilih diam sembari memikirkan jalan keluar."Sekali kami peringatkan untuk membuka pintu apartemen ini atau kami buka paksa!" Suara Kapten Bumi terdengar lebih keras doorbell interkom.Tama mendekat pintu. Lewat layar LCD tujuh inchi dia bisa melihat keadaan di luar. Ada Komandan Bumi berserta anak buahnya dan

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   60. Bertarung Melawan Tama

    Tangannya bergerak cepat menarik pistol dari dalam persembunyian. Gegas ia todongkan senjata tersebut pada Rain.Kirani yang ngeri memekik keras. Dia masih trauma dengan insiden beberapa bulan lalu yang merenggut nyawa bapaknya."Tetap tenang dan terus berada di belakang aku," ujar Rain memenangkan hati sang istri. Dia menggenggam kuat tangan Kirani."Tama, buka pintunyaaa!" Sementara di atas Shila terus berteriak dan menggedor pintu. "Taaam!"Teriakan keras dari Shila sedikit mengalihkan perhatian Tama. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Rain. Ketika Tama tengah mendongak, tangannya langsung menampik senjata yang tengah dipegang oleh Tama.Senjata api itu terjatuh ke lantai. Tama terkesiap. Lagi-lagi Rain tidak melewatkan kesempatan. Kakinya bergerak cepat menendang perut Tama hingga lelaki itu terjatuh.Rain dengan sigap meraih pistol Tama dengan kakinya. Setelah dapat dia mengarahkan senjata tersebut pada Tama."Kiran, kamu kel

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status