Beranda / Semua / MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA / 8. Gadis Di Sarang Preman

Share

8. Gadis Di Sarang Preman

Penulis: Yenika Koesrini
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-08 13:46:53

"Kita ke dapur lagi yuk, Ran!"

Aku mengangguk menyetujui ajakan Iqbal. Kami akan membuat makanan.

"Makanan kesukaanmu apa?" tanya Iqbal mulai mengeluarkan sayuran dari kulkas.

Aku berpikir sejenak. "Semua makanan aku suka. Kami tidak punya kesempatan untuk memilih. Apa yang ada ya dilahap saja," jawabku jujur disertai seringai malu. Tapi, memang seperti itu kenyataannya.

Iqbal tersenyum tipis mendengarnya. "Tapi setidaknya ada kan makanan yang paling kamu suka?"

"Eum ... apa ya?" Mataku menerawang, "aku suka ayam goreng karena ibu lebih sering membuat tempe goreng untuk kami."

"Oh. Ya udah ayuk kita buat!" ajak Iqbal semangat.

Pemuda itu lekas mengeksekusi. Dia mengeluarkan daging ayam dari freezer, lalu mulai memotongnya menjadi bagian kecil-kecil.

"Aku juga mau buat cap cay, tolong kamu potong-potong bahannya ya," suruh Iqbal sambil fokus pada pekerjaan. "Tahu dong bahan-bahannya apa saja?"

"Tahu lah." Perintah Iqbal pun gegas kulaksanakan. "Jadi menu favorit kamu cap cay?" tanyaku kemudian.

"Bukan." Iqbal menggeleng pelan, "cap cay dan balado kentang adalah menu favoritnya Bang Rain."

"Oh." Bibirku membulat kecil, "btw, kamu belum jawab pertanyaanku yang lalu. Kenapa kamu bisa sampai ada di sini? Terus bagaimana dengan keluargamu?" cecarku laksana wartawan yang haus akan informasi.

Iqbal tidak langsung menjawab. Potongan ayam dalam wadah ia cuci pada air keran. "Dari kecil aku gak tahu siapa orang tuaku. Dulu aku tinggal di panti. Gedean dikit aku kabur?"

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Pengurus pantinya galak. Aku gak betah. Terus hidup di jalanan. Nyopet buat bertahan hidup," tutur Iqbal meringis getir. "Sampai suatu ketika aku lagi ketiban apes. Aku ketahuan nyopet. Tubuhku jadi santapan massa." Iqbal menjeda penuturannya untuk menghela napas panjang. "Bang Rain datang sebagai dewa penolong. Lalu sejak saat itu aku berjanji bahwa hidupku akan kudedikasikan buat Bang Rain," ikrar Iqbal tampak bersungguh-sungguh.

Aku mengangguk perlahan. Kemudian kami mulai serius membuat makanan. Tidak disangka Iqbal sangat terampil memasak. Di sini aku hanya bertugas membantu dia sekadarnya.

Lebih dari satu jam baru ketiga menu itu berhasil kami selesaikan. Bertepatan pula dengan azan magrib, aku meminta izin pada Iqbal untuk membersihkan diri. Sekalian beribadah. Iqbal yang baik tentu saja mengizinkan.

Di lantai ini hanya ada satu kamar mandi. Bilik tersebut terletak di sebelah ruang keluarga. Di mana ruang tersebut tempat berkumpulnya para preman.

Beruntung saat kutuju, ruang keluarga sedang sepi. Sehingga aku bisa bebas dan nyaman untuk membersihkan diri. Karena risih juga jika ada para preman itu di luar sementara aku sedang mandi.

Rasanya lengket juga setelah seharian menemani Iqbal menjalankan tugasnya di pasar serta membuat makanan barusan. Walau begitu aku tidak akan berlama-lama di sini. Takut saja tiba-tiba ada di antara mereka mengetuk pintu karena kebelet.

By the way, di mana handukku? Kenapa aku cuma bawa baju ganti saja? Ya Allah ... aku benar-benar lupa tidak membawa kain empuk itu. Karena kemarin benar-benar asal saat menyiapkan bekal ganti.

Bagaimana ini?

Aku menggigit bibirku perlahan.

Haruskah aku meminjam handuknya Iqbal? Jika iya, bagaimana cara memanggilnya? Tidak mungkin juga aku berteriak memanggil namanya. Ini kan bukan di rumahku sendiri.

Tidak ada cara lain. Terpaksa kukeringkan badan menggunakan baju ganti. Karena baju yang tadi sudah kotor terkena debu jalanan dan bahan makanan.

Baju ganti ini menjadi sedikit basah. Ketika kupakai dadaku sedikit tercetak jelas. Aku mendengkus resah. Tapi tidak ada pilihan lain lagi.

Usai berpakaian, aku pun bersuci dari hadas kecil. Ketika hendak keluar, aku terlebih dulu mengintip keadaan luar. Terdengar suara beberapa preman. Namun, sepertinya mereka berada di ruang depan.

Setelah dirasa aman, cepat-cepat aku keluar kamar mandi. Sial! Ketika tengah terburu menuju kamar, aku menabrak seseorang. Ketika mendongak, sosok Rain tengah menatapku dingin.

"Eum ... maaf." Aku mundur selangkah.

Rain tidak menjawab. Hanya saja pandangannya tertuju pada kaos bagian dadaku yang lumayan basah. Sadar diperhatikan, gegas aku menyilangkan kedua lengan di dada.

"Kenapa basah-basahan begitu?" tegur Rain datar.

"Eum ... lupa bawa handuk." Aku menunduk canggung.

Rain tidak berkomentar. Kulihat dia bergerak menuju ruang kerjanya.

Aku sendiri langsung menuju kamar, lalu mengganti pakaian basah ini dengan baju kering lainnya. Setelah itu kembali berwudhu menggunakan air di keran dapur.

Ibadah sholat magrib kulaksanakan dengan khidmat. Berharap bisa cepat hengkang dari tempat ini. Walau pun sudah mempunyai teman sebaik Iqbal, tetap saja aku tidak mau hidup lama-lama di sini.

Setelah dirasa cukup ibadah dan doanya, kulipat mukena dan sajadah. Baru beranjak kembali ke dapur. Tampak Iqbal tengah menata hidangan di meja makan. Wajah dan rambutnya yang lembap menjadi pertanda jika dia pun sudah selesai mandi.

"Kamu mandi di mana, Bal? Perasaan di sini kamar mandinya cuma ada satu," tanyaku saat mendekat.

"Ada satu kamar mandi lagi di atas," jawab Iqbal tengah mengelap piring.

"Di dekat kamar mandinya Bang Rain." Aku mencoba menebak.

"Hu'um. Kamarku ada di atas bersebelahan dengan kamar Bang Rain." Tiba-tiba Iqbal menghentikan aktivitas. "Kayaknya kamar itu cocok ditempati kamu deh, Ran. Biar kamu bebas gunain kamar mandi. Entar deh aku usul sama Bang Rain buat tukeran kamar."

Aku terharu mendengar usulan dari Iqbal. "Kenapa kamu baik banget ke aku, Bal?" tanyaku dengan mata berembun.

Iqbal menyengir. "Karena kamu wanita sendiri di sini. Dan kamu butuh privasi."

"Makasih, ya," ucapku tulus.

Iqbal mengangguk pelan. "Yodah aku panggil anak-anak dan Bang Rain dulu."

Pemuda itu pun berlalu. Tidak lama terdengar pekikan senang dari anak-anak. Ada tujuh orang preman yang mendekat. Mereka tampak antusias menatap makanan di meja.

Namun, tidak ada yang berani mengambil makanan dulu. Hingga datang sang bos mereka diikuti Iqbal. Rain duduk di kursi utama. Iqbal sendiri menarik lenganku hingga duduk di sebelah kanannya.

"Lu masak sendiri, Bal?" tebak Rain begitu mengecap cap cay sayur itu. Dirinya seolah sudah hapal citarasa masakan khas Iqbal.

"Kiran tadi ikut bantuin," jawab Iqbal santai.

Pemuda itu tengah mengambil nasi dan sayur, lalu menaruh dua paha ayam goreng pada piring tersebut. Tidak disangka pemuda itu memberikannya padaku.

"Lu harus ajari dia cara membuat masakan yang enak. Karena gak setiap hari elu ada waktu bikinin masakan buat kita," suruh Rain sedikit melirik ke arahku.

"Siap, Bang," sahut Iqbal sedang menyuap makanan. Sementara yang lain juga sudah lahap menyantap hidangan.

"Bang Raiiin!"

Kami semua terkaget mendengar teriakkan itu. Tidak lama datang seorang preman dengan lebam di bawah mata.

"Anak buah ... Tama ... bikin kekacauan di wilayah kita, Bang," lapor preman tersebut terengah-engah.

Kulihat tangan Rain langsung mengepal.

"Bahkan ... Bang ... Bang Tigor kesabet celurit mereka, Bang." Preman itu bertutur lagi.

"Bedeb*h!" Rain menggebrak meja.

Aku tersentak kaget mendengarnya. Tidak lama jantung ini berdebar kencang. Seolah paham kondisiku, Iqbal merangkul pundakku lembut.

"Tama udah mulai main-main sama aku," ujar Rain dengan tatapan dingin, "kerahkan anggota! Mereka harus tahu siapa lawan mereka yang sebenarnya."

Para anak buah Rain langsung bangkit berdiri. Semuanya tampak siap menunggu perintah. Begitu juga dengan Iqbal.

"Itong dan Ayon jaga markas saja. Perketat keamanan dan ... jaga gadis itu baik-baik," titah Rain kembali melirik sekilas padaku.

"Siap, Bang!" Kedua orang preman berseru hormat.

"Ayo kita berangkat!" Tangan Rain mengibas.

Ketika lelaki itu menderap, ketujuh anak buahnya mengikuti. Termasuk kedua preman yang sudah ditugaskan untuk menjagaku.

"Kamu jaga diri baik-baik, Ran. Gak usah keluar kamar sebelum kami pulang, ya," pesan Iqbal memegang kedua pundakku.

"Aku ... aku takut, Bal," ucapku jujur.

"Gak perlu takut. Ada Itong dan Ayon yang akan ngejaga markas ini," balas Iqbal mencoba menenangkan.

Pemuda itu menepuk pipiku perlahan. Setelah itu dia berlari mengejar Rain dan kawan-kawannya.

Aku sendiri masih terpaku bingung. Setelah bayangan mereka tidak terlihat lagi, aku langsung gegas masuk ke kamar. Pintu kamar aku kunci rapat.

"Ya Allah ... semoga Rain dan anak buahnya selamat." Tanganku tengadah ke atas.

 

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Siti Nur Kholishoh
suka Bagus
goodnovel comment avatar
Assyifa RoRa
seru banget...suka
goodnovel comment avatar
Aldi Saragi
cerita nya sangat menyenangkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   9. Dokter Dadakan

    Tinggal di kamar sendirian pada tempat baru sungguh tidak menyenangkan. Aku bingung harus melakukan apa. Di kamar ini tidak ada televisi, buku bacaan, atau majalah. Sementara jika memutuskan untuk tidur, ini masih terlampau sore.Baru pukul delapan malam. Satu setengah jam dari kepergian Rain dan anak buahnya. Belum ada tanda-tanda mereka akan kembali.Aku gelisah sendiri di sini. Dari kata-kata yang terlontar tadi sore, sepertinya Rain dan anak buahnya akan memerangi pengacau yang juga penganiaya Bang Tigor.Hatiku masih bimbang untuk melakukan apa. Tiba-tiba mata ini tertuju pada sebuah buku tebal di nakas kamar ini. Ketika kutengok, ternyata sebuah kitab suci umat Islam.Pada halaman pertama tertulis nama almarhumah Bik Yati. Pasti ini punya beliau. Akhirnya, hati ini sedikit tercerahkan. Untuk membunuh waktu, aku akan mengaji saja.Walau pun bukan seorang penghap

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-09
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   10. Gadis Dalam Foto

    "A-a-antarkan aku ke-ke kamar!" pinta Rain tersengal. "Cepaaat!" sentaknya terdengar kasar."I-iya." Akumengangguk cepat.Kusampirkan tangan kirinya ke pundak. Perlahan kami mulai menapaki tangga kayu. Napas Rain terdengar memburu. Jarak yang begitu cepat membuatku dapat merasakan hembusannya.Tidak lama kami tiba di lantai dua ini. Tempatnya lumayan rapi dan bersih dibanding lantai bawah. Ada dua buah kamar berseberangan di sini. Sementara di tengah-tengahnya terdapat satu set sofa minimalis."Itu kamarku," tunjuk Rain dengan suara lirih. Sebuah kamar yang terletak di sebelah kanan. Kubimbing Rain ke kamar tersebut. "Ambil anak kunci di ... saku." Suara Rain terdengar kian lirih.Tidak mau mendapat bentakan lagi, lekas kupenuhi perintah Rain. Kurogoh pelan saku celana jeans pria berhidung lancip ini."Saku belakang!" tegur Rain ketika aku

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-09
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   11. Keributan Di Pagi Hari

    "Aku juga gak begitu tahu siapa sosok gadis dalam foto itu, karena Bang Rain sendiri gak pernah mau bercerita," ujar Iqbal kemudian. "Tapi, dari keterangan almarhum Mbok Yati, katanya gadis itu orang yang sangat berarti bagi Bang Rain.""Lalu?" Lagi-lagi aku bertanya karena penasaran."Gadis itu sudah meninggal.""Me-meninggal?" Mataku terbeliak lebar.Iqbal mengangguk pelan. "Bik Yati yang cerita dulu, tapi ya cuma sebatas itu." Iqbal menghembus napas panjang. Dia mengompres dahi Rain kembali. "Ini udah cukup malem, sebaiknya kamu tidur, Ran!" suruh Iqbal kemudian."Ta-tapi Bang Rain--""Biar aku yang jaga," sela Iqbal santai, "sepertinya Bang Rain terkena infeksi makanya demam gitu. Tapi aku udah beli obat dan antibiotik kok," terangnya mencoba menenangkan.Karena sudah tidak ada lagi alasan berada di situ, aku pun pamit turun. Walau sebenarnya masih banyak sekali hal yang membuatku penasaran. Namun, kutahan. Sepertinya tidak etis j

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-10
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   12. Siapa yang Memfitnah Aku?

    "Jangan sampai gue naik pitam!"Ibong membuang muka. Lelaki itu menghembus napas. Tidak lama dia mendekat pada Iqbal, lalu mengulurkan tangan."Maafin gue," ucap Ibong datar. Terlihat seperti tidak tulus."Sama-sama, Bong." Iqbal membalas jabatan itu.Kemudian Ibong melakukan hal yang sama padaku. Kumaafkan pria itu dengan menangkupkan kedua tangan."Kamu!" Rain menunjuk aku, "tolong buatkan kita sarapan!" suruhnya datar.Tanpa menunggu jawabanku, Rain berlalu. Aku ditemani Iqbal lekas menuju dapur."Kita buat bubur ayam saja. Rain suka sarapan itu." Iqbal memberi tahu.Kami membuat bubur ayam satu panci penuh. Kebetulan pagi ini banyak sekali anak buah Rain yang menginap di sini. Saat kuhitung ada sekitar dua puluh orang.Mereka makan di sembarang tempat. Ada yang di meja makan dapur

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-11
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   13. Ternyata Pemfitnah Itu Adalah

    "Ndan, kami menemukan ini di tas cewek ini."Aku dan Iqbal sama-sama terbeliak, saat seorang intel menemukan sebuah plastik kecil berisi serbuk putih dari dalam tasku."Amankan barang bukti dan gadis ini!" seru seorang intel yang mungkin komandannya."Siap!" Pria bertopi yang tadi memeriksa tasku langsung meraih tanganku. "Ayo kamu ikut kami untuk pemeriksaan lebih lanjut!" perintahnya padaku."Gak benar! Itu bukan punyaku." Aku menggeleng cepat. "Bal, tolongin aku," rengekku ketakutan."Pak, teman saya ini bersih. Dia gak pake barang gituan." Iqbal mencoba membujuk sang komandan."Buktinya dia menyimpan barang haram tersebut," tukas sang komandan tegas, "sekarang suruh dia tes urine supaya tahu dia pemakai atau pengedarnya!" titahnya serius."Siap, Ndan!"Aku pun digelandang ke kamar mandi bersama Iqbal.

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-11
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   14. Sisi Lain Dari Rain

    "Cari Ibong sampai dapat," jawab Rain tenang, "gue ingin segera menghabisinya," lanjutnya tajam dan dingin."Baik." Iqbal mengangguk paham. "Kalo begitu aku akan keluar untuk mengerahkan anak-anak buat menangkap Ibong secepatnya," pamitnya kemudian."Pergilah," lepas Rain dingin."Yodah ... Rain, aku juga mau cabut. Banyak berkas yang mesti dikerjakan hari ini." Nathan ikut berpamitan.Sekarang hanya ada aku dan Rain berdua saja di ruangan ini. Ketika aku hendak melangkah pergi, Rain mencegah."Untuk beberapa hari ini, Iqbal akan sering tidak pulang. Kamu mesti pindah kamar ke atas," suruh Rain kalem."Sekarang?" tanyaku memastikan."Terserah ... yang pasti waktu jam makan siang, kamu sudah harus menyiapkan hidangan," tutur Rain kembali duduk di singgasananya. Lelaki itu mulai membuka berkas yang ada di hadapannya. "Kenapa ma

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-12
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   15. Masih Tentang Rain

    Aku buru-buru melangkah, saat karyawan yang sedang diajak bicara oleh Ingga menoleh. Lantas berlagak cuek seakan tidak pernah mendengar perintah Ingga barusan. Bahkan aku melempar senyum manis untuk keduanya. Mereka pun membalasnya dengan senyuman kikuk. Khas orang ketangkap basah.Sampai toilet hatiku masih saja berpikir mengenai perintah Ingga barusan. Apa yang membuat gadis itu melakukan tindakan seperti itu? Bukankah kami tidak begitu mengenal? Berjumpa pun baru dua kali ini. Seingatku kami bahkan belum pernah terlibat percakapan panjang.Usai menunaikan hadas kecil, aku kembali ke ruang kerja Rain. Mata ini lumayan terkesima melihat pemandangan yang ada. Rain tampak serius memeriksa file.

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-12
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   16. Pertemuan Dengan Iqbal

    "Emang kamu mau aku jadi suami kamu?"Jleb!Aku terpaku mendengar pertanyaan serius itu."Bang Rain serius ngelamar aku?" tanyaku memberanikan diri."Ha ... Ha ... Ha." Tawa Rain meledak. "Dasar bocah baperan?" Dia bahkan meraup parasku.Jadi tadi cuma main-main? Becanda doang? Kalo benar ini gak lucu, Bang!"Kok bengong?" tegur Rain usai tawanya surut.Aku ha

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-12

Bab terbaru

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   68. Kirei

    Rain dan Kirani sendiri langsung menuju kamar. Sementara Iqbal memilih bergabung dengan teman-temannya di gazebo belakang rumah. Anak-anak sedang main gitar dan bakar-bakar."Aduuuh!" Kirani mengaduh saat memasuki kamar."Nendang lagi?" tanya Rain melihat istrinya mengernyit menahan nyeri. Pria itu membimbing Kirani duduk di tepi ranjang."Kayaknya gak nendang lagi, tapi lagi koprol deh," balas Kirani menyandarkan tubuhnya pada headbed.Rain tersenyum mendengar jawaban lucu sang istri. Mata menangkap ada pergerakan pada perut buncit istrinya. Tangannya tergerak untuk mengelus.Tidak puas mengelus, Rain ingin mengecup permukaan perut Kirani. Dirinya ingin mengajak calon bayinya berbincang. Namun, saat ia membuka baju atas, tangan istrinya mencegah."Kenapa?" tanya Rain bingung.Kirani menggeleng lemah. "Malu."

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   67. Pertemuan Keluarga

    Lima bulan kemudian.Rain dan Nathan baru saja pulang dari kantor. Semenjak melamar Shila di rumah sakit dulu, Nathan memutuskan untuk tinggal di markas. Karena rasanya tidak etis jika harus seatap bersama Shila padahal keduanya belum sah. Walau pun ada si Bibik di antara mereka.Nathan dan Shila tidak segera melangsungkan pernikahan karena banyak banget agenda yang menunggu di depan mata. Di antaranya adalah menghadiri sidang kasusnya Ingga dan Tama. Baik Rain, Nathan, Shila, Kirani, dan Iqbal datang untuk memberikan kesaksian tentang kelakuan busuk sejoli itu.Setelah melewati beberapa kali sidang, akhirnya hakim memutuskan jika Tama dan Ingga dijatuhi vonis dua puluh tahun penjara. Keduanya divonis bersalah telah melakukan percobaan pembunuhan.Selain kasus, ada agenda lain yang membuat Nathan dan Shila menunda hari bahagia mereka yakni tentangpenyerahan aset. Shila sudah ditemukan. Rain dengan kesadaran diri menyerahkan hak milik gad

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   66. Kebahagiaan

    Shila tidak menjawab. Dia hanya menghambur pada dada yang terlapis baju khusus rumah sakit berwarna hijau tersebut. Gadis itu menyembunyikan wajahnya pada dada Nathan."Lho-lho ... kok udah main peluk-pelukan begini?"Tiba-tiba Rain datang sembarim merangkul pundak Kirani. Sementara tangan sang wanita memegang kue tart dengan beberapa lilin kecil. Lalu ada Ayon, Iqbal, Gadis, dan Ibu Sakina di belakang mereka. Melihat ada banyak orang yang masuk tentu saja Shila melerai pelukannya."Lho ... siapa yang ulang tahun, Ran?" tanya Shila bingung melihat kue yang dibawa istri sahabatnya itu."Kamu, Mit, eum maksud aku Shila." Kiran menjawab usai mendekati sahabatnya.Shila menyipit. Gadis itu tampak berpikir sejenak. Dia tengah mencoba mengingat sesuatu.Peristiwa terbenturnya kepala akibat pendorongan yang dilakukan Tama tempo hari membuat ingatan Shila sedikit demi sedikit kembali. Gadis itu memejam. Tiba-tiba kenangan akan sweet seve

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   65. Jawaban Untuk Nathan

    "Eum ... kata dokter bayi kita ....""Apa?" potong Kirani tidak sabaran. Rain terdiam. Pria itu mendongak, lantas menarik napas perlahan. "Kak, jawab! Jangan buat aku mati penasaran!" Kirani mengguncang lengan suaminya. Ketakutan membuatnya super panik."Tenang, Kiran," pinta Rain pelan. Tangannya mengusap lembut rambut sang istri."Gimana aku bisa tenang kalo kamu lama ngejawabnya?" sergah Kirani kasar. Hal yang belum pernah ia lakukan selama hidup dengan Rain. "Aku inget banget, tadi siang perutku sakitnya kayak ditusuk-tusuk pisau. Aku ... aku takut dia gak selamat." Tangis Kirani pecah.Rain memeluk istrinya. "Husst ... gak ngomong yang buruk-buruk! Gak baik itu." Dia menasihati sang istri."Tapi, aku takut, Kak." Kirani merengek.Rain mengusap air mata yang membasahi pipi istrinya. "Gak ada yang perlu ditakutkan, kamu hanya butuh bedrest total saja," terangnya kalem.Kirani menatap suaminya dengan serius. "Maksudnya bedrest aja b

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   64. Nasib Kirani

    Dia merasa ada banyak tangan yang meremas perutnya. Ketika rasa sakit itu kian menggigit, maka wanita itu akan mencengkeram kuat lengan Rain."Sabar, Sayang. Demi anak kita," ujar Rain lembut. "Tolong tambah kecepatan, Bal!" titah Rain panik."Iya, Bang. Ini juga ngebut kok," balas Iqbal di depan.Rain terus saja menyuruh Iqbal untuk menambah laju mobilnya. Apalagi saat dia merasa cengkeraman kuat dari sang istri. Hatinya benar-benar dilanda takut.Rain bahkan mengumpat kesal saat lampu merah menyala. Dia tidak tega mendengar suara kesakitan sang istri. Andai bisa diwakilkan, Rain memilih dia saja yang merasakan sakit itu.Akhirnya setelah melewati jalanan macet dan beberapa lampu merah, Iqbal telah berhasil mencapai parkiran rumah sakit. Pemuda itu membantu membukakan pintu mobil.Rain keluar dengan hati-hati. Dirinya membopong tubuh sang istri

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   63. Perjalanan Ke Rumah Sakit

    Shila terus saja tersedu menangisi kondisi Nathan yang tidak sadarkan diri. Wanita itu takut jika Nathan tidak bangun lagi untuk selamanya. Kepedulian dan perhatian Nathan selama beberapa hari terakhir begitu membekas di hatinya. Sementara hari ini dengan mata kepalanya sendiri, Shila melihat kesungguhan dalam diri Nathan.Nathan begitu tulus menjaganya agar tidak lecet sedikit pun. Bahkan pemuda itu rela berkorban nyawa demi dirinya. Melihat itu mata hati Shila terbuka lebar.Sekarang gadis itu tidak meragukan lagi keseriusan ucapan Nathan. Dalam hati Shila bertekad jika nanti Nathan sembuh dia akan lekas menjawab ungkapan hati pemuda itu tempo hari.Tidak jauh dari Shila dan Nathan berdiri Kirani. Dia dan sang suami tengah menunggu kedatangan ambulans untuk mengangkut Nathan ke rumah sakit. Tadinya Rain akan membawanya pulang saat komplotan Tama berhasil dibekuk oleh Komandan Bumi dan pasukannya. Namun, Kirani menolak dengan dalih ingin menemani Sh

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   62. Takluknya Gembong Mafia

    Tama memuntahkan isi pistolnya. Nathan sempat menghindar dengan melengoskan tubuh. Namun, timah panas tersebut tetap mengenai lengan atasnya."Nathaaan!" Shila dan Kirani menjerit bersamaan melihat bisep pemuda itu sudah berlumuran darah. Shila langsung memdekap Nathan.*Satu jam sebelum kejadian di apartemen Tama.Di rumah sakit, Ijong tengah menjenguk Iqbal. Keduanya tengah asyik berbincang. Sementara di brankar sebelahnya Gadis asyik bermain game di gadget untuk menghilangkan jenuh.Dalam hati, Gadis merutuk kedatangan Ijong. Karena moment mengobrolnya dengan Iqbal jadi tertunda. Apalagi kedua lelaki itu berbicara topik yang tidak dipahami oleh Gadis. Pokok tentang dunia bisnis dan mafia.Ketika tengah asyik berbincang, ponsel Ijong bergetar. Pemuda setengah gondrong itu melihat siapa yang menghubungi. Ternyata Ayon."Ada apa, Yon?" tany

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   61. Nathan Tameng Shila

    Tama bergegas menarik Shila kembali begitu mendengar peringatan dari polisi. Dia menjadikan Shila sebagai tawanan. Pistol di tangannya ia arahkan pada kepala Shila.Tentu saja gadis itu ketakutan. Tubuh Shila sampai bergetar saking ngerinya. Bibirnya merintih takut.Didan pun memperlakukan Kirani sama seperti bosnya. Wanita itu ia sekap. Moncong senjatanya ia arahkan pada pelipis istri dari Rain.Berbeda dengan Shila yang gemetar ketakutan, Kirani terlihat sedikit tenang. Bukan karena dia berani. Namun, keadaan ini sudah pernah ia alami sebelumnya. Dia memilih diam sembari memikirkan jalan keluar."Sekali kami peringatkan untuk membuka pintu apartemen ini atau kami buka paksa!" Suara Kapten Bumi terdengar lebih keras doorbell interkom.Tama mendekat pintu. Lewat layar LCD tujuh inchi dia bisa melihat keadaan di luar. Ada Komandan Bumi berserta anak buahnya dan

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   60. Bertarung Melawan Tama

    Tangannya bergerak cepat menarik pistol dari dalam persembunyian. Gegas ia todongkan senjata tersebut pada Rain.Kirani yang ngeri memekik keras. Dia masih trauma dengan insiden beberapa bulan lalu yang merenggut nyawa bapaknya."Tetap tenang dan terus berada di belakang aku," ujar Rain memenangkan hati sang istri. Dia menggenggam kuat tangan Kirani."Tama, buka pintunyaaa!" Sementara di atas Shila terus berteriak dan menggedor pintu. "Taaam!"Teriakan keras dari Shila sedikit mengalihkan perhatian Tama. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Rain. Ketika Tama tengah mendongak, tangannya langsung menampik senjata yang tengah dipegang oleh Tama.Senjata api itu terjatuh ke lantai. Tama terkesiap. Lagi-lagi Rain tidak melewatkan kesempatan. Kakinya bergerak cepat menendang perut Tama hingga lelaki itu terjatuh.Rain dengan sigap meraih pistol Tama dengan kakinya. Setelah dapat dia mengarahkan senjata tersebut pada Tama."Kiran, kamu kel

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status