Andhira mendorong bahu Aruna. Wanita itu melangkah menuju meja kerjanya. Dia memilih duduk di kursi agar jarak dengan Aruna tidak terlalu dekat. Berdiri dalam jarak yang sangat intim dengan Aruna, entah kenapa membuat tengkuk Andhira meremang."Kenapa kau begitu jahat padaku, Andhira? Apa salahku padamu?" Aruna menarik kursi dan duduk di depan Andhira. Dia memang sengaja datang kemari untuk menemui wanita itu. Dia harus memastikan semua hal, agar tidak salah langkah ke depan."Jawab!" Aruna memukul meja sehingga membuat Andhira terlonjak kaget.Wanita itu menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Aruna. Dia tidak boleh takut. Tibra sudah berjanji akan melindunginya dalam kisruh masalah ini."Kau tidak ada salah, Aruna. Hanya saja, aku menginginkan posisimu."Aruna menautkan alis mendengar ucapan Andhira. Dia menahan napas menunggu kelanjutan ucapan wanita itu."Aku menginginkan kehidupan sepertimu. Punya suami tampan, hidup bergelimang harta, kau juga tidak pernah kekurangan
"Gugatan Penggugat patut dikabulkan dengan menetapkan hak pengasuhan berada pada Penggugat sebagai ibu kandungnya.""Alhamdulillahirobbilalaamiin." Aruna menutup wajah dengan kedua tangannya. Ketukan palu tiga kali dari hakim menjadi penanda sidang resmi ditutup.Lendra menarik napas panjang. Lelaki itu tersenyum lebar mendengar keputusan hakim. Kelegaan jelas terpancar dari wajahnya. Setelah berbulan-bulan menjalani proses sidang yang alot, akhirnya mereka bisa mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan.“Bapak.” Aruna memeluk Wira yang sekalipun tidak pernah absen menemaninya dalam setiap sidang.Lelaki itu mengusap air mata putrinya. Dia mengelus kepala Aruna dan mencium puncak kepala Aruna. Dulu, kini dan nanti, Aruna akan selalu menjadi putri kecilnya. Selama sepuluh tahun dia berada dalam pengawasan lelaki lain, kini anaknya kembali lagi pada tanggungjawabnya.Ada kelegaan sekaligus kesedihan yang berjalan beriringan dalam benak Wira. Dia merasa lega karena akhirnya Aruna
Lendra mengarahkan Aruna dan Wira untuk segera meninggalkan ruang sidang. Masalah banding itu bukan urusan mereka. Sebelum keputusan hari ini pun, mereka sudah memperkirakan pihak Tibra akan banding jika hak asuh anak jatuh pada Aruna.Tidak masalah, karena ada banyak hal yang akan memberatkan Tibra sehingga sulit mendapatkan hak asuh. Salah satu diantaranya adalah kasus perzinahan yang saat ini sedang dalam penyelidikan. Aruna sengaja mengangkat kasus itu bukan karena sakit hati, tetapi dia melakukannya agar bisa memenangkan hak asuh.Jika Tibra terbukti melakukan perzinahan, maka posisinya akan semakin kuat walau lelaki itu terus maju sampai kasasi.“Aruna, Aruna, bagaimana dengan perkembangan kasus perzinahan yang anda laporkan?” Beberapa awak media langsung berlarian, pindah lapak, saat melihat Aruna dan kuasa hukumnya keluar dari ruang sidang.“Sejauh ini proses terus berlanjut. Bukti-bukti yang diminta juga sudah kami berikan semua.” Lendra mewakili Aruna menjawab.“Ada yang m
Mobil silver mewah dengan harga fantastis itu parkir dengan mulus di halaman rumah dua lantai. Pengemudinya, seorang wanita cantik yang menggunakan baju semi formal kuning gading. Rambut panjangnya yang hitam legam dan sedikit bergelombang dengan warna blonde di ujungnya dibiarkan tergerai begitu saja.Kaki jenjangnya yang putih mulus terlihat sangat jelas karena dia mengenakan rok ketat dengan tinggi lima belas sentimeter di atas lutut. Bibirnya yang menggunakan perona bibir warna peach terus saja tersenyum dari tadi. Dia sedang sangat bahagia.Bagaimana tidak bahagia? Sepuluh menit yang lalu suaminya menelepon, mengabarkan sesuatu yang membuatnya hampir meloncat kegirangan andai tidak ingat sedang mengemudi. Andai waktu bisa diulang, dia ingin sekali rasanya merekam percakapan itu untuk memperingati hari ini sebagai tonggak bersejarah, karena lelaki itu menjadi miliknya seutuhnya.“Dhir? Aku kalah. Aruna memenangkan hak asuh atas Zahir dan Zafar.”Suara lemah Tibra yang tadi menel
Bagai disambar petir, betapa kagetnya Andhira saat lelaki itu berbalik dan menatap mereka. Untuk beberapa detik dia dapat merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Napasnya terasa sesak, keringat dingin mulai keluar dari pelipis. Ujung tangan Andhira mendadak terasa sangat dingin.Devan.Ketakutannya terjadi. Mantan suaminya itu bergerak lebih cepat dari yang dia perkirakan. Andhira memang sudah memperkirakan hari ini akan terjadi. Dia tahu persis siapa Devan, lelaki psikopat dan sangat posesif itu.Namun, dia tidak menyangka akan secepat ini. Awalnya, dia berharap saat devan datang pernikahannya dengan Tibra sudah sah di mata hukum. Sehingga, lelaki di hadapannya ini pasti akan berpikir dua kali jika ingin mengganggunya lagi."Anna, main sama Mbak Warsih dulu ya." Andhira mengelus kepala Anna. "Tapi Anna masih mau main sama Ayah, Bu." Anna merengek.“Duh!” Andhira mengeluh dalam hati mendengar rengekan Anna.“Nanti lagi ya? Inikan jadwalnya Anna mengerjakan PR. Pasti ada PR k
Lelaki itu tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Andhira. Dia bahkan memegangi perutnya yang terasa sakit karena tertawa sampai tidak bersuara. Devan duduk di kursi tamu sambil mengusap ujung matanya yang berair setelah berhasil menguasai diri.Sementara Andhira menatapnya dengan mulut membisu. Dia berusaha keras menata perasaannya agar tidak dikungkung ketakutan.“Jadi benar informasi yang beredar di luaran sana?’ Devan mengambil air minum yang tadi dihidangkan Mbak Warsih. Dalam sekali tegukan, gelas besar itu langsung kosong.“Hebat juga kau bisa masuk ke dalam rumah tangga pasangan terkenal itu. Membuat kau pun kecipratan terkenal karena menjadi perusak rumah tangga mereka.” Devan mengangguk-angguk.“Tapi aku malah bersyukur, berkat mencuatnya berita ini aku bisa menemukanmu dengan mudah.” Devan tersenyum manis menatap Andhira yang membatu.“Apa maumu, Devan? Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi.” Andhira mengembuskan napas kencang. Tiga tahun dia hidup dalam damai. Kini,
“Para saksi itu sudah diamankan Lendra. Aku hafal betul cara kerjanya.” Raka mengetuk-ngetukkan pulpen merk Parker yang selalu dia gunakan. Lelaki itu menatap Tibra yang terlihat tengah memikirkan sesuatu.“Kita bayar saja mereka. Penuhi berapapun yang mereka pinta.” Tibra menatap lurus pada Raka.“Tidak bisa. Saksi-saksi itu sudah diamankan Lendra bahkan jauh sebelum kasus ini naik laporan, Pak Tibra.” Raka menggeleng. Sekilas dia melirik pada Andhira yang sedari tadi hanya menjadi pendengar. Raka tersenyum tipis dan menarik napas panjang.Cantik dan menarik, dia pun tertarik. Namun, jika itu dia, jelas dia akan memilih Aruna dibandingkan Andhira. Entah apa yang dimiliki Andhira, pasti sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh Aruna. Sehingga lelaki seperti Tibra bisa berpaling dengan mudah.“Aku hafal mati langkahnya. Ketika laporan ini naik, pasti dia sudah mempunyai bukti yang kuat dan sudah mengamankan saksi.”Tibra mengepalkan tangan dan memukul-mukul pahanya. Lelaki itu menarik
“Begini, Pak Tibra.” Raka melipat tangannya di atas meja. Lelaki itu menarik napas panjang sebelum mulai berbicara.“Lawan kita saat ini memiliki bukti dan saksi yang cukup kuat. Mereka lihai membaca peluang hingga membuat kita tidak mempunyai pilihan.” Raka berhenti sebentar. Otaknya berpikir keras memilih kalimat yang mudah dimengerti oleh kliennya.“Kalian sudah jelas harus mengakui ada hubungan, karena mereka bisa membuktikan itu. Kalau kalian mengelak, proses hukum akan semakin rumit. Itu artinya tidak sportif mengikuti proses hukum." Raka memperhatikan wajah Tibra yang terlihat sangat gusar."Nah, untuk itu, ada dua pilihan bagi kalian kalau bersedia mengakui ada hubungan. Hubungannya sebagai apa? Sudah menikah atau belum? Keduanya sama saja tetap terjerat pasal." Raka memegang tangan Tibra, meminta lelaki itu jangan menyela ucapannya. "Nama baikmu akan tambah hancur kalau mengaku sudah menikah, Pak Tibra. Kalau sekedar berselingkuh, bisalah kau berdalih khilaf. Wajar sebagai l
"Ampun! Ampun! Maaf, Mas." Andhira memeluk lutut dan menyembunyikan kepalanya di sana. Rambut wanita itu kusut masai. Di lantai, ceceran rambutnya terserak banyak karena sering dijambak."Tolong! Tolooong … tolooooong … bantu aku, bantu aku." Andhira kembali berteriak kencang sambil menangis histeris. Tubuhnya bergetar hebat. "Jangan bunuh aku, kumohon. Biarkan aku dan anakku hidup dengan tenang. Kumohon." Andhira menghiba dengan wajah basah.Sepuluh menit kemudian, dia tertidur di lantai dalam posisi bersujud. Seperti biasa, setelah mengamuk dan berteriak histeris, Amdhira akan tertidur begitu saja karena kelelahan. Napasnya terdengar teratur. Tidak lagi menderu seperti tadi.Disini, Tibra mengepalkan tangan kencang. Hatinya perih melihat keadaan Andhira. Sejak kejadian pagi itu sebulan yang lalu, Andhira menjadi lebih pendiam. Wanita itu tidak banyak bicara. Dia bahkan semakin menjaga jarak dengan Tibra dan tidak berani membalas tatapannya setiap kali berbicara.Tepat seminggu setela
Tibra meremas selembar foto di tangannya. Lelaki itu menatap nyalang pada foto-foto lain yang berserakan. Disana terlihat foto dua orang yang sangat dia kenal. Andhira dan Devan sedang akad nikah. Keduanya juga tampak tersenyum lebar di pelaminan. Di foto lain, terlihat Devan dan Andhira sedang berfoto di ranjang rumah sakit sambil memeluk bayi mungil dengan papan nama bertuliskan nama Anna. Bukan hanya foto, tapi fotokopi kartu keluarga dan Juga fotokopi buku nikah melengkapi isi amplop coklat yang sampai ke mejanya pagi ini. "Lelucon apa ini?" Tibra tertawa kencang. Kepalanya hampir pecah mengetahui istri dan orang yang telah menghancurkan usahanya ternyata pernah menikah. Lelaki itu benar-benar meraa dipermainkan oleh kehidupan. Tibra langsung membereskan semua foto dan memasukkannya kembali ke dalam amplop besar. Setelah itu dia langsung meninggalkan outlet. Berkali-kali dia memukul kemudi dan membunyikan klakson selama perjalanan. Andai bisa, ingin rasanya dia melajukan kendara
“Devan!”Lelaki yang sedang tiduran di kasur tipis sambil menumpukan kaki kanan di atas lutut kirinya itu mengangkat kepala sedikit saat mendengar petugas menyebut namanya.“Ada tamu,” ucap petugas sambil membuka kunci. Bunyi gemerincing rantai dan kunci beradu dengan sel memenuhi pendengaran, membuat beberapa tahanan menoleh dari balik sel mereka.Devan tersenyum tipis pada wajah-wajah penasaran itu. Jangankan mereka, diapun tidak sabar ingin tahu siapa tamu yang datang ini. Hampir dua tahun dia menjalani hukuman, tidak ada yang datang berkunjung. Itulah sebabnya saat mendengar Devan ada tamu, yang lain langsung antusias.“Siapa ya tamunya?”“Bukannya dia psikopat? Ada juga yang mau mengunjungi ternyata.”“Masa sih?”“Iya, makanya itu dia sendirian di dalam sel!”“Oh jadi itu alasannya dia seperti diistimewakan dengan hanya sendiri saja?”“Iya, katanya dulu awal-awal menjadi tahanan, habis rekan satu selnya. Entah dibagaimanakan, hampir saja teman-teman satu selnya mati perlahan. Unt
“Baiklah, terima kasih pada pembicara kita yang sangat luar biasa. Sesi selanjutnya adalah penyerahan bantuan kepada teman-teman yang usahanya sedang kurang baik. Kepada teman-teman yang namanya disebutkan, harap naik ke atas panggung."Tibra meletakkan gelas minumannya. Sambil merapikan dasi, dia bergegas melangkah ke arah panggung. Beberapa teman yang usahanya juga kurang baik menepuk punggungnya. Mereka berjalan bersama.Hanya Tibra yang tidak didampingi istri. Andhira memilih menemani putri mereka daripada ikut ke sini. Acara itu disiarkan secara live di salah satu televisi swasta. Sehingga, dia bisa ikut mengikuti jalannya acara."Untuk menyerahkan secara simbolis bantuan ini, kami minta dengan hormat kepada Ibu Aruna sebagai sosok yang menginspirasi hari ini untuk memberikan amplop sebagai tanda sahnya teman-teman menerima bantuan. Semoga dengan diberikannya bantuan ini oleh Ibu Aruna, teman-teman sekalian bisa termotivasi untuk berinovasi sehingga usahanya bisa bangkit kembali.
“Ah … maaf!” Tibra yang pikirannya sedang melayang kemana-mana tanpa sengaja menabrak seseorang saat akan mengambil gelas minuman.“Tidak apa-apa, tidak apa-apa.”Tibra menautkan alis saat mendengar suara yang sepertinya dia kenal. Dengan cepat, lelaki itu mengangkat kepala dan menoleh ke sumber suara.“Tibra.” Wira menarik napas panjang saat menyadari yang menabraknya barusan adalah mantan menantunya. Ada yang tercubit di dalam sana saat berjumpa lagi setelah sekian lama. Terakhir mereka bertemu di ruang persidangan perceraian saat dia mendampingi Aruna.Tibra menegakkan badan, dagunya sedikit terangkat dengan sebelah tangan masuk ke dalam kantong celana. Sejak dulu, dia dan mantan mertuanya itu tidak pernah dekat. Penolakan Wira padanya saat ingin menjadikan Aruna istri dulu masih membekas jelas dalam ingatan Tibra.“Apa kabar, Nak?” Adya tersenyum sambil mengelus tangan Tibra yang memegang gelas minuman. Hubungannya dengan Tibra memang lebih baik dibandingkan suaminya. Sepuluh tahu
“Sesi Sharing di pertemuan tahun ini kita mulai dari yang wajahnya sedang sangat wara-wiri di seluruh media, baik media cetak, radio maupun televisi. Seorang wanita yang sangat menginspirasi baik dari segi bisnis maupun perjalanan cintanya.”Ruangan itu ramai oleh suara tawa. Beberapa bahkan menutup mulut agar tidak tertawa terlalu kencang.“Beliau membangun usaha dari nol, hingga sekarang sudah sangat maju di usia yang masih terbilang muda. Beliau ini juga baru saja menikah beberapa bulan yang lalu dengan kategori pernikahan termewah tahun ini. Mari kita doakan bersama-sama agar segera dikaruniai keturunan. Aamiin.”“AAMIIN ….” Kompak, hampir semua peserta mengaminkan ucapan pembawa acara. Beberapa bahkan bersuit-suit membuat yang lain tertawa geli.“Untuk menghemat waktu, saya akan segera memanggil seseorang ini. Seseorang yang sangat menginspirasi terutama bagi para wanita. Seseorang yang merupakan gambaran Kartini masa kini. Gigih, mandiri, pekerja keras dan tidak gampang menyera
Sementara di sini, Tibra menghampiri Andhira yang tertidur di ranjang Zafina. Lelaki itu menyentuh rambut Andhira pelan. Wajah yang dulu selalu terlihat cerah dengan riasan tipis, kini nampak kuyu dan lelah.“Mas.” Andhira terbangun merasakan sentuhan suaminya. Dia langsung membenarkan kuncir rambutnya yang hampir terlepas.“Uangnya sudah kubayarkan. Semoga saja semua sesuai perkiraan dokter dan proses operasi minggu depan berjalan lancar.” Tibra bersimpuh di samping Andhira. Lelaki itu merebahkan kepalanya di pangkuan istrinya.“Aamiin.” Andhira mengaminkan pelan. Sejujurnya, dia ingin menanyakan terkait proses pembagian harta tadi. Namun, dia tidak siap mendengar kabar tentang Aruna.Isaknya kembali terdengar saat pandangannya tertuju pada Zafina. Mata itu terlihat sembab dan bawahnya sedikit menghitam. Hilang sudah cahaya mata Andhira yang dulu terlihat tajam dan seksi yang sangat menggoda. Mata itu diselimuti kabut yang sangat pekat."Setidaknya, uang dari penjualan villa di Punca
“Mas.” Seperti biasa, Aruna dan Tyo memang selalu menyempatkan untuk mengobrol apapun sebelum tidur. Tentang pekerjaan, rencana masa depan, kadang juga hanya sekedar omong kosong belaka.“Hmm.” Tyo yang sedang berbaring dan memperhatikan wajah Aruna berdehem.Aruna menoleh pada Tyo, belum sempat dia berbicara lelaki itu sudah menghadiahinya sebuah kecupan yang hangat. Aruna menepuk bahu Tyo pelan saat lelaki itu melepaskannya. Berada di dekat Tyo memang seumpama candu. Lelaki itu selalu menghujaninya dengan madu, hingga Aruna sering mabuk karena manisnya.“Aku ada rencana membangun rumah untuk Zahir dan Zafar. Villa yang rencananya untuk mereka, sudah sah dijual tadi siang.”Tyo diam tak menanggapi omongan Aruna. Dia sengaja tak menyela sampai Aruna menyelesaikan maksud ucapannya.“Nanti di sana, aku mau mereka mulai belajar usaha kecil-kecilan. Ya biar mereka merasa ada tanggung jawab dan agar mereka tahu bagaimana manisnya uang yang didapat dari jerih payah sendiri.”“Apa tidak ter
"Bahkan sampai sejauh ini, hatimu masih sekeras batu, Mas." Aruna mengembuskan napas pelan melihat punggung Tibra semakin menjauh. Mantan suaminya itu bahkan merasa tidak perlu mengucapkan maaf pada Aruna. Satu kata yang sangat ditunggu Aruna, sebagai bentuk penghormatan kalau lelaki itu menghargai hubungan mereka dulu saat pernah berjuang bersama.Aruna masuk ke dalam mobil dan menyandarkan kepala ke kursi. Bertahun tak berkomunikasi membuat mereka kaku saat berjumpa. Memang lebih baik seperti ini. Aruna sengaja menjaga jarak dari Tibra dan Andhira.Baginya, jauh dari mereka merupakan salah satu bentuk untuk healing dan memperbaiki hati. Bukan karena belum move on, toh dia sudah mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik menurut versi dirinya kini. Namun, luka itu tetap membekas. Bagaimanapun, pengkhianatan akan selalu terasa menyakitkan.Memaafkan tapi tidak melupakan agar bisa mengambil pelajaran untuk ke depan, itulah prinsip yang dipegang oleh Aruna. Dia bukan malaikat. Dia manus