"Mengadili 1. Menyatakan terdakwa Tibra Davanka alias Tibra telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, pengancaman dan perselingkuhan. 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama …."Ruangan itu ramai oleh suara tepuk tangan pengunjung saat hakim mengetuk palu tiga kali. Beberapa ibu-ibu bahkan berteriak menyoraki Tibra. Salah seorang dari mereka berusaha meraih tubuh lelaki itu saking gemasnya saat polisi menggiringnya."Hidup hukum! Hidup keadilan!" Ruangan itu ramai oleh sorakan yang saling bersahutan. Tangan-tangan teracung mengepal ke udara sebagai bentuk luapan bahagia dari para pendukung Aruna.Sementara Tibra berjalan dengan dagu sedikit terangkat. Wajah lelaki itu bahkan menampakkan senyum tipis. Dia tidak peduli dengan riuh rendah yang ada di ruang persidangan itu. Dia sudah mempunyai rencana lain untuk memberi pelajaran pada Aruna.Tibra melirik ke arah Aruna. Dia bisa melihat wa
Aruna yang sedang sibuk melayani para pengunjung sidang yang memberi selamat, sedikit menautkan alis mendengar suara Raka yang sedang dikerumuni awak media. Wanita yang menggunakan blus navy dengan jilbab senada itu menajamkan telinga agar bisa mendengar ucapan Raka dengan jelas."Sebelum ditahan, beliau sempat mengatakan sangat menyesal karena khilaf melakukan kekerasan pada Aruna. Pak Tibra juga sepenuhnya menyadari kesalahan karena telah mengkhianati istri yang masih sangat dia cinta. Jadi, beliau memutuskan menerima dengan lapang hati semua keputusan hakim."Hampir saja Aruna kelepasan tertawa terbahak-bahak mendengar omong kosong Raka. Masih cinta? Luar biasa memang akal mantan suaminya itu untuk tetap bisa mempertahankan citra baiknya. Dia akhirnya menyibukkan diri dengan orang-orang yang menyapa dan memberikan ucapan selamat padanya. Wanita itu mengabaikan Raka yang dianggapnya sedang mendongeng dan mengarang cerita.Aruna memilih pergi setelah selesai menerima ucapan selamat
Aruna mulai bergerak mendekati satpam perumahan. Tidak butuh waktu lama dia bisa mendapatkan salinan buku tamu untuk membuktikan Andhira sering datang ke sana. Setelah beberapa waktu, dia juga berhasil membujuk satpam perumahan agar pindah kerja ke salah satu tempat usaha yang sedang dia bangun.Ya, dalam diam Aruna mulai membangun usahanya sendiri menggunakan nama Wira dan Adya. pelan-pelan dia mulai mengeluarkan uang untuk dana pembangunan usahanya. Dengan menggunakan nama orangtuanya, kalaupun usaha itu terendus oleh Tibra maka tetap tidak akan bisa dijadikan harta gono-gini.Sekali tepuk, dua pulau terlampaui. Selain bisa mengamankan saksi kedatangan Andhira sekaligus saksi KDRT karena malam itu dia sempat bertemu dengan salah satu petugas, dia juga bisa mendapatkan petugas keamanan yang sudah teruji kinerjanya.Selain itu, Aruna juga mulai membayar detektif untuk menyelidiki sejauh apa hubungan Tibra dan Andhira. Dia cukup terkejut saat mengetahui mereka telah menikah siri, bah
"Apa kau g*la?!" Aruna menarik kerah baju khas tahanan yang digunakan Tibra dari balik sel ruang kunjungan. Hampir saja badan Tibra tertarik dan membentur sel andai polisi yang berjaga tidak bergegas memeluk Tibra dari belakang."Jangan membuat kerusuhan di sini! Atau silahkan tinggalkan tempat ini sekarang juga." Petugas menatap Aruna tajam dari balik jeruji besi. Suaranya yang tegas memenuhi ruangan. "Kami minta maaf, Pak." Lendra langsung menenangkan petugas dan menjelaskan dengan singkat kalau Aruna terbawa emosi."Tahan sedikit, Bu Aruna." Lendra berbisik pelan. Sejujurnya, dia juga merasa ingin menghadiahkan pukulan pada lelaki di balik jeruji besi. Jangankan Aruna, dia saja menahan emosi sejak tadi.Petugas akhirnya berjalan menjauh sambil menatap Aruna tajam. Lewat pandangannya dia memperingatkan Aruna agar tidak memancing kerusuhan lagi. Sementara Aruna tidak terlalu peduli dengan ucapan petugas barusan, ada Lendra yang mengurusnya walau pengacaranya jiga memperingatkan baru
Tibra hanya menanggapi emosi Aruna dengan senyuman. Dia senang bisa melihat mantan istrinya itu hilang kendali.“Kau melawan hukum, Tibra!” Aruna tersengal. Lelaki ini benar-benar menguji kesabarannya.Tibra terkekeh. Dia maju dan mendekatkan diri pada Aruna. Kedua tangannya memegang jeruji besi, wajahnya menempel pada logam dingin itu. Dia berbisik pelan pada Aruna.“Persetan dengan hukum!”Hampir saja Aruna menonjok wajah Tibra yang menyembul di antara jeruji besi kalau saja Lendra tidak menahannya. Sementara Tibra menjauhkan diri sambil tertawa terbahak-bahak.“WAKTU KUNJUNGAN HABIS!” Petugas berteriak memberi pengumuman.“Sampai kau bersujud dan mencium telapak kakiku pun aku tidak akan memberitahu mereka ada dimana. Mereka lelaki, Aruna. Sudah seharusnya Zahir dan Zafar ada dalam pengasuhanku. Figur seorang Ayah sangat diperlukan dalam perkembangan mereka.”“Figur seorang Ayah? Hei! Kau sehat? Kau sedang ada di penjara, Tibra Davanka. Bagaimana kau akan mendampingi mereka? Astaga
“Tidak usah heran. Tanpa Tibra pun aku bisa hidup dengan layak dan berkecukupan.” Aruna tersenyum melihat Andhira yang mempertanyakan cek yang dia berikan. "Kau bisa pastikan ini bukan cek kosong! Atau, kalau kau perlu uang tunai untuk meyakinkan diri, aku akan bawakan. Bilang saja mau mata uang apa. Euro? Dollar? Ringgit?""Aku tidak butuh uangmu."Aruna tertawa kencang mendengar jawaban Andhira. Dia tidak perduli sedang ada dimana. "Omong kosong! Memangnya apa yang kau cari dengan menggoda Tibra kalau bukan harta? Munafik!"Andhira menarik napas panjang mendengar teriakan Aruna. Andai situasinya tidak seperti ini, tanpa menerima bayaran pun dengan senang hati dia akan memberitahu Aruna. Siapa juga yang mau repot mengurus anak orang lain? Namun, mau tidak mau dia harus merahasiakan keberadaan Zahir dan Zafar.Sesuai rencana Tibra, setelah Andhira keluar dari penjara, wanita itu akan menyusul ke tempat Zahir dan Zafar. Selama Tibra masih di penjara, kedua anak itu akan dirawat dan di
“Bagaimana?” Aruna menahan jilbabnya yang terus berkibar karena terpaan angin laut yang cukup kencang. Seorang pegawai membawakan topi yang biasa Aruna kenakan jika berkunjung, dengan topi itu kemungkinan jilbabnya terbang terbawa angin menjadi kecil.“Sudah dimulai sejak setengah enam tadi, Bu. Begitu hari mulai terang, kita langsung bergerak.” Affan memberi penjelasan sambil mempersilahkan Aruna.“Semoga berhasil ya?” Aruna menoleh sambil tersenyum pada orang kepercayaannya ittu.“In syaa Allah berhasil, Bu. Panen parsial ini bertujuan untuk menjaga stabilitas air. Sebab, residu pakan buatan bisa dikurangi dengan populasi yang lebih terbatas. Dengan cara ini, kita bisa mencapai size yang Ibu inginkan.” Affan menunjuk jaring yang sedang diangkat oleh sekitar delapan orang pekerja.Aruna mengangguk sambil tersenyum. Udang-udang di dalam jaring terlihat melompat-lompat. Kulitnya bercahaya ditimpa sinar matahari pagi. Mereka memang melakukan pemanenan setiap pagi hari, sebelum matahari
Mulai dari sayur-mayur yang ditanam secara hidroponik. Sayur-sayuran itu disusun sedemikian rupa sehingga sangat elok dipandang. Buah-buahan yang dibuat kebun khusus dalam rumah kaca. Ikan-ikanan yang juga mereka pelihara sendiri.Tamu cottage bebas memilih sayur, buah dan ikan apa yang mereka inginkan. Hal itu menjadi hiburan dan wisata tersendiri bagi mereka. Apalagi beberapa tamu bahkan memetik sendiri sayur dan buah yang diinginkan. Setelah itu, mereka juga bebas menentukan akan dimasak seperti apa. Aruna memang merekrut ahli-ahli terbaik untuk setiap lini usahanya. Mulai dari usaha budidaya udang dia memilih Affan, seorang sarjana akuakultur di salah satu perguruan tinggi negeri yang bukan hanya bagus nilainya tapi juga kenyang dengan pengalaman. Untuk perkebunan dia merekrut salah satu sarjana agronomi dan hortikultura. Sementara untuk dapur, dia merekrut tiga orang chef yang bertugas di tiga pulau berbeda.Karena semua lini usaha dipegang oleh orang yang tepat, usaha Aruna ber
"Ampun! Ampun! Maaf, Mas." Andhira memeluk lutut dan menyembunyikan kepalanya di sana. Rambut wanita itu kusut masai. Di lantai, ceceran rambutnya terserak banyak karena sering dijambak."Tolong! Tolooong … tolooooong … bantu aku, bantu aku." Andhira kembali berteriak kencang sambil menangis histeris. Tubuhnya bergetar hebat. "Jangan bunuh aku, kumohon. Biarkan aku dan anakku hidup dengan tenang. Kumohon." Andhira menghiba dengan wajah basah.Sepuluh menit kemudian, dia tertidur di lantai dalam posisi bersujud. Seperti biasa, setelah mengamuk dan berteriak histeris, Amdhira akan tertidur begitu saja karena kelelahan. Napasnya terdengar teratur. Tidak lagi menderu seperti tadi.Disini, Tibra mengepalkan tangan kencang. Hatinya perih melihat keadaan Andhira. Sejak kejadian pagi itu sebulan yang lalu, Andhira menjadi lebih pendiam. Wanita itu tidak banyak bicara. Dia bahkan semakin menjaga jarak dengan Tibra dan tidak berani membalas tatapannya setiap kali berbicara.Tepat seminggu setela
Tibra meremas selembar foto di tangannya. Lelaki itu menatap nyalang pada foto-foto lain yang berserakan. Disana terlihat foto dua orang yang sangat dia kenal. Andhira dan Devan sedang akad nikah. Keduanya juga tampak tersenyum lebar di pelaminan. Di foto lain, terlihat Devan dan Andhira sedang berfoto di ranjang rumah sakit sambil memeluk bayi mungil dengan papan nama bertuliskan nama Anna. Bukan hanya foto, tapi fotokopi kartu keluarga dan Juga fotokopi buku nikah melengkapi isi amplop coklat yang sampai ke mejanya pagi ini. "Lelucon apa ini?" Tibra tertawa kencang. Kepalanya hampir pecah mengetahui istri dan orang yang telah menghancurkan usahanya ternyata pernah menikah. Lelaki itu benar-benar meraa dipermainkan oleh kehidupan. Tibra langsung membereskan semua foto dan memasukkannya kembali ke dalam amplop besar. Setelah itu dia langsung meninggalkan outlet. Berkali-kali dia memukul kemudi dan membunyikan klakson selama perjalanan. Andai bisa, ingin rasanya dia melajukan kendara
“Devan!”Lelaki yang sedang tiduran di kasur tipis sambil menumpukan kaki kanan di atas lutut kirinya itu mengangkat kepala sedikit saat mendengar petugas menyebut namanya.“Ada tamu,” ucap petugas sambil membuka kunci. Bunyi gemerincing rantai dan kunci beradu dengan sel memenuhi pendengaran, membuat beberapa tahanan menoleh dari balik sel mereka.Devan tersenyum tipis pada wajah-wajah penasaran itu. Jangankan mereka, diapun tidak sabar ingin tahu siapa tamu yang datang ini. Hampir dua tahun dia menjalani hukuman, tidak ada yang datang berkunjung. Itulah sebabnya saat mendengar Devan ada tamu, yang lain langsung antusias.“Siapa ya tamunya?”“Bukannya dia psikopat? Ada juga yang mau mengunjungi ternyata.”“Masa sih?”“Iya, makanya itu dia sendirian di dalam sel!”“Oh jadi itu alasannya dia seperti diistimewakan dengan hanya sendiri saja?”“Iya, katanya dulu awal-awal menjadi tahanan, habis rekan satu selnya. Entah dibagaimanakan, hampir saja teman-teman satu selnya mati perlahan. Unt
“Baiklah, terima kasih pada pembicara kita yang sangat luar biasa. Sesi selanjutnya adalah penyerahan bantuan kepada teman-teman yang usahanya sedang kurang baik. Kepada teman-teman yang namanya disebutkan, harap naik ke atas panggung."Tibra meletakkan gelas minumannya. Sambil merapikan dasi, dia bergegas melangkah ke arah panggung. Beberapa teman yang usahanya juga kurang baik menepuk punggungnya. Mereka berjalan bersama.Hanya Tibra yang tidak didampingi istri. Andhira memilih menemani putri mereka daripada ikut ke sini. Acara itu disiarkan secara live di salah satu televisi swasta. Sehingga, dia bisa ikut mengikuti jalannya acara."Untuk menyerahkan secara simbolis bantuan ini, kami minta dengan hormat kepada Ibu Aruna sebagai sosok yang menginspirasi hari ini untuk memberikan amplop sebagai tanda sahnya teman-teman menerima bantuan. Semoga dengan diberikannya bantuan ini oleh Ibu Aruna, teman-teman sekalian bisa termotivasi untuk berinovasi sehingga usahanya bisa bangkit kembali.
“Ah … maaf!” Tibra yang pikirannya sedang melayang kemana-mana tanpa sengaja menabrak seseorang saat akan mengambil gelas minuman.“Tidak apa-apa, tidak apa-apa.”Tibra menautkan alis saat mendengar suara yang sepertinya dia kenal. Dengan cepat, lelaki itu mengangkat kepala dan menoleh ke sumber suara.“Tibra.” Wira menarik napas panjang saat menyadari yang menabraknya barusan adalah mantan menantunya. Ada yang tercubit di dalam sana saat berjumpa lagi setelah sekian lama. Terakhir mereka bertemu di ruang persidangan perceraian saat dia mendampingi Aruna.Tibra menegakkan badan, dagunya sedikit terangkat dengan sebelah tangan masuk ke dalam kantong celana. Sejak dulu, dia dan mantan mertuanya itu tidak pernah dekat. Penolakan Wira padanya saat ingin menjadikan Aruna istri dulu masih membekas jelas dalam ingatan Tibra.“Apa kabar, Nak?” Adya tersenyum sambil mengelus tangan Tibra yang memegang gelas minuman. Hubungannya dengan Tibra memang lebih baik dibandingkan suaminya. Sepuluh tahu
“Sesi Sharing di pertemuan tahun ini kita mulai dari yang wajahnya sedang sangat wara-wiri di seluruh media, baik media cetak, radio maupun televisi. Seorang wanita yang sangat menginspirasi baik dari segi bisnis maupun perjalanan cintanya.”Ruangan itu ramai oleh suara tawa. Beberapa bahkan menutup mulut agar tidak tertawa terlalu kencang.“Beliau membangun usaha dari nol, hingga sekarang sudah sangat maju di usia yang masih terbilang muda. Beliau ini juga baru saja menikah beberapa bulan yang lalu dengan kategori pernikahan termewah tahun ini. Mari kita doakan bersama-sama agar segera dikaruniai keturunan. Aamiin.”“AAMIIN ….” Kompak, hampir semua peserta mengaminkan ucapan pembawa acara. Beberapa bahkan bersuit-suit membuat yang lain tertawa geli.“Untuk menghemat waktu, saya akan segera memanggil seseorang ini. Seseorang yang sangat menginspirasi terutama bagi para wanita. Seseorang yang merupakan gambaran Kartini masa kini. Gigih, mandiri, pekerja keras dan tidak gampang menyera
Sementara di sini, Tibra menghampiri Andhira yang tertidur di ranjang Zafina. Lelaki itu menyentuh rambut Andhira pelan. Wajah yang dulu selalu terlihat cerah dengan riasan tipis, kini nampak kuyu dan lelah.“Mas.” Andhira terbangun merasakan sentuhan suaminya. Dia langsung membenarkan kuncir rambutnya yang hampir terlepas.“Uangnya sudah kubayarkan. Semoga saja semua sesuai perkiraan dokter dan proses operasi minggu depan berjalan lancar.” Tibra bersimpuh di samping Andhira. Lelaki itu merebahkan kepalanya di pangkuan istrinya.“Aamiin.” Andhira mengaminkan pelan. Sejujurnya, dia ingin menanyakan terkait proses pembagian harta tadi. Namun, dia tidak siap mendengar kabar tentang Aruna.Isaknya kembali terdengar saat pandangannya tertuju pada Zafina. Mata itu terlihat sembab dan bawahnya sedikit menghitam. Hilang sudah cahaya mata Andhira yang dulu terlihat tajam dan seksi yang sangat menggoda. Mata itu diselimuti kabut yang sangat pekat."Setidaknya, uang dari penjualan villa di Punca
“Mas.” Seperti biasa, Aruna dan Tyo memang selalu menyempatkan untuk mengobrol apapun sebelum tidur. Tentang pekerjaan, rencana masa depan, kadang juga hanya sekedar omong kosong belaka.“Hmm.” Tyo yang sedang berbaring dan memperhatikan wajah Aruna berdehem.Aruna menoleh pada Tyo, belum sempat dia berbicara lelaki itu sudah menghadiahinya sebuah kecupan yang hangat. Aruna menepuk bahu Tyo pelan saat lelaki itu melepaskannya. Berada di dekat Tyo memang seumpama candu. Lelaki itu selalu menghujaninya dengan madu, hingga Aruna sering mabuk karena manisnya.“Aku ada rencana membangun rumah untuk Zahir dan Zafar. Villa yang rencananya untuk mereka, sudah sah dijual tadi siang.”Tyo diam tak menanggapi omongan Aruna. Dia sengaja tak menyela sampai Aruna menyelesaikan maksud ucapannya.“Nanti di sana, aku mau mereka mulai belajar usaha kecil-kecilan. Ya biar mereka merasa ada tanggung jawab dan agar mereka tahu bagaimana manisnya uang yang didapat dari jerih payah sendiri.”“Apa tidak ter
"Bahkan sampai sejauh ini, hatimu masih sekeras batu, Mas." Aruna mengembuskan napas pelan melihat punggung Tibra semakin menjauh. Mantan suaminya itu bahkan merasa tidak perlu mengucapkan maaf pada Aruna. Satu kata yang sangat ditunggu Aruna, sebagai bentuk penghormatan kalau lelaki itu menghargai hubungan mereka dulu saat pernah berjuang bersama.Aruna masuk ke dalam mobil dan menyandarkan kepala ke kursi. Bertahun tak berkomunikasi membuat mereka kaku saat berjumpa. Memang lebih baik seperti ini. Aruna sengaja menjaga jarak dari Tibra dan Andhira.Baginya, jauh dari mereka merupakan salah satu bentuk untuk healing dan memperbaiki hati. Bukan karena belum move on, toh dia sudah mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik menurut versi dirinya kini. Namun, luka itu tetap membekas. Bagaimanapun, pengkhianatan akan selalu terasa menyakitkan.Memaafkan tapi tidak melupakan agar bisa mengambil pelajaran untuk ke depan, itulah prinsip yang dipegang oleh Aruna. Dia bukan malaikat. Dia manus