“Pokoknya saya mau nuntut orang ini atas kasus penyerangan!” kelakar Pria bernama Jody, Pria yang ribut dengan Kara di Taman.
“Yang harusnya masuk penjara itu lo! Orang yang main kekerasan dengan anak kecil!” sahut Kara tak kalah emosi.
“Coba tolong tenang dulu, jelasin dari awal sebenarnya ada apa.” lerai Pak Dodo, Petugas keamanan di Apartemen Winter Garden.
“Pak Dodo, Bu Dean ini mengatakan yang sebenarnya, liat nih, tangan Si Jojo sampe biru begini.” tambah Bu Bambang yang mengenali anak kecil itu. Anak kecil berumur tujuh tahun itu bernama Jojo, dia tinggal di unit 506 yang berada di lantai 5.
“Iya Pak Dodo, bawa aja nih orang ke kantor polisi!” tambah Bu Haikal ikut memanas-manasi.
“Haduh Ibu-ibu, sabar dulu, coba saya mau tanya Jojo dulu, Jojo, bener kamu di pukul sama Om ini?” tanya Pak Dodo.
Jojo tak menjawab, ia hanya diam sambil bersembunyi di belakang Kara.
“Dia pasti syok, sampe gak bisa bicara.” ketus Kara sambil
Dean merapatkan jaket traningnya lalu masuk ke dalam lift, namun belum sempat pintu lift itu tertutup, sebuah bola plastik melesat cepat di depannya dan mendarat mulus tepat di wajahnya. Pekikan kencang langsung keluar dari mulutnya dan dilanjuti dengan ringisan panjang karena wajahnya terasa panas. Ia pun menahan pintu lift agar tidak tertutup dan memeriksa sekitarnya untuk melihat siapa yang melempar bola ke wajahnya. Dan tak butuh waktu lama, ia langsung bisa melihat sosok kecil dengan hoodie merah yang sebelumnya sudah pernah ia lihat. “Anak itu lagi!” geramnya lalu keluar dari lift dan mengejar anak itu yang turun ke lantai bawah lewat tangga darurat. Langkah kaki Dean yang tiga kali lebih besar dari anak itu tentu dapat mengejarnya dengan mudah. Sehingga ia berhasil menarik kupluk hoodie anak itu dan membuatnya berhenti berlari. “KETANGKEP!” serunya puas, ia memang sudah gemas dengan anak ini karena anak ini pula yang mengerjai wajahnya
Kara turun dari atas motor ojek onlinenya begitu sampai di depan lobby Apartemen Winter Garden. Setelah itu ia bergegas masuk ke dalam gedung dan berjalan ke arah lift. Namun saat melintasi minimarket, ia jadi memutar tubuhnya karena mengingat jika ia harus membeli alat tulis, karena alat tulisnya tertinggal di rumah lamanya. Ia pun segera pergi ke rak yang memajang perlengkapan alat tulis. Dan setelah mengambil tiga buah pulpen, satu pensil, dan rautan, ia langsung menuju kasir untuk membayar. Namun saat mengantre, matanya tak sengaja menangkap sosok anak kecil yang ia lihat di taman waktu itu. “Jojo!” Seru Kara. Jojo yang selalu tampil dengan hoodie merah berlogo Iron Man itu langsung tersenyum saat Kara memanggilnya. “Kamu ngapain di sini?” tanya Kara karena Jojo sedang berdiri di depan freezer ice cream yang ada di minimarket. “Aku mau beli Ice Cream.” sahutnya. “Oh, mau pilih yang mana? Biar Tante ambilin.” tawar Kara karena stok
Kara membuka matanya saat jam beker di atas meja kerjanya berbunyi. Dengan malas ia merangkak untuk mematikan jam yang berbunyi dengan sangat keras itu. Sambil menguap ia menguncir rambutnya ke atas lalu mencari ponselnya yang sepertinya ikut tertimbun di bawah selimut. Namun tiba-tiba saja ia jadi ingat kejadian tadi malam. "Oh iya, Dean!" Ia pun langsung keluar dari kamarnya dan menuju kamar Dean yang ada di sebelah kamarnya. Ia mengetuk pintu itu lagi seperti semalam sambil memanggil nama Dean berkali-kali. Namun tak ada jawaban, ia pun mencoba membuka kenop pintu itu dengan perlahan. Kara agak terkejut karena pintu itu tak terkunci seperti biasanya. Dengah hati-hati Kara menyembulkan kepalanya untuk melihat keadaan di dalam kamar Dean. Ia tak menyadari adanya tanda-tanda pria itu ada di sana. Kamarnya pun terlihat sangat berantakan. Ia pun memberanikan diri untuk masuk ke dalam dan langsung berdecak heran saat melihat kasur Dean penuh dengan noda da
Satu minggu berlalu sejak pertengkaran hebat Dean dan Kara. suasana Apartemen Dean kini tampak lebih hening. Keduanya masih saling mengabaikan satu sama lain dan menjaga jarak sebisa mungkin. Baik Dean atau Kara tak ada yang ingin memulai pembicaraan lebih dulu. Dean banyak menghabiskan waktunya di kantor, ia memilih untuk menyibukan diri dengan bekerja dan memilih menghabiskan waktu luangnya di rumah sakit bersama Ibunya yang kini sudah mulai membaik. Sementara Kara lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar, jika bosan ia pergi ke Café milik Rumi hingga larut dan pulang ke rumah setelah Dean pulang kerja dan tidur di dalam kamar. “Kar, misalnya naskah lo diterima terus jadi dibuat serial, berarti nanti bisa tayang di luar negeri juga gitu?” tanya Rumi saat Kara makan siang di dapur Cafenya. Kara mengangguk sambil meminum air putih, “Hm, lo tau kan ZetFlix udah ada di banyak negara.” “Waaah gaji lo pake Dollar dong nanti!” seru
Dean berlari kecil untuk menghindari tetesan air hujan begitu ia turun dari mobilnya yang terparkir di halaman Polsek. Ia langsung menghampiri petugas pertama yang ia lihat sambil menengok ke kanan dan kiri untuk mencari keberadaan Kara. “Pak, tadi ada cewek korban pencopetan yang buat laporan di sini? Tanya Dean. “Oh, Bapak yang tadi telepon ya?” tanya polisi yang ternyata menerima panggilan Dean tadi. “Iya Pak, terus sekarang dia di mana?” Petugas polisi itu pun menghentikan salah satu rekannya yang sejak sore piket di depan pos. “Har, Mbak rambut pendek tadi yang duduk di sini ke mana?” tanyanya. “Oh udah pulang, ada kali dua jam yang lalu.” sahut rekan polisi itu. “Dia pulang naik apa Pak?” tanya Dean lagi. “Mm… saya sih gak liat dia naik apa-apa, soalnya tadi dia jalan kaki aja ke sana.” sahutnya. Dean menyugar rambutnya ke belakang sambil menghela napas berat, “Terima kasih Pak, saya permisi.” Pamit Dean c
“Saya rasa bukti-bukti yang Ibu berikan sudah cukup.” ucap Dean pada kliennya sambil memeriksa beberapa lembar kertas yang ada di tangannya.“Syukurlah, saya mau perceraian saya bisa cepat selesai sebelum saya pindah ke Jepang.” Sahut klien Dean yang bernama Mari.Kali ini Dean dan kliennya sedang berada di Coffe shop yang berada tak jauh dari kantor Dean.“Hm… soal tuntutan harta gonogini nanti saya pelajari dulu dengan tim saya, akan saya usahakan Ibu bisa mendapat semua hak-hak Ibu.”“Terima kasih, saya percaya saja pada Pak Dean.” Mari tersenyum hingga kerutan di sekitar matanya terlihat.Lalu tiba-tiba ponsel Dean yang berada di atas meja bergetar. Dean pun langsung mematikan layarnya kembali karena itu hanya bunyi alarm.“Pak Dean pasang alarm untuk makan siang? Pasti Pak Dean ini sibuk ya, jadi sampai pasang pengingat segala.” tanya Mari yang sempat melihat note alarm
Kara berlari kecil menuju pintu begitu terdengar bunyi bel. Ia sudah tau siapa yang akan datang makanya ia amat antusias.“Rumi!!!” serunya.“Yak! Lo beneran gak apa-apa? Gue panik gak bisa hubungin lo dua hari tau gak!” semprot Rumi begitu melihat Kara.Kara pun langsung cengengesan lalu menarik Rumi masuk ke dalam Apartemen.“Sorry, gue baru punya HP lagi.” ucap Kara yang memang langsung menghubungi Rumi semalam dan menceritakan kejadian yang menimpanya beberapa hari lalu.“Terus gimana? Belum ada kabar dari polisi soal copet itu?”“Hm, gak tau deh, gue sih gak mau berharap banyak.” sahut Kara lalu menyuruh Rumi duduk di sofa ruang tengah.“Waaah Apartemen Dean ternyata bagus juga, pantes lo betah.” komentarnya sambil matanya mengabsen semua barang yang terlihat oleh matanya.“Tempat ini sempurna, kecuali yang punya.” sahut Kara.
Kara keluar dari sebuah gedung tinggi dengan langkah ringan. Ia baru saja bertemu dengan Pak Najib untuk menyerahkan naskahnya yang akan diangkat menjadi sebuah serial di situs streaming. Jika Pak Najib menyukai naskahnya, maka bulan depan ia akan mulai menandatangani kontrak serial itu. Maka ia pun berharap jika pihak situs streaming itu benar-benar tertarik dan meminang naskahnya. Ia pun berencana untuk kembali ke rumah secepatnya karena siang ini Dean akan memasak Sup Ayam untuknya. Kara pun menyetop sebuah Taksi dan langsung mengarahkan Taksi itu menuju Apartemen Winter Garden. Dan satu jam kemudian Taksi yang Kara tumpangi sudah sampai di lobby Apartemen. Setelah membayar ongkos Taksinya, Kara pun turun lalu berjalan ke arah lift. Namun ia lagi-lagi bertemu dengan Jojo yang juga berniat ingin masuk ke lift. “Hei!” seru Kara senang karena melihat anak lucu itu lagi. Jojo pun tersenyum seperti biasa untuk merespon Kara. “Kamu dari m
Kara mengetuk pelan pintu ruang Dokter Helen begitu tiba gilirannya masuk. Seorang perawat pun langsung menyambutnya dan menyuruhnya masuk. setelah itu ia menurut saat Perawat itu menyuruhnya duduk sejenak karena Dokter Helen sedang keluar sebentar.Bisa ia lihat map rekam medis Dean sudah tergeletak di atas meja, map itu pun terlihat tebal, menandakan jika sudah banyak sesi yang Dean lewati bersama Dokter ini.“Bu Kara ya?” sapa seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan.Kara pun langsung berdiri untuk menyambut seserorang yang ia yakin adalah Dokter Helen.“Iya Dok.” sahut Kara sopan.“Silakan duduk.” ucap Dokter Helen lalu duduk juga di kursinya.“Pak Dean gak ikut?” tanya Dokter Helen.“Enggak Dok, dia masih ada kerjaan, gak apa-apa kan?” tanya Kara balik.“Gak apa-apa, saya memang mau ngobrol sama Bu Kara aja kok.” sahutnya sambil tersenyum hingg
Dean masuk ke dalam ruangan Dokter Helen setelah seorang perawat memanggil namanya. Setelah itu ia duduk di depan meja Dokter Helen yang sudah menyambutnya dengan senyuman hangatnya.“Siang Dok.” sapa Dean.“Siang Pak Dean, hm... kenapa baru ke sini sekarang? sesi kita harusnya 2 minggu yang lalu.” ucap Dokter Helen sambil memicingkan matanya.Dean tersenyum simpul, “Maaf Dokter, saya gak sempat, banyak kerjaan di kantor.”“Tapi sepertinya Pak Dean baik-baik saja, apa sudah gak ada keluhan sakit kepala lagi?”“Iya, saya rasa kondisi saya saat ini jauh lebih baik.”“Masih minum obat?”“Masih, tapi obat penghilang rasa sakitnya udah gak pernah saya minum dua minggu terakhir ini.” ungkap Dean.Dokter Helen pun mengangguk pelan, ia kemudian membuka map yang berisi rekam medis Dean dan mulai mencatat perkembangan terbaru Dean.“Gimana ka
Pelanggan terakhir Aprodite Café mulai bangun dari kursinya lalu keluar lewat pintu keluar yang ada di samping. Andrea pun segera bergegas menuju pintu depan untuk membalik papan tanda buka menjadi tutup agar tak ada pelanggan lain yang masuk.Dari mesin kasir, Rumi melirik ke arah Andrea yang tampak bekerja seperti biasa. Selama ini memang hanya ia sendiri yang bersikap berbeda, ia lebih sering menghindari tatapan mata dengan Andrea dan lebih banyak menyibukkan diri dengan melayani pelanggan.“Mbak Rumi, lampu neon box di depan mati.” teriak Andrea dari arah pintu.“Em… Iya Ndre, besok aja gantinya, gue beli lampunya dulu.” sahut Rumi.“Sekarang aja, toko listriknya masih buka.” balas Andrea lalu pergi begitu saja, padahal Rumi berniat ingin memberinya uang lebih dulu.Rumi pun menghela napas berat, sepertinya sikap Andrea menjadi lebih dingin padanya. biar bagaimanapun sudah seminggu lamanya ia me
Romlah : Kamu temui dulu Stela, jangan membantah perintah Mami.Jamal : Apa Mami serius? Mi aku ini udah menikah, bagaimana bisa Mami nyuruh aku ketemu wanita lain!Romlah : Apa salahnya? Kan hanya ketemu aja, siapa tau aja kalian bisa jadi teman baik.Jamal : Gimana kalau Jamila denger Mi? dia pasti akan sakit hati.Romlah : Jamila biar Mami yang urus, dia gak akan tau, lagian siapa suruh sampai sekarang belum juga hamil!Jamal : Mami benar-benar keterlaluan!“Hm… waktunya tepat gak ya buat munculin orang ketiga?” Kara mengoceh sendiri di depan komputernya, lebih tepatnya komputer Dean.“Apanya yang orang ketiga?” Dean yang sedang mengutak-atik laci rak bukunya jadi teralihkan sejenak.“Oh enggak, ini naskah gue.” sahut Kara lalu membetulkan letak kacamatanya dan kembali fokus ke layar komputernya.“Oh iy
Hujan gerimis membuat Kara jadi berlari kecil menuju lobby Apartemen sambil memeluk tasnya agar tak basah. Namun sebelum ia masuk ke dalam lift ia terhenti karena ada seseorang yang memanggilnya dari arah lobby.“Bu Dean!” Bu Bambang melambaikan tangannya.Kara pun jadi mundur selankah dari depan lift dan menunggu sampai Bu Bambang dan dua Ibu-ibu lainnya datang menghampirinya.“Dari mana Bu Dean?” sapa Bu Haikal yang membawa plastik besar yang berisi banyak roti.“Dari rumah temen, Ibu-ibu mau kemana?”“Ini, kami mau ke rumahnya Jojo.” sahut Bu Rudi.“Ke rumah Jojo?”“Iya, sejak kejadian waktu itu kami gak sempat-sempat ke rumahnya Jojo buat minta maaf ke Bu Lucy.” ungkap Bu Haikal.“Bukannya gak sempat, tapi Bu Rudi sama Bu Haikal masih gengsi kan?” seloroh Bu Bambang.“Bukan gitu Bu, kan kita sibuk waktu itu, segala ngurus Bakti
Kara mengintip dari balik pintu kaca Aprodite Café yang masih tertutup rapat, padahal jam sudah menunjukan pukul 10 pagi. Harusnya Café ini sudah buka sejak satu jam yang lalu.“Sepi banget sih?” gumam Kara, ia memang sedikit khawatir pada Rumi makanya ia memutuskan untuk datang menemuinya saja dari pada mendengarnya bicara lewat telepon.Namun baru saja ia ingin mengambil ponselnya untuk menelepon Rumi, Andrea keburu datang dan menepuk pundaknya dari belakang.“Mbak Kara.” sapa Andrea.“Eh kaget!” Kara sedikit melenjit, “Gak ada suaranya lo Ndre ah!” protes Kara.“Heheh maaf Mbak, Mbak Kara ngapain?”“Kok masih tutup Cafenya? Rumi mana?” tanya Kara langsung.“Mbak Rumi masih di jalan katanya, tadi abis dari salon dulu katanya.” jelas Andrea.Kara pun mengangguk mengerti, “Em… lo masih kerja di Club waktu itu Ndre?&rdq
Hubungan Dean dan Kara benar-benar berubah 180º. Kontrak penuh poin perjanjian yang sudah mereka buat sebelumnya seperti sengaja mereka lupakan begitu saja tanpa ada yang berniat membahasnya. Kini tak ada lagi batas kontak fisik, keduanya bisa saling menyentuh satu-sama lain kapanpun mereka mau. Kini mereka tak lagi berpisah saat malam datang. Entah itu di kamar Kara, atau di kamar Dean, melewati malam bersama kini sudah menjadi hal rutin yang tak bisa mereka lewatkan, baik hanya untuk saling bercengkrama, berkeluh kesah, berpelukan, atau bercinta sampai lelah.Satu bulan pun terlewat begitu saja dengan bertambahnya kisah Kara dan Dean yang sedang dimabuk cinta.“Lo lagi baca apa?” tanya Dean yang dari tadi merasa dicueki.“Buku baru.” sahut Kara yang masih asik membaca Novel berbahasa Inggris yang baru ia beli.Dean menyentuh lengan Kara dengan jari telunjuknya dan mengusapnya lembut, sambil mengamati wajah Kara dari samping.
Pintu ruangan Dean terbuka setelah diketuk dua kali. Lalu masuklah seorang Pria yang membawa tumpukan kertas tebal di tangannya.“Siang Pak Dean, ini print out kasus Pak Hendra yang tadi Pak Dean minta.” ucap Pria kurus itu yang bernama Dikta, dia adalah Junior Dean di Fakultas Hukum dulu, dan kini ia menjadi asisten Dean di Alpha Law Firm.“Hm, taro aja di meja.” sahut Dean sambil menunjuk meja sofa dengan dagunya.“Ah iya Pak, sidang kasus perceraian Bu Sarah itu saya kasih ke siapa ya? Pak Dean udah gak bisa urus itu kan?” tanya Dikta.Dean berhenti sejenak untuk berpikir, “Hm… kamu lagi ngerjain kasus apa?”“Saya masih bantuin kasus sengketa tanah Apotek yang di Ancol.”“Kamu bisa kalo pegang kasusnya Bu Sarah sekalian?”Mata Dikta langsung berbinar, “Beneran Pak? Saya boleh pegang kasus ini?”Dean mengangguk, “Ya, pela
Kara mengekori Dean begitu Pria itu masuk ke dalam rumah setelah kembali dari unit Apartemen Bu Bambang yang ada di lantai 11.“Gimana? Lo gak di laporin Polisi kan?” tanya Kara penasaran.“Gue gak akan bisa masuk penjara, itu kan bentuk pertahanan diri, yang penting udah ada buktinya dia nyerang lo duluan.” sahut Dean sambil mengambil air dingin dari kulkas.“Tapi tuh orang sampe babak belur hampir mati begitu, kalo dia nuntut lo gimana?”“Bodo, salah sendiri mancing emosi gue.” sahut Dean enteng, namun setelah itu ia mendelik ke arah Kara.“Yak! Udah gue bilang, segalak-galaknya lo, jangan coba-coba cari masalah sama orang jahat, kenapa lo hobi banget nantangin orang? Seandainya gak ada gue semalem bisa-bisa lo yang ada di rumah sakit sekarang.” omel Dean.Kara langsung melengos, pasti ada saja ocehan Dean yang hinggap padanya.“Itu karena lo gak percaya sama gue, kan