Ia terkejut dan langsung menurunkan tangannya yang memegang ponsel, lalu berbalik."Wid? Sejak kapan kamu bangun?" Aku diam sambil merapikan rambut yang berantakan. Mas Zaki mendekat lalu duduk di sampingku. Aroma khasnya yang menenangkan langsung menyergap hidungku."Kenapa? Mimpi buruk?"Aku menggeleng. "Kemarilah."Ia merengkuh tubuhku dan membawa ke pelukannya. Mengusap rambutku berulang kali. Gerakannya yang lembut, dan detak jantungnya yang teratur ternyata menyalurkan rasa hangat dan nyaman ke seluruh tubuhku. Hingga rasa kantuk itu kembali datang.Sesaat sebelum mataku benar-benar terpejam, ia berkata lirih."Aku berharap bisa membahagiakanmu, Wid. Suatu hari, jika aku menyakitimu, pergilah. Namun, aku tak akan pernah pergi, seberapa besar pun sakit yang akan kau berikan."Suaranya terdengar sangat jauh, kemudian hilang saat aku benar-benar terlelap. ***Aku tak pernah bertanya dengan siapa ia bertelepon malam itu. Juga tentang ucapan Mas Zaki yang menjadi pengantar tidurku
Aku membuka galeri di ponsel. Sengaja chat dengan Fina sudah kuhapus setelah menyimpan nomor permpuan itu dalam kontak handphone. Foto yang dikirimkannya masih tersimpan, dan kini kutunjukkan pada Mas Zaki. "Ini," ujarku menunjukkan foto itu. "Mas kenal dia?"Mas Zaki mengambil ponselku. Ia memperbesar tampilan foto yang terpampang di layar dengan mimik wajah terlihat natural. Tak kulihat ekspresi yang dibuat-buat. Sedetik berikutnya Mas Zaki menggeleng. "Aku nggak kenal. Mungkin temannya Laras.""Mas beneran nggak kenal?""Nggak, Sayang. Buat apa aku bohong?"Mata itu, bicara jujur. Tak kutemukan dusta di kedalamannya. Memangnya apa yang aku harapkan? Bahwa Mas Zaki mengenal dan bahkan punya hubungan dengan perempuan itu? Tidak. Aku tak akan pernah sanggup mendengarnya. Kurasakan lengan kekar Mas Zaki merengkuh bahuku, membawanya ke dalam dekapan. "Kenapa? Kamu curiga sama aku? Karena kamu nemu bubur bayi dan segala macamnya di rumah Ibu?"Aku tak menjawab. Ada yang perlahan mend
Di tengah pikiran yang resah, aku kembali mengirim pesan. "Aku izin ke ke salon, ya."Sejak awal menikah, aku selalu izin padanya saat hendak keluar rumah. Biasanya aku akan menunggu hingga mendapat jawaban. Kali ini tidak. Karena tak yakin ia akan cepat membaca pesan itu, aku langsung pergi setelah bersiap. Sebelum memesan taksi online, aku menelepon Seva. Sahabatku sejak di bangku kuliah itu memiliki tempat perawatan kecantikan yang cabangnya sudah tersebar di banyak tempat. Di Jakarta bahkan ia sudah membuka enam cabang. Seva langsung menjawab di dering pertama. Suaranya terdengar renyah seperti biasa. Wanita itu tak berubah."Hai, cantik. Udah lama nggak muncul. Gue lagi di Cilandak, nih.""Oke, aku ke sana sekarang, ya.""Serius? Perawatan atau mau ketemu gue doang?"Aku tertawa."Sekalian, lah. Kalau mau perawatan doang, mending aku ke tempat kamu yang di Bintaro. Lebih deket dari rumah."Seva yang tertawa kali ini."Oke. Gue tunggu, Widia Sayang."Bergegas aku membuka aplik
Setelah keduanya menghilang di balik pintu, aku menyeberang jalan dan mulai memasuki pelataran parkir samping bakery. Sengaja kupilih sisi yang lain agar tak langsung terlihat oleh Mas Zaki. Masuk dari bagian samping yang difungsikan sebagai coffee shop, membuatku lebih mudah mengawasi bagian dalam bangunan itu.Tak banyak pengunjung di sana, sehingga hanya sebagian meja yang terisi. Aku mengedarkan pandang sejenak, mencari sosok Mas Zaki dan perempuan yang dibimbingnya masuk ke tempat ini. Tepat saat mataku mencapai sisi kiri bakery, dua orang itu terlihat duduk di salah satu meja yang nyaris menempel dengan jendela. Aku segera mengambil posisi duduk yang agak tersembunyi dari mereka. Saat ini Mas Zaki sedang berbicara serius dengan perempuan di depannya. Keduanya tampak tegang. Mereka seperti dua peserta debat terbuka yang saling ngotot mempertahankan argumen masing-masing. Bedanya, Mas Zaki dan perempuan itu menahan volume suara mereka, sehingga tidak semua pengunjung di tempat i
"Hai, Fri! Kamu lihat apa, sih?""Eh, i-itu ... ng-nggak, kok. Bukan apa-apa. Udah berapa lama main di bisnis ini, Ar?""Hadeuh. Kamu kayaknya lagi banyak pikiran, ya? Tadi aku bilang kalau mulai mencipta mainan ini setelah kamu pergi. Berapa lama berarti?"Satu tahun?""Tepat, Sayang.""Ar ....""Ups, maaf. Gimanapun aku memang masih sayang sama kamu. Sampai lupa kalau yang di depanku ini istri orang."Pelayan berbaju cokelat menginterupsi kami. Ia membawakan pesananku. "Bill-nya, Mbak?" tanyaku.Arsi memberikan kode dengan tangannya, membuat pelayan itu justru berbalik meninggalkan kami. "Kamu gratis kalau makan dan minum atau belanja di sini saat ada aku.""Jangan gitu, Ar. Bisnis tetaplah bisnis. Jangan dicampur aduk dengan pertemanan.""Siapa bilang kamu temanku?""Lalu?""Maunya jadi apa?"Aku tahu ke mana arah bicaranya, sehingga malas menanggapi. Ujung mataku kemudian melihat pergerakan di meja Mas Zaki. Sepertinya mereka akan pergi. Sebuah ide yang bisa jadi akan membawa ma
Pertama kulihat sosok perempuan itu melangkah keluar. Di belakang tampak Laras menyusul, lalu Mas Zaki dan ibu mertua yang sedang menggendong bayi di tangannya. Aku mengerjapkan mata, mencoba menahan agar kaca-kaca tak luruh berubah menjadi aliran panjang di pipi. Di kananku, Arsi menekan shutter kamera beberapa kali, lalu mengembalikan benda itu ke dalam tas. Sejenak ia menatapku."Masih sanggup melanjutkan?"Aku mengangguk. Di depan sana mobil Mas Zaki mulai keluar dari halaman. Arsi bersiap. Tak lama kami sudah meluncur di jalan dan mengikuti mobil suamiku. Pantas saja semua panggilanku tak dijawab. Demikian pula pesan yang terkirim belum terbaca satu pun. Rupanya Mas Zaki sedang sibuk dengan perempuan lain. Aku tak tahu, apakah masih penting mengikuti mereka saat ini. Bukankah sudah jelas bahwa Mas Zaki bersama perempuan itu dan bayinya? Bayi mereka. Makhluk mungil yang aku inginkan lahir di tengah pernikahan kami, ternyata suamiku sudah mendapatkannya lebih dahulu. Dari peremp
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Nama Mas Zaki tertera di layar. Sepertinya ia sudah membaca semua pesanku. Mungkin saat ini suamiku itu sudah di kantor. Aku mengabaikan panggilannya dan memilih mematikan ponsel. "Suamimu?" tanya Arsi saat kami sudah keluar dari lift. Aku mengangguk sambil menyaksikan tangan Arsi membuka pintu unit apartemennya. Ia mempersilakan aku masuk. Sekali lagi aku tahu ini salah. Tak sepatutnya dua orang yang bukan mahram berduaan dalam satu rumah. Apalagi statusku yang sudah menikah dan menjadi istri orang lain. Namun, kemarahan dan luka membuatku tak peduli. Toh kami tak melakukan apapun di sini. Aku hanya butuh menjauh sejenak dari Mas Zaki untuk beberapa saat, sebelum siap menghadapi semuanya dan membuat keputusan."Ada dua kamar tidur di sini. Istirahatlah. Kamu pasti lelah. Ambil waktu sebanyak yang kamu mau untuk istirahat, Fri."Aku menatap lelaki berbibir tipis itu. Sesaat aku mengangguk dan melangkah menuju kamar yang ditunjuk Arsi. "Fri ...."Aku s
"Kamu tanya siapa lelaki itu? Aku akan jawab, Mas. Aku akan beri tahu siapa dia, setelah mendapatkan penjelasan tentang perempuan yang kamu bawa ke rumah Ibu hari ini."Bisa kurasakan tubuh Mas Zaki membeku. Perlahan ia melepaskan cekalannya. Tanpa kata. Sungguh, diamnya bukan yang aku harapkan. Bahkan aku rela mendengar kemarahannya saat dia tahu istrinya bersama Arsi seharian ini, asalkan Mas Zaki mau menjelaskan tentang perempuan itu. Tentang pernikahan kami yang sepertinya belum semua kupahami.Perlahan tubuhnya bergeser tak lagi menghalangi jalanku. Lemah sekali kamu, Mas. Kemana Zaki Indra Rahmadian yang selalu gentle di depanku?Segera aku melangkah ke kamar. Rasanya tubuh ini remuk hingga ke tulang. Padahal aku tahu, yang sakit bukanlah raga, melainkan hati. Perjodohan ini awalnya memang berat untukku, karena tak ada cinta di dalamnya. Selain itu, aku merasa jadi orang paling jahat di dunia karena menyakiti Arsi. Dia lelaki yang tak pernah sedikitpun membuat aku menangis atau
Waktu yang hanya tinggal beberapa jam sebelum grand opening restauran, membuatku tidak bisa santai. Walau banyak pihak membantu, tetap saja aku menjadi orang yang paling tidak tenang saat ini. Apalagi banyak tokoh dan pejabat penting yang diundang oleh Ayah. "Fri, kamu nggak apa?"Aku menoleh ke arah datangnya suara yang sangat akrab di telinga. Sosok yang cukup banyak berperan dalam berdirinya bisnis ini."Aku baik-baik aja, Ar. Hanya sedikit nervous."Arsi tersenyum menatapku dengan matanya yang berbinar seperti embun pagi terkena pantulan sinar matahari. Tak seperti tamu undangan lainnya, lelaki itu mengenakan kemeja dengan kerah s"Aku yakin semuanya akan berjalan dengan lancar. Persiapan hampir tidak ada yang meleset. Pemikiran cemerlangmu, ditambah kekompakan seluruh karyawan baru, pastinya akan membawa sukses untuk restauran ini sejak hari pertama.""Bagaimana juga, aku tetap khawatir, Ar. Beberapa tahun terakhir, aku sam
Hidup terkadang berubah terlalu cepat, hingga kita tak sempat beristirahat. Semua yang ada di depan mata kadang berganti dalam sekejap. Harapan yang hilang mungkin bisa diraih kembali. Namun, semua perubahan itu harusnya disyukuri, karena ada saat di mana tak akan ada lagi perubahan dalam hidup. Itulah hari saat kita harus pulang pada-Nya. Bagiku, malam adalah rasa sakit, karena harus melaluinya dalam kesendirian yang dipenuhi bayang masa lalu. Itu sebabnya aku enggan menjumpai hari yang gelap. Namun, ternyata siang ini jauh lebih buruk dibanding dinginnya udara setelah senja. Aku berada di tempat dan waktu yang salah, saat datang ke sebuah kafe. Ada janji temu dengan seorang mitra siang ini. Jam di tanganku masih menunjukkan pukul 10.55 WIB. Lima menit lagi ia akan datang untuk makan siang bersama. Aku mencari tempat duduk yang nyaman. Sebuah sudut menghadap jendela sangat pas untuk bincang bisnis di tengah lunch. Sambil menunggu, aku memesan minuman d
Melihatnya diantar Arsi jelas membuat darahku mendidih. Tak adanya ikatan lagi di antara aku dan Widia pasti membuat lelaki itu merasa berhak mendekat. Saat Arsi turun dari SUV miliknya, lalu membukakan pintu untuk Widia, seketika tanganku bergetar. Harusnya aku yang ada di sana. Walau diucapkan dengan lirih, aku bisa mendengar kalimat Widia untuk mantan kekasihnya itu. "Sebaiknya kamu langsung pulang aja, Ar." "Kenapa? Kamu takut Zaki marah?""Bukan gitu, tapi ....""Tenang, Fri. Dia udah nggak berhak marah saat melihatmu pulang bersama siapa pun sekarang. Udah nggak ada ikatan di antara kalian. Masa iddahmu juga udah lewat."Ya, statusku saat ini memeng sudah tidak punya hak untuk melarang Widia melakukan apapun dan bertemu siapapun. Namun, kenapa harus Arsi? Aku yakin masih ada cinta di antara keduanya. Walau Widia Telah mengungkapkan perasaannya padaku, bukan tidak mungkin di ruang hatinya yan
"Aku sama sekali nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini, Fri. Janji temu dibuat sama Samudera dan Arta. Mereka juga cuma menyebutkan nama restoran kamu aja, tanpa nyebut pemiliknya."Penjelasan Arsi tentu saja masuk akal. Membuatku urung menelepon Arta dan meminta penjelasan. "Sejak kapan kamu membuka jasa konsultasi bisnis?""Udah lama sebenarnya, tapi kemarin-kemarin aku nggak terjun langsung." "Bisnis bakery dan kafe kamu masih jalan juga?""Masih, tapi aku hanya tinggal mengawasi aja. Sekarang kuminta ponakan buat mengelola langsung."Pembicaraan berlanjut pada rencana bisnisku. Kemampuan Arsi patut diacungi jempol. Semua saran dan usulannya tepat sesuai yang kuinginkan untuk perencanaan perkembangan resto. "Kenapa tiba-tiba kamu terjun ke bisnis ini, Fri?""Sementara ini aku hanya berpikir untuk mengisi waktu, Ar.""Hah? Mengisi waktu dengan hal seserius ini? Sampai kamu harus bayar konsul
Ternyata perpisahan adalah satu fase kehidupan yang sangat berat untuk kuhadapi. Aku pernah mengalaminya sebelum ini, yaitu saat Ibu meninggal. Sakit dan nyerinya teramat dahsyat. hingga membuat dadaku sesak. Perpisahan kedua ketika aku harus melepaskan Arsi karena bakti pada orang tua. Yang menyakitkan bukan karena aku tak bisa bersamanya, melainkan ketika harus melihat luka di mata lelaki itu.Memang benar, tak pernah ada yang mudah ketika menghadapi kata pisah. Bahkan saat telah kucoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Melihat mata Mas Zaki, aku hampir tak sanggup membendung air mata. Namun, aku tak ingin terlihat lemah di matanya. Widia bukan perempuan cengeng yang akan menangis dan mengharap belas kasih sang mantan. Kalau dia kemudian berkata masih cinta, haruskah aku mendadak tersenyum bahagia? Lelaki itu duduk diam menunggu reaksiku. Berusaha tenang, aku menatap matanya. Membiarkan helaan napas menyelimuti diam dan hening
"Satu lagi, kenapa ponsel kamu nggak aktif lebih dari satu jam?"Ya, Tuhan. Kenapa orang ini? Dia sudah bukan siapa-siapa, lalu kenapa harus mengganggu dengan sikap posesifnya?"Lupa ngecas aja," jawabku santai.Seketika aku teringat perhatian Mas Zaki lainnya saat kami masih bersama. Dia yang selalu memperhatikan banyak benda milikku, termasuk ponsel. Malam sebelum tidur, Mas Zaki akan memeriksa semua gadget, lalu mengisi dayanya. Ternyata dalam beberapa hal, kehidupanku menjadi kacau sejak tidak bersamanya. Ah, kenapa aku jadi merasa seperti ini? Seharusnya aku bisa move on dari mantan suami, menguras rindu menjadi debu, bukan malah teringat kenangan-kenangan kami. "Sampai kapan kamu di puncak?""Belum tahu, kenapa memangnya?""Hanya ingin memastikan keamananmu, Wid.""Kenapa harus peduli, Mas? Kita udah nggak ada hubungan apapun, dan aku bisa menjaga diriku sendiri.""Keselamatan Cyra juga bergantung padamu. Jadi aku harus memastikan kamu aman."Ah, iya. Kenapa aku terlalu perca
Aku menatap wajah tiga lelaki itu satu persatu. Apakah mereka tidak berpikir tentang hatiku saat ini? Sosok yang ada di hadapan mereka jelas bukan barang yang bisa diperebutkan begitu saja. Apakah mereka tidak berpikir tentang luka yang hadir setelah perceraian? Apalagi dengan sebab yang tanpa pernah terucap. Aku bangkit dan berjalan meninggalkan mereka. Tanpa senyum dan kata-kata. Untuk sesaat kulihat sepasang mata yang terluka. Tatapan itu tak pernah kusangka akan hadir, dari dia yang pernah mengucap talak. Langkahku kemudian terhenti di depan pintu kamar saat Nela bertanya lirih. "Bu Widia butuh sesuatu? Biar saya siapkan.""Nggak usah. Saya hanya ingin istirahat. Cegah siapapun yang ingin bertemu saya.""Baik, Bu."Aku masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Tiba-tiba tubuhku merasa sangat lelah.Kuhempaskan diri di atas pembaringan yang dingin. Sejenak memandangi langit-langit kamar. Sekelebat bayang Mas Zaki muncul di sana. Wajahnya terlihat lebih tirus dibanding saat sebelumn
Mas, tentu kau tahu, aku sangat senang memandangi bintang saat gelap. Di waktu seperti itulah aku bisa mendengar isi kepala sendiri. Namun, bintang-bintang itu terasa jauh hari ini. Seperti dirimu.Aku berusaha menutupi semua yang terjadi. Tak ingin Ayah tahu tentang perceraian yang tidak pernah kusepakati. Namun, saat kamu telah bicara di depan media, aku bisa apa?Yang kutakutkan bukan kemurkaan Ayah, melainkan Bang Deri. Kakak sepupu dari garis Ibu. Kami tumbuh besar bersama. Ia menjagaku laksana boneka porselen yang tak boleh jatuh. Bang Deri juga yang paling menentang saat aku dijodohkan dengan Mas Zaki. "Kamu nggak butuh lelaki lain, Wid. Cukup aku yang akan menjadi segalanya buat kamu."Kalimat itu ia ucapkan saat tahu aku tak menolak dijodohkan dengan Mas Zaki. "Aku ngerti perasaan Abang, tapi ini keputusan Ayah karena harus menjalankan wasiat Ibu. Apalagi, kita adalah sepupu.""Kita bisa nikah, Wid. Nggak ada larangan dalam agama untuk menikahi sepupu.""Ya, tapi di keluarg
Pernahkah kamu jatuh cinta, lalu alih-alih bahagia justru menderita kerenanya? Aku punya cinta pertama, tapi harus meninggalkannya karena perjodohan yang dilakukan para tetua tanpa peduli hati yang terluka. Lalu kubiasakan kalbu dan raga untuk menerima cinta yang baru. Merawatnya hingga benih cinta pun tumbuh di taman hati. Namun, sekali lagi aku harus terluka. Semestinya dulu aku menjaga jarak dan menarik batas. Menjaga hati agar tak terluka saat cintanya kemudian surut. Tidak. Cinta Mas Zaki tentulah masih tetap sama untukku. Kami bahkan masih bercinta hingga kelelahan di pagi hari. Namun, kenapa kemudian kata cerai yang terucap?Ia sama sekali tak menyebut sebuah alasan. Bahkan telah melangkah jauh sebelum aku tahu kenapa. Pagi itu seluruh hidupku berubah seratus delapan puluh deraja. Mas Zaki ternyata telah membereskan semua perlengkapanku, Cyra, Nela, Vita, dan Bi Ani. Mulai dari pakaian dan aneka kebutuhan. "Kamu harus pindah dari rumah ini. Tenang aja, semua sudah aku urus