Hidup terkadang berubah terlalu cepat, hingga kita tak sempat beristirahat. Semua yang ada di depan mata kadang berganti dalam sekejap. Harapan yang hilang mungkin bisa diraih kembali. Namun, semua perubahan itu harusnya disyukuri, karena ada saat di mana tak akan ada lagi perubahan dalam hidup. Itulah hari saat kita harus pulang pada-Nya.
Bagiku, malam adalah rasa sakit, karena harus melaluinya dalam kesendirian yang dipenuhi bayang masa lalu. Itu sebabnya aku enggan menjumpai hari yang gelap. Namun, ternyata siang ini jauh lebih buruk dibanding dinginnya udara setelah senja. Aku berada di tempat dan waktu yang salah, saat datang ke sebuah kafe.Ada janji temu dengan seorang mitra siang ini. Jam di tanganku masih menunjukkan pukul 10.55 WIB. Lima menit lagi ia akan datang untuk makan siang bersama.Aku mencari tempat duduk yang nyaman. Sebuah sudut menghadap jendela sangat pas untuk bincang bisnis di tengah lunch. Sambil menunggu, aku memesan minuman dWaktu yang hanya tinggal beberapa jam sebelum grand opening restauran, membuatku tidak bisa santai. Walau banyak pihak membantu, tetap saja aku menjadi orang yang paling tidak tenang saat ini. Apalagi banyak tokoh dan pejabat penting yang diundang oleh Ayah. "Fri, kamu nggak apa?"Aku menoleh ke arah datangnya suara yang sangat akrab di telinga. Sosok yang cukup banyak berperan dalam berdirinya bisnis ini."Aku baik-baik aja, Ar. Hanya sedikit nervous."Arsi tersenyum menatapku dengan matanya yang berbinar seperti embun pagi terkena pantulan sinar matahari. Tak seperti tamu undangan lainnya, lelaki itu mengenakan kemeja dengan kerah s"Aku yakin semuanya akan berjalan dengan lancar. Persiapan hampir tidak ada yang meleset. Pemikiran cemerlangmu, ditambah kekompakan seluruh karyawan baru, pastinya akan membawa sukses untuk restauran ini sejak hari pertama.""Bagaimana juga, aku tetap khawatir, Ar. Beberapa tahun terakhir, aku sam
"Bu, ini bubur bayi siapa?" tanyaku pada ibu mertua saat melihat ada semangkuk bubur bayi di meja dapur. Tak ada bayi di rumah ini. Ibu hanya tinggal bersama Laras, anak bungsunya. Adik suamiku itu masih kuliah dan belum menikah. Saat ini ia sedang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Kebumen. Jadi, bubur bayi milik siapakah itu?"Eh, i-itu ... ta-tadi si Fina tetangga sebelah main di sini sambil nyuapin bayinya. Ketinggalan malah pas pulang."Aku mengangguk, tapi merasa heran melihat ibu mertua yang menjawab dengan gugup. Rasa heranku bertambah saat Ibu menyebut bubur bayi itu milik Fina, tetangganya. Setahuku perempuan itu sejak dulu hampir tak pernah bertandang ke rumah ini. Selain karena pribadinya yang kurang senang bergaul, rumah Fina juga agak jauh dari sini."Kamu nginep di sini, Wid?""Pasti, Bu. Aku nggak tega kalau Ibu sendirian pas lagi sakit kayak gini. Laras masih lama di Kebumen, 'kan?""Masih dua hari lagi dia KKN di sana.""Nah, sekarang mumpung aku lagi di sini, Ibu m
"Mungkin memang punya Fina juga," ujar Mas Zaki saat aku menyampaikan padanya tentang hal-hal aneh di rumah Ibu.Aku baru menceritakannya pagi ini setelah salat subuh. Semalam tak sempat karena sudah tidur saat Mas Zaki pulang. "Kayaknya ada sesuatu yang disembunyikan sama Ibu, Mas. Beliau terlihat gugup saat kutanya.""Jangan sembarangan kamu, Wid," tukas Mas Zaki dengan nada tinggi. "Beliau ibuku. Masa iya kamu curiga ke mertua sendiri."Aku terdiam, sementara Mas Zaki menatapku dengan pandangan menusuk."Lebih baik sekarang kamu bantu Ibu bikin sarapan. Jangan sampai keduluan beliau buat turun ke dapur."Tanpa bicara lagi, aku segera melangkah keluar kamar. Sampai di dapur, bergegas aku hendak menghangatkan soto. Saat membuka tutup panci, aku tertegun melihat isinya yang sudah raib. Padahal semalam masih banyak di sana. Sementara sebelum tidur aku sudah memisahkan untuk Ibu dan Mas Zaki masing-masing satu mangkok. Mungkinkah mereka yang menghabiskannya? Rasanya mustahil keduanya s
Apa? Nitip bubur bayi sehat lagi? Jadi, kecurigaanku sepertinya benar. Bubur bayi yang ada di dapur Ibu memang bukan ketinggalan. Kalau begitu, bisa jadi bubur itu juga bukan milik Fina. "Widia!" seru Mas Zaki dari dalam, tepat saat tanganku hendak meraih handle pintu. "Udah, biar Ibu aja. Itu Zaki manggil kamu." Tiba-tiba saja Ibu sudah ada di dekatku. Tergopoh-gopoh ia membuka pintu dan setengah mendorong tubuhku agar segera masuk ke dalam. Masih sempat kulihat Ibu mengedipkan sebelah matanya pada perempuan di depan pintu, yang ternyata adalah Mbak Rinda. Ia tetangga di sebelah rumah ini. Aku melangkah masuk sambil kepala menoleh ke belakang beberapa kali. Memperhatikan Ibu yang merengkuh bahu Mbak Rinda dan melangkah menjauh dari rumah. Aneh. Melihat pertanyaan Mbak Rinda tadi, sepertinya Ibu memang pernah membeli bubur bayi sehat. Namun, untuk siapa bubur itu jika tak ada anak kecil di rumah ini? Atau memang ada bayi di sini? Kalau benar, anak siapa dan di mana sekarang?"Sayan
Wajah keduanya tiba-tiba pucat. Mata mereka membulat saat menatap apa yang kugenggam. Masihkah mereka berdalih sekarang?Ibu seketika bangkit dari duduknya dan mendekatiku. Mengambil pakaian bayi itu, lalu sejenak ia mengamati. "Oo, ini kemarin baju anaknya Fina pas main di sini. Karena kotor pas disuapi, jadi diganti. Ketinggalan di kursi."Duh, mertuaku ini. Masa semua barang Fina ketinggalan? Haruskah aku percaya, sementara bahasa tubuh Ibu begitu mencurigakan?"Kalau punya Fina, kenapa ditaruh ke keranjang kotor, Bu?""Ya, Ibu pikir biar sekalian aja dicuci. Nanti kalau Fina main ke sini lagi udah bersih, jadi bawa pulangnya enak."Aku hanya mengangguk ragu. Mas Zaki yang sejak tadi hanya memandang ke arah kami berdua, kini mulai angkat bicara. "Udah, Wid. Lekas diselesaikan aja nyucinya. Nanti kita kesiangan ke pasarnya.""Iya, Mas."Dengan pikiran yang dipenuhi pertanyaan, aku beranjak ke belakang. Melanjutkan aktivitas mencuci pakaian sambil memikirkan semua keanehan yang ada
"Hah? Serius, Fin?""Buat apa aku bohong, Wid. Lagipula aku memang nggak akrab sama keluarga suamimu. Kamu juga tahu itu, 'kan? Jadi, mana mungkin aku main sampai nyuapin dan gantiin baju anakku segala di sana?""Iya juga, ya? Kalau gitu Ibu mertuaku bohong, tapi kenapa?"Fina menarik napas perlahan. Sejenak wanita berambut panjang itu mengedarkan pandang ke sekeliling pasar yang mulai ramai pengunjung."Kayaknya memang mencurigakan. Kamu harus cari tahu, Wid.""Cari tahu tentang apa?" ujar Mas Zaki yang tiba-tiba muncul dan mengejutkan kami berdua. Tubuhku kaku, tak tahu harus berkata apa, sementara Fina menoleh ke arah Mas Zaki dan memberi senyum yang terlihat dipaksakan."Eh, i-ini, Mas. Saya cuma bilang ke Widia agar dia mencari tahu tentang terapi supaya cepat hamil. Nggak apa 'kan, Mas?""Oh, nggak apa. Kami permisi mau melanjutkan belanja dulu, ya.""Baik, Mas. Take care ya, Wid?" ujar Fina dengan kikuk. Wajahnya masih terlihat merah, mungkin saat ini aku pun sama. Semoga Mas
Setahun lalu."Saya terima nikahnya Widia Afridia Sukma binti Rahadian dengan mas kawin perhiasan emas dua puluh lima gram dibayar tunai.""Sah!" "Alhamdulillah. Allahu Akbar!" ucap Ayah bersama semua yang hadir. Aku langsung sujud di kamar pengantin, sebagai tanda syukur telah sah menjadi istri dari Zaki Indra Rahmadian. Selang beberapa menit kemudian, Ayah masuk membawa buku nikah."Tanda tangani ini dulu, Nak." Ayah menyerahkan buku nikah dengan tangan yang gemetar. Ada kristal di dua matanya yang susah payah ia tahan. Aku meraih buku itu dan menandatanganinya. Mas Zaki yang ikut masuk dan berdiri di belakang Ayah, kini melangkah mendekat. Ia juga memegang buku nikah yang sepertinya sudah ditandatangani.Lelaki itu kemudian memberikan punggung tangannya untuk kukecup. Kulit kami sama-sama terasa dingin. Untuk sesaat masih terpaku saat ia melepaskan tangannya dan menggapai kepalaku lalu mengucapkan sebaris doa. Ada getar di dada saat ia kemudian mencium keningku. Tak lama. "Teri
Ia terkejut dan langsung menurunkan tangannya yang memegang ponsel, lalu berbalik."Wid? Sejak kapan kamu bangun?" Aku diam sambil merapikan rambut yang berantakan. Mas Zaki mendekat lalu duduk di sampingku. Aroma khasnya yang menenangkan langsung menyergap hidungku."Kenapa? Mimpi buruk?"Aku menggeleng. "Kemarilah."Ia merengkuh tubuhku dan membawa ke pelukannya. Mengusap rambutku berulang kali. Gerakannya yang lembut, dan detak jantungnya yang teratur ternyata menyalurkan rasa hangat dan nyaman ke seluruh tubuhku. Hingga rasa kantuk itu kembali datang.Sesaat sebelum mataku benar-benar terpejam, ia berkata lirih."Aku berharap bisa membahagiakanmu, Wid. Suatu hari, jika aku menyakitimu, pergilah. Namun, aku tak akan pernah pergi, seberapa besar pun sakit yang akan kau berikan."Suaranya terdengar sangat jauh, kemudian hilang saat aku benar-benar terlelap. ***Aku tak pernah bertanya dengan siapa ia bertelepon malam itu. Juga tentang ucapan Mas Zaki yang menjadi pengantar tidurku
Waktu yang hanya tinggal beberapa jam sebelum grand opening restauran, membuatku tidak bisa santai. Walau banyak pihak membantu, tetap saja aku menjadi orang yang paling tidak tenang saat ini. Apalagi banyak tokoh dan pejabat penting yang diundang oleh Ayah. "Fri, kamu nggak apa?"Aku menoleh ke arah datangnya suara yang sangat akrab di telinga. Sosok yang cukup banyak berperan dalam berdirinya bisnis ini."Aku baik-baik aja, Ar. Hanya sedikit nervous."Arsi tersenyum menatapku dengan matanya yang berbinar seperti embun pagi terkena pantulan sinar matahari. Tak seperti tamu undangan lainnya, lelaki itu mengenakan kemeja dengan kerah s"Aku yakin semuanya akan berjalan dengan lancar. Persiapan hampir tidak ada yang meleset. Pemikiran cemerlangmu, ditambah kekompakan seluruh karyawan baru, pastinya akan membawa sukses untuk restauran ini sejak hari pertama.""Bagaimana juga, aku tetap khawatir, Ar. Beberapa tahun terakhir, aku sam
Hidup terkadang berubah terlalu cepat, hingga kita tak sempat beristirahat. Semua yang ada di depan mata kadang berganti dalam sekejap. Harapan yang hilang mungkin bisa diraih kembali. Namun, semua perubahan itu harusnya disyukuri, karena ada saat di mana tak akan ada lagi perubahan dalam hidup. Itulah hari saat kita harus pulang pada-Nya. Bagiku, malam adalah rasa sakit, karena harus melaluinya dalam kesendirian yang dipenuhi bayang masa lalu. Itu sebabnya aku enggan menjumpai hari yang gelap. Namun, ternyata siang ini jauh lebih buruk dibanding dinginnya udara setelah senja. Aku berada di tempat dan waktu yang salah, saat datang ke sebuah kafe. Ada janji temu dengan seorang mitra siang ini. Jam di tanganku masih menunjukkan pukul 10.55 WIB. Lima menit lagi ia akan datang untuk makan siang bersama. Aku mencari tempat duduk yang nyaman. Sebuah sudut menghadap jendela sangat pas untuk bincang bisnis di tengah lunch. Sambil menunggu, aku memesan minuman d
Melihatnya diantar Arsi jelas membuat darahku mendidih. Tak adanya ikatan lagi di antara aku dan Widia pasti membuat lelaki itu merasa berhak mendekat. Saat Arsi turun dari SUV miliknya, lalu membukakan pintu untuk Widia, seketika tanganku bergetar. Harusnya aku yang ada di sana. Walau diucapkan dengan lirih, aku bisa mendengar kalimat Widia untuk mantan kekasihnya itu. "Sebaiknya kamu langsung pulang aja, Ar." "Kenapa? Kamu takut Zaki marah?""Bukan gitu, tapi ....""Tenang, Fri. Dia udah nggak berhak marah saat melihatmu pulang bersama siapa pun sekarang. Udah nggak ada ikatan di antara kalian. Masa iddahmu juga udah lewat."Ya, statusku saat ini memeng sudah tidak punya hak untuk melarang Widia melakukan apapun dan bertemu siapapun. Namun, kenapa harus Arsi? Aku yakin masih ada cinta di antara keduanya. Walau Widia Telah mengungkapkan perasaannya padaku, bukan tidak mungkin di ruang hatinya yan
"Aku sama sekali nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini, Fri. Janji temu dibuat sama Samudera dan Arta. Mereka juga cuma menyebutkan nama restoran kamu aja, tanpa nyebut pemiliknya."Penjelasan Arsi tentu saja masuk akal. Membuatku urung menelepon Arta dan meminta penjelasan. "Sejak kapan kamu membuka jasa konsultasi bisnis?""Udah lama sebenarnya, tapi kemarin-kemarin aku nggak terjun langsung." "Bisnis bakery dan kafe kamu masih jalan juga?""Masih, tapi aku hanya tinggal mengawasi aja. Sekarang kuminta ponakan buat mengelola langsung."Pembicaraan berlanjut pada rencana bisnisku. Kemampuan Arsi patut diacungi jempol. Semua saran dan usulannya tepat sesuai yang kuinginkan untuk perencanaan perkembangan resto. "Kenapa tiba-tiba kamu terjun ke bisnis ini, Fri?""Sementara ini aku hanya berpikir untuk mengisi waktu, Ar.""Hah? Mengisi waktu dengan hal seserius ini? Sampai kamu harus bayar konsul
Ternyata perpisahan adalah satu fase kehidupan yang sangat berat untuk kuhadapi. Aku pernah mengalaminya sebelum ini, yaitu saat Ibu meninggal. Sakit dan nyerinya teramat dahsyat. hingga membuat dadaku sesak. Perpisahan kedua ketika aku harus melepaskan Arsi karena bakti pada orang tua. Yang menyakitkan bukan karena aku tak bisa bersamanya, melainkan ketika harus melihat luka di mata lelaki itu.Memang benar, tak pernah ada yang mudah ketika menghadapi kata pisah. Bahkan saat telah kucoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Melihat mata Mas Zaki, aku hampir tak sanggup membendung air mata. Namun, aku tak ingin terlihat lemah di matanya. Widia bukan perempuan cengeng yang akan menangis dan mengharap belas kasih sang mantan. Kalau dia kemudian berkata masih cinta, haruskah aku mendadak tersenyum bahagia? Lelaki itu duduk diam menunggu reaksiku. Berusaha tenang, aku menatap matanya. Membiarkan helaan napas menyelimuti diam dan hening
"Satu lagi, kenapa ponsel kamu nggak aktif lebih dari satu jam?"Ya, Tuhan. Kenapa orang ini? Dia sudah bukan siapa-siapa, lalu kenapa harus mengganggu dengan sikap posesifnya?"Lupa ngecas aja," jawabku santai.Seketika aku teringat perhatian Mas Zaki lainnya saat kami masih bersama. Dia yang selalu memperhatikan banyak benda milikku, termasuk ponsel. Malam sebelum tidur, Mas Zaki akan memeriksa semua gadget, lalu mengisi dayanya. Ternyata dalam beberapa hal, kehidupanku menjadi kacau sejak tidak bersamanya. Ah, kenapa aku jadi merasa seperti ini? Seharusnya aku bisa move on dari mantan suami, menguras rindu menjadi debu, bukan malah teringat kenangan-kenangan kami. "Sampai kapan kamu di puncak?""Belum tahu, kenapa memangnya?""Hanya ingin memastikan keamananmu, Wid.""Kenapa harus peduli, Mas? Kita udah nggak ada hubungan apapun, dan aku bisa menjaga diriku sendiri.""Keselamatan Cyra juga bergantung padamu. Jadi aku harus memastikan kamu aman."Ah, iya. Kenapa aku terlalu perca
Aku menatap wajah tiga lelaki itu satu persatu. Apakah mereka tidak berpikir tentang hatiku saat ini? Sosok yang ada di hadapan mereka jelas bukan barang yang bisa diperebutkan begitu saja. Apakah mereka tidak berpikir tentang luka yang hadir setelah perceraian? Apalagi dengan sebab yang tanpa pernah terucap. Aku bangkit dan berjalan meninggalkan mereka. Tanpa senyum dan kata-kata. Untuk sesaat kulihat sepasang mata yang terluka. Tatapan itu tak pernah kusangka akan hadir, dari dia yang pernah mengucap talak. Langkahku kemudian terhenti di depan pintu kamar saat Nela bertanya lirih. "Bu Widia butuh sesuatu? Biar saya siapkan.""Nggak usah. Saya hanya ingin istirahat. Cegah siapapun yang ingin bertemu saya.""Baik, Bu."Aku masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Tiba-tiba tubuhku merasa sangat lelah.Kuhempaskan diri di atas pembaringan yang dingin. Sejenak memandangi langit-langit kamar. Sekelebat bayang Mas Zaki muncul di sana. Wajahnya terlihat lebih tirus dibanding saat sebelumn
Mas, tentu kau tahu, aku sangat senang memandangi bintang saat gelap. Di waktu seperti itulah aku bisa mendengar isi kepala sendiri. Namun, bintang-bintang itu terasa jauh hari ini. Seperti dirimu.Aku berusaha menutupi semua yang terjadi. Tak ingin Ayah tahu tentang perceraian yang tidak pernah kusepakati. Namun, saat kamu telah bicara di depan media, aku bisa apa?Yang kutakutkan bukan kemurkaan Ayah, melainkan Bang Deri. Kakak sepupu dari garis Ibu. Kami tumbuh besar bersama. Ia menjagaku laksana boneka porselen yang tak boleh jatuh. Bang Deri juga yang paling menentang saat aku dijodohkan dengan Mas Zaki. "Kamu nggak butuh lelaki lain, Wid. Cukup aku yang akan menjadi segalanya buat kamu."Kalimat itu ia ucapkan saat tahu aku tak menolak dijodohkan dengan Mas Zaki. "Aku ngerti perasaan Abang, tapi ini keputusan Ayah karena harus menjalankan wasiat Ibu. Apalagi, kita adalah sepupu.""Kita bisa nikah, Wid. Nggak ada larangan dalam agama untuk menikahi sepupu.""Ya, tapi di keluarg
Pernahkah kamu jatuh cinta, lalu alih-alih bahagia justru menderita kerenanya? Aku punya cinta pertama, tapi harus meninggalkannya karena perjodohan yang dilakukan para tetua tanpa peduli hati yang terluka. Lalu kubiasakan kalbu dan raga untuk menerima cinta yang baru. Merawatnya hingga benih cinta pun tumbuh di taman hati. Namun, sekali lagi aku harus terluka. Semestinya dulu aku menjaga jarak dan menarik batas. Menjaga hati agar tak terluka saat cintanya kemudian surut. Tidak. Cinta Mas Zaki tentulah masih tetap sama untukku. Kami bahkan masih bercinta hingga kelelahan di pagi hari. Namun, kenapa kemudian kata cerai yang terucap?Ia sama sekali tak menyebut sebuah alasan. Bahkan telah melangkah jauh sebelum aku tahu kenapa. Pagi itu seluruh hidupku berubah seratus delapan puluh deraja. Mas Zaki ternyata telah membereskan semua perlengkapanku, Cyra, Nela, Vita, dan Bi Ani. Mulai dari pakaian dan aneka kebutuhan. "Kamu harus pindah dari rumah ini. Tenang aja, semua sudah aku urus