Share

4. Pertemuan Pertama

Penulis: Yenika Koesrini
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-18 12:09:24

Pria bermata elang itu menatapku dingin. Ada belahan pada dagunya yang lumayan runcing. Warna kulitnya yang tan menambah kesan seksi. Ahhh ... kenapa aku melantur begini?

 

Tidak seperti yang lain, penampilan lelaki yang dipanggil bos besar itu terlihat lebih rapi. Kemeja putih yang melekat pas di badan, ia gulung hingga ke siku. Rambutnya pun ia pangkas dengan rapi.

 

"Maju!" Dia menyuruh dengan menggerakkan telunjuknya. Manik cokelatnya masih menatapku dingin.

 

Dengan keberanian yang dipaksakan aku pun mengikuti perintahnya. Maju tiga langkah. Berdiri di depan si plontos. 

 

"Kamu anaknya Bambang?" tanya dia sembari membuka bungkus sigaret. Menaruhnya di bibir dan mulai menyalakan korek.

 

"Eum ... iya." Aku mengangguk pelan.

 

"Tahu bapakmu punya hutang banyak padaku?" Dia kembali bertanya usai mengisap batang putih tersebut. Membuat dipenuhi asap.

 

"Tahu." Aku menyahut singkat.

 

"Bagus." Dia kembali menyesap sigaretnya, "asal kamu tahu selain hutang delapan puluh juta, Bambang juga menjadikan kamu barang taruhannya."

 

Walau pun sudah mengetahui tetap saja hatiku sakit mendengarnya.

 

"Itu berarti sekarang kamu adalah milikku," tegasnya dengan menatapku serius.

 

Kuterima kenyataan itu dengan anggukan lemah. 

 

"Bawa dia ke belakang, Gor!" titah pria itu pada si plontos.

 

"Baik." Si plontos mengangguk, "ayuk!" Dia mengajakku meninggalkan ruangan.

 

"Tunggu." Aku menginterupsi. Lelaki itu dan si plontos menatapku serius. "Ada hal yang ingin aku sampaikan," ujarku sambil mengumpulkan keberanian.

 

"Memang kamu ngomong apa?" Si plontos yang bertanya.

 

"Eum ... Bapakku masuk rumah sakit."

 

"Ahhh ... kami tidak peduli. Kalo dia tidak berkelit dan berbohong tentu kami tidak akan menghajarnya," tukas plontos terlihat geram. "Makanya kalo miskin itu gak usah sok-sokan. Tahu sendiri akibatnya," lanjutnya merendahkan Bapak.

 

"Biarkan dia melanjutkan ucapannya, Gor!" Pria itu menegur anak buahnya dengan tenang. Si plontos mengangguk pelan karenanya.

 

"Selain luka babak belur, bapakku juga terkena penyakit liver yang cukup serius." Aku bercerita dengan menggigit bibir. Melihat keadaan Bapak yang tergolek lemah di brankar rumah sakit kemarin, rasa benci pada lelaki itu berangsur lenyap.

 

"Terus kamu mau apa?" Pria itu menatapku serius.

 

"Tolong pinjami kami uang untuk pengobatan bapak. Bapakku perlu dioperasi untuk menyelamatkan hidupnya."

 

"Hutang kemarin saja belum dibayar." Si plontos menyindir.

 

"Aku tahu ini lancang, tapi bapakku butuh segera penanganan. Jika tidak ...." Aku tidak mampu meneruskan perkataan. Membayangkan bapak terbujur kaku dengan kain kafan membuat tubuhku bergetar.

 

"Jika tidak apa?" Pria itu menyahut dengan tajam.

 

"Bapak ... Bapak aku bisa mati." Aku menunduk sedih.

 

"Bambang mau mati atau tidak itu bukan urusan kami--"

 

"Tolonglah!" Aku langsung bersimpuh di kaki pria dingin itu.

 

"Nggak untungnya buat aku--"

 

"Aku siap jadi budakmu jika kamu tolongin kami," selaku dengan bersungguh-sungguh.

 

Pria itu menatapku dalam-dalam. "Kamu serius mau menjadi budakku termasuk teman tidurku?"

 

Aku tergagap. Detik berikutnya menunduk pelan. "Boleh jadi teman tidur tetapi setelah resmi--"

 

"Gak ada kamus dihalalin dalam hidup Rain. Ha ... ha ... ha!" Pria plontos itu tergelak geli.

 

"Tigor, diaaam!"

 

Seketika pria plontos itu menutup mulut.

Cukup lama pria itu menatapku. Sesekali rokok di jemarinya ia hisap, lalu mengebulkan asapnya membentuk bulatan-bulatan di udara.

 

"Baiklah ... aku akan membantumu." Akhirnya dia memutuskan. 

 

Aku sendiri menarik napas lega mendengarnya.

 

Pria itu menarik laci mejanya. Selembar cek ia keluarkan, lalu mulai menulis jumlah uang. Terakhir dia membubuhkan tanda tangan pada kertas tersebut.

 

"Gunakan uang itu untuk perawatan bapakmu," suruhnya sembari mengulurkan cek tersebut padaku.

 

"Terima kasih." Aku menerimanya dengan melengkungkan bibir. Ketika kulirik tertera angka delapan puluh juta pada cek itu.

 

"Gor, antar dia ke rumah sakit!"

 

"Baik, Rain." Si plontos mengangguk sambil menyebut nama pria itu. "Ayuk!" Kini si plontos pinggangku. Risih membuatku menyingkirkan tangannya. "Gosah jual mahal begitu! Kamu itu cuma pelayan di sini. Budak!" bentaknya terlihat kesal.

 

"Walau pun hanya sekedar pelayan, tapi tolong hargai aku," tuturku memberanikan diri.

 

"Banyak bicara gadis ini ya?" Si plontos kian meradang.

 

"Tigor!" Pria bernama Rain itu menegur. "Jaga sikapmu!" 

 

Lelaki itu bernama Tigor itu menganga. Sepertinya dia terkaget mendengar perintah itu. Namun, detik berikutnya dirinya mengangguk pelan.

 

"Awasi gadis ini! Jangan sampai dia kabur setelah membawa uang dari kita." Dia menitah lagi.

 

"Siap."

 

Rain pun mengibaskan tangan. Aku dan Tigor lekas melangkah pergi. Suitan nakal terdengar ketika aku dan Tigor melewati teras. 

 

"Bang, ceweknya lumayan bening nih. Buat gue dong!" celetuk pemuda bertopi yang masih memegang tongkat biliard.

 

"Ambil aja kalo lu mau dipuntir sama Rain," sahut Tigor cuek.

 

Tigor lalu mengeluarkan sepeda motor besarnya. Dia menepuk jok belakang. Sigap aku langsung membonceng padanya.

 

Saat dalam perjalanan kami memilih untuk diam. Di tengah perjalanan aku menyuruh Tigor untuk berhenti di sebuah bank. Aku mau mencairkan cek ini.

 

Tigor menurut. Kami berhenti di sebuah bank yang mencetak cek tersebut. Setelah menunggu antrian selama satu jam, nomor antrianku pun dipanggil. Hanya sekitar setengah jam transaksi sudah selesai.

 

Kumasukkan uang senilai delapan puluh juta itu ke tas selempang yang kubawa. Setelah itu kembali menemui Tigor untuk melanjutkan perjalanan. Karena Tigor melajukan motornya dengan ngebut, kami pun tiba dengan cepat di rumah sakit. Turun dari motor, kakiku mengayun menuju kamar Bapak dengan setengah berlari. Membuat Tigor tergesa mengikuti.

 

Betapa kagetnya aku karena ternyata Bapak sudah tidak ada lagi di kamarnya. Ketika kutanya suster, ternyata Bapak sudah dipindah ke ruang ICU karena kondisinya ngedrop. Tanpa bicara lagi aku bergegas menuju kamar gawat darurat tersebut.

 

"Bu ...." Ibu yang sedang menekuri lantai di bangku tunggu, langsung bangkit berdiri begitu melihatku. Wajahnya menampakkan kesedihan yang mendalam. "Bagaimana keadaan Bapak?" tanyaku cemas. Lewat kaca aku mengintip pria yang terbaring lemah di dalam sana. 

 

Kemarin-kemarin aku menginginkan pria itu untuk lekas mati. Supaya tidak menambah beban Ibu. Nyatanya, melihat tubuh Bapak yang dipenuhi selang, hatiku didera rasa khawatir.

 

"Bapakmu harus segera dioperasi, Ran," ujar Ibu dengan bibir pucatnya.

 

"Aku bawa uangnya, Bu." Kutunjukkan tas berisi uang pemberian dari Rain. "Ya sudah ... aku temui dokter dulu. Ibu yang tenang di sini ya?"

 

Begitu mendapatkan anggukan setuju dari Ibu, kakiku menuju ruang kerja dokter yang menangani Bapak. Kusampaikan pada lelaki berjas putih itu jika kami pihak keluarga sudah bersedia  Bapak dioperasi.

 

Dokter berambut sedikit botak itu mengulurkan berkas. Menjelaskan prosedur. Aku yang tidak paham tentang bahasa kedokteran hanya mampu mengangguk. Ketika disuruh tanda tangan pun aku setuju.

 

"Sekarang silakan ke bagian administrasi," suruh dokter ramah.

 

Aku menurut. Tidak membuang waktu lagi aku melangkah menuju bagian administrasi. Petugas menunjukkan jumlah tagihan biaya operasi Bapak. Aku langsung membayarnya.

 

Maka setelah pembayaran selesai dilakukan, Bapak pun segera dibawa ke ruang operasi. Aku dan Ibu menunggu di luar dengan perasaan was-was. Sambil menunggu Ibu mengajakku untuk bermunajat pada Allah.

 

Ada sekitar satu jam aku dan Ibu menghabiskan waktu di masjid rumah sakit ini. Kami berdoa bersungguh-sungguh agar Allah memberikan kesembuhan pada Bapak. 

 

Dua jam setelahnya, operasi Bapak telah selesai dilakukan. Lelaki itu kemudian dipindahkan ke ruang pemulihan.

 

*

Bapak hanya satu hari berada di ruang pemulihan. Lelaki itu sudah berpindah ke ruang inap biasa. Keadaannya mulai terlihat membaik setelah dioperasi tiga hari lalu.

Tepat di hari ketujuh Bapak sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.

 

Kami sekeluarga tentu saja merasa bahagia. Apalagi ketika sampai di rumah, Bapak berjanji pada kami.

 

"Bapak gak akan main judi lagi. Apalagi mabuk." Bapak berikrar dengan bersungguh-sungguh. "Sudah cukup kejadian kemarin menggugah kesadaran Bapak. Bapak gak mau mati muda," tuturnya serius.

 

"Beruntung Allah masih memberikan kesempatan padamu untuk bertobat, Bang." Ibu berujar dengan haru.

 

Bapak mengangguk sedih.

 

"Sudah jangan sedih-sedih!" Aku turut berbicara, "untuk merayakan kesembuhan Bapak, bagaimana kalo kita mengadakan syukuran," tawarku tulus.

 

"Memang kamu masih pegang uang, Ran?" Ibu bertanya dengan serius.

 

Aku mengangguk pasti. Total biaya pengobatan Bapak mencapai angka lima puluh juta. Masih tersisa tiga puluh juta uang pemberian dari Rain.

Mengingat Rain, tiba-tiba hatiku kembali diliputi perasaan takut dan sedih. 

 

Takut jika nanti aku harus hidup menjadi pelayannya. Serta sedih karena harus berpisah dengan keluarga tercinta.

 

Jan lupa subscribe ya untuk update part terbaru 🙏

Bab terkait

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   5. Permintaan Bapak

    "Memangnya berapa orang itu memberimu uang, Ran?" tanya Ibu terlihat penasaran.Sebab total biaya rumah sakit Bapak itu saja sudah sangat mahal. Mungkin Ibu berpikir bagaimana bisa aku masih memegang uang."Delapan puluh juta, Bu," jawabku jujur."Delapan puluh juta?" Ibu tampak terperanjat. Itu wajar. Karena seumur hidup baru pertama kali bagi kami melihat uang sebanyak itu."Sebenarnya orang itu tidak memberikan, tapi ... aku yang minta pinjaman padanya," tuturku berterus terang.Ibu tampak tertegun lagi. "Lalu ... bagaimana kamu akan melunasinya, Ran? Kita sendiri tidak punya tabungan."Aku tersenyum getir. "Bukankah aku sudah jadikan jaminan oleh Bapak dalam taruhannya?"Ibu bergeming mendengarkan."Sisa uang ini akan aku berikan untuk I

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-18
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   6. Pemuda Baik Itu Bernama Iqbal

    "Saya tahu kamu pria yang baik, Rain," ucap Bapak terdengar bergetar.Tidak disangka tiba-tiba dia mendekati kursi Rain. Aku cukup terpana saat menyaksikan Bapak bersimpuh di kaki lelaki itu."Tolong jangan sentuh dia sebelum, kamu resmi menikahinya," mohonnya seraya menunjuk aku.Aku cukup tercengang mendengar permintaan Bapak. Rain pun menunjukkan ekspresi wajah yang sama denganku. Tanpa diduga mata kami saling bertemu pandang. Tatapannya yang tajam dan dingin membuat aku menunduk pada detik kelima. Rasanya aku tak sanggup menatap lebih lama mata elang itu.Rain tampak melepas belitan tangan Bapak. Pria itu membimbing Bapak agar bangkit dan tidak lagi bersimpuh padanya. Lelaki yang hari ini terlihat macho dengan jaket jeans belel itu justru memutari meja, lalu berdiri tepat di hadapan

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-08
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   7. Keterangan Dari Iqbal

    Rain hanya menatapku sejenak. Lelaki itu membuka pintu mobil. Tidak lama kendaraan roda empat itu pun melaju."Kiran, ayo kita berangkat!"Panggilan dari Iqbal membuatku tersadar. Pemuda itu sudah duduk di atas motor besar berwarna hitam. Wajahnya cukup tampan dengan kacamata hitam. Penampilannya kian keren dengan sebuah tas kecil di pinggangnya.Perlahan aku menuruni undakan teras, ketika Iqbal menunjukkan helm. Ketika mendekat, dia langsung memasangkan alat pengaman tersebut pada kepalaku."Biar aku aja!" tolakku saat tangan Iqbal memasang pengait helm.

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-08
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   8. Gadis Di Sarang Preman

    "Kita ke dapur lagi yuk, Ran!"Aku mengangguk menyetujui ajakan Iqbal. Kami akan membuat makanan."Makanan kesukaanmu apa?" tanya Iqbal mulai mengeluarkan sayuran dari kulkas.Aku berpikir sejenak. "Semua makanan aku suka. Kami tidak punya kesempatan untuk memilih. Apa yang ada ya dilahap saja," jawabku jujur disertai seringai malu. Tapi, memang seperti itu kenyataannya.Iqbal tersenyum tipis mendengarnya. "Tapi setidaknya ada kan makanan yang paling kamu suka?""Eum ... apa ya?" Mataku menerawang, "aku suka ayam

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-08
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   9. Dokter Dadakan

    Tinggal di kamar sendirian pada tempat baru sungguh tidak menyenangkan. Aku bingung harus melakukan apa. Di kamar ini tidak ada televisi, buku bacaan, atau majalah. Sementara jika memutuskan untuk tidur, ini masih terlampau sore.Baru pukul delapan malam. Satu setengah jam dari kepergian Rain dan anak buahnya. Belum ada tanda-tanda mereka akan kembali.Aku gelisah sendiri di sini. Dari kata-kata yang terlontar tadi sore, sepertinya Rain dan anak buahnya akan memerangi pengacau yang juga penganiaya Bang Tigor.Hatiku masih bimbang untuk melakukan apa. Tiba-tiba mata ini tertuju pada sebuah buku tebal di nakas kamar ini. Ketika kutengok, ternyata sebuah kitab suci umat Islam.Pada halaman pertama tertulis nama almarhumah Bik Yati. Pasti ini punya beliau. Akhirnya, hati ini sedikit tercerahkan. Untuk membunuh waktu, aku akan mengaji saja.Walau pun bukan seorang penghap

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-09
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   10. Gadis Dalam Foto

    "A-a-antarkan aku ke-ke kamar!" pinta Rain tersengal. "Cepaaat!" sentaknya terdengar kasar."I-iya." Akumengangguk cepat.Kusampirkan tangan kirinya ke pundak. Perlahan kami mulai menapaki tangga kayu. Napas Rain terdengar memburu. Jarak yang begitu cepat membuatku dapat merasakan hembusannya.Tidak lama kami tiba di lantai dua ini. Tempatnya lumayan rapi dan bersih dibanding lantai bawah. Ada dua buah kamar berseberangan di sini. Sementara di tengah-tengahnya terdapat satu set sofa minimalis."Itu kamarku," tunjuk Rain dengan suara lirih. Sebuah kamar yang terletak di sebelah kanan. Kubimbing Rain ke kamar tersebut. "Ambil anak kunci di ... saku." Suara Rain terdengar kian lirih.Tidak mau mendapat bentakan lagi, lekas kupenuhi perintah Rain. Kurogoh pelan saku celana jeans pria berhidung lancip ini."Saku belakang!" tegur Rain ketika aku

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-09
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   11. Keributan Di Pagi Hari

    "Aku juga gak begitu tahu siapa sosok gadis dalam foto itu, karena Bang Rain sendiri gak pernah mau bercerita," ujar Iqbal kemudian. "Tapi, dari keterangan almarhum Mbok Yati, katanya gadis itu orang yang sangat berarti bagi Bang Rain.""Lalu?" Lagi-lagi aku bertanya karena penasaran."Gadis itu sudah meninggal.""Me-meninggal?" Mataku terbeliak lebar.Iqbal mengangguk pelan. "Bik Yati yang cerita dulu, tapi ya cuma sebatas itu." Iqbal menghembus napas panjang. Dia mengompres dahi Rain kembali. "Ini udah cukup malem, sebaiknya kamu tidur, Ran!" suruh Iqbal kemudian."Ta-tapi Bang Rain--""Biar aku yang jaga," sela Iqbal santai, "sepertinya Bang Rain terkena infeksi makanya demam gitu. Tapi aku udah beli obat dan antibiotik kok," terangnya mencoba menenangkan.Karena sudah tidak ada lagi alasan berada di situ, aku pun pamit turun. Walau sebenarnya masih banyak sekali hal yang membuatku penasaran. Namun, kutahan. Sepertinya tidak etis j

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-10
  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   12. Siapa yang Memfitnah Aku?

    "Jangan sampai gue naik pitam!"Ibong membuang muka. Lelaki itu menghembus napas. Tidak lama dia mendekat pada Iqbal, lalu mengulurkan tangan."Maafin gue," ucap Ibong datar. Terlihat seperti tidak tulus."Sama-sama, Bong." Iqbal membalas jabatan itu.Kemudian Ibong melakukan hal yang sama padaku. Kumaafkan pria itu dengan menangkupkan kedua tangan."Kamu!" Rain menunjuk aku, "tolong buatkan kita sarapan!" suruhnya datar.Tanpa menunggu jawabanku, Rain berlalu. Aku ditemani Iqbal lekas menuju dapur."Kita buat bubur ayam saja. Rain suka sarapan itu." Iqbal memberi tahu.Kami membuat bubur ayam satu panci penuh. Kebetulan pagi ini banyak sekali anak buah Rain yang menginap di sini. Saat kuhitung ada sekitar dua puluh orang.Mereka makan di sembarang tempat. Ada yang di meja makan dapur

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-11

Bab terbaru

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   68. Kirei

    Rain dan Kirani sendiri langsung menuju kamar. Sementara Iqbal memilih bergabung dengan teman-temannya di gazebo belakang rumah. Anak-anak sedang main gitar dan bakar-bakar."Aduuuh!" Kirani mengaduh saat memasuki kamar."Nendang lagi?" tanya Rain melihat istrinya mengernyit menahan nyeri. Pria itu membimbing Kirani duduk di tepi ranjang."Kayaknya gak nendang lagi, tapi lagi koprol deh," balas Kirani menyandarkan tubuhnya pada headbed.Rain tersenyum mendengar jawaban lucu sang istri. Mata menangkap ada pergerakan pada perut buncit istrinya. Tangannya tergerak untuk mengelus.Tidak puas mengelus, Rain ingin mengecup permukaan perut Kirani. Dirinya ingin mengajak calon bayinya berbincang. Namun, saat ia membuka baju atas, tangan istrinya mencegah."Kenapa?" tanya Rain bingung.Kirani menggeleng lemah. "Malu."

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   67. Pertemuan Keluarga

    Lima bulan kemudian.Rain dan Nathan baru saja pulang dari kantor. Semenjak melamar Shila di rumah sakit dulu, Nathan memutuskan untuk tinggal di markas. Karena rasanya tidak etis jika harus seatap bersama Shila padahal keduanya belum sah. Walau pun ada si Bibik di antara mereka.Nathan dan Shila tidak segera melangsungkan pernikahan karena banyak banget agenda yang menunggu di depan mata. Di antaranya adalah menghadiri sidang kasusnya Ingga dan Tama. Baik Rain, Nathan, Shila, Kirani, dan Iqbal datang untuk memberikan kesaksian tentang kelakuan busuk sejoli itu.Setelah melewati beberapa kali sidang, akhirnya hakim memutuskan jika Tama dan Ingga dijatuhi vonis dua puluh tahun penjara. Keduanya divonis bersalah telah melakukan percobaan pembunuhan.Selain kasus, ada agenda lain yang membuat Nathan dan Shila menunda hari bahagia mereka yakni tentangpenyerahan aset. Shila sudah ditemukan. Rain dengan kesadaran diri menyerahkan hak milik gad

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   66. Kebahagiaan

    Shila tidak menjawab. Dia hanya menghambur pada dada yang terlapis baju khusus rumah sakit berwarna hijau tersebut. Gadis itu menyembunyikan wajahnya pada dada Nathan."Lho-lho ... kok udah main peluk-pelukan begini?"Tiba-tiba Rain datang sembarim merangkul pundak Kirani. Sementara tangan sang wanita memegang kue tart dengan beberapa lilin kecil. Lalu ada Ayon, Iqbal, Gadis, dan Ibu Sakina di belakang mereka. Melihat ada banyak orang yang masuk tentu saja Shila melerai pelukannya."Lho ... siapa yang ulang tahun, Ran?" tanya Shila bingung melihat kue yang dibawa istri sahabatnya itu."Kamu, Mit, eum maksud aku Shila." Kiran menjawab usai mendekati sahabatnya.Shila menyipit. Gadis itu tampak berpikir sejenak. Dia tengah mencoba mengingat sesuatu.Peristiwa terbenturnya kepala akibat pendorongan yang dilakukan Tama tempo hari membuat ingatan Shila sedikit demi sedikit kembali. Gadis itu memejam. Tiba-tiba kenangan akan sweet seve

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   65. Jawaban Untuk Nathan

    "Eum ... kata dokter bayi kita ....""Apa?" potong Kirani tidak sabaran. Rain terdiam. Pria itu mendongak, lantas menarik napas perlahan. "Kak, jawab! Jangan buat aku mati penasaran!" Kirani mengguncang lengan suaminya. Ketakutan membuatnya super panik."Tenang, Kiran," pinta Rain pelan. Tangannya mengusap lembut rambut sang istri."Gimana aku bisa tenang kalo kamu lama ngejawabnya?" sergah Kirani kasar. Hal yang belum pernah ia lakukan selama hidup dengan Rain. "Aku inget banget, tadi siang perutku sakitnya kayak ditusuk-tusuk pisau. Aku ... aku takut dia gak selamat." Tangis Kirani pecah.Rain memeluk istrinya. "Husst ... gak ngomong yang buruk-buruk! Gak baik itu." Dia menasihati sang istri."Tapi, aku takut, Kak." Kirani merengek.Rain mengusap air mata yang membasahi pipi istrinya. "Gak ada yang perlu ditakutkan, kamu hanya butuh bedrest total saja," terangnya kalem.Kirani menatap suaminya dengan serius. "Maksudnya bedrest aja b

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   64. Nasib Kirani

    Dia merasa ada banyak tangan yang meremas perutnya. Ketika rasa sakit itu kian menggigit, maka wanita itu akan mencengkeram kuat lengan Rain."Sabar, Sayang. Demi anak kita," ujar Rain lembut. "Tolong tambah kecepatan, Bal!" titah Rain panik."Iya, Bang. Ini juga ngebut kok," balas Iqbal di depan.Rain terus saja menyuruh Iqbal untuk menambah laju mobilnya. Apalagi saat dia merasa cengkeraman kuat dari sang istri. Hatinya benar-benar dilanda takut.Rain bahkan mengumpat kesal saat lampu merah menyala. Dia tidak tega mendengar suara kesakitan sang istri. Andai bisa diwakilkan, Rain memilih dia saja yang merasakan sakit itu.Akhirnya setelah melewati jalanan macet dan beberapa lampu merah, Iqbal telah berhasil mencapai parkiran rumah sakit. Pemuda itu membantu membukakan pintu mobil.Rain keluar dengan hati-hati. Dirinya membopong tubuh sang istri

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   63. Perjalanan Ke Rumah Sakit

    Shila terus saja tersedu menangisi kondisi Nathan yang tidak sadarkan diri. Wanita itu takut jika Nathan tidak bangun lagi untuk selamanya. Kepedulian dan perhatian Nathan selama beberapa hari terakhir begitu membekas di hatinya. Sementara hari ini dengan mata kepalanya sendiri, Shila melihat kesungguhan dalam diri Nathan.Nathan begitu tulus menjaganya agar tidak lecet sedikit pun. Bahkan pemuda itu rela berkorban nyawa demi dirinya. Melihat itu mata hati Shila terbuka lebar.Sekarang gadis itu tidak meragukan lagi keseriusan ucapan Nathan. Dalam hati Shila bertekad jika nanti Nathan sembuh dia akan lekas menjawab ungkapan hati pemuda itu tempo hari.Tidak jauh dari Shila dan Nathan berdiri Kirani. Dia dan sang suami tengah menunggu kedatangan ambulans untuk mengangkut Nathan ke rumah sakit. Tadinya Rain akan membawanya pulang saat komplotan Tama berhasil dibekuk oleh Komandan Bumi dan pasukannya. Namun, Kirani menolak dengan dalih ingin menemani Sh

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   62. Takluknya Gembong Mafia

    Tama memuntahkan isi pistolnya. Nathan sempat menghindar dengan melengoskan tubuh. Namun, timah panas tersebut tetap mengenai lengan atasnya."Nathaaan!" Shila dan Kirani menjerit bersamaan melihat bisep pemuda itu sudah berlumuran darah. Shila langsung memdekap Nathan.*Satu jam sebelum kejadian di apartemen Tama.Di rumah sakit, Ijong tengah menjenguk Iqbal. Keduanya tengah asyik berbincang. Sementara di brankar sebelahnya Gadis asyik bermain game di gadget untuk menghilangkan jenuh.Dalam hati, Gadis merutuk kedatangan Ijong. Karena moment mengobrolnya dengan Iqbal jadi tertunda. Apalagi kedua lelaki itu berbicara topik yang tidak dipahami oleh Gadis. Pokok tentang dunia bisnis dan mafia.Ketika tengah asyik berbincang, ponsel Ijong bergetar. Pemuda setengah gondrong itu melihat siapa yang menghubungi. Ternyata Ayon."Ada apa, Yon?" tany

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   61. Nathan Tameng Shila

    Tama bergegas menarik Shila kembali begitu mendengar peringatan dari polisi. Dia menjadikan Shila sebagai tawanan. Pistol di tangannya ia arahkan pada kepala Shila.Tentu saja gadis itu ketakutan. Tubuh Shila sampai bergetar saking ngerinya. Bibirnya merintih takut.Didan pun memperlakukan Kirani sama seperti bosnya. Wanita itu ia sekap. Moncong senjatanya ia arahkan pada pelipis istri dari Rain.Berbeda dengan Shila yang gemetar ketakutan, Kirani terlihat sedikit tenang. Bukan karena dia berani. Namun, keadaan ini sudah pernah ia alami sebelumnya. Dia memilih diam sembari memikirkan jalan keluar."Sekali kami peringatkan untuk membuka pintu apartemen ini atau kami buka paksa!" Suara Kapten Bumi terdengar lebih keras doorbell interkom.Tama mendekat pintu. Lewat layar LCD tujuh inchi dia bisa melihat keadaan di luar. Ada Komandan Bumi berserta anak buahnya dan

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   60. Bertarung Melawan Tama

    Tangannya bergerak cepat menarik pistol dari dalam persembunyian. Gegas ia todongkan senjata tersebut pada Rain.Kirani yang ngeri memekik keras. Dia masih trauma dengan insiden beberapa bulan lalu yang merenggut nyawa bapaknya."Tetap tenang dan terus berada di belakang aku," ujar Rain memenangkan hati sang istri. Dia menggenggam kuat tangan Kirani."Tama, buka pintunyaaa!" Sementara di atas Shila terus berteriak dan menggedor pintu. "Taaam!"Teriakan keras dari Shila sedikit mengalihkan perhatian Tama. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Rain. Ketika Tama tengah mendongak, tangannya langsung menampik senjata yang tengah dipegang oleh Tama.Senjata api itu terjatuh ke lantai. Tama terkesiap. Lagi-lagi Rain tidak melewatkan kesempatan. Kakinya bergerak cepat menendang perut Tama hingga lelaki itu terjatuh.Rain dengan sigap meraih pistol Tama dengan kakinya. Setelah dapat dia mengarahkan senjata tersebut pada Tama."Kiran, kamu kel

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status