"Kamu tanya siapa lelaki itu? Aku akan jawab, Mas. Aku akan beri tahu siapa dia, setelah mendapatkan penjelasan tentang perempuan yang kamu bawa ke rumah Ibu hari ini."Bisa kurasakan tubuh Mas Zaki membeku. Perlahan ia melepaskan cekalannya. Tanpa kata. Sungguh, diamnya bukan yang aku harapkan. Bahkan aku rela mendengar kemarahannya saat dia tahu istrinya bersama Arsi seharian ini, asalkan Mas Zaki mau menjelaskan tentang perempuan itu. Tentang pernikahan kami yang sepertinya belum semua kupahami.Perlahan tubuhnya bergeser tak lagi menghalangi jalanku. Lemah sekali kamu, Mas. Kemana Zaki Indra Rahmadian yang selalu gentle di depanku?Segera aku melangkah ke kamar. Rasanya tubuh ini remuk hingga ke tulang. Padahal aku tahu, yang sakit bukanlah raga, melainkan hati. Perjodohan ini awalnya memang berat untukku, karena tak ada cinta di dalamnya. Selain itu, aku merasa jadi orang paling jahat di dunia karena menyakiti Arsi. Dia lelaki yang tak pernah sedikitpun membuat aku menangis atau
Aku tersenyum getir membaca semua pesannya di layar aplikasi hijau, lalu bergumam seorang diri."Kamu tahu rasanya diabaikan sekarang, Mas. Mungkin sementara ini, aku akan tetap mengabaikanmu."Aku berganti mengecek pesan yang lain. Ada nomor baru yang tak kukenal."Fri, kamu baik-baik aja, kan?"Melihat nada khawatir dalam kalimatnya, aku tahu itu dari Arsi. Pesan itu dikirim semalam. Satu jam setelah aku masuk ke dalam rumah. Arsi pasti melihat sosok Mas Zaki yang tampak marah tadi malam di depan pintu. Dia tentu khawatir jika suamiku sampai berbuat kasar. Ternyata ada satu lagi pesannya yang dikirim sepuluh menit lalu."Fri, kamu dah bangun? Kamu harus kuat, Sayang. Semua pasti akan selesai dengan baik. Aku selalu mendoakanmu dari jauh."Dengan cepat aku mengetikkan balasan untuknya. Arsi terlihat online saat ini. "Terima kasih, Ar. Aku baik-baik saja."Di bagian atas layar terlihat Arsi sedang mengetik. Balasannya terlihat satu detik kemudian. Tak ada kalimat sama sekali di sana
"Haruskah aku memaafkan sebuah pengkhianatan, Mas?"Tangan yang memeluk pinggangku itu kini merenggang. Wajahnya pun menjauh dari leherku. Terdengar kursi yang berderit karena terdorong oleh tubuhnya yang mundur perlahan. "Apa maksudmu? Aku nggak pernah berkhianat, Wid."Kulemparkan senyum paling pahit untuknya. "Sudah selingkuh masih bilang nggak berkhianat?""Tunggu. Kamu bicara apa? Siapa yang selingkuh? Siapa juga yang berkhianat? Walau kita mengawali pernikahan ini semata karena birrul walidain, sebagai bakti pada orang tua, tapi aku nggak pernah mengkhianatimu, Wid."Tanganku terulur ke saku daster untuk meraih ponsel dan melakukan panggilan. Terdengar suara berat di ujung sana."Fri?" Nada khawatir jelas terdengar dari suara Arsi."Ya.""Kamu kenapa?" Aku tersenyum mendengar dia masih khawatir bahkan setelah luka yang pernah tergores di hatinya."Tenanglah. Aku baik-baik aja. Kamu bisa kirim foto kemarin?""Oh, tentu bisa.""Aku tunggu sekarang, ya. Makasih."Tanpa menunggu j
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Saat mata ini terbuka dan berhasil menyesuaikannya dengan cahaya sekitar, aku sudah berada di ruangan beraroma rumah sakit. "Wid? Alhamdulillah kamu sadar."Aku menepiskan tangan kanan yang sedang diciumi Mas Zaki. Entah sejak kapan ia melakukan itu. Dengan kepala yang masih terasa berat, aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Tiket, Arsi, apartemen, dan foto. Semua berkelebat di kepalaku. Ya, aku ingat sekarang. Terakhir kami bertengkar, tapi Mas Zaki belum juga memberikan penjelasan tentang hubungannya dengan perempuan itu. Ia justru mencurigai aku dan Arsi. Sungguh seperti maling yang teriak maling. "Wid, makan dulu, ya. Kapan terakhir kamu makan? Badanmu sampai lemah banget gini. Pergi seharian memangnya nggak dikasih makan sama Arsi?"Aku diam saja. Entah mengapa, kali ini Mas Zaki dengan ringan menyebut nama mantan kekasihku itu. Tangannya terulur mengambil mangkuk berisi makanan khas rumah sakit. Aku menutup mulut dengan dua tangan k
"Kami saling mencintai, Wid."Hatiku bagai disayat bambu mendengar kalimat itu. Namun, sekuat mungkin aku mencoba menahan untuk tidak menangis. "Jiwa mudaku berontak saat itu, Wid. Bukankah laki-laki bisa menikahkan dirinya sendiri? Akhirnya aku tetap melangkah walau tanpa restu. Toh, Hana sudah mengalah dan menjadi muallaf. Namun, ternyata restu orang tua adalah kunci kebahagiaan hidup. Lima tahun menikah, kami tak dikaruniai keturunan."Mas Zaki bangkit dan kembali duduk. Tangannya mengusap kedua mata yang kini merah. Baru kali ini aku melihatnya menangis."Hana tahu tentang pernikahan kita?""Ya. Dia datang saat akad, dan pulang di pertengahan acara resepsi."Memoriku berputar. Kini aku tahu kenapa malam pertama kami baru berlangsung di hari kedua."Dia yang menelepon kamu di malam pertama kita?"Mas Zaki mengangguk dan kembali meraih tanganku. Menciuminya berulang kali. "Maafkan aku."Aku memalingkan wajah. Menahan sesak yang menyumbat di dada dan seperti ingin meledak. "Hana m
"Dia bisa tetap bahagia, walau hanya bersama ibunya," sanggahku. "Nggak, Wid. Hidupnya akan pincang. Tak ada figur ayah, adalah bencana untuknya.""Aku bisa mencarikan figur ayah untuknya."Mata lelaki di depanku itu membulat. Mulutnya setengah terbuka. Detik berikutnya ia meraih daguku dan sedikit mengangkatnya. Perlahan wajahnya mendekat, hingga hampir tak ada jarak di antara kami. Bibirnya bergerak, lalu mengucap satu kalimat."Kamu pikir, aku rela dia hidup dengan ayah tiri?"Napas Mas Zaki terasa panas menyapu seluruh wajahku. Aroma khas tubuh kekar itu sejenak membuatku ingin memeluknya. Namun, semua yang terjadi beberapa hari terakhir masih meninggikan egoku. Sekali lagi, aku ingin menjajaki kedalaman rasa di hatinya."Kalau bertahan hanya demi anak ini, bukankah kita berdua akan hancur? Untuk apa menahanku, kalau nggak ada cinta di hatimu?"Mata suamiku seketika berkilat marah. Ia meletakkan mangkuk ke meja di samping tempat tidur. Tangan kirinya kini menahan kepalaku dari be
Mas Zaki tersenyum. "Memangnya, kamu udah siap?"Hening menyelimuti kami beberapa menit. Aku diam tak mampu mengucap kata, juga tidak bergerak. Hanya tangan Mas Zaki yang terus menelusuri wajahku. Mata, hidung, pipi, dan bibir. Gerakan itu dilakukannya berulang-ulang, hingga ia menjatuhkan tubuh, dan membenamkan wajahnya di lebat rambutku. "Aku hanya akan melakukan yang kamu suka," lirihnya. ***Sejak hamil, Mas Zaki hampir tak pernah mengajakku ke rumah Ibu. Mertuaku itulah yang kini sering berkunjung bersama Laras. Tak jarang mereka bahkan menginap. Seperti hari ini. Sejak kemarin keduanya bermalam di rumahku. Kangen katanya. Aku dengan senang hati menyambut keduanya, apalagi Mas Zaki ada jadwal tugas keluar kota.Namun, Ibu dan anak itu sepertinya sudah diamanahi oleh Mas Zaki agar menjaga dan mengawasiku. Laras terutama. Dia sangat protektif dan seakan menggantikan posisi Mas Zaki saat suamiku itu tidak di rumah. "Udah, Mbak Widia duduk aja di sini. Nonton drakor sama aku. Bia
Tak lama setelahnya suara bel terdengar. Aku sengaja menunggu hingga dia menekannya tiga kali, baru kemudian membukakan pintu."Wah, aku tersanjung karena tuan rumah langsung yang membukakan pintu," ujar perempuan itu disertai senyum yang lebih mirip seringai.Dia memiliki kulit putih tanpa cela, dengan garis wajah seperti yang kulihat bertebaran di majalah mode. Berbeda denganku, mata Hana cenderung sipit, ditambah softlens yang membuatnya terlihat biru.Dari jarak dekat seperti ini, aku bisa tahu, semua yang dikenakannya memang brand kelas atas. Termasuk pashmina yang dipakainya. Tidak, aku bukan iri. Mas Zaki memberikan uang yang berlebih setiap bulannya. Dia juga membekaliku tiga kartu debit dengan saldo yang terus bertambah setiap bulan. Walau sebanyak apapun aku berbelanja, jumlah uang di tiga rekening itu terus saja membukit. Hanya saja aku memang tidak berminat untuk mengoleksi barang mewah."Maaf, Mbak siapa dan ada keperluan apa?" tanyaku pura-pura tak mengenalinya. Dia tert